Bootstrap

Theology of Work Bible Commentary: Old Testament

Test 08

Pengantar untuk Kejadian 1-11

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Kitab Kejadian adalah fondasi dari teologi kerja. Semua pembahasan tentang kerja dalam perspektif alkitabiah akan menemukan dasarnya dalam kitab ini. Kitab Kejadian sangat penting untuk teologi kerja karena menceritakan pekerjaan Allah menciptakan dunia ini, pekerjaan pertama dan prototipe untuk semua pekerjaan yang ada kemudian. Allah tidak memimpikan sebuah ilusi, tetapi menciptakan sebuah realitas. Alam semesta yang diciptakan Allah menyediakan apa yang dibutuhkan untuk pekerjaan manusia: ruang, waktu, materi, dan energi. Melalui alam semesta itu, Allah hadir dalam relasi dengan ciptaan-Nya, terutama dengan manusia. Sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, kita bekerja di dalam dunia ciptaan Allah, pada dunia ciptaan Allah, dengan dunia ciptaan Allah, dan—jika kita bekerja sesuai rencana-Nya—untuk kebaikan dunia ciptaan Allah.

Dalam kitab Kejadian, kita melihat Allah bekerja, dan kita belajar bagaimana Allah menghendaki kita bekerja. Adakalanya kita menaati Allah dalam pekerjaan kita, adakalanya tidak, tetapi kita mendapati bahwa Allah tetap bekerja baik di dalam ketaatan maupun ketidaktaatan kita. Enam puluh lima kitab lainnya dalam Alkitab, masing-masing memiliki kontribusi unik untuk membentuk teologi kerja. Namun, semuanya diawali dari kitab Kejadian, kitab pertama dalam Alkitab.

Allah Menciptakan Dunia (Kejadian 1:1-2:3)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Hal pertama yang diberitahukan Alkitab kepada kita adalah fakta bahwa Allah itu Pencipta. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Allah berfirman dan berbagai hal yang tadinya tidak ada menjadi ada, mulai dengan alam semesta itu sendiri. Penciptaan dunia murni merupakan inisiatif Allah, bukan sebuah kecelakaan, kesalahan, atau hasil karya seorang dewa yang lebih rendah, melainkan ekspresi atau pernyataan pribadi Allah.

Allah membuat material yang tidak ada menjadi ada (Kejadian 1:2)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Kejadian melanjutkan dengan menekankan dimensi fisik atau material dari dunia. “Bumi belum berbentuk dan kosong. Gelap gulita meliputi samudra semesta, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” (Kej. 1:2). Semesta yang baru ini meski masih “belum berbentuk”, memiliki dimensi fisik, yaitu ruang (“samudera semesta”) dan zat (“air”). Allah berinteraksi penuh dengan dimensi fisik ini (“Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air”). Nantinya, di pasal 2, kita bahkan melihat Allah bekerja menggunakan tanah yang diciptakan-Nya. “TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7). Di sepanjang pasal 1 dan 2, kita melihat Allah begitu memperhatikan dimensi fisik dari ciptaan-Nya.

Semua teologi kerja harus diawali dengan teologi penciptaan. Apakah kita menganggap dunia fisik, berbagai material yang kita gunakan untuk bekerja, sebagai ciptaan Allah yang mulia dan memiliki nilai kekal? Ataukah kita menganggap semua hal yang bersifat fisik itu kurang penting, sekadar sarana bekerja yang fana, atau tempat kita diberikan ujian hidup? Apakah kita ingin segera lepas dari dunia fisik ini menuju surga yang tidak memiliki wujud fisik, karena menurut kita dunia fisik ini akan terus memburuk keadaannya, seperti sebuah kapal yang akan tenggelam?
Kitab Kejadian menentang semua pemikiran bahwa dunia fisik itu kurang penting bagi Tuhan dibanding dunia rohani. Atau lebih tepatnya, dalam kitab Kejadian, tidak ada pembedaan yang tajam antara yang fisik dan yang spiritual. Roh Allah (Ibrani: ruah) dalam Kejadian 1:2 juga digambarkan sebagai “napas”, “angin”, “roh”. Frase “langit dan bumi” (Kej. 1:1; 2:1) yang bisa diterjemahkan juga sebagai “surga dan bumi”, tidak merujuk pada dua dunia yang berbeda, tetapi merupakan sebuah ungkapan bahasa Ibrani yang lebih tepat diterjemahkan sebagai “alam semesta [1] sama seperti dalam Bahasa Indonesia, ungkapan “handai dan tolan” tidak diartikan terpisah, tetapi satu ungkapan yang berarti “teman-teman”.

Penting untuk diperhatikan, Alkitab berakhir pada tempat semuanya dimulai—yaitu di bumi. Manusia tidak meninggalkan bumi untuk bergabung dengan Allah di surga. Sebaliknya, Allah menyempurnakan kerajaan-Nya di bumi dan mendatangkan “kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah” (Why. 21:2). Di sinilah tempat Allah berdiam bersama umat-Nya, dalam ciptaan yang telah diperbarui. “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia” (Why. 21:3). Sebab itulah Yesus meminta para murid-Nya untuk berdoa demikian, “Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” (Mat. 6:10). Dalam selang waktu antara Kejadian 2 dan Wahyu 21, bumi ini rusak, berdosa, kacau, dipenuhi orang-orang dan kuasa-kuasa yang menentang tujuan Allah (kita dapat membacanya dalam pasal 3 dan seterusnya). Tidak semua yang ada di dunia ini berjalan seturut dengan rancangan Allah. Namun, dunia ini tetaplah ciptaan Allah, yang disebutnya “baik” (penjelasan lebih banyak tentang langit dan bumi yang baru, bisa dibaca pada uraian Wahyu 17-22 dalam bab Wahyu dan Pekerjaan).

Banyak orang Kristen, yang pekerjaannya berkaitan dengan objek fisik, mengatakan bahwa pekerjaan mereka tampaknya kurang bermakna bagi gereja—apalagi bagi Tuhan—dibanding dengan pekerjaan yang berpusat pada manusia, gagasan, atau agama. Yang disebut sebagai contoh “pekerjaan baik” dalam khotbah biasanya adalah menjadi misionaris, pekerja sosial, atau guru, bukan menjadi penambang, mekanik, atau ahli kimia. Orang Kristen biasanya lebih mengartikan “panggilan” itu berkaitan dengan menjadi pendeta atau dokter dibanding menjadi manajer inventori, atau pemahat. Namun, apakah pemikiran ini memiliki dasar yang alkitabiah? Bekerja dengan sesama manusia sebenarnya adalah bekerja dengan objek fisik juga. Selain itu, kita perlu mengingat bahwa tugas yang diberikan Allah kepada manusia meliputi dua aspek: bekerja dengan sesama manusia (Kej. 2:18) dan bekerja dengan berbagai objek fisik (Kej. 2:15). Semua aspek dari ciptaan Allah diperhatikan-Nya dengan sangat serius.

Allah Menciptakan Dunia dengan Bekerja (Kejadian 1:3-25; 2:7)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Menciptakan dunia adalah sebuah pekerjaan. Dalam Kejadian 1 jelas terlihat kuasa pekerjaan Allah. Allah berfirman dan dunia dijadikan, lalu setahap demi setahap kita melihat contoh paling mendasar tentang penggunaan kuasa yang benar. Perhatikan urutannya. Tiga tindakan penciptaan Allah yang pertama memisahkan dunia yang tidak beraturan dan tidak berbentuk menjadi langit, bumi, dan daratan. Pada hari pertama, Allah menciptakan terang dan memisahkannya dari kegelapan, menjadikan pagi dan petang (Kej. 1:3-5). Pada hari kedua, Dia memisahkan air dan menciptakan langit (Kej. 1:6-8). Di awal hari ketiga, ia memisahkan daratan kering dari lautan (Kej. 1:9-10). Semua yang esensial untuk kehidupan ciptaan-Nya kemudian mengikuti. Selanjutnya, Allah mulai mengisi dunia yang telah Dia ciptakan. Pada sisa hari ketiga itu Allah menciptakan dunia tumbuhan (Kej. 1:11-13). Pada hari keempat, Dia menciptakan matahari, bulan, dan bintang-bintang di angkasa (Kej. 1:14-19). Alkitab memakai istilah “penerang yang lebih besar” dan “penerang yang lebih kecil”, tidak langsung menyebutnya sebagai “matahari” dan “bulan”, mencegah orang menyembah benda-benda ciptaan ini, sekaligus mengingatkan bahwa kita masih dalam bahaya untuk menyembah ciptaan dan bukan Sang Pencipta. Benda-benda penerang ini indah dan esensial untuk kehidupan tanaman yang membutuhkan sinar matahari, malam hari, juga pergantian musim. Pada hari kelima, Allah mengisi lautan dan langit dengan ikan-ikan dan burung-burung yang tidak dapat bertahan hidup jika dunia tumbuhan belum diciptakan (Kej. 1:20-23). Pada hari keenam, Allah menciptakan hewan-hewan (Kej. 1:24-25) dan puncaknya, Dia menciptakan manusia untuk memenuhi bumi (Kej. 1:26-31).[1]

Pada pasal pertama, Allah menyelesaikan semua pekerjaan-Nya dengan berfirman. “Allah berfirman…” dan semuanya tercipta. Alkitab memberitahu kita bahwa kuasa Allah itu lebih dari cukup untuk menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya. Kita tidak perlu takut Allah kehabisan bahan bakar atau dunia ciptaan-Nya mendadak lenyap. Allah merancang ciptaan-Nya dengan kemampuan untuk bertahan yang hebat. Allah tidak butuh bantuan dari siapa pun atau apa pun untuk menciptakan atau memelihara dunia ini. Tidak ada kuasa pengacau yang dapat membatalkan rencana Allah mercaptan semesta. Ketika kemudian Allah memilih untuk membagikan tanggung jawab untuk mengelola dunia ciptaan-Nya kepada manusia, kita tahu bahwa hal tersebut adalah pilihan Allah, bukan karena Dia butuh bantuan manusia. Meski manusia dapat melakukan berbagai hal yang mencederai alam atau merusak bumi, Allah berkuasa penuh untuk menyelamatkan dan memulihkannya.

