Surat-surat Umum dan Kerja
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Introduksi Surat-surat Umum
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTujuh surat dari surat Yakobus, surat 1 dan 2 Petrus, surat 1,2, dan 3 Yohanes, dan surat Yudas sering disebut Surat-surat Umum (Am/Katolik) karena surat-surat itu tampaknya berbicara kepada gereja Kristen secara umum, bukan kepada satu gereja tertentu. Surat-surat ini juga disatukan karena kesamaan perhatiannya pada hal-hal praktis seperti kepemimpinan dalam organisasi, kerja keras, keadilan, relasi-relasi yang baik dan komunikasi yang efektif.
Surat-surat Umum menggambarkan tantangan utama yang dihadapi orang-orang Kristen di zaman Kekaisaran Romawi – bagaimana mengikut Yesus di lingkungan yang keras. Orang Kristen mula-mula ini menghadapi masalah-masalah seperti perbudakan, favoritisme/sikap pandang bulu, serta perlakuan buruk dari orang-orang kaya dan berkuasa. Mereka berurusan dengan kata-kata kasar dan konflik. Mereka mengalami ketegangan-ketegangan nyata antara kerinduan dan kebergantungan kepada Allah, dan ketakutan bahwa melakukan segala sesuatu dengan cara Allah akan membuat mereka bertentangan dengan orang-orang yang berkuasa. Secara umum, mereka merasa terasing hidup dan bekerja di dunia yang tampaknya tidak cocok dengan cara hidup pengikut Yesus.
Banyak orang Kristen saat ini mengalami ketegangan-ketegangan yang sama di tempat kerja. Di satu sisi, banyak orang Kristen lebih punya kesempatan untuk melayani Allah dalam pekerjaan mereka daripada aspek kehidupan lainnya. Bekerja di dunia bisnis, pemerintahan, pendidikan, nirlaba, dan rumahtangga membawa banyak kebaikan di masyarakat. Di sisi lain, kebanyakan tempat kerja pada umumnya tidak didedikasikan untuk mencapai tujuan-tujuan Allah, seperti melayani kepentingan bersama, bekerja untuk kebaikan orang lain, meningkatkan relasi antar manusia, menebarkan keadilan, dan mengembangkan karakter. Karena tujuan utama tempat-tempat kerja—yang umumnya untuk mencari untung sebanyak-banyaknya — berbeda dengan tujuan utama orang Kristen, kita bisa mengalami ketegangan dalam peran ganda kita sebagai pengikut Kristus dan pekerja di bidang non-gereja. Meskipun banyak tempat kerja tidak dengan sengaja berbuat jahat —seperti banyak wilayah Kekaisaran Romawi yang tidak secara aktif memusuhi para pengikut Yesus—melayani Allah di dunia kerja tetap menjadi tantangan bagi orang Kristen. Karena Surat-Surat Umum ditulis untuk menjadi pegangan bagi orang-orang Kristen yang mengalami ketegangan-ketegangan di dunia sekitar mereka, surat-surat ini juga dapat bermanfaat bagi orang-orang Kristen di dunia kerja saat ini.
Surat-surat Umum ini membahas masalah-masalah praktis itu secara langsung. Dua prinsip pokok yang mendasari berbagai hal yang dibahas dalam surat-surat ini adalah:
Kita bisa percaya Allah akan memelihara kita.
Kita harus bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan.
Dari kedua pinsip ini, Surat-surat Umum mendapatkan perintah-perintah yang secara mengejutkan memiliki penerapan-penerapan praktis di dunia kerja abad 21. Namun, kita mestinya mungkin tak perlu terkejut. Allah sudah memilih Kekaisaran Romawi sebagai tempat Dia memasuki kehidupan manusia dalam diri Yesus Kristus. Allah juga sedang memilih tempat kerja saat ini sebagai tempat kehadiran-Nya.
Surat Yakobus: Iman dan Kerja
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat Yakobus membawa perspektif “berorientasi-pada-tindakan” pada prinsip-prinsip bahwa kita bisa percaya Allah akan memelihara kita dan bahwa kita harus bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. Jika iman kita benar – jika kita benar-benar memercayai Allah – iman kita akan memimpin kita kepada berbagai tindakan praktis untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. Perspektif ini membuat surat Yakobus menjadi kitab yang sangat praktis.
Ketekunan, Hikmat dan Pertumbuhan Rohani (Yakobus 1:1-5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab Yakobus dimulai dengan menekankan hubungan yang erat antara kehidupan sehari-hari dan pertumbuhan rohani. Secara khusus, Allah memakai berbagai kesulitan dan tantangan hidup dan pekerjaan sehari-hari untuk meningkatkan iman kita. “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan. Sebab, kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya kamu menjadi sempurna dan utuh, serta tidak kekurangan apa pnn.” (Yakobus 1:2-4). “Berbagai” pencobaan dapat menjadi pendorong pertumbuhan—termasuk masalah-masalah dalam bekerja - tetapi Yakobus terutama tertarik pada tantangan-tantangan yang sangat berat yang bisa menjadi “ujian terhadap iman [kita].”
Tantangan apa saja yang kita hadapi di dunia kerja yang bisa menguji iman atau kesetiaan kita kepada Kristus? Salah satunya kemungkinan adalah permusuhan religius. Tergantung situasi kita, iman kepada Kristus bisa membuat kita rentan terhadap apa saja, mulai dari prasangka kecil sampai pembatasan kesempatan kerja, pemecatan atau bahkan bahaya fisik atau kematian di tempat kerja. Bahkan meskipun orang lain tidak menekan kita, kita bisa tergoda sendiri untuk meninggalkan iman kita jika kita berpikir menjadi orang Kristen akan menghambat karier kita.
Pencobaan lainnya bisa jadi berkaitan dengan etika. Kita bisa tergoda untuk meninggalkan iman—atau kesetiaan—dengan melakukan pencurian, kecurangan, ketidakjujuran, transaksi yang tidak benar, atau memanfaatkan orang lain untuk memperkaya diri sendiri atau memajukan karier kita. Pencobaan lainnya lagi muncul dari kegagalan di tempat kerja. Beberapa kegagalan bisa menjadi sedemikian traumatis sampai menggoyahkan iman kita. Sebagai contoh, di-PHK (dianggap tak berguna/tidak dibutuhkan lagi) atau diberhentikan dari pekerjaan bisa sedemikian menghancurkan sampai kita meragukan segala sesuatu yang sebelumnya kita percaya, termasuk iman kepada Kristus. Atau, kita mungkin percaya bahwa Allah memanggil kita kepada pekerjaan kita, menjanjikan kejayaan, atau berutang kesuksesan pada kita karena kita setia pada-Nya. Kegagalan dalam pekerjaan ini lalu tampaknya berarti Allah tak dapat dipercaya atau bahkan tidak ada. Atau, kita bisa begitu dilumpuhkan oleh kekhawatiran sampai kita meragukan bahwa Allah akan terus memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita. Semua tantangan yang terkait pekerjaan ini dapat menguji iman kita.
Apa yang harus kita lakukan jika iman kita diuji dalam pekerjaan? Bertekunlah (Yakobus 1:3-4). Yakobus berkata, jika kita mau berjuang untuk tidak menyerah pada godaan untuk meninggalkan iman, untuk bertindak tidak etis, atau untuk menjadi putus asa, kita akan menemukan Allah menyertai kita setiap waktu. Jika kita tidak tahu bagaimana caranya melawan pencobaan-pencobaan ini, Yakobus mengundang kita untuk meminta hikmat yang kita butuhkan untuk melakukannya (Yakobus 1:5). Ketika krisis berlalu, kita akan mendapati kedewasaan kita bertumbuh. Alih-alih tidak mengalami kekurangan apa pun - yang kita takutkan, kita justru akan mengalami sukacita karena mendapatkan pertolongan Tuhan.
Bersandar pada Allah (Yakobus 1:5-18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSaat berbicara tentang hikmat, Yakobus mulai mengembangkan prinsip bahwa kita bisa percaya Allah akan memelihara kita. “Apabila di antara kamu ada yang kurang berhikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati tanpa mencela, maka hal itu akan diberikan kepadanya” (Yakobus 1:5). Mungkin tampaknya aneh bahwa kita bisa meminta hikmat kepada Allah dalam hal tugas-tugas pekerjaan yang biasa—mengambil keputusan, menilai kesempatan, memercayai rekan kerja atau pelanggan, menginvestasikan sumber daya, dan lain-lainnya—tetapi Yakobus mendorong kita untuk “meminta dengan iman, dan sama sekali jangan bimbang” bahwa Allah akan memberikan hikmat yang kita butuhkan. Masalah kita bukan karena kita mengharapkan terlalu banyak pertolongan Allah di tempat kerja, tetapi karena kita berharap terlalu sedikit (Yakobus 1:8).
Hal ini penting sekali kita pahami. Jika kita meragukan bahwa Allah adalah sumber dari segala yang kita perlukan, kita seperti yang disebut Yakobus dengan “mendua hati.” Kita tidak bisa memutuskan apakah akan mengikut Kristus atau tidak. Ini membuat kita “terombang-ambing kian ke mari,” dan kita tidak akan dapat berbuat banyak untuk kepentingan siapa pun, bahkan untuk “menerima sesuatu dari Tuhan” untuk diri kita sendiri (Yakobus 1:7). Yakobus tahu betapa sulitnya memercayai Allah. Ia tahu benar pencobaan-pencobaan yang sudah mulai dialami pendengarnya di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi (Yakobus 1:1-2). Namun ia menegaskan bahwa kehidupan orang Kristen harus dimulai dengan percaya bahwa Allah akan memelihara.
Ia langsung menerapkan hal ini pada masalah ekonomi di Yakobus 1:9-11. Orang kaya tidak boleh bermegah bahwa kekayaannya adalah hasil usahanya sendiri. Jika kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, kita akan “layu/gugur” meskipun kita terus melakukan yang biasa kita lakukan. Sebaliknya, orang miskin tidak boleh menganggap keadaannya sebagai akibat tidak diperkenan Allah. Mereka justru harus berharap “diangkat” Allah. Kesuksesan atau kegagalan bisa disebabkan oleh banyak faktor yang di luar kendali kita. Orang yang pernah kehilangan mata pencahariannya akibat resesi, perusahaan yang dijual, relokasi kantor, gagal panen, diskriminasi, kerusakan akibat badai, atau seribu faktor lainnya, dapat memberi kesaksian tentang hal itu. Allah tidak menjanjikan kesuksesan ekonomi dalam pekerjaan kita, atau menjerumuskan kita dalam kegagalan kerja, tetapi Dia memakai kesuksesan maupun kegagalan itu untuk mengembangkan ketekunan yang diperlukan dalam mengatasi kejahatan. Jika Yakobus 1:1-8 mengundang kita untuk berseru kepada Allah dalam masa kesusahan, ayat 9-11 mengingatkan kita untuk berseru kepada-Nya dalam masa kesuksesan juga.
Perhatikan bahwa meskipun Yakobus mempertentangkan kebaikan Allah dengan kejahatan dunia, ia tidak membolehkan kita berpikir bahwa kita berada di pihak malaikat, dan orang-orang di sekitar kita berada di pihak Si Jahat. Sebaliknya, pemilahan antara yang baik dan yang jahat terjadi di hati setiap orang Kristen. “Tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya” (Yakobus 1:14). Ia mengatakan hal ini kepada para anggota gereja. Dan ini seharusnya membuat kita tidak cepat-cepat mengidentifikasi gereja sebagai tempat kerja yang baik atau buruk. Ada kejahatan di dalam maupun di luar gereja—seperti yang diingatkan skandal-skandal gereja dan penipuan-penipuan bisnis pada kita—tetapi atas kasih karunia Allah, kita bisa mendatangkan kebaikan pada keduanya.
Sesungguhnya, komunitas Kristen adalah salah satu sarana yang dipakai Allah untuk mengangkat orang miskin. Janji Allah untuk memelihara orang miskin dipenuhi – sebagian -melalui kemurahan hati umat-Nya, dan kemurahan hati mereka ini merupakan akibat langsung dari kemurahan hati Allah kepada mereka. “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna datangnya dari atas, turun dari Bapa segala terang” (Yakobus 1:17). Hal ini meneguhkan baik bahwa Allah sebagai sumber pemeliharaan tertinggi maupun bahwa orang percaya bertanggung jawab untuk melakukan semua yang dapat mereka lakukan untuk membawa pemeliharaan Allah kepada orang-orang yang membutuhkan.