Memiliki kuasa yang tak terbatas tidak berarti Allah menciptakan dunia tanpa bekerja. Sama seperti menulis program komputer atau bermain drama, menciptakan semesta adalah sebuah pekerjaan. Jika keagungan pekerjaan Allah yang melampaui keterbatasan kita manusia dalam Kejadian 1 membuat kita berpikir bahwa penciptaan semesta bukanlah sebuah pekerjaan, Kejadian 2 meyakinkan kita sebaliknya. Allah sendiri turun tangan membentuk tubuh manusia dari tanah (Kej. 2:7, 21), membuat sebuah taman (Kej. 2:8), menumbuhkan pepohonan, (Kej. 2:9), dan–setelah beberapa peristiwa–membuatkan pakaian dari kulit binatang untuk dipakai manusia (Kej. 3:21). Semua ini barulah permulaan pekerjaan Allah yang bersifat fisik di dalam Alkitab yang dipenuhi catatan pekerjaan-Nya.[2]

Ciptaan berasal dari Allah, tetapi tidak sama dengan Allah (Kejadian 1:11)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Allah adalah sumber dari segala sesuatu yang diciptakan. Namun, ciptaan tidaklah sama dengan Allah. Allah memberikan ciptaan-Nya apa yang disebut Pendeta Colin Gunton sebagai Selbständig-keit atau sebuah “kemerdekaan yang sepatutnya.” Yang dimaksud di sini bukanlah kemerdekaan absolut seperti yang dibayangkan oleh kaum ateis atau deis, melainkan keberadaan ciptaan sebagai sesuatu yang berbeda dari pribadi Allah. Hal ini paling baik tergambar dalam catatan penciptaan tumbuhan. “Allah berfirman, ‘Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda: tumbuhan yang menghasilkan biji, dan berbagai jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah berbiji di bumi.’ Maka jadilah demikian.” (Kej. 1:11). Allah menciptakan segala sesuatu, tetapi Dia juga secara literal menanamkan biji atau benih sehingga ciptaan-Nya bisa memperbanyak diri dari waktu ke waktu. Ciptaan selamanya bergantung kepada Allah—“Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kis 7:28)—tetapi kita berbeda dengan Allah. Hal ini membuat pekerjaan kita indah dan bernilai jauh lebih tinggi daripada sebuah jam yang berdetik atau sebuah boneka tangan. Pekerjaan kita bersumber dari Allah, tetapi juga memiliki bobot dan martabat tersendiri.

Allah melihat bahwa Pekerjaan-Nya Baik (Kejadian 1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Berlawanan dengan paham dualistik yang menganggap surga itu baik dan bumi itu jahat, kitab Kejadian menyatakan bahwa saat semesta diciptakan, setiap hari “Allah melihat bahwa semuanya itu baik.” (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21, 25). Pada hari keenam, dengan diciptakannya manusia, Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu “sungguh sangat baik” (Kej. 1:31). Manusia—yang sayangnya kemudian menjadi agen pembawa dosa ke dalam dunia ciptaan Allah—semula diciptakan “sungguh sangat baik.” Sama sekali tidak ada catatan dalam kitab Kejadian yang mendukung pemikiran, yang entah bagaimana bisa memasuki imajinasi orang Kristen, bahwa dunia fisik ini begitu jahat dan satu-satunya jalan untuk selamat adalah meninggalkan dunia fisik ini menuju suatu dunia rohani yang tidak berwujud. Tidak ada juga dasar yang mendukung pemikiran bahwa selagi kita di dunia, kita harus melewatkan waktu kita dalam “hal-hal rohani” lebih daripada “hal-hal jasmani”. Tidak ada pemisahan antara yang rohani dan jasmani di dalam dunia Allah yang baik.

Allah Bekerja dalam Relasi (Kejadian 1:26a)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Bahkan sebelum Allah menciptakan manusia, Dia berfirman memakai kata ganti subjek jamak, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kej. 1:26). Ada perbedaan pendapat di antara para ahli tentang apakah kata “Kita” merujuk pada sekumpulan malaikat atau pada pribadi Allah Tritunggal, tetapi pendapat mana pun yang benar, keduanya sama-sama menyiratkan bahwa pada dasarnya Allah itu pribadi yang relasional.[1]

Sulit untuk memastikan apa yang dipahami bangsa Israel kuno tentang arti kata “Kita” dalam ayat ini. Untuk tujuan pembahasan di sini, kita akan mengikuti pemahaman tradisional Kristen bahwa kata tersebut merujuk pada pribadi Allah Tritunggal. Kita tahu dari Perjanjian Baru bahwa Allah berelasi dengan diri-Nya sendiri—dan dengan ciptaan-Nya—dalam sebuah cinta Trinitas. Dalam Injil Yohanes, kita belajar bahwa Sang Anak—Firman yang telah menjadi manusia (Yohanes 1:14)— hadir dan turut serta secara aktif dalam penciptaan dunia sejak semula.

Pada mulanya sudah ada Firman; Firman itu bersama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Dia pada mulanya bersama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan melalui Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. (Yoh. 1:1-4)

Jadi, orang Kristen mengakui Allah Tritunggal, tiga pribadi yang adalah satu Allah: Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus, masing-masing berperan aktif dalam penciptaan.

Allah Membatasi Pekerjaan-Nya, Beristirahat pada Hari Ketujuh (Kejadian 2:1-3)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Pada akhir dari hari keenam, selesailah pekerjaan Allah menciptakan semesta. Ini tidak berarti bahwa Allah berhenti bekerja, karena Yesus berkata, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, dan Aku pun bekerja.” (Yoh.5:17). Tidak juga berarti bahwa semesta ini sudah lengkap, karena sebagaimana yang kemudian kita lihat, Allah meninggalkan banyak pekerjaan untuk manusia memelihara dan mengembangkan semesta ciptaan-Nya. Namun, bumi yang tadinya tidak berbentuk telah diubah menjadi lingkungan yang bisa ditinggali, yang mendukung keberadaan tanaman, ikan, burung, binatang, dan manusia.

Allah melihat segala sesuatu yang dijadikan-Nya itu, sungguh sangat baik. Lalu jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam. Demikianlah diselesaikan langit dan bumi serta segala isinya. Pada hari ketujuh Allah telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya. Pada hari ketujuh itu Dia berhenti dari segala pekerjaan yang dibuat-Nya (Kej. 1:31-2:2; penekanan ditandai huruf miring)

Allah memahkotai enam hari pekerjaannya dengan satu hari istirahat. Penciptaan manusia adalah puncak dari pekerjaan kreatif Allah, istirahat pada hari ketujuh adalah puncak dari minggu kreatif Allah. Mengapa Allah beristirahat? Pasal satu menunjukkan keagungan Allah yang menciptakan semesta hanya dengan berfirman. Jelas bahwa Allah tidak sedang kelelahan. Dia tidak membutuhkan istirahat. Namun, Dia memilih untuk membatasi ciptaan-Nya dalam waktu dan juga ruang. Semesta ini ada batasnya. Semesta ini ada awalnya, sebagaimana dicatat kitab Kejadian, yang diteliti oleh ilmu pengetahuan dan dipahami sebagai teori ledakan besar (Big Bang Theory). Semesta ini juga akan berakhir, menurut Alkitab maupun ilmu pengetahuan, tetapi kita tahu bersama bahwa Allah memberikan batasan waktu di dalam dunia ini. Selama waktu itu masih ada, Allah memberkati enam hari untuk bekerja dan satu hari untuk beristirahat. Inilah batasan yang juga diterapkan oleh Allah sendiri, dan kemudian diperintahkan kepada umat-Nya (Kel. 20:8-11).

Manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej 1:26, 27; 5:1)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Setelah menceritakan pekerjaan Allah menciptakan dunia, Kitab Kejadian kemudian menceritakan pekerjaan manusia. Cerita ini diawali dengan penciptaan manusia menurut gambar Allah.

Berfirmanlah Allah, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” (Kej. 1:26)
Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:27)
Pada waktu manusia diciptakan oleh Allah, dijadikan-Nyalah dia menurut rupa Allah (Kej. 5:1)

Semua ciptaan menyatakan desain, kuasa, dan kebaikan Allah, tetapi hanya manusia yang disebutkan diciptakan menurut gambar Allah. Teologi yang lengkap tentang gambar Allah akan terlalu panjang untuk dibahas di sini. Sederhananya, kita perlu ingat bahwa ada sesuatu dalam diri manusia yang secara unik menyerupai Allah. Sungguh konyol jika ada yang menganggap manusia itu sama persis seperti Allah. Kita tidak bisa menciptakan dunia dari sesuatu yang belum berbentuk dan kosong, dan kita tidak seharusnya berusaha melakukan semua yang Allah lakukan. “Saudara-saudaraku yang terkasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis, ‘Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan,’ firman Tuhan.” (Rom. 12:19). Namun, narasi kitab Kejadian memberitahu kita beberapa hal penting tentang Allah: Dia adalah Sang Pencipta yang bekerja di dalam dunia yang bersifat fisik, yang bekerja dalam relasi, dan yang pekerjaan-Nya memperhatikan batasan. Kita memiliki kemampuan untuk melakukan hal yang sama.

Bagian selanjutnya dalam Kejadian pasal 1 dan 2 mengembangkan konsep pekerjaan manusia dalam lima kategori spesifik: kekuasaan, relasi, produktivitas/pertumbuhan, pemeliharaan, dan batasan. Pengembangan konsep ini terjadi dalam dua siklus yang bisa dicermati di Kejadian 1:26-2:4, dan Kejadian 2:4-25. Urutan kelima kategori ini tidak persis sama tetapi semuanya ada dalam kedua siklus tersebut. Siklus pertama membangun pemahaman kita tentang apa artinya bekerja dalam gambar Allah. Siklus kedua mendeskripsikan bagaimana Allah memperlengkapi Adam dan Hawa untuk mulai tinggal dan bekerja di Taman Eden.