Mendengarkan, Bereaksi, dan Menjauhi Amarah (Yakobus 1:19-21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYakobus melanjutkan pedoman praktisnya dengan nasihat tentang mendengarkan. Orang Kristen perlu mendengarkan dengan saksama baik orang lain (Yakobus 1:19) maupun Allah (Yakobus 1:22-25). “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19). Kita mendengarkan bukan sebagai kiat untuk memengaruhi orang lain, tetapi sebagai cara mempersilakan firman Tuhan “membuang segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak” (Yakobus 1:21). Yang menarik, Yakobus mengatakan bahwa mendengarkan orang lain—bukan hanya mendengarkan firman Tuhan—adalah sebuah cara untuk melepaskan diri kita dari kejahatan. Ia tidak berkata bahwa orang lain itu menyampaikan firman Allah kepada kita. Namun, ia berkata bahwa mendengarkan orang lain akan membuang amarah dan arogansi yang menghalangi kita untuk melakukan firman Tuhan yang disampaikan dalam Kitab Suci. “Kemarahan manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah… Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatim, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu” (Yakobus 1:20-21). Ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang tidak kita sukai—ketidaksetujuan, kritik, penolakan—mudah sekali untuk merespons dengan kemarahan, apalagi dalam situasi-situasi tekanan-tinggi di tempat kerja. Namun, berbuat seperti itu biasanya malah memperburuk keadaan kita, dan selalu merusak kesaksian kita sebagai hamba Kristus. Betapa lebih baiknya memercayai Allah yang akan membela kita, daripada kita membela diri sendiri dengan kata-kata amarah dan gegabah.
Nasihat ini berlaku untuk segala macam pekerjaan dan tempat kerja. Dalam literatur bisnis, mendengarkan sudah dikenal sebagai keterampilan kepemimpinan yang sangat penting.[1] Bisnis-bisnis harus mendengarkan dengan baik para pelanggan, karyawan, investor, masyarakat, dan para pemangku kepentingan lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang sesungguhnya, organisasi-organisasi perlu mendengarkan orang-orang yang berharap kebutuhannya dipenuhi. Ini mengingatkan kita bahwa tempat kerja dapat menjadi tanah yang subur bagi pekerjaan Allah, seperti halnya Kekaisaran Romawi, meskipun di tengah kesulitan dan penganiayaan.
Pelaku Firman: Bekerja untuk Orang Lain Yang Membutuhkan (Yakobus 1:22-27)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagian ini membawa kita kepada prinsip yang kedua tentang pekerjaan yang tepat—bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. “Hendaklah kamu menjadi pelaku firman, dan bukan hanya pendengar saja. Sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yakobus 1:22). Prinsip ini jelas berasal dari prinsip percaya bahwa Allah akan memenuhi kebutuhan kita. Jika kita percaya Allah akan memenuhi kebutuhan kita, kita akan merasa bebas untuk bekerja bagi kebaikan orang lain. Sebaliknya, jika kepercayaan kita pada Allah tidak memimpin kita untuk bertindak bagi kebaikan orang lain yang membutuhkan, menurut Yakobus, kita tidak benar-benar memercayai Allah. Seperti yang dikatakannya, “Ibadah yang murni dan tidak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita ialah: mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka” (Yakobus 1:27). Percaya berarti menunjukkan kepercayaan, dan kepercayaan memimpin kepada tindakan.
Sumber pemikiran Yakobus tampaknya berasal dari Yesus sendiri, khususnya pengajaran-Nya tentang orang miskin dan kepedulian praktis yang Dia tunjukkan kepada berbagai kelompok marjinal. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dalam kutipan Yakobus tentang ajaran Yesus mengenai tempat istimewa orang miskin dalam kerajaan Allah (Yakobus 2:5; Lukas 6:20), serta peringatan-peringatan Yesus tentang harta kekayaan “di bumi” yang tidak abadi (Yakobus 5:1-5; Matius 6:19).
Hal ini bisa diterapkan langsung di dunia kerja karena memenuhi kebutuhan adalah tanda sukses nomor satu dalam bekerja, entah di bidang bisnis, pendidikan, layanan kesehatan, tugas pemerintahan, profesi-profesi, nirlaba, dan lain-lainnya. Organisasi yang sukses memenuhi kebutuhan pelanggan, karyawan, investor, warga masyarakat, mahasiswa, klien, dan pemangku kepentingan lainnya. Sukses memenuhi kebutuhan ini bukan fokus utama Yakobus—ia lebih berfokus pada kebutuhan orang miskin atau tak berdaya—tetapi hal memenuhi kebutuhan ini tetap berlaku. Setiap kali suatu organisasi memenuhi kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya, organisasi itu sedang melakukan pekerjaan Allah.
Penerapan ini tidak terbatas pada melayani pelanggan di perusahaan yang mapan. Perlu kreativitas yang jauh lebih besar—dan lebih menunjukkan tentang pemeliharaan Tuhan—ketika orang Kristen memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang yang terlalu miskin untuk menjadi pelanggan perusahaan yang mapan. Sebagai contoh, sekelompok orang Kristen mendirikan pabrik perabot rumahtangga di Vietnam untuk menyediakan pekerjaan bagi orang-orang yang tingkat sosial ekonominya paling rendah di sana. Melalui pabrik itu, Allah memenuhi kebutuhan para pelanggan dari luar negeri yang memerlukan perabot dan juga kebutuhan para pekerja lokal yang sebelumnya menganggur.[1] Demikian pula, TriLink Global, perusahaan investasi yang dipimpin Gloria Nlund, membantu membuka perusahaan-perusahaan di negara berkembang sebagai cara memenuhi kebutuhan orang-orang miskin dan terpinggirkan.[2]
Tugas orang Kristen tidak berakhir dengan melayani orang miskin dan membutuhkan melalui tempat kerja masing-masing. Struktur-struktur sosial dan sistem-sistem politik-ekonomi sangat memengaruhi terpenuhinya kebutuhan orang miskin. Sejauh orang Kristen dapat memengaruhi struktur dan sistem ini, kita punya tanggung jawab untuk memastikan kebutuhan orang-orang miskin dan membutuhkan terpenuhi, seperti halnya kebutuhan orang-orang kaya dan berkuasa.
Menindas Orang Miskin dan Menjilat Orang Kaya (Yakobus 2:1-13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYakobus menerapkan kedua prinsip pokoknya sebagai peringatan terhadap favoritisme terhadap orang kaya dan berkuasa. Ia memulai dengan prinsip kedua—bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. “Jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci, ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,’ kamu berbuat baik. Namun jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa” (Yakobus 2:8–9). Dosa itu adalah ketika kita berpihak pada orang kaya dan berkuasa, kita sedang melayani diri sendiri dan bukan orang lain. Ini karena orang kaya dan berkuasa berpotensi memberikan sedikit kekayaan dan kekuasaannya pada kita. Orang miskin tak bisa berbuat apa-apa untuk kita. Namun, mereka adalah orang-orang yang membutuhkan. Yakobus menjelaskan hal ini dengan menunjukkan perlakuan khusus yang diberikan kepada orang kaya dan berpakaian bagus di gereja, sementara orang miskin dan lusuh diperlakukan dengan hina. Bahkan dalam hal sesederhana datang ke gereja, orang miskin membutuhkan sambutan. Orang kaya—yang biasa disambut di mana-mana—tidak membutuhkan itu.
Yakobus mengutip Imamat 19:18 - “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” - untuk menunjukkan bahwa sikap memihak orang kaya dan mengucilkan atau merendahkan orang miskin merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah seperti halnya membunuh atau berzinah (Yakobus 2:8-12). Melakukan hal ini berarti kita tidak memperlakukan sesama manusia seperti diri kita sendiri, atau bahkan kita tidak menyadari bahwa orang miskin adalah sesama kita.
Meskipun Yakobus sedang berbicara tentang pertemuan-pertemuan di gereja, penerapan ini juga berlaku dalam hal kerja. Di tempat kerja, kita bisa memerhatikan orang-orang yang membantu kita maupun yang membutuhkan bantuan kita. Di tempat kerja yang sehat, hal ini mungkin hanya masalah penekanan. Di tempat kerja yang disfungsional—di mana orang saling diadu dalam perebutan kekuasaan—perlu keberanian untuk berpihak pada yang tak berdaya. Menolak untuk berpihak bisa sangat berbahaya ketika kita dihadapkan pada favoritisme yang sudah berurat-akar di masyarakat, seperti diskriminasi etnis, stereotip gender, atau kefanatikan agama.
Meskipun Yakobus menyampaikan pendapatnya berkaitan dengan prinsip bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan, penerapan ini secara implisit menegakkan prinsip tentang memercayai Allah. Jika kita benar-benar percaya Allah akan memelihara kita, kita tidak akan tergoda untuk menjilat atau terlalu mencari muka pada orang kaya dan berkuasa. Kita juga tidak akan takut untuk bergaul dengan orang-orang yang tidak populer di tempat kerja atau sekolah. Yakobus tidak menasihati kita untuk berbuat baik meskipun tidak beriman pada Kristus atau memercayai pemeliharaan Allah. Yakobus justru menunjukkan bahwa perbuatan baik hanya dimungkinkan oleh karena percaya pada Kristus. Ironisnya, orang miskin malah sudah menghidupi kebenaran ini setiap hari. “Bukankah Allah telah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada orang-orang yang mengasihi Dia?” (Yakobus 2:5). Kemungkinan inilah acuan untuk perkataan Yesus dalam Khotbah di Bukit (Matius 5:3; Lukas 6:20). Orang miskin mewarisi Kerajaan bukan karena mereka lebih baik daripada orang kaya, tetapi karena mereka percaya kepada Allah. Karena tidak bisa bersandar pada diri sendiri, atau mencari muka pada orang kaya, mereka belajar bersandar pada Allah.
Iman dan Kerja (Yakobus 2:14-26)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYakobus membahas topik tentang kerja secara rinci di bagian kedua pasal 2. Ketika membahas tentang pekerjaan, ia selalu memakai bentuk jamak (Yunani: erga), bukan bentuk tunggal (Yunani: ergon). Hal ini membuat sebagian orang berasumsi bahwa Yakobus memakai bentuk jamak untuk mengartikan pekerjaan yang berbeda dari bentuk tunggalnya. Namun, erga dan ergon hanyalah bentuk jamak dan tunggal dari kata yang sama.[1] Yakobus di sini sedang menjelaskan berbagai macam pekerjaan, mulai dari pekerjaan yang menunjukkan kemurahan hati seperti memberi makan orang kelaparan, sampai pekerjaan yang benar-benar dilakukan secara langsung, seperti meningkatkan hasil panen yang berkelanjutan. Penggunaan bentuk jamak menunjukkan bahwa ia berharap pekerjaan orang Kristen berlangsung terus-menerus.
Fokus Yakobus pada pekerjaan/perbuatan menimbulkan kontroversi mendalam tentang surat itu. Luther sangat tidak menyukai surat Yakobus karena ia membaca Yakobus 2:24 (“Kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman”) sebagai kontradiksi dari Galatia 2:16 (“Tidak seorang pun yang dibenarkan karena melakukan hukum Taurat, tetapi melalui iman dalam Yesus Kristus”). Tokoh-tokoh Reformasi Protestan lainnya tidak berpandangan seperti ini, tetapi keberatan Luther sangat mendominasi interpretasi orang Protestan tentang kitab Yakobus.[2]
Meskipun kita tidak dapat membahas perdebatan panjang tentang Luther dan kitab Yakobus di sini, kita dapat menyelidiki secara singkat apakah penekanan Yakobus tentang kerja/tindakan bertentangan dengan penolakan ajaran Protestan tentang “dibenarkan karena perbuatan.”
Apa yang dikatakan oleh Yakobus sendiri? Yakobus 2:14 bisa dikatakan sebagai inti pendapatnya, jadi kita akan membahas bagian ini lebih dulu sebelum melanjutkan: “Apa gunanya saudara-saudaraku, jika seseorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman padahal ia tidak mempunyai perbuatan?” Yakobus secara blak-blakan menjawab pertanyaannya sendiri dengan mengatakan, “Jadi, jika iman itu tidak disertai perbuatan, iman itu pada hakikatnya mati” (Yakobus 2:17) - mati (seperti yang ia tuliskan dalam contoh yang dipilihnya dengan cermat) sebagai orang yang sangat membutuhkan makanan tetapi hanya menerima kata-kata ucapan selamat yang kosong dari sesamanya (Yakobus 2:15-16). Yakobus sudah menganggap sebagai hal yang lazim bahwa percaya pada Kristus (memercayai Allah) akan menggerakkan Anda untuk berbelas kasihan—dan bertindak menolong—orang yang membutuhkan.
Kita memiliki kesempatan-kesempatan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan orang-orang di tempat kita bekerja. Kesempatan ini bisa sesederhana memastikan pelanggan yang bingung mendapatkan barang yang tepat untuk kebutuhannya, atau memerhatikan bahwa rekan kerja yang baru memerlukan bantuan tetapi takut untuk bertanya. Yakobus mendorong kita untuk memberi perhatian khusus kepada orang-orang yang rentan atau terpinggirkan, dan kita mungkin perlu berlatih memerhatikan orang-orang semacam ini di tempat kerja kita.
Inilah inti dari kitab Yakobus. Yakobus tidak menganggap pekerjaan/perbuatan bertentangan dengan iman. Tidak ada “pembenaran karena perbuatan” karena tidak akan ada perbuatan baik jika tidak/belum ada iman (kepercayaan) kepada Allah. Yakobus tidak bermaksud mengatakan bahwa iman bisa ada tanpa perbuatan namun tidak cukup untuk keselamatan. Maksudnya adalah bahwa semua “iman” yang tidak memimpin kepada perbuatan adalah mati; dengan kata lain, itu bukanlah iman sama sekali. “Sebagaimana tubuh tanpa roh mati, demikian juga iman tanpa perbuatan mati” (Yakobus 2:26). Yakobus tidak memerintahkan orang Kristen untuk bekerja bagi kebaikan orang lain yang membutuhkan sebagai ganti beriman pada Kristus, atau bahkan sebagai tambahan beriman pada Kristus. Ia berharap orang Kristen akan bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan sebagai hasil dari beriman pada Kristus.[3]
Pandangan bahwa iman Kristen selalu memimpin kepada tindakan praktis itu sendiri merupakan pelajaran bagi dunia kerja. Kita tidak dapat membagi dunia menjadi yang rohani dan yang praktis, karena yang rohani itu juga praktis. “Engkau lihat bahwa iman [Abraham] bekerja sama dengan perbuatan-perbuatannya,” kata Yakobus (Yakobus 2:22). Oleh karena itu kita tak pernah bisa berkata, “Aku percaya pada Yesus dan aku pergi ke gereja, tetapi aku menjauhkan iman pribadiku dari pekerjaan/perbuatanku.” Iman seperti itu adalah iman yang mati. Perkataan Yakobus, “Kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yakobus 2:24) justru menantang kita untuk menunjukkan komitmen kita kepada Kristus dalam pekerjaan/tindakan kita sehari-hari.
Bagian selanjutnya dari surat ini memberikan penerapan-penerapan praktis untuk kedua prinsip pokok tentang memercayai Allah dan bekerja untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. Dengan mengingat evaluasi kita tentang Yakobus 2:14-26, kita akan melanjutkan dengan perspektif bahwa penerapan-penerapan ini adalah hasil/akibat dari beriman dalam Kristus, yang berlaku pada zaman Yakobus dan menjadi pelajaran pada zaman kita.
Menjinakkan Lidah (Yakobus 3:1-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYakobus menindaklanjuti penerapan praktisnya tentang mendengarkan (lihat Yakobus 1:19-21) dengan nasihat senada tentang berkata-kata. Di sini ia memakai kata-kata yang paling menohok dalam kitab itu. “Lidah pun adalah api. Lidah merupakan suatu dunia kejahatan di antara anggota-anggota tubuh kita; sesuatu yang menodai seluruh tubuh dan membakar roda kehidupan kita, sedangkan lidah itu sendiri dibakar oleh api neraka. . . . Ia tidak terkuasai, jahat dan penuh racun mematikan” (Yakobus 3:6, 8). Yakobus pasti tahu betul amsal-amsal Perjanjian Lama yang berbicara tentang kuasa lidah yang memberi-hidup (seperti Amsal 12:18, “Ada orang yang mulutnya lancang seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan”), dan ia juga menyadari kekuatan lidah yang bisa mematikan. Banyak orang Kristen sangat berhati-hati agar tidak menyakiti orang lain dengan kata-kata kasar di gereja. Bukankah kita seharusnya juga sama berhati-hatinya di tempat kerja agar tidak “mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah”? (Yakobus 3:9, merujuk pada Kejadian 1:26–27). Gosip, fitnah, pelecehan, olok-olok dalam persaingan—siapa yang tak pernah terluka oleh kata-kata kasar di tempat kerja, dan siapa yang tak pernah menyakiti orang lain?
Ambisi Egois dan Ketundukan pada Allah (Yakobus 3:13 -4:12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYakobus 3:14 - 4:12 juga menggunakan sepasang prinsip tentang percaya pada Allah dan melayani orang lain yang membutuhkan. Seperti biasa, Yakobus memakainya dengan urutan terbalik, dengan membahas pelayanan lebih dulu dan baru kemudian kepercayaan. Dalam hal ini, Yakobus memulai dengan nasihat tentang ambisi yang egois (keinginan/hawa nafsu yang hanya untuk memuaskan diri sendiri), disusul dengan nasihat untuk tunduk pada Allah.
Ambisi Yang Egois (Yakobus 3:13 - 4:12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAmbisi yang Egois adalah Hambatan dalam Membawa Damai (Yakobus 3:16 - 4:11)
Ambisi yang egois (hawa nafsu untuk memuaskan keinginan sendiri) adalah kebalikan dari melayani kebutuhan orang lain. Bagian ini diringkas dengan tepat di Yakobus 3:16: “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.” Yakobus menyoroti tindakan tertentu yang mengalahkan ambisi yang egois: membawa damai.[1] “Buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang membawa damai” (Yakobus 3:18). Dengan cara yang khas, ia lalu mengaitkannya dengan dunia kerja—dalam hal ini buah yang dihasilkan—untuk menyampaikan maksudnya. Ia menyebutkan beberapa hal tentang membawa damai: berduka atas kemalangan yang kita timbulkan pada orang lain (Yakobus 4:9), merendahkan diri (Yakobus 4:10), tidak memfitnah, menuduh dan menghakimi (Yakobus 4:11), penuh belas kasihan dan tulus ikhlas (Yakobus 3:17). Semua ini dapat dan harus dilakukan orang Kristen di tempat kerja.
Ambisi Yang Egois Diatasi dengan Ketundukan pada Allah (Yakobus 4:2–5)
Ambisi yang egois menimbulkan pertengkaran dan perkelahian di dalam komunitas Kristen, dan Yakobus berkata penyebab dasarnya adalah karena mereka tidak bersandar pada Allah. “Kamu mengingini sesuatu tetapi tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh. Kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah meminta, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu” (Yakobus 4:2-3). Kita tidak bersandar pada Allah ketika kita bahkan tidak meminta yang kita butuhkan kepada-Nya. Yang menarik, alasan kita tidak bersandar pada Allah adalah karena kita ingin memuaskan kesenangan kita sendiri daripada melayani orang lain. Ini membuat kedua prinsip menjadi satu kesatuan yang menyatu. Yakobus mengibaratkannya sebagai persahabatan/perselingkuhan dengan dunia, yang artinya godaan untuk percaya bahwa kita bisa mendapatkan kekayaan dan kesenangan di dunia tanpa Allah (Yakobus 4:4-5).[2]
Berinvestasi pada Orang Lain (Yakobus 4:1-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun Yakobus memakai gambaran tentang perzinahan, ia sedang berbicara tentang ambisi egois secara umum. Di tempat kerja, salah satu godaannya adalah memanfaatkan orang lain sebagai batu loncatan untuk kesuksesan kita sendiri. Ketika kita mencuri penghargaan atas pekerjaan seorang bawahan atau rekan kerja, ketika kita menyembunyikan informasi dari saingan kita tentang promosi, ketika kita melemparkan kesalahan kepada orang yang tidak ada di tempat untuk membela diri, ketika kita memanfaatkan situasi orang yang sedang kesulitan, kita bersalah karena ambisi yang egois. Yakobus benar bahwa ini adalah sumber utama segala pertengkaran. Ironisnya, ambisi yang egois justru bisa menghambat kesuksesan, bukan memuluskannya. Semakin tinggi posisi kita dalam organisasi, semakin kita bergantung pada orang lain untuk sukses. Ketergantungan ini bisa sesederhana mendelegasikan tugas kepada bawahan, maupun serumit mengkoordinir tim proyek internasional. Namun, jika kita punya reputasi menginjak orang lain untuk maju, bagaimana kita bisa berharap orang lain akan memercayai dan mengikuti kepemimpinan kita?
Solusinya ada pada ketundukan kepada Allah, yang menciptakan semua manusia menurut gambar-Nya (Kejadian 1:27) dan yang mengutus Anak-Nya untuk mati bagi semua orang (2 Korintus 5:14). Kita tunduk pada Allah setiap kali kita menyerahkan ambisi kita untuk melayani orang lain daripada memuaskan diri kita sendiri. Apakah kita ingin meningkatkan posisi otoritas dan keunggulan? Bagus, kalau begitu kita harus mulai dengan menolong pekerja lain meningkatkan otoritas dan keunggulan mereka. Apakah kesuksesan memotivasi kita? Bagus, kalau begitu kita harus berinvestasi pada kesuksesan orang-orang di sekitar kita. Ironisnya, berinvestasi pada kesuksesan orang lain ternyata juga bisa menjadi hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk diri kita sendiri. Menurut pakar ekonomi Elizabeth Dunn dari Universitas British Columbia dan Michael Norton dari Sekolah Bisnis Harvard, berinvestasi pada orang lain membuat kita lebih bahagia daripada menghabiskan uang untuk diri sendiri.[1]
Prakiraan Bisnis (Yakobus 4:13-17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYakobus beralih ke satu penerapan baru saat ia memberi peringatan khusus tentang prakiraan bisnis.[1] Agak tidak seperti biasanya, ia lebih dulu berfokus pada prinsip memercayai Allah. Ia mengawali dengan kata-kata yang membangkitkan kesadaran: “Jadi, sekarang kamu yang berkata, 'Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung,' sedangkan kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap” (Yakobus 4:13-14). Mungkin sepertinya Yakobus menyalahkan perencanaan bisnis jangka pendek. Namun, perencanaan ke depan bukanlah fokus perhatiannya. Menganggap diri kita bisa mengendalikan yang akan terjadi itulah yang menjadi keprihatinannya.
Ayat berikutnya membantu kita memahami maksud Yakobus yang sebenarnya: “Sebenarnya kamu harus berkata, ‘Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu’.” (Yakobus 4:15). Masalahnya bukanlah perencanaan; tetapi merencanakan seolah-olah masa depan ada di tangan kita. Kita bertanggung jawab menggunakan dengan bijak sumber daya, kemampuan, koneksi, dan waktu yang diberikan Allah pada kita. Namun, kita tak mengendalikan hasilnya. Banyak bisnis sangat menyadari betapa tak dapat diprediksinya hasil yang didapat, meskipun perencanaan dan pelaksanaan terbaik sudah diupayakan. Laporan tahunan semua perusahaan dagang publik akan menonjolkan bagian risiko-risiko yang dihadapi perusahaan secara rinci, yang seringkali sampai sepuluh atau dua puluh halaman. Pernyataan-pernyataan seperti “Harga saham kami bisa berfluktuasi berdasarkan faktor-faktor yang di luar kendali kami” menunjukkan dengan jelas bahwa perusahaan-perusahaan sekuler sangat peka terhadap ketidakpastian yang dibicarakan Yakobus.
Lalu mengapa Yakobus harus memperingatkan orang percaya tentang hal yang sudah dipahami dengan baik oleh bisnis-bisnis umum? Mungkin karena orang percaya kadang suka berfantasi sendiri bahwa mengikut Kristus akan membuat mereka kebal terhadap ketidakpastian hidup dan kerja. Ini salah. Perkataan Yakobus justru seharusnya membuat orang Kristen makin menyadari akan perlunya evaluasi-ulang, penyesuaian dan penyelarasan terus-menerus. Perencanaan kita harus fleksibel dan pelaksanaannya harus responsif terhadap keadaan yang berubah. Di satu sisi, ini hanyalah soal penyelenggaraan bisnis yang baik. Namun, dalam arti yang lebih mendalam, ini adalah masalah rohani, karena kita bukan saja perlu memerhatikan kondisi pasar, tetapi juga pimpinan Allah dalam pekerjaan kita. Hal ini membawa kita kembali kepada nasihat Yakobus tentang mendengarkan dengan penuh perhatian. Kepemimpinan Kristen tidak meliputi memaksa orang lain untuk mengikuti segala rencana dan tindakan kita, tetapi menyelaraskan diri kita dengan firman Allah dan pimpinan-Nya yang dinyatakan dalam hidup kita.
Penindasan terhadap Pekerja (Yakobus 5:1-6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYakobus kembali kepada prinsip bahwa bekerja harus melayani kebutuhan orang lain. Perkataannya di awal pasal 5 sangat pedas. Ia memperingatkan “orang-orang kaya” supaya “menangis dan meratap atas kemalangan yang akan menimpa” (Yakobus 5:1). Meskipun emas di brankas dan jubah di lemari mereka terlihat berkilau seperti biasanya, Yakobus sangat yakin dengan kemalangan yang akan menimpa mereka sehingga ia bisa berbicara seolah-olah kekayaan mereka sudah membusuk: “Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat. Emas dan perakmu sudah berkarat” (Yakobus 5:2-3). Pemuasan diri-sendiri mereka hanya berhasil “menggemukkan” mereka “menjelang hari penyembelihan” (Yakobus 5:5). Hari penyembelihan tampaknya merujuk pada hari ketika Allah menghakimi orang-orang yang Dia panggil untuk memimpin dan memelihara umat-Nya, tetapi mereka malah mengorbankan umat-Nya (Zakharia 11:4-7).