Bahasa yang dipakai dalam siklus pertama lebih abstrak, sehingga sesuai untuk menjelaskan prinsip-prinsip pekerjaan manusia. Bahasa dalam siklus kedua lebih praktikal, menggambarkan bagaimana Allah membentuk sesuatu dari debu tanah dan elemen lainnya, cocok sebagai instruksi praktis untuk Adam dan Hawa dalam pekerjaan mereka di Taman Eden. Pergeseran gaya bahasa yang dipakai ini—pergeseran serupa juga bisa dijumpai dalam empat kitab pertama Alkitab—telah memicu banyak sekali penelitian, hipotesis, debat, dan bahkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Detailnya bisa dibaca dalam kebanyakan buku tafsir Alkitab. Kita tidak akan membahas pendapat mana yang lebih tepat, karena bagaimana kitab Kejadian memberikan pemahaman tentang pekerjaan, pekerja, dan tempat kerja, tidak banyak dipengaruhi oleh perdebatan yang ada. Yang relevan untuk pembahasan kita adalah bahwa pasal kedua mengulang lima kategori yang sudah disebutkan di pasal pertama—kekuasaan, pemeliharaan, pertumbuhan, batasan, dan relasi—dengan menggambarkan bagaimana Allah memperlengkapi manusia untuk memenuhi pekerjaan yang dirancang bagi mereka saat mereka diciptakan. Untuk memudahkan kita menelusuri tema-tema ini, Kejadian 1:26-2:25 akan kita bahas per kategori, bukan per ayat. Tabel berikut memberikan indeks yang mudah diikuti dengan tautan untuk mereka yang tertarik menjelajahi ayat tertentu secara langsung.


Bagian Alkitab

Kategori

Siklus

Kejadian 1:26-2:4

Kekuasaan

1

Kejadian 1:27

Relasi

1

Kejadian 1:28

Produktivitas/Pertumbuhan

1

Kejadian 1:29-30

Pemeliharaan

1

Kejadian 2:3

Batasan

1

Kejadian 2:5

Kekuasaan

2

Kejadian 2:8-14

Pemeliharaan

2

Kejadian 2:15; 19-20

Produktivitas/Pertumbuhan

2

Kejadian 2:17

Batasan

2

Kejadian 2:18; 21-25

Relasi

2


Kekuasaan (Kejadian 1:26; 2:5)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Bekerja dalam gambar Allah adalah menguasai sesuatu (Kejadian 1:26)

Salah satu konsekuensi manusia diciptakan menurut gambar Allah yang kita lihat dalam kitab Kejadian adalah manusia itu “berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, atas ternak dan seluruh bumi, serta atas segala binatang yang melata di bumi.”(Kej. 1:26). Ian Hart, seorang penulis, menjelaskan ini. “Menyatakan kuasa Kerajaan atas bumi sebagai perwakilan Allah adalah tujuan dasar Allah menciptakan manusia … Manusia adalah raja yang ditunjuk untuk memerintah ciptaan dan bertanggung jawab kepada Allah, Raja atas segala raja. Sebab itu, manusia diharapkan dapat mengelola, mengembangkan, dan memelihara semesta ciptaan Allah, tugas ini meliputi pekerjaan yang dilakukan secara fisik.[1] Pekerjaan kita dalam gambar Allah dimulai dengan setia menjadi perwakilan Allah di dunia.

Kita menguasai dunia ciptaan Allah dengan menyadari bahwa kita mencerminkan Allah. Kita bukan Allah, melainkan gambar-Nya; kita wajib memakai standarnya Allah, bukan standar kita sendiri. Pekerjaan kita dimaksudkan untuk memenuhi tujuan-tujuan Allah, bukan tujuan kita sendiri, Ini mencegah kita bertindak semena-mena terhadap semua yang telah diletakkan Allah di bawah kendali kita.

Pikirkan tentang implikasi hal ini di tempat kerja kita. Bagaimana Allah akan melakukan pekerjaan kita? Nilai-nilai apa yang akan dibawa Allah dalam pekerjaan ini? Produk apa yang akan dibuat Allah? Orang-orang seperti apa yang akan dilayani-Nya? Organisasi apa yang akan dibangun Allah? Standar-standar apa yang akan dipakai Allah? Sebagai pembawa gambar Allah, bagaimana pekerjaan kita seharusnya menyatakan Allah yang kita wakili? Saat kita menyelesaikan sebuah pekerjaan, apakah hasilnya membuat kita bisa mengatakan,”Terima kasih Tuhan sudah memakai saya untuk mewujudkan semua ini.”?

Allah memperlengkapi manusia untuk menguasai sesuatu (Kejadian 2:5)

Siklus kedua kembali dimulai dengan sesuatu yang butuh dikuasai, meski tidak secara langsung. “…belum ada semak apa pun dibumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, sebah TUHAN Allah belum menurunkan hujan ke bumi, dan belum ada manusia untuk mengerjakan tanah.” (Kej. 2:5; penekanan ditandai cetak miring). Frasa kunci di sini adalah “Belum ada manusia untuk mengerjakan tanah.” Allah memilih untuk tidak mengakhiri penciptaan semesta sampai Dia menciptakan manusia untuk bekerja bersama (atau di bawah) Dia. Penulis Meredith Kline menggambarkannya demikian: “Pekerjaan Allah menciptakan dunia ini sama seperti seorang raja membuat sebuah peternakan, taman, atau kebun; manusia ditempatkan Allah di dalamnya untuk mengerjakan tanah itu, untuk melayani dan memelihara propertinya tersebut.[1]

Pekerjaan menguasai sesuatu dimulai dengan mengerjakan tanah. Di sini kita melihat bahwa kata “menguasai”[2] dan “berkuasa atas” di pasal pertama, tidak memberi kita izin untuk meyalahgunakan semesta ciptaan-Nya. Sebaliknya. Kita harus bertindak penuh kasih, sama seperti Allah mengasihi ciptaan-Nya. Berkuasa atas bumi termasuk mengembangkan dan melindunginya. Menguasai semua makhluk hidup bukan sebuah lisensi untuk menyalahgunakan, tetapi sebuah kontrak dari Allah untuk memeliharanya. Kita harus memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang bersentuhan hidup dengan kita, para atasan kita, para pelanggan kita, sesama rekan kerja, juga mereka yang bekerja untuk kita, atau mereka yang sesekali kita temui. Ini tidak berarti kita mengizinkan orang memanfaatkan kita, tetapi berarti kita tidak membiarkan kepentingan pribadi, harga diri kita, atau kesombongan pribadi membuat kita memanfaatkan/menginjak-injak sesama manusia. Kisah yang selanjutnya dibukakan kitab Kejadian berbicara secara khusus terkait godaan ini dan konsekuensinya.


Hari ini kita secara khusus menyadari bagaimana pengejaran kepentingan pribadi manusia mengancam alam sekitarnya. Kita diharapkan untuk mengurus dan memelihara taman (Kej.2:15). Semesta diciptakan untuk kita gunakan, tetapi tidak hanya untuk kita. Ingat bahwa udara, air, tanah, flora dan fauna, semuanya diciptakan dengan baik (Kej. 1:4-31). Kita diingatkan untuk mempertahankan dan memelihara lingkungan tersebut. Pekerjaan kita dapat memelihara atau merusak kualitas udara, air, tanah, keragaman hayati, ekosistem, bioma, dan bahkan iklim yang diatur Allah untuk kebaikan semesta ciptaan-Nya. Kekuasaan bukanlah otoritas untuk merusak semesta ciptaan Allah, melainkan kemampuan bekerja untuk kebaikan semesta ciptaan Allah.

Introduksi Kitab Rut

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Kitab Rut menyampaikan cerita luar biasa tentang kesetiaan Allah kepada Israel dalam hidup dan pekerjaan tiga orang biasa, Naomi, Rut dan Boas. Ketika mereka bekerja, dalam kesesakan maupun kelimpahan ekonomi, kita melihat tangan Allah bekerja sangat jelas dalam usaha pertanian mereka yang produktif, pengelolaan sumber daya yang murah hati untuk kebaikan semua, perlakuan yang menghormati rekan-rekan kerja, kecerdikan dalam menghadapi kebutuhan, serta kelahiran dan membesarkan anak. Dalam segala hal, kesetiaan Allah kepada mereka menciptakan kesempatan-kesempatan untuk pekerjaan yang berhasil, dan kesetiaan mereka kepada Allah mendatangkan berkat pemeliharaan dan keamanan bagi satu sama lain dan orang-orang di sekitar mereka.

Peristiwa-peristiwa dalam kitab Rut terjadi pada saat perayaan awal musim menuai jelai (Rut 1:22; 2:17, 23; 3:2, 15, 17), saat hubungan antara berkat Allah dan kerja manusia dirayakan. Dua bagian/ayat kitab Taurat menjadi latar belakang dari perayaan ini (perhatikan bagian yang dicetak miring):

Rayakan juga Pesta Panen buah sulung dari usahamu menabur di ladang. (Keluaran 23:16)
Kemudian haruslah engkau merayakan Hari Raya Tujuh Minggu bagi TUHAN, Allahmu, dengan persembahan sukarela yang akan kauberikan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. Bersukarialah di hadapan TUHAN, Allahmu, engkau beserta anakmu laki-laki dan perempuan, hambamu laki-laki dan perempuan, orang Lewi yang di kotamu, juga pendatang, anak yatim, dan janda yang di tengah-tengahmu. Bersukarialah di tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, untuk membuat nama-Nya berdiam di sana. Haruslah kauingat bahwa engkau pun dahulu budak di Mesir, dan lakukanlah ketetapan ini dengan setia. (Ulangan 16:10-12)

Kedua bagian ayat Alkitab ini menjadi dasar teologis peristiwa-peristiwa dalam kitab Rut.