Orang-orang kaya ini dihukum karena cara mereka mendapatkan kekayaan dan juga karena apa yang mereka lakukan (atau tidak mereka lakukan) dengan kekayaan itu setelah mereka mendapatkannya. Yakobus menggaungkan Perjanjian Lama ketika ia mengecam perilaku bisnis mereka yang tidak adil: “Sesungguhnya, upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai ladangmu, berteriak terhadap kamu, dan keluhan mereka yang menyabit panenmu sampai ke telinga Tuhan Semesta Alam” (Yakobus 5:4; lihat Imamat 19:13).[1] Uang yang seharusnya ada di tangan para pekerja malah bertengger di perbendaharaan pemilik lahan. Dan di sanalah uang itu terus disimpan—mereka menimbun kekayaan dan mengabaikan orang-orang yang membutuhkan di sekitar mereka (Yakobus 5:3).
Para pemimpin bisnis harus sangat bersungguh-sungguh dalam membayar pekerja mereka dengan adil. Analisis tentang yang dimaksud dengan upah yang adil tidak tercakup dalam pembahasan ini,[2] tetapi perkataan Yakobus “upah yang kamu tahan dari buruh…” (Yakobus 5:4) menyingkpkan tuduhan tentangs penyalahgunaan kekuasaan di pihak pemilik lahan yang kaya ini. Para pekerja berhak mendapatkan upah, tetapi orang-orang kaya dan berkuasa berusaha membayar mereka tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Orang kaya dan berkuasa sering memiliki cara untuk merusak sistem peradilan dan sangat mudah untuk menjalankan kekuasaan yang tidak adil bahkan tanpa menyadarinya. Penyalahgunaan kekuasaan meliputi penggolongan karyawan yang tidak tepat sebagai kontraktor independen, pencatatan pekerja yang tidak akurat dengan kode keterampilan yang lebih rendah, membayar pekerja perempuan atau kaum minoritas lebih rendah untuk pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan orang lain, memakai anak-anak untuk melakukan pekerjaan yang sangat berbahaya yang tidak mau dilakukan orang dewasa. Penyalahgunaan kekuasaan tidak pernah dapat dimaafkan hanya karena hal itu disebut prosedur standar.
Yakobus juga menyalahkan orang-orang yang “hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya di bumi” (Yakobus 5:5). Hal yang dimaksud dengan hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya juga rumit, tetapi banyak orang Kristen yang dihadapkan pada masalah itu dalam satu dan lain hal. Keprihatinan utama Yakobus di bagian ini adalah kesejahteraan orang miskin, sehingga pertanyaan paling relevan bisa jadi adalah, “Apakah cara hidupku memperbaiki ataukah memperburuk kehidupan orang miskin? Apakah yang kulakukan dengan uang membantu mengangkat orang dari kemiskinan ataukah membuat orang tetap hidup dalam kemiskinan?”
Menantikan Hasil Yang Baik (Yakobus 5:7-20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYakobus menutup suratnya dengan berbagai nasehat tentang kesabaran, kejujuran, doa, pengakuan dosa, dan penyembuhan. Seperti biasa, semua ini mengacu pada prinsip bahwa pekerjaan yang benar harus bermanfaat bagi orang lain atau harus dilakukan dengan bersandar pada Allah, atau keduanya. Dan seperti biasa, Yakobus membuat penerapan langsung pada dunia kerja.
Kesabaran
Yakobus memulai dengan contoh pekerjaan yang menggambarkan kedatangan Kristus yang akan datang: “Karena itu, Saudara-saudara, bersabarlah sampai kedatangan Tuhan. Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya, dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat” (Yakobus 5:7-8). Ia kemudian menggemakan perkataan ini saat mendekati akhir suratnya: “Elia adalah manusia sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa supaya hujan jangan turun, dan hujan pun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan. Lalu ia berdoa lagi dan langit menurunkan hujan dan bumi pun mengeluarkan buahnya” (Yakobus 5:17-18).
Kesabaran dalam bekerja adalah bentuk bersandar pada Allah. Namun, sabar dalam bekerja itu sulit. Pekerjaan dilakukan untuk mendapatkan hasil—jika tidak, itu bukan pekerjaan—dan selalu ada godaan untuk memperoleh hasil tanpa benar-benar melakukan pekerjaan itu. Jika kita berinvestasi untuk menghasilkan uang, bukankah kita ingin menjadi cepat kaya daripada berlama-lama? Mentalitas itu membuat orang tertarik pada “permainan” saham, skema Ponzi, dan mempertaruhkan uang belanja dengan berjudi. Jika kita bekerja untuk dipromosikan, bukankah kita akan memposisikan diri kita lebih baik di mata para atasan kita dengan segala cara yang ada? Hal ini bisa membuat orang melakukan pengkhianatan, mencuri penghargaan orang lain, bergosip, dan menghancurkan tim. Jika kita bekerja untuk memenuhi kuota, mungkinkah kita akan memenuhinya lebih cepat dengan melakukan pekerjaan yang kualitasnya lebih rendah dan menyerahkan berbagai persoalan kepada orang berikutnya dalam rantai produksi? Dan semua ini bukan hanya masalah moralitas pribadi. Sistem produksi yang menghargai kualitas yang buruk sama buruknya atau lebih buruk dari pekerja yang memanfaatkannya.
Kejujuran
“Yang terutama, Saudara-saudaraku, jangan bersumpah demi surga maupun demi bumi, atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakan ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman” (Yakobus 5:12). Bayangkan tempat kerja yang orang-orangnya selalu mengatakan kebenaran - bukan sekadar menjauhi kebohongan, tetapi selalu mengatakan apa pun yang bisa memberi pemahaman paling akurat kepada pendengarnya tentang keadaan sebenarnya. Tidak perlu sumpah-sumpah, tidak perlu klarifikasi-klarifikasi yang berlaku surut, tidak perlu persyaratan kontrak yang menjelaskan siapa akan mendapat apa dalam kasus salah-saji atau kecurangan. Bayangkan jika para penjual selalu memberikan data informasi yang selengkap-lengkapnya tentang produknya, kontrak-kontrak selalu jelas bagi semua pihak, dan para atasan selalu memberikan penghargaan yang tepat kepada bawahannya. Bayangkan jika kita selalu memberi jawaban-jawaban yang memberikan gambaran seakurat mungkin, bukan yang diam-diam menyembunyikan informasi yang tidak menyenangkan tentang pekerjaan kita. Bisakah kita sukses dalam pekerjaan atau karier kita saat ini? Bisakah kita berhasil jika semua orang jujur maksimal? Apakah kita perlu mengubah definisi kita tentang kesuksesan?[1]
Doa
Yakobus kembali kepada prinsip bersandar pada Allah dalam pembahasannya tentang doa. “Kalau ada seseorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa” (Yakobus 5:13). “Apabila di antara kamu ada yang kurang berhikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah” (Yakobus 1:5). Yakobus mengajak kita untuk berbicara spesifik dengan Allah. “Ya Allah, aku tidak tahu bagaimana menangani kegagalan produksi ini, dan aku perlu pertolongan-Mu sebelum aku menghadap atasanku.” Allah sanggup melakukan yang kita perlukan, meskipun Dia tidak berjanji akan menjawab setiap doa persis seperti yang kita harapkan. Banyak orang Kristen tampaknya agak enggan untuk berdoa tentang hal-hal, situasi-situasi, orang-orang, kebutuhan-kebutuhan, ketakutan-ketakutan, dan masalah-masalah spesifik yang kita jumpai setiap hari di tempat kerja. Kita melupakan nasihat Yakobus untuk meminta pimpinan dan bahkan hasil yang spesifik. Percayalah, kata Yakobus, maka Allah akan menjawab kita dalam situasi kehidupan nyata. “Mintalah kepada Allah yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati tanpa mencela, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Yakobus 1:5).
Pengakuan Dosa dan Penyembuhan
Yakobus mendorong kita untuk saling mengaku dosa, supaya kita sembuh (Yakobus 5:16). Perkataan paling menarik untuk dunia kerja adalah “saling/kepada satu sama lain.” Asumsinya manusia berdosa kepada satu sama lain, bukan hanya kepada Allah, dan di tempat kerja hal itu pasti terjadi. Kita menghadapi tekanan sehari-hari untuk menunjukkan hasil produksi dan kinerja, dan kita memiliki waktu yang terbatas untuk bekerja, sehingga kita sering bekerja tanpa mendengarkan, menyingkirkan orang-orang yang tidak sependapat, bersaing secara tidak adil, memonopoli sumber daya, meninggalkan kekacauan untuk dibereskan orang berikutnya, dan melampiaskan frustrasi kita pada rekan kerja. Kita melukai dan dilukai. Satu-satunya cara untuk sembuh adalah dengan saling mengaku dosa kepada satu sama lain. Jika seseorang baru saja menolak promosi rekan kerjanya dengan mengkritik kinerjanya secara tidak akurat, orang yang melakukan kesalahan itu perlu mengakuinya kepada orang yang dilukai di tempat kerja itu, bukan hanya kepada Tuhan pada waktu berdoa pribadi. Orang yang bersalah itu mungkin juga perlu mengakuinya di hadapan seluruh anggota departemen, jika ia benar-benar ingin menyembuhkan luka itu.
Apa motivasi kita dalam pengakuan dosa dan penyembuhan? Agar kita dapat melayani kebutuhan orang lain. “Siapa pun yang membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut” (Yakobus 5:20; penekanan pada yang dicetak miring). Menyelamatkan jiwa orang dari maut adalah melayani kebutuhan yang sangat mendalam! Dan bisa jadi —karena kita semua adalah orang berdosa— orang lain akan menyelamatkan jiwa kita dari maut dengan mengembalikan kita dari jalan kita yang sesat.
Surat 1 Petrus: Melayani Dunia Sebagai Imam Pendatang
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMenulis kepada sekelompok orang Kristen yang difitnah, mendapat tuduhan palsu, dan bahkan dianiaya secara fisik karena kesetiaan mereka pada Yesus (1 Petrus 2:12,18-20; 3:13-17; 4:4,14,19), Petrus menjelaskan bahwa orang Kristen dipanggil untuk mengubah penderitaan mereka menjadi pelayanan bagi dunia. Kristus memanggil kita untuk mengikut Dia di dunia yang tidak mengenal Dia. Kita adalah pendatang di negeri asing ini, yang belum menjadi rumah kita yang sebenarnya. Oleh karena itu, kita pasti akan mengalami “berbagai pencobaan” (1 Petrus 1:6). Namun, kita bukanlah para korban di dunia ini, kita adalah para pelayan bagi dunia—“imamat yang kudus” seperti dikatakan Petrus (1 Petrus 2:5)—yang membawa berkat-berkat Allah kepada dunia. Jadi, tugas orang Kristen adalah tinggal di negeri asing ini, memberkatinya sampai Kristus datang kembali dan memasukkan wilayah ini ke dalam kerajaan-Nya.
Pendatang dan Imamat Yang Rajani (1 Petrus 1:1 - 2:12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam kalimat pembukaan suratnya, Petrus menyebut pembacanya sebagai “orang-orang pendatang yang tersebar . . . yang terpilih” (1 Petrus 1:1), frasa yang memberi gambaran tentang pesan Petrus secara keseluruhan. Frasa ini memiliki dua bagian, “para pendatang” dan “terpilih.”
Jika Anda warga kerajaan Kristus, Anda orang asing/pendatang, karena pada saat ini dunia sekitar Anda tidak berada di bawah pemerintahan Kristus. Anda hidup di bawah pemerintahan asing. Sementara Anda menantikan kedatangan Kristus kembali, kewarganegaraan Anda yang sebenarnya di dalam kerajaan-Nya “tersimpan di surga” (1 Petrus 1:4). Seperti pendatang di negara mana pun, Anda tidak selalu menikmati kebaikan dari para penguasa negeri tempat Anda tinggal. Kristus sendiri sudah datang ke negeri ini tetapi Dia “ditolak/dibuang oleh manusia” (1 Petrus 2:4), dan semua warga kerajaan-Nya bisa dikatakan akan mengalami perlakuan yang sama. Meskipun demikian, Allah memanggil kita untuk tinggal di sini, menetap di negeri asing ini sambil melakukan pekerjaan Kristus (1 Petrus 1:15-17).
Meskipun ditulis dalam metafora politis, pembicaraan Petrus senada dengan terminologi kerja: “perbuatan” (1 Petrus 1:17), “perak atau emas” (1 Petrus 1:18), “diuji dengan api” (1 Petrus 1:7), “menyucikan diri” (1 Petrus 1:22), dan “pembangunan . . . rumah” (1 Petrus 2:5). Istilah-istilah kerja Petrus ini mengingatkan kita bahwa kita hidup di dunia kerja, dan kita harus berusaha mengikut Kristus di tengah dunia kerja sekitar kita.
Setelah menjelaskan arti sebagai “pendatang,” Petrus memakai istilah lainnya dari 1 Petrus 1:1—”terpilih.” Jika Anda orang Kristen, Anda sudah dipilih Allah. Untuk tujuan apa? Untuk menjadi imam Allah di negara asing yang Anda diami. “Biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, menjadi imamat kudus untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah” (1 Petrus 2:5). Jabatan imam, atau “imamat yang rajani” disebutkan lagi di 1 Petrus 2:9.