  1. Berkat Allah adalah sumber produktivitas manusia (“berkat yang diberikan kepadamu oleh Tuhan”).

  2. Allah memberikan berkat produktivitas melalui kerja manusia (“buang sulung dari usahamu”).

  3. Allah memanggil umat-Nya untuk memberi kesempatan kepada orang miskin dan lemah (“pendatang, anak yatim dan janda”) untuk bekerja secara produktif (“ingatlah bahwa engkau pun dahulu budak di Mesir,” merujuk pada pembebasan Allah atas umat-Nya dari perbudakan di Mesir dan pemeliharaan-Nya atas mereka di padang gurun dan di tanah Kanaan).

Intinya, produktivitas kerja manusia adalah perluasan dari pekerjaan Allah di dunia, dan berkat Allah atas kerja manusia sangat terkait dengan perintah Allah untuk memberi dengan murah hati kepada orang-orang yang tidak bisa menghidupi diri sendiri. Prinsip-prinsip ini mendasari kitab Rut. Akan tetapi kitab ini berbentuk narasi, bukan makalah teologis, dan cerita itu menarik.

Tragedi Menimpa Keluarga Rut dan Naomi (Rut 1:1-22)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Cerita dimulai dengan kelaparan yang terjadi “pada zaman para hakim memerintah” (Rut 1:1). Zaman ketika orang Israel meninggalkan jalan Allah dan jatuh ke dalam penyembahan berhala, kondisi sosial menakutkan, dan perang saudara membawa bencana, sebagaimana diceritakan dalam pasal-pasal kitab Hakim-hakim tepat sebelum kitab Rut di dalam Alkitab orang Kristen. (Di dalam Alkitab orang Ibrani, urutan kitabnya berbeda). Secara keseluruhan, bangsa ini jelas tidak menaati ketetapan-ketetapan Taurat tentang pekerjaan atau hal lainnya. Tokoh-tokoh dalam cerita ini—setidaknya Naomi—mengakui hilangnya berkat Allah yang disebabkan hal ini (Rut 1:13, 1:20-21). Sebagai akibatnya, struktur sosial-ekonomi masyarakat hancur, dan kelaparan melanda negeri itu.

Dalam menyikapi kelaparan itu, Elimelekh bersama istrinya Naomi dan dua anak laki-lakinya pindah ke Moab—suatu tindakan yang cukup nekat mengingat orang Israel musuh bebuyutan orang Moab—karena berpikir di Moab mereka bisa memiliki prospek yang lebih baik untuk bekerja produktif. Kita tidak tahu apakah mereka berhasil mendapatkan pekerjaan atau tidak, tetapi kedua putra mereka menemukan istri di Moab. Namun dalam waktu sepuluh tahun, mereka mengalami tragedi sosial dan ekonomi yang dahsyat—semua laki-laki dalam keluarga itu mati, meninggalkan Naomi dan kedua menantunya tanpa suami (Rut 1:3–5). Ketiga janda itu lalu harus menghidupi diri mereka sendiri tanpa hak-hak hukum dan ekonomi yang dalam masyarakat mereka diberikan kepada laki-laki. Singkatnya, mereka tidak punya suami, tidak punya hak atas tanah yang jelas, dan tidak memiliki sumber daya apa pun untuk kelangsungan hidup mereka. “Panggil aku Mara [pahit] sebab Yang Maha Kuasa telah membuat hidupku pahit sekali.” Naomi meratap (Rut 1:20), yang menunjukkan betapa sulitnya keadaan mereka.

Bersama orang-orang asing dan anak-anak yatim, janda-janda mendapat banyak perhatian dalam Hukum Israel.[1] Karena mereka telah kehilangan perlindungan dan dukungan dari suami, para janda mudah menjadi target pelecehan dan eksploitasi sosial dan ekonomi. Banyak yang terpaksa menjadi pelacur demi bertahan hidup, suatu situasi yang cukup lazim bagi kaum wanita rentan di zaman kita juga. Naomi bukan hanya seorang janda, ia juga orang asing di Moab. Namun, jika ia kembali ke Betlehem dengan para menantunya, wanita-wanita muda itu akan menjadi janda dan orang asing di Israel.[2] Mungkin karena memikirkan kerentanan yang akan mereka hadapi di mana pun mereka tinggal inilah, Naomi mendesak kedua menantunya itu untuk pulang ke rumah ibu mereka, dan mendoakan kiranya Allah Israel memberi tempat perlindungan di rumah suami mereka (orang Moab) masing-masing (Rut 1:8-9). Namun, seorang menantunya, Rut, tidak mau berpisah dari Naomi, betapa pun sulitnya kehidupan yang akan mereka hadapi. Kata-katanya kepada Naomi mengungkapkan kedalaman kasih dan kesetiaannya:

Jangan desak aku meninggalkan engkau untuk pulang dan tidak mengikutimu. Ke mana pun engkau pergi, ke situ aku pergi. Di mana pun engkau bermalam, di situ aku bermalam. Bangsamulah bangsaku dan Allahmu Allahku. Di mana pun engkau mati, di situ aku mati dan dikuburkan. (Rut 1:16–17)

Hidup bisa menjadi sulit, dan wanita-wanita ini menghadapi yang teramat sulit.

Berkat Allah adalah Sumber Produktivitas Manusia (Rut 2:1-4)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Naomi dan Rut mengalami kesulitan yang menyengsarakan, tetapi di dalam Allah, kesulitan bukanlah tanpa harapan. Meskipun kita tidak menemukan mukjizat-mujizat yang jelas dalam kitab Rut, ini tidak berarti tangan Allah tidak bekerja. Sebaliknya, Allah terus bekerja setiap waktu, terutama melalui tindakan-tindakan orang saleh dalam kitab itu. Jauh sebelumnya, Allah telah berjanji kepada Abraham, "Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak dan membuat engkau menjadi bangsa-bangsa serta darimulah raja-raja berasal" (Kejadian 17:6). Meskipun umat-Nya tidak setia kepada-Nya, Tuhan menepati janji-Nya dengan memulihkan produktivitas pertanian Israel (Rut 1:6). Dan ketika Naomi mendengar hal itu, ia pun memutuskan untuk pulang ke Betlehem untuk mencoba mendapatkan makanan. Rut, yang memegang perkataannya, ikut bersamanya, dan berniat mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan Naomi. Seiring bergulirnya cerita, berkat Allah tercurah atas mereka berdua—dan akhirnya atas seluruh umat manusia—melalui pekerjaan Rut dan hasil-hasilnya.

Kesetiaan Allah pada Kita Mendasari Seluruh Produktivitas

Secara umum, Kitab Suci orang Ibrani menggambarkan Allah sebagai Pekerja ilahi, yang menjadi paradigma bagi pekerjaan manusia. Alkitab diawali dengan gambaran tentang Allah yang bekerja—bersabda, mencipta, membentuk, membangun. Di dalam Alkitab orang Ibrani, Allah tidak hanya tampil sebagai subyek dari berbagai kata kerja “work” (bekerja), tetapi Dia juga sering digambarkan sebagai “Pekerja.” Di dalam Alkitab orang Ibrani, Allah tidak hanya terlibat dalam berbagai macam pekerjaan,[1] tetapi Dia juga memerintahkan orang Israel untuk bekerja menurut pola ilahi (Keluaran 20:9-11). Artinya, Allah bekerja secara langsung, dan Allah juga bekerja melalui manusia.

Tokoh-tokoh utama kitab Rut mengakui Allah sebagai fondasi pekerjaan mereka melalui cara mereka saling memberkati dan pernyataan iman mereka yang berulang.[2] Sebagian ungkapan iman ini berisi pujian atas tindakan-tindakan yang dilakukan Allah (Dia rela mengaruniakan kasih-Nya, Rut 2:20; Dia menyediakan kerabat yang menjadi penebus, Rut 4:14). Sebagian lainnya berupa doa permohonan atas berkat ilahi (Rut 2:4, 19; 3:10), atau penyertaan (Rut 2:4), atau kasih setia Tuhan (Rut 1:8). Sebagian lainnya lagi berisi permohonan akan tindakan ilahi yang lebih spesifik. Kiranya Tuhan memberi tempat perlindungan (Rut 1:9). Kiranya Tuhan membuat Rut sama seperti Rakhel dan Lea (Rut 4:11-12). Berkat di Rut 2:12 sangat signifikan: “Kiranya TUHAN membalas perbuatanmu. Kiranya upahmu sepenuhnya dikaruniakan oleh TUHAN, Allah Israel, yang di bawah sayap-Nya engkau datang berlindung." Semua berkat ini mengungkapkan kepastian bahwa Tuhan terus bekerja memelihara umat-Nya.

Rut ingin menerima berkat produktivitas Tuhan, entah dari Tuhan sendiri (Rut 2:12) maupun melalui orang “yang bermurah hati kepadaku” (Rut 2:2). Meskipun ia orang Moab, ia lebih berhikmat dari banyak orang di Israel dalam mengenali tangan Tuhan dalam pekerjaannya.

Di dalam cerita ini, salah satu berkat Tuhan yang terpenting adalah Dia memberkati Boas dengan ladang yang produktif (Rut 2:3). Boas menyadari betul peran Allah dalam pekerjaannya, seperti ditunjukkan dalam permohonannya yang berulang-ulang akan berkat Tuhan (Rut 2:4; 3:10).