Imam di Israel Kuno Membawa Kurban Persembahan dan Berkat bagi Israel
Sebelum melanjutkan, kita perlu memahami apa artinya menjadi imam di Israel kuno. Para imam menjalankan dua peran utama: mempersembahkan kurban di Bait Suci Yerusalem, dan mengucapkan berkat imam.[1] Untuk melaksanakan tugas mempersembahkan kurban, para imam harus dapat memasuki bagian-bagian dalam Bait Suci dan—setahun sekali, bagi imam besar—berdiri di Ruang Mahakudus di hadapan hadirat ilahi. Untuk mengucapkan berkat imam, para imam harus berbicara atas nama Allah sendiri. Kedua tugas ini mengharuskan para imam memasuki hadirat Allah, yang memerlukan pengudusan atau penyucian diri yang serius, karena hadirat Allah tidak bisa berada di dekat apa pun yang tidak kudus atau cemar.[2] Namun, para imam melayani paruh waktu berdasarkan sistem giliran (Lukas 1:8) dan memiliki pekerjaan biasa sebagai mata pencaharian utama. Mereka tidak dapat mengasingkan diri dari kehidupan sehari-hari, tetapi mereka harus menjaga kekudusan di tengah dunia yang kotor dan bobrok. (Klik di sini untuk informasi lebih lanjut tentang para imam di Israel kuno dalam Kitab Bilangan dan Kerja).
Orang Kristen sebagai Imam Yang Membawa Persembahan-Diri dan Berkat bagi Orang Lain yang Membutuhkan
Jadi, dengan Petrus menyebut orang Kristen sebagai “imamat kudus” (1 Petrus 2:5) dan “imamat yang rajani” (1 Petrus 2:9) tidak berarti semua orang Kristen harus menganggap dirinya sebagai pendeta profesional. Ini juga tidak berarti bahwa menjadi penginjil atau misionaris adalah cara termulia orang-orang terpilih dalam memenuhi panggilan Allah. Namun, ini berarti, orang Kristen harus menjalani kehidupan yang benar-benar kudus di tengah apa pun yang menjadi mata pencaharian kita. Hanya dengan cara ini kita bisa membawa persembahan kepada Allah dan berkat dari Allah untuk kebaikan orang-orang di sekitar kita.
Petrus menyatakan hal ini dengan jelas sekali: “Saudara-saudaraku yang terkasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa. Milikilah cara hidup yang baik di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai pelaku kejahatan, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatamu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka” (1 Petrus 2:11-12). (Perhatikan hal memuliakan hadirat Allah “pada hari Ia melawat/datang untuk menghakimi mereka”).
Tentu saja orang Kristen tidak melakukan pengorbanan/persembahan kurban yang sama seperti yang dilakukan imam-imam Yahudi (kita tidak menyembelih hewan). Namun, kita melakukan pengorbanan/membawa persembahan seperti yang dilakukan Tuhan kita: pengorbanan/ persembahan diri untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. “Untuk itulah kamu dipanggil,” kata Petrus, “karena Kristus pun telah menderita untuk kamu, dan telah meniggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Petrus 2:21). Ini tidak boleh diartikan secara harfiah sebagai mati di kayu salib, tetapi harus dipahami sebagai “persembahan rohani” (1 Petrus 2:5)—yang berarti perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan mengorbankan diri untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan (1 Petrus 4:10). Tempat kerja kita memberi berbagai kesempatan untuk melakukan persembahan diri setiap hari – yang kecil atau pun besar.
Penelitian singkat dari 1 Petrus 1:3 - 2:10 ini melengkapi gambaran yang diberikan Petrus ketika ia menyebut pembacanya sebagai “pendatang . . . yang terpilih.” Istilah “pendatang” berarti kita menjalani panggilan ini sebagai orang asing yang tinggal di negeri yang belum menjadi rumah kita—tempat yang saat ini dicirikan dengan ketidakadilan dan kerusakan sistemik. Istilah “terpilih” menunjukkan bahwa para pengikut Yesus— “imamat yang rajani”—memiliki panggilan seorang imam untuk menjadi berkat bagi dunia, terutama melalui pengorbanan/ persembahan diri.
Menderita di bawah Para Penguasa Dunia (1 Petrus 2:13 - 4:19)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSeperti apa jadinya jika orang Kristen memenuhi panggilan sebagai orang asing dan imam di lingkungan kerja? Petrus menyebutkan hal ini dengan sangat jelas dalam nasihatnya kepada pembacanya yang merupakan para pendatang/orang asing dan budak. Sebagai pendatang, kita harus menghormati dan tunduk pada pemerintahan sipil negara mana pun tempat kita berada (1 Petrus 2:13-14), meskipun kewarganegaraan kita di dalam kerajaan Allah memberi kita hak untuk hidup sebagai “orang merdeka.” (1 Petrus 2:16). Sebagai budak—yang tampaknya merupakan segmen terbesar pembaca surat Petrus, karena ia tidak menyebut kelompok pekerja yang lain—kita harus tunduk pada tuan/majikan kita, entah mereka memperlakukan kita dengan adil atau tidak (1 Petrus 2:18-19). Sesungguhnya, kita bisa saja menerima perlakuan yang tidak adil (1 Petrus 4:12), dan ini memberi kita kesempatan untuk mengikuti jejak Kristus dengan menderita tanpa membalas (1 Petrus 2:21). Perhatikan bahwa Petrus sedang berbicara tentang menderita akibat ketidakadilan, bukan menderita akibat ketidakmampuan, kesombongan, atau ketidaktahuan kita sendiri. Tentu saja kita juga harus menderita dengan taat ketika menerima hukuman yang adil.
Secara praktisnya, Anda tidak boleh tidak menaati orang-orang yang berotoritas sekalipun untuk mendapatkan yang Anda pikir merupakan hak Anda. Anda pasti akan mendapati diri Anda berada dalam situasi-situasi tidak mendapatkan yang berhak Anda dapatkan—promosi, kenaikan gaji, atau fasilitas kantor dengan jendela, jaminan perawatan kesehatan yang layak. Anda bahkan mungkin akan mendapati majikan Anda terus saja mencurangi Anda, memaksa Anda untuk bekerja lembur, atau menghukum Anda atas kesalahan atasan Anda. Mungkin tampaknya etis jika Anda juga mencurangi majikan Anda sekadar untuk membalas kecurangannya terhadap Anda—dengan mengajukan izin sakit padahal Anda tidak sakit, membebankan biaya barang-barang keperluan pribadi kepada perusahaan, mencuri perlengkapan kantor atau “bermain-main” dengan waktu perusahaan. Namun, tidak, “Lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat” (1 Petrus 3:17). Allah tidak memberi Anda opsi untuk merebut kembali yang diambil dari Anda dengan tidak benar. Fakta bahwa Anda berbohong atau mencurangi seseorang untuk membalas kebohongan atau kecurangannya tidak akan mengurangi kejahatan tindakan Anda. Panggilan Anda adalah untuk melakukan yang benar, sekalipun di lingkungan kerja yang tidak bersahabat (1 Petrus 2:20). “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki” (1 Petrus 3:9). Sebaliknya, orang Kristen harus memperlakukan orang-orang yang berotoritas—bahkan tuan yang kejam dan tidak adil—dengan sopan dan hormat.
Mengapa? Karena panggilan kita sebagai imam adalah untuk memberkati orang lain, dan kita tidak dapat menjadi berkat dengan membela diri, sama seperti Kristus tidak dapat mati untuk keselamatan dunia dengan mempertahankan diri-Nya (1 Petrus 2:21-25). Kristus, tentu saja, tidak takut menggunakan kekuasaan dan menantang para penguasa dalam situasi tertentu, dan Petrus di sini bukan sedang merekap seluruh Injil. Bagian-bagian lain Alkitab—khususnya kitab para Nabi—menekankan panggilan Allah untuk menentang penguasa yang menindas dan tidak benar. Dan ketundukan tidak selalu berarti patuh. Kita bisa tunduk pada otoritas dengan tidak patuh secara terbuka dan menerima konsekuensinya, seperti yang dilakukan Yesus sendiri. Di sini dan di sepanjang suratnya, Petrus hampir selalu memakai pengorbanan-diri Kristus sebagai teladan.
Nasihat untuk Pemimpin dan Pengikut (1 Petrus 5)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPetrus lalu memberi nasihat kepada para pemimpin gereja yang disebut “penatua” (“majelis” atau “uskup” – bentukan kata Yunani dalam istilah Anglikan, yang digunakan di banyak gereja saat ini). Nasihat ini juga baik untuk para pemimpin di tempat kerja. Nasihat ini berfokus pada melayani orang lain. “Gembalakanlah kawanan domba Allah . . . dengan sukarela [dan] dengan pengabdian diri” (1 Petrus 5:2). Jangan serakah dengan uang/ mau mencari keuntungan (1 Petrus 5:2). Jangan suka memerintah/ mau menjadi tuan atas orang lain, tetapi jadilah teladan untuk ditiru orang lain (1 Petrus 5:3). Petrus memberi nasihat kerendahan hati kepada orang-orang muda —bahkan kepada semua orang—ketika ia mengutip Amsal 3:34, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi memberi anugerah kepada orang yang rendah hati” (1 Petrus 5:5). Nasihat-nasihat ini tidak hanya ada di surat 1 Petrus, dan kita tidak akan membahasnya panjang lebar di sini. Cukup kita ingat saja bahwa konsep kepemimpinan yang melayani, yang diperkenalkan secara luas di dunia kerja saat ini, sudah dikenal baik oleh Petrus. Bagaimana tidak, karena Yesus adalah Pemimpin yang melayani yang paling teladan (1 Petrus 4:1-2,6)?
Surat 2 Petrus: Kerja dan Ciptaan Baru
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat 2 Petrus meneguhkan banyak tema yang kita temukan dalam surat Yakobus dan 1 Petrus tentang perlunya hidup kudus dan sabar dalam penderitaan. Kita tidak akan membahas hal-hal ini lagi, tetapi kita hanya akan membahas pasal 3, yang merupakan tantangan besar bagi teologi kerja. Jika “langit dan bumi yang sekarang ini dipelihara untuk api dan disimpan untuk hari penghakiman dan kebinasaan orang-orang fasik” (2 Petrus 3:7), lalu apa artinya kerja kita di dunia sekarang ini? Meminjam judul buku Darrell Cosden yang penting, What is the heavenly good of earthly work? (Apa manfaat surgawi dari pekerjaan duniawi?)[1]
Akhir Dunia dan Akhir Kerja? (2 Petrus 3:1-18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiApakah kerja kita di dunia penting bagi Allah? Darrell Cosden memberi jawaban “ya” yang mantap atas pertanyaan itu. Inti penjelasannya adalah kebangkitan tubuh Yesus, yang (1) menyatakan kebaikan dunia materi, (2) menunjukkan ada kontinuitas antara dunia yang sekarang ini dengan dunia ciptaan baru,[1]
an (3) merupakan tanda bahwa dunia ciptaan baru, meskipun belum sepenuhnya terealisasi, telah dimulai. Pekerjaan kita sangatlah berharga karena buah-buah pekerjaan kita, setelah ditebus dan diubahkan, akan mendapat tempat di surga. Namun, pasal 3 tampaknya mempermasalahkan dua aspek integral teologi kerja Cosden: (1) kebaikan yang melekat pada hal yang diciptakan, dan (2) kontinuitas antara dunia yang sekarang ini dengan dunia yang akan datang, ciptaan baru.
Di sini Petrus sedang merespons pengejek-pengejek yang mengingkari-firman, yang berkata bahwa Allah tidak ikut campur dalam sejarah untuk menghakimi kejahatan (2 Petrus 3:3-4). Ia tampaknya menggambarkan masa yang akan datang itu tidak ada kontinuitasnya sama sekali dengan dunia yang sekarang ini; malah tampak seperti pemusnahan alam semesta:
“Langit dan bumi yang sekarang ini dipelihara untuk api, dan disimpan untuk hari penghakiman dan kebinasaan orang-orang fasik.” (2 Petrus 3:7)
“Langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus oleh nyala api, dan bumi serta segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap.” (2 Petrus 3:10)
“Segala sesuatu ini akan hancur secara demikian.” (2 Petrus 3:11)
“Langit akan binasa dalam api, dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya.” (2 Petrus 3:12)
Namun, kita tidak boleh terlalu cepat berasumsi bahwa yang dijelaskan di sini benar-benar pemusnahan. [2] Petrus sedang memakai gambaran zaman-akhir yang biasa ditemukan dalam perkataan-perkataan nubuat Perjanjian Lama untuk meyakinkan pembacanya tentang penghakiman Allah yang akan datang. Nabi-nabi Perjanjian Lama dan literatur Yahudi Bait Suci Kedua sering memakai gambaran api untuk merujuk pada pemurnian orang benar maupun pemusnahan segala kejahatan.[3]
Tafsiran tentang 2 Petrus 2:7,10 dan 2 Petrus 3:12 yang sesuai dengan konvensi-konvensi literatur apokaliptik akan memahami gambaran api dan nyala api sebagai metafora untuk proses Allah memisahkan yang baik dari yang jahat.[4] Seperti itulah cara Petrus memakai gambaran api dalam suratnya yang pertama, yang mengingatkan para pembacanya bahwa, seperti emas, mereka juga akan diuji dengan api; orang yang berhasil melalui ujian api ini akan memperoleh pujian dan kehormatan dari Allah (1 Petrus 1:5-7). Ayat-ayat ini tidak menyatakan bahwa langit dan bumi akan benar-benar dimusnahkan, tetapi bahwa segala kejahatan akan benar-benar lenyap atau tidak ada lagi. Demikian pula, Petrus dengan cermat menggambarkan dunia dengan istilah-istilah transformasi (perubahan bentuk) dan proses pengujian: “hancur”, “hangus oleh nyala api”, “penghakiman”, “dipelihara untuk api.” Douglas Moo menunjukkan bahwa kata yang digunakan Petrus untuk “dissolved” (hancur) di 2 Petrus 3:10-12, luō, tidak berarti pemusnahan, tetapi berbicara tentang perubahan radikal. Ia berpendapat bahwa terjemahan alternatifnya mungkin “undone” (dibongkar).[5]
Acuan Petrus kepada air bah pada zaman Nuh (2 Petrus 3:5-6) seharusnya memperingatkan kita agar tidak mengartikan “banjir besar” sebagai pemusnahan total. Dunia tidak hilang lenyap, tetapi hanya dibersihkan dari segala kejahatan manusia. Kebaikan manusia—yang terbatas pada Nuh, keluarganya, harta benda mereka, dan pekerjaan mereka merawat binatang-binatang di dalam bahtera—tetap ada/dipelihara, dan kehidupan pun dimulai lagi di bumi ini.