Allah Memakai Peristiwa yang Tampaknya Kebetulan untuk Memberdayakan Pekerjaan Manusia

Salah satu cara Allah memenuhi janji-Nya tentang keberhasilan adalah Dia menguasai situasi di dunia. Kata “kebetulan” dalam Rut 2:3 ditulis dengan sengaja. Meskipun kalimat itu ironis. Pencerita dengan sengaja memakai ungkapan yang memaksa pembaca memperhatikan dan bertanya, bagaimana mungkin Rut “kebetulan” datang ke ladang seorang yang bukan saja murah hati (Rut 2:2) tetapi juga seorang kerabat (Rut 2:1). Ketika cerita berlanjut, kita tahu bahwa kedatangan Rut di ladang Boas itu adalah bukti tangan providensial Allah. Hal yang sama bisa dikatakan tentang kemunculan kerabat yang lebih dekat/penebus yang lain tepat pada saat Boas duduk di pintu gerbang dalam Rut 4:1-2.

Betapa suramnya dunia ini jika kita harus pergi bekerja setiap hari tanpa bisa mengharapkan apa pun selain yang dapat kita lakukan sendiri. Kita harus bergantung pada pekerjaan orang lain, kesempatan tak terduga, letupan kreativitas, berkat yang tak terpikirkan. Pastinya, salah satu berkat paling menghibur dalam mengikut Kristus adalah janji-Nya bahwa ketika kita bekerja, Dia bekerja bersama kita dan menanggung beban bersama kita. “Pikullah kuk yang Kupasang… Sebab, kuk yang Kupasang itu menyenangkan dan beban-Ku pun ringan” (Matius 11:29-30). Rut tidak mengenal kata-kata Yesus ini, tetapi ia hidup dengan iman percaya bahwa di bawah sayap Allah, ia akan mendapatkan semua yang ia butuhkan (Rut 2:12).

Produktivitas Manusia adalah Hasil Kesetiaan Kita kepada Tuhan

Kesetiaan Allah kepada Israel tercermin dalam kesetiaan Rut kepada Naomi. Rut berjanji, “Ke mana pun engkau pergi, ke situ aku pergi. Di mana pun engkau bermalam, di situ aku bermalam. Bangsamulah bangsaku dan Allahmu Allahku.” (Rut 1:16). Janji Rut ini bukanlah permohonan untuk tetap menjadi konsumen pasif dalam “sisa-sisa” rumahtangga Elimelekh, melainkan komitmen untuk merawat dan memelihara mertuanya dengan sekuat tenaganya. Meskipun ia sendiri bukan orang Israel, ia tampaknya sudah hidup menurut Hukum orang Israel sebagaimana yang tertera dalam Hukum Kelima, “Hormatilah ayahmu dan ibumu.” Pemulihan kerja yang produktif baginya dan keluarganya dimulai dengan komitmennya untuk bekerja dalam kesetiaan kepada hukum Allah.

Allah Memberi Berkat Produktivitas melalui Kerja Manusia (Rut 2:5-7)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Kesetiaan Allah mendasari produktivitas manusia, tetapi manusia harus melakukan pekerjaan yang nyata. Ini sudah merupakan rancangan Allah sejak semula (Kejadian 1:28, 2:5, 2:15). Rut ingin sekali bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan Naomi. “Izinkanlah aku pergi ke ladang,” pintanya, dan ketika ia mendapat kesempatan untuk bekerja, rekan-rekan kerjanya melaporkan bahwa “ia datang dan terus bekerja dari pagi sampai sekarang, dan beristirahat sebentar saja" (Rut 2:7). Pekerjaannya luar biasa produktif. Ketika ia pulang pada hari pertamanya bekerja memungut dan mengirik jelai, hasil panennya mencapai satu efa jelai (Rut 2:17). Ini berarti sekitar lima galon atau 36 liter jelai.[1] Allah maupun Boas memuji (dan mengganjar) iman dan kerajinannya itu (Rut 2:12, 17-23; 3:15-18).

Dalam kadar yang lebih besar atau lebih kecil, kita semua rentan terhadap situasi-situasi yang membuat sulit atau mustahil untuk mencari nafkah. Bencana alam, pemutusan hubungan kerja, kelebihan tenaga kerja, prasangka, cedera, penyakit, kebangkrutan, perlakuan tidak adil, pembatasan hukum, hambatan bahasa, kurangnya pelatihan atau pengalaman yang relevan, usia, jenis kelamin, kesalahan manajemen ekonomi dari pemerintah atau industri, hambatan geografis, dipecat, harus merawat anggota keluarga, dan sejumlah faktor lain dapat membuat kita tidak bisa bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan orang-orang yang bergantung pada kita. Meskipun demikian, Tuhan mau kita tetap bekerja dengan sebaik mungkin (Keluaran 20:9).

Sekalipun kita tidak dapat menemukan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan kita, kita tetap perlu bekerja dengan sebaik-baiknya. Rut tidak punya pekerjaan tetap dengan jam kerja dan gaji yang tetap. Ia juga khawatir status sosialnya membuatnya tidak bisa mendapat "kemurahan" (Rut 2:12) di tempat kerja, dan ia tak bisa berharap mendapat cukup untuk memberi makan keluarganya. Namun ia tetap pergi bekerja. Berbagai kondisi yang kita hadapi saat ini ketika menganggur atau setengah menganggur juga bisa sangat mengecilkan hati. Namun jika kurangnya pekerjaan berketerampilan-tinggi membuat kita mendapat kesempatan yang tampaknya kecil, jika diskriminasi menghalangi kita untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai kualifikasi kita, jika keadaan membuat kita tidak bisa mendapatkan pendidikan yang kita butuhkan untuk memiliki pekerjaan yang baik, jika situasi dan kondisi tampaknya tidak memberi harapan untuk bekerja, Rut adalah contoh teladan yang memanggil kita untuk tetap bekerja. Sekalipun pekerjaan kita itu pada awalnya mungkin tidak menghasilkan pemasukan, seperti ketika menjadi sukarelawan untuk menolong orang lain, merawat anggota keluarga, menempuh pendidikan atau pelatihan, atau mengurus rumahtangga.

Anugerah yang menyelamatkan adalah bahwa Allah bekerja/berkuasa di balik pekerjaan kita. Kita tidak mengandalkan kemampuan kita sendiri atau situasi-situasi sekitar kita untuk menyediakan kebutuhan kita. Akan tetapi kita setia bekerja dengan sebaik-baiknya, karena kita tahu kesetiaan Allah pada janji-Nya memberi kita keyakinan bahwa pekerjaan kita berharga, sekalipun dalam situasi-situasi yang paling tidak menguntungkan. Kita jarang bisa mengetahui sebelumnya bahwa Tuhan dapat memakai pekerjaan kita untuk menepati janji-Nya, tetapi kuasa Tuhan menjangkau jauh melampaui yang dapat kita lihat/pahami.

Menerima Berkat Produktivitas Allah Berarti Menghargai Rekan-rekan Kerja (Rut 2:8-16)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Sebagaimana diceritakan Rut 2:1, Boas adalah “seorang kaya.” Apa pun konotasinya pada masa kini, dalam hal ini perkataan itu berarti Boas merupakan salah satu tuan terbaik di Alkitab. Gaya kepemimpinannya diawali dengan sikap menghargai. Ketika ia datang ke ladang tempat orang-orangnya sedang bekerja, ia memberi salam berkat kepada mereka (“TUHAN besertamu”), dan mereka pun membalasnya dengan salam berkat juga (“Tuhan memberkatimu.” Rut 2:4). Tempat kerja Boas sangat baik dalam banyak hal. Ia memiliki dan mengelola usaha yang bergantung pada tenaga kerja yang digaji. Ia mengawasi lingkungan kerja mereka. Berbeda dengan banyak lingkungan kerja yang para pengawas dan pemiliknya memperlakukan pekerja dengan sikap merendahkan, dan para pekerja tidak memiliki rasa hormat kepada tuan mereka, Boas membangun relasi yang saling percaya dan menghormati.

Boas menunjukkan sikap menghargai para pekerjanya dengan menyediakan air minum selama mereka bekerja (Rut 2:9), makan bersama mereka, dan yang terutama membagikan makanannya kepada orang yang dianggap paling rendah di antara mereka (Rut 2:14). Kita juga kemudian tahu bahwa pada musim panen, Boas sebagai pemilik ladang ikut mengirik bersama penuai-penuainya dan tidur bersama mereka di ladang (Rut 3:2-4, 14).

Boas menunjukkan pemahaman yang tinggi bahwa semua manusia adalah gambar Allah (Kejadian 1:27, Amsal 14:31, 17:5) melalui caranya yang peka dalam memperlakukan perempuan asing di tempat kerja. Ketika ia melihat ada perempuan asing di antara pekerja-pekerjanya, ia bertanya, “Dari keluarga siapa perempuan ini?” (Rut 2:5), karena ia mengira perempuan itu ada kaitannya dengan laki-laki tertentu—entah sebagai istri atau anak—yang mungkin pemilik ladang lain di daerah itu. Ketika Boas mendengar bahwa ia adalah perempuan Moab yang pulang dari Moab bersama Naomi (Rut 2:6), dan mendengar permohonan izinnya untuk memungut jelai di belakang para penyabitnya (Rut 2:7), perkataan pertamanya yang sangat mengejutkan adalah, “Dengarlah, Anakku.” Membagikan makanannya kepada perempuan asing (Rut 2:14) merupakan tindakan yang lebih signifikan dari yang terlihat. Pemilik ladang yang terhormat tidak biasa bercakap-cakap dengan perempuan asing [1] sebagaimana dikatakan oleh Rut sendiri (Rut 2:10). Orang yang lebih mementingkan penampilan sosial dan peluang bisnis, dan kurang berbelas kasihan kepada orang miskin, mungkin akan langsung mengusir perempuan Moab yang menyusup ke ladangnya itu. Namun, Boas justru bersedia membela pekerja yang lemah di antara mereka itu, apa pun reaksi orang lain yang mungkin timbul.