Akhirnya, pandangan positif Petrus tentang masa depan terakhir menggambarkan pembaruan tatanan materi: “Namun, sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran” (2 Petrus 3:13). Ini bukan dunia yang lebih rendah yang lemah dan tanpa tubuh, melainkan dunia baru yang terdiri dari “langit” maupun “bumi.” Di dalam 2 Petrus 3:10 kita membaca bahwa “bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap (disclosed).” Disclosed, bukan destroyed (musnah). Jadi, sekalipun sudah terbakar, “pekerjaan” akan tinggal tetap.
Ini tidak berarti bahwa surat 2 Petrus merupakan sumber utama untuk teologi nilai kekal pekerjaan saat ini, tetapi bahwa hanya surat 2 Petrus yang konsisten dengan teologi semacam itu.[6] Meskipun kita mungkin tidak mendapat informasi sebanyak yang kita inginkan, bagi Petrus jelas ada semacam kontinuitas antara yang kita lakukan di bumi sekarang ini dengan yang akan kita alami di masa yang akan datang. Segala yang jahat akan hilang lenyap sama sekali, tetapi segala yang benar akan menemukan rumah permanen di dalam ciptaan baru. Api tidak hanya menghanguskan, tetapi juga membersihkan. Kehancuran tidak menandakan berakhirnya pekerjaan. Namun, pekerjaan yang dilakukan bagi Allah akan menemukan akhir yang sesungguhnya di langit baru dan bumi baru.
Surat 1 Yohanes: Berjalan Dalam Terang
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun ditulis dalam keadaan yang sangat berbeda dengan Yakobus,[1] 1 Yohanes juga menantang gagasan bahwa iman dapat hidup tanpa “perbuatan”, yaitu tindakan ketaatan kepada Allah. Dalam pasal 2, Yohanes menyatakan bahwa pengetahuan sejati akan Tuhan diwujudkan melalui karakter dan perilaku yang diubahkan, yang dilambangkan dengan ketaatan kepada Tuhan:
Inilah tandanya bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya. Siapa yang berkata, "Aku mengenal Dia," tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. Tetapi siapa yang menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui bahwa kita ada di dalam Dia. Siapa yang mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup. (1Yoh. 2:3–6)
Sekali lagi sesuai dengan Yakobus, 1 Yohanes memandang kepedulian terhadap mereka yang membutuhkan sebagai salah satu ekspresi pengetahuan sejati akan Allah. “Siapa yang mempunyai harta duniawi dan melihat saudara seimannya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” (1Yoh. 3:17). Surat 1 Yohanes membawa kita satu langkah lebih jauh dalam memahami hubungan antara iman dan perbuatan atau, menggunakan istilah Yohanes, antara pengetahuan akan Allah dan ketaatan.
Dengan menggunakan berbagai gambaran, Yohanes menjelaskan bahwa ketaatan kita kepada Allah menunjukkan, dan merupakan hasil dari, suatu realitas sebelumnya yang secara beragam digambarkan sebagai peralihan dari kegelapan menuju terang (1Yoh. 2:8-11), dikasihi oleh Allah (1Yoh. 3 :16; 4:7–10, 16, 19–20), dilahirkan dari Allah atau menjadi anak-anak Allah (1Yoh. 2:29; 3:1–2, 8–9), atau berpindah dari kematian ke kehidupan (1Yoh. 3:14). Menurut Yohanes, kehidupan yang benar pertama-tama dan terutama merupakan suatu hasil dan tanggapan terhadap kasih Allah terhadap kita:
Setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Siapa yang tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. (1Yoh. 4:7–10)
Yohanes menggambarkan hasil dari proses ini sebagai kemampuan untuk “hidup dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang” (1Yoh. 1:7). Kasih Allah melalui pengorbanan penebusan Yesus membawa kita ke dalam keberadaan yang secara kualitatif berbeda, sehingga kita dapat melihat dan berjalan sesuai dengan kehendak Allah bagi hidup kita. Kita tidak hanya menyalakan lampu sesekali. Kita terus berjalan dalam terang, sebagai cara hidup yang baru.
Hal ini memiliki arti penting bagi etika tempat kerja. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan perhatian terhadap “etika kebajikan” setelah sejarah panjang pengabaian pemikiran dan praktik Protestan.[2] Etika kebajikan berfokus pada pembentukan karakter moral jangka panjang, bukan pada perumusan aturan dan penghitungan konsekuensi dari keputusan yang diambil segera. Bukan berarti peraturan atau perintah tidak relevan— “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya” (1Yoh. 5:3)—tetapi pembentukan moral jangka panjang mendasari ketaatan pada peraturan. Pembahasan lengkap berada di luar cakupan pembahasan ini,[3] tetapi konsep Yohanes tentang berjalan dalam terang sebagai cara hidup tentu saja mendukung pendekatan kebajikan. Apa yang kita lakukan (“pekerjaan” kita) tentu saja bersumber dari siapa kita nantinya (kebajikan kita). “Kita mengasihi karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita” (1Yoh. 4:19), dan kita menjadi seperti Dia (1Yoh. 3:2).
Salah satu penerapan spesifik dari metafora cahaya adalah kita harus terbuka dan transparan dalam tindakan kita di tempat kerja. Kita harus menyambut pengawasan atas tindakan kita, ketimbang berusaha menyembunyikan tindakan kita dari sorotan. Kita tidak akan pernah bisa menipu investor, memalsukan catatan kualitas, bergosip tentang rekan kerja, atau meminta suap sambil berjalan dalam terang. Dalam pengertian ini, 1 Yohanes. 1:7 menggemakan Injil Yohanes 3:20-21, “Sebab siapa saja yang berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak tampak; tetapi siapa saja yang melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah."[4]
Misalnya, Rob Smith mengepalai organisasi business-in-mission di Afrika yang membuat perahu untuk digunakan di Danau Victoria. Ia mengatakan ia sering didekati oleh pejabat setempat yang ingin ia membayar suap. Permintaan itu selalu dibuat secara rahasia. Ini bukan pembayaran terbuka dan terdokumentasi, seperti halnya tip atau biaya percepatan untuk layanan yang lebih cepat. Tidak ada kuitansi dan transaksinya tidak dicatat di mana pun. Ia menggunakan Yohanes 3:20–21 sebagai inspirasi untuk memperjelas permintaan ini. Ia akan berkata kepada pejabat yang meminta suap, “Saya tidak tahu banyak tentang pembayaran semacam ini. Saya ingin mengundang duta besar, atau manajemen, untuk mendokumentasikan hal ini.” Ia menganggap ini sebagai strategi yang berguna dalam berurusan dengan suap. Meskipun penyuapan diyakini secara luas sebagai cara yang efektif—walaupun tidak etis—untuk meningkatkan pangsa pasar dan keuntungan, penelitian yang dilakukan oleh George Serafeim di Harvard Business School menunjukkan bahwa membayar suap sebenarnya menurunkan kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang.[5]
Terkait hal ini, 1 Yohanes menggarisbawahi bahwa kita tidak memerlukan pekerjaan penuh waktu dalam pelayanan untuk melakukan pekerjaan yang berarti dalam kerajaan Allah. Meskipun kebanyakan orang Kristen tidak mempunyai pekerjaan yang membuat mereka dibayar untuk melakukan apa yang disebut sebagai tugas “rohani”, yaitu berkhotbah dan penginjilan, semua orang Kristen dapat berjalan dalam terang dengan menaati Allah dalam tindakan mereka (1Yoh. 3:18-19, 24). Semua tindakan tersebut berasal dari kasih Allah sebelumnya, dan oleh karena itu sangat spiritual dan bermakna. Karenanya, pekerjaan non-gerejawi mempunyai nilai, bukan hanya karena ini adalah tempat di mana Anda bisa mendapatkan kesempatan untuk menginjili, atau karena gaji yang Anda peroleh dapat digunakan untuk mendanai misi, tetapi karena ini adalah tempat di mana Anda dapat mewujudkan persekutuan dengan Kristus dengan melayani sesama di sekitar Anda. Bekerja adalah cara yang sangat praktis untuk mencintai sesama Anda, karena bekerja adalah tempat Anda menciptakan produk dan layanan yang memenuhi kebutuhan orang-orang baik yang dekat maupun yang jauh. Bekerja adalah panggilan spiritual.
Dalam pengertian ini, surat 1 Yohanes membawa kita kembali ke surat Yakobus. Keduanya menekankan bahwa tindakan ketaatan merupakan bagian integral dalam kehidupan Kristen, dan menunjukkan bagaimana hal ini diperhitungkan dalam teologi kerja. Kita mampu menaati Allah, di tempat kerja dan di mana pun, karena kita menjadi seperti Kristus, yang menyerahkan nyawa-Nya demi kepentingan sesama yang membutuhkan.
Surat 2 Yohanes dan Kerja
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat Yohanes yang Kedua cocok dengan kerangka keseluruhan Surat-surat Umum, sambil menawarkan wawasannya sendiri mengenai kehidupan dan karya dalam Kristus. Surat ini singkat, tapi penuh dengan instruksi praktis.
Kejujuran dan Mengucapkan Kebenaran dalam Kasih (2Yoh. 1-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKebenaran dan Kasih di Tempat Kerja (2Yoh. 1–6)
Masing-masing surat Yohanes dikenal menyatukan konsep “kebenaran” dan “kasih” menjadi satu gagasan (1Yoh. 3:18; 2Yoh. 1, 3; 3Yoh. 3). Di sini, dalam 2 Yohanes, kita menemukan pengembangan paling luas dari gagasan ini.
Anugerah, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa, akan menyertai kita dalam kebenaran dan kasih. Aku sangat bersukacita karena mendapati bahwa sebagian dari anak-anakmu hidup dalam kebenaran sesuai dengan perintah yang telah kita terima dari Bapa. Dan sekarang aku minta kepadamu, Ibu — bukan seolah-olah aku menuliskan perintah baru bagimu, tetapi menurut perintah yang sudah ada pada kita sejak semula — supaya kita saling mengasihi. (2Yoh. 3–5)
Menurut Yohanes, kasih plus kebenaran sama dengan suatu lingkungan di mana “anugerah, rahmat dan damai sejahtera menyertai kita.”
Sayangnya, kita sering bertindak seolah-olah anugerah, rahmat dan damai sejahtera bergantung pada kasih tanpa kebenaran. Kita mungkin menyembunyikan atau menutupi kebenaran yang tidak menyenangkan dalam komunikasi kita dengan orang lain di tempat kerja dengan keyakinan keliru bahwa mengatakan kebenaran berarti tidak mengasihi. Atau kita mungkin takut bahwa mengatakan kebenaran akan menimbulkan konflik atau niat buruk, ketimbang anugerah atau damai sejahtera. Karena berpikir bahwa kita berbelas kasihan, kita gagal mengungkapkan kebenaran.
Namun, kasih harus selalu dimulai dengan kebenaran. Kasih datang kepada kita melalui Kristus, dan Kristus adalah perwujudan sempurna dari kebenaran Allah. Artinya, Allah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dan Dia membungkus pengetahuan-Nya dalam kasih dan menyampaikannya kepada kita melalui Putra-Nya. Jadi, jika kita ingin mengasihi sebagaimana Allah mengasihi, kita harus memulainya dengan kebenaran, bukan dengan kepalsuan, penghindaran, atau dongeng. Memang benar bahwa mengatakan kebenaran dapat menimbulkan konflik atau perasaan kesal—baik perasaan kita sendiri maupun orang lain. Namun, anugerah, rahmat, dan damai sejahtera yang sejati berasal dari menghadapi kenyataan dan menempuh kesulitan hingga mencapai resolusi yang tulus.
Jack Welch, mantan CEO General Electric (AS), adalah sosok yang kontroversial karena praktiknya dalam memberikan ulasan kinerja yang jujur dan jujur. Ia memberi tahu karyawannya setiap bulan seberapa baik mereka memenuhi perkiraan. Setahun sekali ia memberi tahu mereka apakah mereka adalah pekerja dengan kinerja terbaik, kinerja menengah yang perlu ditingkatkan dalam bidang tertentu, atau kinerja terbawah yang berada dalam bahaya kehilangan pekerjaan.[1] Beberapa orang mungkin menganggapnya kasar, tetapi Welch menganggapnya sebagai mengasihi:
Saya menyadari bahwa manajer yang paling buruk adalah manajer yang melakukan kebaikan palsu. Saya memberi tahu orang-orang, Anda pikir Anda adalah manajer yang baik, bahwa Anda adalah manajer yang baik hati? Anda tahu tidak? Anda tidak akan berada di sana suatu hari nanti. Anda akan dipromosikan. Atau Anda akan pensiun. Dan manajer baru akan datang dan melihat karyawan tersebut dan berkata, "Hei, kerjamu tidak bagus." Dan tiba-tiba, karyawan ini sekarang berusia lima puluh tiga atau lima puluh lima tahun, dengan pilihan hidup yang jauh lebih sedikit. Dan sekarang Anda akan memberitahunya, "Pulanglah"? Bagaimana hal itu bisa disebut baik hati? Anda adalah tipe manajer yang paling kejam.[2]
Harga dari Kejujuran (2Yoh. 7–11)
“Banyak penyesat telah muncul,” Yohanes mengingatkan kita (2Yoh. 7), dan mengatakan kebenaran dapat membawa kita ke dalam konflik dengan mereka yang mendapat manfaat dari tipu daya. Apakah kita memilih untuk mengatakan kebenaran meskipun ada oposisi, atau apakah kita ikut serta dalam tipu daya? Jika kita memilih untuk menipu, paling tidak kita harus mengakui bahwa kita bukan lagi orang yang jujur. (Lihat “Jangan Memberikan Kesaksian Palsu Terhadap Sesamamu” dalam Ulangan 5:20; Keluaran 20:16 di https://www.teologikerja.org/ untuk informasi lebih lanjut mengenai topik ini.)
Ed Moy, yang kemudian menjadi kepala U.S. Mint, menceritakan kisah pekerjaan pertamanya setelah lulus kuliah. Ketika ia mulai bekerja, ia harus mengisi laporan pengeluaran untuk penggunaan mobil perusahaannya, mengidentifikasi penggunaan mobil untuk keperluan pribadinya dan memisahkannya dari penggunaan perusahaannya. Praktik yang dilakukan di kantor selama ini adalah mencantumkan penggunaan pribadi hanya untuk perjalanan dari rumah ke tempat kerja, dan mengklaim sisanya sebagai penggunaan perusahaan meskipun tujuan perjalanan tersebut adalah untuk pribadi. Ketika Ed dengan jujur mengungkapkan penggunaan pribadinya, atasannya hampir memecatnya, sambil menjelaskan, “Kami dibayar rendah, dan ini adalah cara kami untuk mendapatkan lebih banyak pendapatan. Laporanmu akan membuat kami semua terlihat buruk.” Ed dengan hormat berkata, “Anda dapat memecat saya jika itu yang perlu Anda lakukan. Namun, apakah Anda benar-benar ingin orang yang bekerja untuk Anda berbohong hanya karena hal sekecil itu? Bagaimana Anda bisa mempercayai orang itu ketika taruhannya lebih tinggi?” Ed tetap mempertahankan pekerjaannya, meskipun transisinya agak sulit![3]
Apa yang harus kita lakukan terhadap hubungan dengan orang-orang yang penuh tipu daya dan pengajar-pengajar palsu? Contoh Ed menunjukkan bahwa memutuskan kontak belum tentu merupakan solusi terbaik. Kita mungkin dapat berbuat lebih banyak demi kebenaran dan kasih dengan tetap terlibat dan mengatakan kebenaran di tengah tipu daya daripada meninggalkannya. Selain itu, jika kita memutuskan kontak dengan siapa pun yang pernah melakukan tipu daya, apakah akan ada orang yang tersisa, termasuk diri kita sendiri?
Pentingnya Berkomunikasi Secara Langsung (2Yoh. 12–13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYohanes mengakhiri suratnya dengan mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan percakapan secara langsung. “Sungguhpun banyak yang harus kutulis kepadamu, aku tidak mau melakukannya dengan kertas dan tinta, tetapi aku berharap datang sendiri kepadamu dan berbicara berhadapan muka dengan kamu” (2Yoh. 12). Mungkin ia menyadari bahwa apa pun yang ingin dikomunikasikannya dapat disalahpahami jika disajikan dalam media penulisan surat yang impersonal. Hal ini memberi kita wawasan berharga tentang komunikasi sensitif—ada hal-hal yang lebih baik diucapkan secara langsung, meskipun jarak membuat sulit untuk bertemu langsung.
Di tempat kerja abad kedua puluh satu, kita menemukan tantangan yang lebih kompleks terhadap komunikasi pribadi. Pilihan komunikasi jarak jauh saat ini meliputi konferensi video, telepon, SMS, surat, email, media sosial, dan banyak variasi lainnya. Namun, komunikasi yang efektif tetap memerlukan kesesuaian media dengan sifat pesan. Misalnya, email mungkin merupakan media yang paling efektif untuk melakukan pemesanan, tetapi mungkin tidak cocok untuk mengkomunikasikan tinjauan kinerja. Semakin rumit atau menantang secara emosional pesan yang disampaikan, maka media yang digunakan harus semakin langsung dan personal. Pat Gelsinger, CEO Intel Corporation, berkata,
Saya punya aturan pribadi. Jika saya bolak-balik mengirim email dengan seseorang lebih dari empat atau lima kali tentang topik yang sama, saya berhenti. Sudah cukup. Kami melakukan percakapan di telepon, atau bertemu langsung. Saya telah belajar bahwa jika Anda tidak menyelesaikan sesuatu dengan cepat, pada saat Anda bertemu, salah satu dari Anda akan marah pada orang lain itu. Anda mengira mereka tidak kompeten karena mereka tidak dapat memahami hal paling lugas yang Anda jelaskan. Namun, hal ini disebabkan oleh medianya, dan hal ini penting untuk diperhitungkan.[1]
Media yang keliru dalam suatu komunikasi dapat dengan mudah menimbulkan kesalahpahaman, yaitu kegagalan dalam menyampaikan kebenaran. Dan media yang keliru juga bisa menghalangi kita untuk menunjukkan kasih. Jadi memilih media yang tepat untuk berkomunikasi merupakan aspek penting dalam mengkomunikasikan kebenaran dan menunjukkan kasih kepada orang-orang yang bekerja dengan kita. Kita perlu berkomunikasi dengan rasa hormat dan belas kasihan, bahkan dalam percakapan yang sulit, dan terutama ketika kita berkomunikasi dengan orang yang tidak terlalu kita sukai. Kadang-kadang ini berarti bertemu langsung, meskipun terasa sulit atau tidak nyaman.
Surat 3 Yohanes dan Kerja
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSeperti 2 Yohanes, 3 Yohanes sangat singkat sehingga tidak dibagi menjadi beberapa bab. Meskipun demikian, surat ini berisi dua bagian yang dapat diterapkan pada pekerjaan.
Contoh Gosip di Tempat Kerja (3Yoh. 1–12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiYohanes mengalamatkan surat itu kepada “rekan sekerja” (3Yoh. 8) bernama Gayus. Yohanes mendemonstrasikan sentuhan pribadi ketika ia berkata, “Aku berdoa, semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama seperti jiwamu baik-baik saja.” (3Yoh. 2). Ia memperhatikan raga (kesehatan) dan jiwa rekan kerjanya. Hal ini merupakan pelajaran penting bagi dunia kerja—untuk tidak memandang rekan kerja hanya sebagai pekerja, tetapi sebagai manusia seutuhnya.
Yohanes kemudian menawarkan dirinya sebagai contoh seseorang yang tidak diperlakukan dengan baik dalam pekerjaannya. Seorang anggota jemaat bernama Diotrefes berusaha “tidak mau mengakui kami,” kata Yohanes, dengan “berbicara tanpa makna dengan melontarkan kata-kata yang kasar terhadap kami” (3Yoh. 10). Dalam ketiga suratnya, perhatian utama Yohanes adalah menyatukan kebenaran dan kasih (3Yoh. 1). Diotrefes justru melakukan hal yang sebaliknya—berbicara secara keliru penuh kebencian. Anda hampir bisa merasakan kepedihan Yohanes ketika ia berkata—menggunakan terjemahan yang lebih dramatis dari New International Version—“Aku akan menarik perhatian pada apa yang ia lakukan, yang menggosipkan kita dengan jahat” (3Yoh. 10, NIV).
Sangat menyakitkan bahwa Diotrefes adalah seorang yang beriman. Hal ini mengingatkan kita bahwa menjadi seorang Kristen tidak dengan sendirinya menjadikan kita sempurna. Tidak diragukan lagi Diotrefes menganggap dirinya benar. Apa yang kita lihat sebagai gosip palsu, mungkin dipertimbangkannya hanya sebagai memperingatkan orang lain agar mereka dapat melindungi diri mereka sendiri.
Ketika kita memberikan pendapat kita tentang orang lain di tempat kerja kita, apakah kita pernah memberikan kesan yang tidak baik tentang diri kita sendiri atau orang lain? Satu tes sederhana akan membantu kita melihat diri kita sendiri sebagaimana orang lain melihat kita. Apakah kita akan membicarakan orang lain itu dengan cara yang sama jika mereka ada di dalam ruangan? Jika tidak, kemungkinan besar kita memberikan kesan yang salah tentang orang yang kita bicarakan, serta memberikan kesan buruk tentang diri kita sendiri. Yohanes, meskipun ia mempunyai keluhan tentang Diotrefes, tidak bergosip. Ia tahu bahwa suratnya akan dibacakan dengan lantang di gereja, sehingga keluhannya akan terbuka agar Diotrefes dapat mendengar dan menanggapinya.
Memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menanggapi keluhannya merupakan elemen penting dalam penggabungan kebenaran dan kasih oleh Yohanes. Ia yakin bahwa keluhannya terhadap Diotrefes benar, tetapi ia menyadari bahwa lawannya berhak mendapat kesempatan untuk menjelaskan atau membela diri. Berbeda sekali dengan pengadilan oleh media yang dilakukan banyak tokoh masyarakat saat ini, yang sindirannya disebar melalui media massa, sehingga tidak ada peluang untuk memberikan respons yang seimbang.
Prinsip ini berlaku bukan hanya pada cara kita berbicara tentang individu tetapi juga kelompok. Menjelek-jelekkan suatu kelompok sama buruknya dengan, bahkan lebih buruk daripada, bergosip atau memfitnah seseorang. Hampir setiap jenis perlakuan tidak adil terhadap orang-orang di tempat kerja dimulai dengan menempatkan mereka sebagai anggota kelompok yang lebih rendah atau berbahaya. Setiap kali kita mendengar hal ini terjadi, ini menandakan kesempatan kita untuk bersuara melawan prasangka dan rasa bersalah melalui asosiasi dan mendukung pencarian kebenaran dari situasi tertentu.
Pujian Yohanes bagi Demetrius, saudara yang membawa surat itu, juga menarik. Yohanes menggunakan pengaruhnya sebagai pemimpin gereja untuk mengangkat posisi Demetrius kepada Gayus dan gerejanya. Yohanes memuji Demetrius atas kehidupannya yang penuh kebenaran dan rasa hormat yang diberikan kepadanya oleh rekan-rekan seiman. Para pemimpin di tempat kerja dapat menggunakan kekuatan dan pengaruh mereka secara efektif untuk mencapai tujuan kebenaran, keadilan, kasih, dan kemurahan, bahkan ketika Injil tidak diakui secara terbuka.
Menyapa Orang dengan Namanya (3Yoh. 13–14)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat ini diakhiri dengan pemikiran yang sama yang menutup 2 Yohanes. Yohanes mempunyai hal-hal untuk dikomunikasikan yang lebih baik diucapkan secara langsung daripada dengan pena dan tinta (3Yoh. 13–14). Namun, ada pelintiran dalam 3Yoh. yang menawarkan wawasan lain untuk pekerjaan kita sehari-hari. Di akhir, Yohanes menambahkan, “Sampaikanlah salamku kepada sahabat-sahabat satu per satu.” Menyebutkan nama seseorang semakin menambah sentuhan pribadi yang menurut Yohanes diperlukan dalam komunikasi.