Sesungguhnya dari cerita ini kita mungkin telah menemukan kebijakan anti kekerasan seksual di tempat kerja yang tercatat paling awal di dunia. Mungkin Boas sadar bahwa kebanyakan pemilik dan pekerja ladang adalah orang-orang yang kasar/penganiaya [2] dan mungkin itu sebabnya ia memberitahu Rut bahwa ia sudah meminta para pekerja laki-laki untuk tidak mengganggunya (Rut 2:9). Perkataan Naomi, "Anakku, lebih baik engkau mengikuti para pekerjanya yang perempuan, supaya engkau tidak diganggu orang di ladang lain." (Rut 2:22), jelas menunjukkan bahwa ia mengkhawatirkan keselamatan menantunya itu. Isi kebijakan Boas itu jelas:

  1. Pekerja laki-laki tidak boleh “mengganggu” perempuan ini. Biasanya kata naga berarti “menyentuh,” tetapi di sini kata itu diartikan secara lebih umum untuk “menyerang, menggoda, memanfaatkan, melecehkan.”[3] Boas tahu bahwa implikasi disentuh tergantung pada penangkapan/perasaan orang yang disentuh.

  2. Rut memiliki akses yang sama ke tempat untuk mendapatkan air minum (Rut 2:9) dan makan siang (Rut 2:14). Pada waktu makan, Boas mengundang Rut untuk duduk bersamanya dan para pekerjanya dan menikmati makanan yang sehidangan dengannya (Rut 2:14). Lalu ia sendiri yang melayani sampai Rut benar-benar kenyang. Pilihan kata yang dipakai, nagash, “datang mendekat,” menunjukkan bahwa sebagai orang asing, Rut sudah dengan sengaja dan sepatutnya (menurut adat kebiasaan) menjaga jarak. Kebijakan anti kekerasan seksual Boas tidak hanya bersifat mencegah—melarang tindakan tertentu—tetapi juga bertujuan positif, yang berarti respons orang yang dalam bahaya kekerasan itu merupakan ukuran dari yang mungkin dilakukan orang lain. Boas ingin tahu apakah Rut merasa aman sebagai ukuran dari apakah ia sudah memberikan perlindungan yang dibutuhkan. Boas menunjukkan dengan contoh nyata bahwa ia berharap para pekerja perempuan yang lemah dihormati.

  3. Para karyawan-tetap Boas tidak boleh mempermalukan (Rut 2:15) atau memarahi (Rut 2:16) Rut. Bersama kata “mengganggu” di Rut 2:9, ungkapan-ungkapan ini menunjukkan bahwa kekerasan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara: pelecehan fisik, emosional, maupun verbal. Sesungguhnya, dengan mengucapkan berkat yang sangat ekspresif pada Rut (Rut 2:12), Boas menunjukkan contoh yang sangat meneguhkan.

  4. Para karyawan-tetap harus membuat lingkungan kerja Rut seaman mungkin dan melakukan usaha-usaha tertentu untuk membantu Rut menyelesaikan tugas pekerjaannya (Rut 2:15-16). Mencegah kekerasan/pelecehan di tempat kerja bukan hanya berarti menciptakan lingkungan yang aman, tetapi juga tempat kerja produktif bagi yang lemah. Segala hal yang menghambat produktivitas, kemajuan, dan upah yang didapat harus disingkirkan. Boas bisa saja membuat Rut aman dengan menjauhkannya dari tempat kerja pekerja laki-laki. Akan tetapi ini akan menutup akses Rut ke tempat untuk mendapat minuman dan makanan, dan mungkin juga akan membuatnya kehilangan tuaian karena angin atau binatang sudah merenggutnya sebelum ia dapat mengumpulkan bulir-bulir itu. Boas memastikan bahwa perlindungan yang diciptakannya benar-benar mampu membuat Rut bekerja seproduktif mungkin.

Para pekerja Boas tampaknya memahami kemurahan hati tuannya. Ketika Boas menyapa dengan salam berkat, mereka membalas salamnya dengan memberkatinya (Rut 2:4). Ketika Boas menanyakan identitas perempuan yang terlihat di ladangnya, pengawas pekerjanya memberitahukan bahwa Rut adalah orang Moab tetapi menunjukkan sikap yang baik (Rut 2:6-7). Fakta bahwa Rut membawa pulang seefa jelai kepada Naomi membuktikan respons positif para pekerja itu terhadap instruksi Boas untuk memperlakukan Rut dengan baik. Mereka tidak hanya dengan sengaja menyisakan banyak biji-bijian untuknya, mereka juga menerima perempuan Moab itu sebagai rekan kerja mereka selama masa penuaian itu (Rut 2:21-23).

Efek positif kepemimpinan Boas meluas sampai keluar tempat kerja. Ketika Naomi melihat hasil yang didapat dari usaha Rut, ia memberkati orang yang telah memberi pekerjaan kepada Rut dan memuji Tuhan atas kasih dan kemurahan-Nya (Rut 2:20). Kemudian, tampak jelas bahwa reputasi Boas yang baik di komunitas itu membawa kerukunan dalam masyarakat dan kemuliaan bagi Tuhan (Rut 4:11-12). Semua pemimpin—bahkan semua pekerja—memengaruhi budaya tempat mereka bekerja. Meskipun kita mungkin berpikir bahwa kita didesak oleh budaya kita untuk menyesuaikan diri dengan cara-cara kerja yang tidak adil, tidak berarti atau tidak produktif, pada kenyataannya cara kita bekerja sangat memengaruhi orang lain. Boas, seorang yang kaya raya di tengah masyarakat yang bobrok dan tidak setia (Rut 1:1, “zaman para hakim memerintah” adalah kata lain untuk masyarakat yang bobrok) berhasil menciptakan bisnis yang sukses dan jujur. Pengawas ladangnya memengaruhi tindakan-tindakan egaliter masyarakat yang dipenuhi misogini (kebencian terhadap perempuan) dan rasisme (Hakim-hakim 19-21). Rut dan Naomi menciptakan keluarga yang penuh kasih di tengah kehilangan dan kesulitan besar. Ketika kita merasakan tekanan untuk menjadi serupa dengan lingkungan yang buruk di tempat kerja, janji kesetiaan Tuhan dapat mengatasi semua keraguan yang kita rasakan akibat disfungsi budaya dan masyarakat sekitar kita.

Allah Mau Orang Miskin Diberi Kesempatan untuk Bekerja Produktif (Rut 2:17-23)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Cara terpenting Allah mengatasi hambatan-hambatan keberhasilan kita adalah melalui tindakan orang lain. Di dalam kitab Rut, kita melihat hal ini dalam hukum Allah di masyarakat maupun dalam pimpinan-Nya pada individu-individu.

Hukum Allah Memanggil Orang-orang Kaya untuk Memberi Kesempatan Ekonomi kepada Orang Miskin (Rut 2:17-23)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Pekerjaan dalam kitab Rut berpusat di sekitar memungut sisa panen, yang merupakan salah satu unsur terpenting dalam Hukum yang melindungi orang miskin dan lemah. Ketetapan ini diatur dalam kitab Imamat, Ulangan dan Keluaran.

Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit habis ladangmu sampai ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang tertinggal dari penuaianmu. Kebun anggurmu jangan kaupetik hasilnya untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu jangan kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan pendatang. Akulah TUHAN, Allahmu. (Imamat 19:9-10, diulang sebagian di Imamat 23:22). Lihat “Imamat 19:9-10"dalam Imamat dan Pekerjaan di https://www.teologikerja.org/.
Apabila engkau menuai di ladangmu, lalu terlupakan seberkas di ladang, jangan kembali untuk mengambilnya; itulah bagian pendatang, anak yatim, dan janda. Maka TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala upaya tanganmu. Apabila engkau mengguncang-guncangkan pohon zaitunmu untuk menuai hasilnya, jangan memeriksa dahannya sekali lagi; itulah bagian pendatang, anak yatim, dan janda. Apabila engkau mengumpulkan hasil kebun anggurmu, jangan melakukan pemetikan sekali lagi; itulah bagian pendatang, anak yatim, dan janda. Haruslah kauingat bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir. Itulah sebabnya aku memerintahkan engkau melakukan hal ini. (Ulangan 24:19-22)
Selama enam tahun engkau boleh menabur di tanahmu dan menuai hasilnya, tetapi pada tahun ketujuh engkau harus membiarkannya dan meninggalkannya, supaya orang miskin di antara bangsamu memperoleh makanan. Apa yang mereka tinggalkan harus dibiarkan untuk dimakan binatang liar. Demikian juga kaulakukan dengan kebun anggurmu dan kebun zaitunmu. (Keluaran 23:10-11) Lihat “Keluaran 22:21-27 & 23:10-11” dalam Keluaran dan Pekerjaan di https://www.teologikerja.org/.

Dasar ketetapan ini adalah agar semua orang memiliki akses kepada sarana-sarana produksi yang diperlukan untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Secara umum, setiap keluarga (kecuali keluarga dari suku imam Lewi, yang mendapat dukungan dari perpuluhan dan persembahan) harus memiliki tanah pusaka yang tidak boleh dialihkan ke suku lain (Bilangan 27:6-11, 36:5-9; Ulangan 19:14, 27:17; Imamat 25). Dengan demikian semua orang di Israel memiliki sarana untuk mencari nafkah. Namun, pendatang, janda-janda, dan anak yatim tidak menerima warisan tanah, sehingga mereka rentan terhadap kemiskinan dan pelecehan. Ketetapan memungut sisa panen memberi mereka kesempatan untuk menghidupi diri sendiri dengan mengumpulkan bulir-bulir dari tepi-tepi ladang, tuaian yang jatuh atau tertinggal dari panen sebelumnya, dan apa pun yang ada di ladang yang tidak ditanami pada tahun tertentu. Akses untuk memungut sisa panen ini diberikan secara cuma-cuma oleh semua pemilik ladang.

Ayat-ayat ini menunjukkan tiga dasar ketetapan memungut sisa panen. Kemurahan hati kepada orang miskin (1) merupakan prasyarat untuk Allah memberkati pekerjaan tangan manusia (Ulangan 24:19); (2) digerakkan oleh ingatan akan pengalaman Israel sendiri saat di bawah penindasan dan pelecehan para penguasa budak di Mesir (Ulangan 24:22a); dan (3) menunjukkan ketaatan pada kehendak Allah (Ulangan 24:22b). Kita melihat ketiga motivasi ini dalam tindakan Boas: (1) ia memberkati Rut, (2) ia mengingat kasih karunia Allah kepada Israel, dan (3) ia memuji Rut yang memercayakan dirinya ke dalam tangan Allah (Rut 2:12). Seberapa serius hukum dan peraturan tentang tanah dan penuaian ini ditaati di Israel kuno tidak bisa dipastikan, tetapi Boas telah mematuhinya dengan cara yang patut diteladani.

Peraturan memungut sisa panen menjadi jaringan pendukung yang luar biasa bagi orang miskin dan terpinggirkan, setidaknya sejauh dipraktikkan dengan benar. Kita sudah tahu bahwa Allah mau manusia menerima berkat produktivitas-Nya melalui bekerja. Memungut sisa panen tepatnya menepati hal ini. Ketetapan ini memberi kesempatan untuk bekerja produktif bagi orang-orang yang jika tidak dibantu bisa menjadi pengemis, budak, pelacur atau kondisi-kondisi lainnya yang merendahkan martabat manusia. Para pemungut sisa panen memiliki keterampilan, harga diri, kondisi fisik, dan kebiasaan kerja yang dapat membuat mereka bekerja produktif dalam pertanian biasa, jika ada kesempatan untuk menikah, diadopsi, atau kembali ke negara asal. Pemilik ladang memberi kesempatan tanpa berhak mengeksploitasi. Tidak ada kerja paksa. Kesempatan ini tersedia secara lokal di semua tempat di negara itu tanpa perlu birokrasi yang rumit dan rawan korupsi. Akan tetapi hal ini juga tergantung pada pembentukan karakter setiap pemilik ladang, dan kita tidak boleh meromantiskan situasi-situasi yang dihadapi orang miskin di Israel kuno.

Dalam kasus Boas, Rut, dan Naomi, ketetapan memungut sisa panen berhasil sesuai maksudnya. Jika tidak ada kemungkinan memungut sisa panen, Boas akan menghadapi dua opsi ketika ia menyadari kemiskinan Rut dan Naomi. Ia bisa membiarkan mereka kelaparan, atau ia bisa memerintahkan untuk mengirim makanan jadi (roti) ke rumah mereka. Yang pertama tidak dapat diterima, tetapi yang terakhir, meskipun dapat mengatasi kelaparan mereka, akan membuat mereka lebih tergantung pada Boas. Namun karena adanya kesempatan memungut sisa panen itu, Rut tidak hanya dapat bekerja untuk memperoleh hasil, tetapi ia juga dapat memakai hasil panen itu untuk membuat roti sendiri. Proses ini membuatnya dapat mempertahankan martabatnya, memakai keterampilan dan kemampuannya, membebaskan dirinya dan Naomi dari ketergantungan jangka panjang, dan menjadikan mereka kurang rentan terhadap eksploitasi.

Dalam perbincangan sosial, politik dan teologis dewasa ini tentang kemiskinan serta tanggapan pribadi dan publik terkait hal itu, aspek-aspek memungut sisa panen ini layak diingat dan dibahas dengan penuh semangat. Orang Kristen sering tidak sepakat dengan satu sama lain dalam hal-hal seperti tanggung jawab individu versus sosial, sarana pribadi versus publik, dan distribusi pendapatan. Merenungkan dengan saksama kitab Rut mungkin tidak menyelesaikan ketidaksepakatan ini, tetapi mungkin dapat menegaskan tujuan-tujuan bersama dan landasan umum yang sama. Masyarakat modern mungkin tidak cocok dengan istilah memungut sisa panen secara harfiah, dalam arti bertani, tetapi adakah aspek-aspek yang dapat diwujudkan sebagai cara-cara masyarakat menolong orang miskin dan lemah sekarang ini? Khususnya, bagaimana kita dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan akses ke sarana-sarana untuk bekerja produktif dan bebas dari ketergantungan atau eksploitasi?

Allah Memimpin Individu-individu untuk Memberi Kesempatan Ekonomi kepada Orang Miskin dan Lemah (Rut 2:17-23)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Boas terdorong untuk bertindak jauh melebihi yang diwajibkan hukum dalam memelihara orang miskin dan lemah. Ketetapan memungut sisa panen hanya mewajibkan pemilik ladang untuk menyisakan hasil panen tertentu di ladang untuk dipungut pendatang, anak yatim dan janda-janda. Ini biasanya berarti orang miskin dan lemah itu mendapatkan pekerjaan yang sulit, berbahaya dan tidak nyaman, seperti memungut sisa panen di tepi-tepi ladang yang banyak rumputnya, atau di tempat-tempat yang tinggi di dekat pohon-pohon zaitun. Hasil yang mereka peroleh dari cara ini juga biasanya tidak berkualitas baik, seperti buah anggur atau buah zaitun yang jatuh atau belum masak. Akan tetapi Boas meminta pekerjanya untuk bermurah hati secara aktif. Mereka harus menjatuhkan dengan sengaja bulir-bulir berkualitas baik yang mereka panen agar bisa dipungut oleh Rut. Kepedulian Boas bukan hanya untuk mematuhi peraturan secara minimal, tetapi agar betul-betul dapat mencukupi kebutuhan Rut dan keluarganya.

Selain itu, Boas juga mendesak agar Rut memungut sisa panen di ladangnya saja (agar ia bisa terus menghidupi dirinya dan Naomi, tentunya) dan berada di dekat pekerja-pekerja perempuan. Boas tidak hanya memberi Rut akses untuk ke ladangnya, tetapi juga secara efektif menjadikan Rut sebagai salah satu tenaga kerjanya, bahkan sampai memastikan Rut mendapatkan hasil yang sepadan (Rut 2:16).

Di dunia di mana setiap negara dan masyarakat ada orang-orang yang menganggur atau setengah-menganggur yang membutuhkan kesempatan untuk kerja, bagaimana orang-orang Kristen dapat meniru Boas? Bagaimana kita bisa mendorong orang memakai keterampilan dan talenta yang diberikan Allah kepada mereka untuk menciptakan berbagai barang dan jasa yang dapat mempekerjakan orang secara produktif? Bagaimana kita bisa memengaruhi pembentukan karakter orang-orang yang memiliki dan mengelola sumber-sumber daya masyarakat agar mereka dapat dengan semangat dan kreatif menyediakan kesempatan-kesempatan bagi orang miskin dan terpinggirkan?

Bagaimana, sesungguhnya, pertanyaan-pertanyaan ini berlaku bagi kita? Apakah setiap kita adalah orang yang berkecukupan, meskipun kita bukan orang kaya seperti Boas? Apakah orang-orang kelas menengah memiliki cara/sarana dan tanggung jawab untuk memberikan peluang dan kesempatan kepada orang-orang miskin? Bagaimana dengan orang miskin itu sendiri? Apa yang mungkin sedang Allah mau kita lakukan untuk menyalurkan berkat produktivitas-Nya kepada pekerja dan calon pekerja lain?

Berkat Allah Melipatganda Ketika Orang Bekerja Menurut Jalan-Nya (Rut 3:1-4:18)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Pada episode yang luar biasa ketika Rut memungut sisa panen di ladang Boas, kita melihat pertunjukan yang nyata dari belas kasihan, toleransi etnis dan kemurahan hati Boas. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa hati Boas begitu lembut terhadap Rut, dan mengapa ia menciptakan lingkungan yang membuat semua orang, bahkan seorang perempuan Moab asing, merasa nyaman? Menurut testimoni Boas sendiri, Rut menunjukkan keluhuran budi dan kesetiaan kepada Allah yang benar (Rut 3:10-11). Oleh karena itu, Boas berharap “Kiranya TUHAN membalas perbuatanmu. Kiranya upahmu sepenuhnya dikaruniakan oleh TUHAN, Allah Israel, yang di bawah sayap-Nya engkau datang berlindung" (Rut 2:12). Rut lahir di Moab, tetapi ia mau datang pada Allah Israel untuk diselamatkan (Rut 1:16). Boas menyadari sayap perlindungan Allah atasnya dan ingin sekali menjadi saluran berkat Allah baginya. Dengan menolong orang asing yang miskin, ia berarti sedang menghormati Allah Israel. Dalam peribahasa orang Israel: “Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa berbelaskasihan kepada orang miskin memuliakan Dia” (Amsal 14:31, lihat juga Amsal 17:5). Rasul Paulus mengungkapkan tema ini berabad-abad kemudian, “Selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada saudara-saudara seiman kita” (Galatia 6:10).

Seiring bergulirnya cerita, Boas mulai melihat Rut lebih dari sekadar pekerja yang rajin dan menantu yang setia pada Naomi. Pada waktunya, ia pun “mengembangkan sayap” atas Rut (Rut 3:9)—suatu kiasan yang cocok untuk pernikahan, yang mencerminkan kasih dan komitmen sebagaimana yang dilambangkan dengan sayap Tuhan. Ada aspek yang berkaitan dengan pekerjaan dalam kisah cinta ini, karena melibatkan aspek properti/tanah. Naomi masih memiliki hak tertentu atas tanah yang pernah dimiliki almarhum suaminya, dan menurut Hukum Israel, kerabat dekatnya berhak memperoleh tanah itu dan mempertahankannya dalam keluarga itu dengan menikahi Naomi. Boas, yang sudah disebut Naomi sebagai kerabat suaminya (Rut 2:1), sebenarnya berada di urutan kedua dalam keberhakan ini. Boas lalu menghubungi orang pertama yang berhak atas penebusan ini, tetapi ketika orang itu mengetahui bahwa menebus tanah itu berarti ia juga harus membawa masuk perempuan Moab itu ke dalam rumahtangganya, ia melepaskan hak itu (Rut 4:1-6).