Banyak di antara kita yang bertatap muka dengan ratusan orang saat melakukan pekerjaan. Sampai taraf tertentu, kita perlu berkomunikasi dengan mereka masing-masing, meskipun hanya untuk menghindari saling bertabrakan di lorong. Berapa banyak dari mereka yang cukup kita kenal untuk dapat menyapa dengan namanya? Tahukah Anda nama bos dari bos Anda? Mungkin. Tahukah Anda nama orang yang mengosongkan sampah di tempat kerja Anda? Apakah Anda menyebutkan namanya ketika Anda sedang berkonflik dengan mereka? Apakah Anda mengetahui nama-nama pendatang baru di organisasi yang mungkin memerlukan bantuan Anda suatu saat nanti? Nama-nama yang repot-repot Anda pelajari dan nama-nama yang tidak Anda ketahui dapat mengungkapkan banyak hal tentang tingkat rasa hormat dan belas kasihan Anda terhadap orang lain. Yohanes cukup peduli untuk menyapa “setiap” orang dengan namanya.
Surat Yudas
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat pendek Yudas memberi gambaran yang mengejutkan tentang satu tempat kerja yang sangat disfungsional — gereja yang dirusak oleh para pemimpin fasik. Beberapa masalah hanya khusus berlaku di gereja-gereja, seperti menyangkal Yesus Kristus (Yudas 4) dan mengikuti jalan kesesatan (“pemberontakan Korah,” Yudas 11). Yang lain bisa terjadi di tempat kerja sekuler: menentang otoritas, menghujat (Yudas 8), melakukan kekerasan (“jalan Kain”), dan menjadi serakah (“kesesatan Bileam,” Yudas 11).[1] Penyelewengan terburuk dilakukan oleh para pemimpin yang hanya mengenyangkan diri sendiri dengan mengorbankan kawanan dombanya. “Mereka tidak malu-malu melahap dan hanya mementingkan dirinya sendiri” (Yudas 12). Perkataan Yudas juga berlaku bagi para pemimpin gereja yang menyalahgunakan dana gereja untuk kesenangan mereka sendiri, para eksekutif yang menjarah dana pensiun perusahaan untuk menopang keuntungan-keuntungan yang dilaporkan (dan dengan demikian bonus-bonus mereka juga), atau karyawan yang berselancar di internet pada jam kerja.
Saat menghadapi pelanggaran jabatan ini, Yudas memberikan perintah yang sama mengejutkannya di tempat kerja maupun di gereja: Berbelaskasihan. “Tunjukkanlah belas kasihan kepada mereka yang ragu-ragu; selamatkanlah yang lain dengan merenggut mereka dari api. Tunjukkanlah belas kasihan yang disertai rasa takut kepada orang-orang lain juga, dan bencilah pakaian yang dicemarkan oleh keinginan daging” (Yudas 22-23). Yudas tidak takut bertindak tegas terhadap kejahatan. Belas kasihannya tidak lembut atau lemah, seperti gambaran-gambaran yang ditunjukkannya tentang api, ketakutan, dan tubuh yang cemar. Belas kasihan Yudas sangat keras. Tetapi bagaimanapun itulah belas kasihan, karena harapannya bukan hanya menghukum yang bersalah, tetapi menyelamatkan mereka.
Belas kasihan yang keras ini bisa jadi merupakan hal yang dibutuhkan dalam situasi-situasi kerja tertentu. Orang yang melakukan kecurangan, melecehkan pekerja lain, atau menipu pelanggan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Itu hanya akan mengantar kepada kejahatan yang lebih besar. Tetapi disiplin tidak boleh menjadi pelampiasan dendam semata. Di mata Kristus, tidak ada orang yang tidak bisa diharapkan lagi. Pemimpin yang saleh memperlakukan setiap orang dengan hormat dan berusaha menemukan disiplin yang tepat yang bisa membawa mereka kembali ke kawanan dombanya.
Ringkasan & Konklusi Surat-surat Umum
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSurat-surat Umum dimulai dengan prinsip kembar bahwa mengikut Kristus membuat kita dapat percaya bahwa Allah akan memelihara kita, dan bahwa memercayai Allah akan memelihara kita mendorong kita untuk bekerja bagi kebaikan orang lain yang membutuhkan. Prinsip-prinsip ini mendasari berbagai nasihat praktis untuk kehidupan di dunia kerja (terutama dalam surat Yakobus) serta pandangan-pandangan teologis untuk memahami dunia kerja dalam kehidupan iman. Hal ini memunculkan dua pertanyaan untuk kita:
(1) Apakah kita memercayai prinsip-prinsip ini? dan
(2) Apakah kita benar-benar menerapkannya dalam kehidupan kerja kita?
Apakah Kita Memercayai Kedua Prinsip Ini?
Kita menjumpai berbagai situasi di tempat kerja kita. Sebagian mengungkapkan keraguan apakah Allah dapat dipercaya untuk memelihara kita. Yang lain meneguhkannya. Kita semua mengenal orang-orang yang tampaknya percaya pada Allah tetapi mereka tidak mendapatkan yang mereka butuhkan. Banyak orang kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, tabungan pensiun, bahkan kehidupan itu sendiri. Di sisi lain, kita menerima hal-hal baik yang tak pernah kita bayangkan dan harapkan terjadi. Kesempatan baru muncul, hal kecil yang kita lakukan mendatangkan kesuksesan besar, investasi berhasil dengan baik, orang yang tidak dikenal menyediakan kebutuhan-kebutuhan kita. Benarkah kita bisa memercayai Allah untuk menyediakan yang benar-benar kita butuhkan? Surat-surat Umum memanggil kita untuk menggumuli pertanyaan mendalam ini sampai kita mendapatkan jawaban yang pasti. Ini bisa berarti menggumulinya seumur hidup. Namun itu lebih baik daripada mengabaikannya.
Prinsip bahwa kita harus bekerja terutama untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan juga bisa dipertanyakan. Prinsip ini bertentangan dengan pemikiran dasar ekonomi—bahwa semua pekerja bekerja terutama untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Prinsip ini juga bertentangan dengan sikap tentang bekerja yang ada di masyarakat —“Dapatkan Yang Nomor Satu.” Kita menuntut bukti (jika kita punya kemampuan untuk melakukannya) bahwa kita dibayar cukup. Apakah kita juga menuntut bukti bahwa pekerjaan kita cukup bermanfaat bagi orang lain?
Apakah Kita Menerapkan Kedua Prinsip Ini dalam Kerja Kita?
Kita dapat menilai tingkat kepercayaan kita akan pemeliharaan Allah dengan memeriksa hal-hal yang kita lakukan untuk memelihara diri sendiri. Apakah kita menyimpan pengetahuan untuk membuat diri kita sangat diperlukan? Apakah kita memerlukan perjanjian kerja atau parasut emas untuk merasa aman di masa depan? Apakah kita bekerja dengan perasaan takut dipecat? Apakah kita terobsesi dengan pekerjaan sampai mengabaikan keluarga dan komunitas kita? Apakah kita bertahan dengan pekerjaan yang tidak cocok, meskipun direndahkan, memendam amarah, kinerja buruk dan bahkan mengalami masalah-masalah kesehatan, karena kita takut tidak ada pekerjaan lain untuk kita? Tidak ada pedoman yang kaku, dan beberapa atau semua tindakan ini mungkin baik dan tepat dalam situasi-situasi tertentu (obsesi diterima). Tetapi, apakah cara yang kita lakukan di tempat kerja menunjukkan tingkat kepercayaan kita pada Allah sebagai pemelihara kita?
Standar yang paling menentukan ukuran kepercayaan kita kepada Allah bukanlah apa yang kita lakukan untuk diri kita sendiri, tetapi apa yang kita lakukan untuk orang lain. Apakah kita menolong orang-orang di sekitar kita untuk bekerja dengan baik, meskipun mereka mungkin lebih maju dari kita? Apakah kita mempertaruhkan posisi kita untuk membela rekan kerja, pelanggan, pemasok, dan orang lain yang tidak berdaya atau membutuhkan? Apakah kita memilih—dalam lingkup pilihan apa pun yang kita miliki—untuk bekerja dengan cara-cara yang bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan sebanyak yang kita lakukan untuk diri kita sendiri?
Kita harus membuat diri kita dan orang lain sangat bertanggung jawab dalam menerapkan prinsip-prinsip ini saat bekerja setiap hari, seperti yang diingatkan surat Yudas. Menaati firman Allah bukanlah soal kepekaan religius, tetapi dampak yang nyata bagi diri kita sendiri dan orang-orang yang dipengaruhi pekerjaan kita. Tetapi akuntabilitas tidak membawa kita kepada sikap menghakimi, melainkan hati yang berbelas kasihan.
Surat-surat Umum menantang kita untuk memikirkan ulang pemahaman kita, bukan saja tentang kerja tetapi juga tentang untuk siapa kita bekerja. Jika kita percaya Allah akan memenuhi kebutuhan kita, maka kita dapat bekerja untuk Dia dan bukan untuk diri kita sendiri. Ketika kita bekerja untuk Tuhan, kita melayani orang lain. Ketika kita melayani orang lain, kita membawa berkat Allah ke dunia tempat kita hidup sebagai anggota masyarakat, meskipun kita adalah warga Kerajaan lain. Berkat Allah yang dibawa ke dunia melalui pekerjaan kita menjadi langkah-langkah Allah selanjutnya untuk mengubah dunia menjadi rumah kita yang sesungguhnya. Oleh karena itu, ketika kita bekerja “sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran” (2 Petrus 3:13).
Ayat-ayat dan Tema-tema Pokok dalam Surat-surat Umum
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAyat | Tema |
Yakobus 2:15-16 Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah pakaian hangat dan makanlah sampai kenyang!," tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apa gunanya itu? Yakobus 2:26 Sebab, sebagaimana tubuh tanpa roh mati, demikian juga iman tanpa perbuatan mati. 1 Yohanes 3:18-19 Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. Demikianlah kita ketahui bahwa kita berasal dari kebenaran dan boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah. Yakobus 3:16 Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. | Prinsip pokok untuk mengutamakan melayani orang lain daripada diri sendiri. |
Yakobus 1:17 Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna datangnya dari atas, turun dari Bapa segala terang. | Prinsip pokok untuk bersandar pada Allah |
Yakobus 1:19 Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah. Yakobus 1:26 Jikalau seseorang menganggap dirinya beribadah tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya. | Mendengarkan dan menjauhi kata-kata kasar |
Yakobus 2:9 Namun jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa. | Tidak memandang muka |
Yakobus 4:13-14 Jadi sekarang kamu yang berkata "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedangkan kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. | Mengakui bahwa kita bukanlah sumber dari kesuksesan kita sendiri |
Yakobus 5:4 Sesungguhnya, upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, berteriak terhadap kamu dan keluhan mereka yang menyabit panenmu sampai ke telinga Tuhan Semesta Alam. | Memperlakukan pekerja dan memberi upah dengan adil |
Yakobus 5:8 Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat. | Kesabaran |
Yakobus 5:12 Jika ya, hendaklah kamu katakan ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman. | Kejujuran |
Yakobus 5:13 Kalau ada seseorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa. Yakobus 1:5 Apabila di antara kamu ada yang kurang berhikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati tanpa mencela, maka hal itu akan diberikan kepadanya. | Berdoa untuk kebutuhan-kebutuhan spesifik |
Yakobus 5:16 Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, sangat besar kuasanya dan ada hasilnya. | Mengaku dosa kepada orang lain dan mengampuni orang lain |
1 Petrus 2:13-14 Tunduklah karena Tuhan kepada semua lembaga manusia, baik kepada Kaisar sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada gubernur-gubernur yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan memuji orang-orang yang berbuat baik. | Ketundukan pada otoritas pemerintah |
1 Petrus 2:18-19 Hai kamu hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis. Sebab adalah anugerah jika seseorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan secara tidak adil. | Ketundukan pada otoritas dunia kerja |
1 Petrus 4:12 Saudara-saudara yang terkasih, janganlah heran akan nyala api derita yang datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu. | Kemungkinan menderita karena mengikut Kristus |
1 Petrus 2:20 Dapatkah disebut pujian jika kamu sabar menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu sabar menderita, hal itu adalah anugerah di hadapan Allah. | Sabar dalam penderitaan |
1 Petrus 3:9 Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil — yaitu untuk memperoleh berkat. | Tidak melakukan pembalasan (dendam) |
1 Petrus 5:2-3 Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. | Kepemimpinan Yang Melayani |
2 Petrus 3:13 Namun, sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran. | Hidup kekal di bumi baru, pemusnahan kejahatan |
1 Yohanes 1:7 Jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, kita akan mempunyai persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari segala dosa. 1 Yohanes 3:2 Apabila Kristus dinyatakan, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. | Transformasi pribadi sebagai dasar etika |
Yudas 12 Mereka tidak malu-malu melahap dan hanya mementingkan dirinya sendiri. | Akuntabilitas pemimpin |
Yudas 22-23 Tunjukkanlah belas kasihan kepada mereka yang ragu-ragu, selamatkanlah yang lain dengan merenggut mereka dari api. Tunjukkanlah belas kasihan yang disertai rasa takut kepada orang-orang lain juga, dan bencilah pakaian yang dicemarkan oleh keinginan daging. | Berbelas kasihan dan bertanggung jawab, bukan saling bersikap eksklusif. |