Sebaliknya Boas merasa senang dipilih Allah menunjukkan kemurahan kepada perempuan ini, meskipun ia dianggap lebih rendah secara ras dan sosial-ekonomi (Rut 4:1-12). Ia pun lalu menggunakan haknya untuk menebus tanah warisan itu, bukan dengan menikahi Naomi yang berusia lanjut dalam pernikahan yang seharusnya, tetapi dengan menikahi Rut atas seizin Naomi dalam pernikahan yang penuh kasih dan hormat. Dengan menikahi perempuan Moab itu, ia memenuhi dengan caranya sendiri sedikit janji Tuhan kepada Abraham, “Oleh keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkat” (Kejadian22:18). Ia juga memperoleh lebih banyak kekayaan lagi, yang bisa kita asumsikan ia mengelola kekayaannya secara produktif dan murah hati sesuai gambaran perkataan yang akan diucapkan Kristus, “Siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi [lebih lagi]” (Markus 4:25). Sebagaimana akan kita pelajari sebentar lagi, gambaran ini tepat sekali karena Boas memang pelopor kedatangan Yesus. Sepanjang jalan, peristiwa-peristiwa dalam cerita itu mengungkapkan lebih banyak lagi tentang Allah yang bekerja di dunia untuk mendatangkan kebaikan.

Allah Bekerja Melalui Kecerdikan Manusia (Rut 3:1-18)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Dalam mencomblangi hubungan antara Boas dan Rut, kebutuhan lagi-lagi membuat Naomi bertindak melampaui batas adat kebiasaan. Ia menyuruh Rut ke tempat pengirikan Boas pada malam hari untuk "menyingkap selimut pada kakinya dan berbaring di situ" (Rut 3:4). Terlepas dari arti "kaki" di Rut 3:4, 7, 8, 14—yang mungkin menunjukkan eufemisme seksual [1]—siasat yang diatur Naomi mencuriga kandari sudut pandang adat dan moralitas, dan penuh dengan bahaya. Persiapan Rut dan pilihan lokasi pertemuan itu menunjukkan tindakan seorang pelacur. Dalam keadaan normal, jika seorang laki-laki yang bermoral baik dan menghargai diri sendiri seperti Boas tidur di lantai tempat pengirikan, lalu ia terjaga di tengah malam dan menemukan seorang wanita di sampingnya, ia pasti akan langsung mengusir wanita itu dan menegaskan tidak ada hubungan apa-apa dengan wanita seperti itu. Permintaan Rut agar Boas menikahinya juga terlalu berani dari sudut pandang adat kebiasaan: seorang asing melamar seorang Israel; seorang wanita melamar seorang pria; seorang muda melamar seorang yang lebih tua; pekerja ladang yang miskin melamar pemilik ladang yang kaya raya. Namun, alih-alih merasa tersinggung atas kelancangan Rut, Boas malah memberkatinya, memujinya atas komitmennya untuk kesejahteraan keluarganya, memanggilnya "anakku," menenangkannya dengan berkata jangan takut, dan berjanji akan melakukan semua yang ia minta, serta menyatakannya sebagai wanita baik-baik (Rut 3:10-13). Reaksi luar biasa ini paling baik dikaitkan sebagai pengilhaman Allah yang menguasai hati dan bibirnya ketika ia bangun

Allah Bekerja Melalui Prosedur Hukum (Rut 4:1-12)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Boas menerima permintaan Rut untuk menikahinya jika kerabatnya yang lebih berhak menebus itu melepaskan haknya. Ia pun tidak membuang-buang waktu untuk segera mengatur penyelesaian hukum masalah itu (Rut 4:1-12). Sekarang pembaca sudah tahu bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan di dalam kitab ini, dan ketika keesokan harinya kerabat dekat yang berhak menjadi penebus itu lewat di pintu gerbang persis pada waktu Boas duduk di sana, hal ini juga bisa diartikan sebagai pekerjaan tangan Tuhan. Jika Rut hadir dalam kelanjutan prosedur hukum yang terjadi di pintu gerbang, hatinya bisa galau ketika orang yang memiliki hak pertama itu menyatakan bersedia menebus tanah Elimelekh. Akan tetapi ketika Boas mengingatkannya bahwa Rut termasuk dalam penebusan tanah itu, dan ia berubah pikiran, harapan Rut bangkit lagi. Apa yang membuat orang itu berubah pikiran? Ia berkata bahwa ia baru saja ingat bahwa ia memiliki kewajiban hukum yang lain. “Aku tidak dapat menebusnya, supaya jangan aku merusak milik pusakaku sendiri” (Rut 4: 6), meskipun sebenarnya alasan itu tidak tepat dan lemah. Namun, bagi Boas alasan itu sudah cukup, dan ia pun menyatakan menerima keputusan itu dengan tegas dan jelas. Kasus ini bisa saja menghasilkan keputusan lain, tetapi tampaknya hasilnya memang sudah ditentukan Allah sejak semula.

Allah Bekerja Melalui Kesuburan dan Kelahiran Anak (Rut 4:13-18)

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Di dalam Rut 4:13, kita baru menemukan contoh kedua (selain di Rut 1:6) tentang peristiwa yang secara jelas dikaitkan dengan perbuatan tangan Tuhan. “Atas karunia TUHAN perempuan itu [yang sudah dinikahi Boas] mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki.” Meskipun kata Ibrani untuk kehamilan atau mengandung (herayon) hanya ditemukan di Kejadian 3:16 dan Hosea 9:11, ungkapan khusus “mengaruniakan kandungan,” hanya ditemukan di sini. Kita tampaknya harus menafsirkan perkataan ini dengan mengingat latar belakang pernikahan Rut dengan Mahlon yang selama sepuluh tahun tanpa anak (Rut 1:4). Setelah kesetiaan Rut yang datang ke Israel bersama Naomi, setelah kesetiaan Boas yang memberi kesempatan pada Rut untuk memungut sisa panen di ladangnya dan kesetiaannya untuk menjadi penebus kerabatnya, setelah doa yang setia/sungguh-sungguh dari para saksi di pintu gerbang (Rut 4:11-12), dan tampaknya tak lama setelah Rut dan Boas melangsungkan pernikahan, Allah mengaruniakan anak dan membuat Rut mengandung. Segala usaha manusia, bahkan dalam hubungan seksual, tergantung pada Tuhan dalam tercapainya tujuan yang dimaksud atau diinginkan (Rut 4:13-15; bdk.1:4).

Kelahiran semua anak adalah anugerah Allah, tetapi ada cerita yang lebih besar dalam kelahiran anak Rut dan Boas, Obed. Ia akan menjadi kakek Daud, raja Israel terbesar (Rut 4:22), dan pada akhirnya menjadi nenek moyang Yesus, Sang Mesias (Matius 1:5, 16-17). Dengan demikian, Rut yang seorang asing menjadi berkat bagi Israel dan bagi semua orang yang mengikut Yesus sampai saat ini.

Konklusi Kitab Rut

Back to Table of Contents Back to Table of Contents

Kitab Rut menunjukkan kisah yang luar biasa tentang Allah yang bekerja mengarahkan berbagai peristiwa dari segala sisi untuk memelihara umat-Nya, dan yang lebih penting, untuk mencapai tujuan-tujuan-Nya. Kesetiaan—baik kesetiaan Allah kepada manusia maupun kesetiaan manusia kepada Allah—ditunjukkan melalui kerja dan buah-buah yang dihasilkannya. Tokoh-tokoh dalam kitab ini bekerja dengan rajin, adil, murah hati, cerdik, dan sesuai dengan hukum dan pengilhaman Tuhan. Mereka mengakui gambar Allah pada diri manusia, dan bekerja bersama dalam keharmonisan dan belas kasih.

Dari peristiwa-peristiwa dalam kitab Rut kita dapat menyimpulkan bahwa orang Kristen masa kini bukan saja harus memahami martabat, tetapi juga nilai/pentingnya bekerja. Bekerja membawa kemuliaan bagi Tuhan. Bekerja memberi manfaat bagi orang lain. Bekerja melayani dunia tempat kita berada dan hidup. Sebagai orang Kristen masa kini, kita biasanya mungkin mengenali tangan Allah paling jelas dalam pekerjaan para pendeta, misionaris dan penginjil, padahal bukan itu saja pekerjaan yang sah dan dapat diterima dalam kerajaan Allah. Kitab Rut mengingatkan kita bahwa pekerjaan biasa seperti bertani pun merupakan panggilan iman, entah itu dilakukan oleh pemilik ladang yang kaya raya atau pun orang asing yang miskin. Memberi makan keluarga adalah pekerjaan yang mulia, dan semua orang yang memiliki kekayaan atau cara/sarana untuk menolong orang lain memberi makan keluarga mereka menjadi berkat Allah. Semua pekerjaan yang sah/benar adalah pekerjaan Allah. Melalui kita, Allah membuat, merancang, mengatur, memperindah, menolong, memimpin, mengembangkan, merawat, menyembuhkan, memampukan, memberitahukan, menghias, mengajar dan mengasihi. Kita adalah sayap-sayap Allah.

Pekerjaan kita memuliakan Allah ketika kita memperlakukan rekan-rekan kerja dengan penuh hormat dan martabat, entah kita memiliki kemampuan untuk memengaruhi situasi-kondisi kerja orang lain atau pun kita membawa risiko pada diri sendiri dengan membela orang lain. Kita menghidupi perjanjian kita dengan Allah ketika kita bekerja untuk kebaikan sesama manusia—terutama yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi. Kita memuliakan Allah ketika kita mengutamakan kepentingan orang lain dan berusaha sekuat tenaga kita untuk menghumanisasikan pekerjaan mereka dan meningkatkan kesejahteraan mereka.