Kitab Samuel, Raja-raja & Tawarikh dan Pekerjaan
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Introduksi Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab 1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja, dan 1&2 Tawarikh menaruh perhatian mendalam pada masalah pekerjaan. Perhatian utamanya adalah pada pekerjaan raja-raja, yang meliputi aspek politik, militer, ekonomi dan kerohanian. Memerintah dalam bentuk “menjalankan kekuasaan” adalah salah satu tugas yang diberikan Allah kepada manusia sejak semula (Kejadian 1:28), dan hal-hal kepemimpinan, atau pengaturan, menjadi isu-isu penting di kitab 1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja, dan 1&2 Tawarikh. Bagaimana bangsa Israel harus diatur, oleh siapa dan untuk tujuan-tujuan apa? Ketika organisasi-organisasi diatur, dikelola dengan baik, manusia berkembang. Ketika pengaturan/pemerintahan yang baik tidak dijalankan, semua orang menderita.
Peristiwa-peristiwa dalam kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh saling berkaitan. Oleh karena itu, kita akan membahas keenam kitab ini bersama-sama, tidak kitab per kitab. Untuk menemukan pembahasan tentang perikop tertentu, bisa gunakan tabel daftar isi dan judul pokok bahasan.
Raja-raja menjadi fokus, tetapi orang-orang yang kita temukan bekerja dalam kitab-kitab ini bukan hanya para raja. Pertama, pekerjaan raja-raja memengaruhi pekerjaan banyak orang lain, seperti para prajurit, ahli bangunan, tukang-tukang ahli lainnya, serta para imam; dan kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh memerhatikan pengaruh pekerjaan raja-raja pada pekerja-pekerja lain ini. Kedua, raja-raja sendiri memiliki pekerjaan selain memerintah, dan tugas menjadi orang tua menjadi perhatian khusus dalam kitab-kitab ini. Akhirnya, sebagai sejarah Israel, kitab-kitab ini memerhatikan bangsa itu secara keseluruhan, yang dalam banyak hal, ini berarti membahas pekerjaan orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan raja-raja.
Mengikuti petunjuk kitab-kitab itu sendiri, kita akan memberi perhatian terbesar pada tugas-tugas kepemimpinan dan pemerintahan raja-raja Israel, sembari juga menjelajahi berbagai jenis pekerja lainnya. Yang termasuk di antara pekerja-pekerja ini adalah para prajurit dan komandan, para hakim dan pemimpin masyarakat (yang sering disebut “tua-tua”), orang tua, gembala, petani, juru masak dan juru roti, juru rempah-rempah, penjaga kebun anggur, pemusik dan penyanyi, penemu/pencipta, wirausahawan, diplomat (resmi maupun tidak resmi), pendemo atau aktivis, penasihat politik, ahli bangunan dan ahli-ahli tukang, arsitek, pengawas, tukang batu, tukang tembok, tukang besi, tukang kayu, ahli senjata, penjaga sumur, pedagang minyak, tabib, budak perempuan, utusan, penebang kayu, dan akuntan. Nabi-nabi dan para imam juga termasuk, meskipun untuk menjaga fokus Proyek Teologi Kerja pada pekerjaan sekuler, kita akan membatasi peran mereka dalam pekerjaan di luar bidang kerohanian. Sebagaimana akan kita lihat, mereka benar-benar melakukan peran yang signifikan dalam bidang politik, militer, dan ekonomi.
Hampir semua jenis pekerja masa kini ada di dalam kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh, atau dapat menemukan penerapan-penerapan praktis dari kitab-kitab ini untuk pekerjaan mereka. Secara umum, kita akan menemukan bagaimana menerapkan pengaturan dan kepemimpinan yang baik dalam pekerjaan kita, daripada menemukan petunjuk tentang cara melakukan pekerjaan tertentu kita —kecuali pemerintahan atau kepemimpinan memang merupakan pekerjaan kita.
Latar Belakang Sejarah Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPerhatian menyeluruh kitab-kitab ini adalah pada pekerjaan raja ketika Israel menjadi kerajaan. Dimulai pada saat kedua belas suku Israel sudah lama melanggar perintah-perintah, etika dan nilai-nilai kepemimpinan yang ditetapkan Allah untuk mereka, yang dapat ditemukan di kitab Kejadian sampai Ulangan. Setelah hampir 200 tahun pemerintahan “hakim-hakim” (pemimpin sementara) yang makin lama makin buruk, Israel hancur berantakan. Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh menceritakan campur tangan Allah dalam pemerintahan Israel ketika umat-Nya beralih dari konfederasi suku yang gagal menjadi kerajaan yang menjanjikan, yang akhirnya juga merosot ke dalam kehancuran ketika generasi-generasi penerus raja-raja itu meninggalkan Allah dan jalan-jalan-Nya. Yang disayangkan, cerita berakhir dengan kehancuran Israel sebagai bangsa, yang tak pernah dipulihkan selama zaman Alkitab. Ini mungkin tidak tampak sebagai latar belakang yang menjanjikan untuk sebuah studi tentang pengaturan, tetapi pimpinan Allah selalu tampak nyata dalam cerita itu, entah mereka memilih mengikutinya atau tidak. Dengan membaca cerita itu ribuan tahun kemudian, kita dapat belajar dari keberhasilan maupun kegagalan mereka.
Sudut pandang teologis yang mendasar dari kitab-kitab ini adalah bahwa jika rajanya setia pada Allah, bangsa itu berhasil secara ekonomi, sosial dan militer. Jika rajanya tidak setia, bencana nasional terjadi. Jadi sejarah umat Allah diceritakan terutama melalui tindakan para pemimpin pemerintahan tertinggi, jika memakai istilah modern. Namun, pengaturan diperlukan di segala macam komunitas atau institusi, entah itu politik, sosial, bisnis, nirlaba, akademik, atau yang lainnya. Pelajaran dari kitab-kitab ini berlaku untuk pengaturan di semua sektor masyarakat saat ini. Kitab-kitab ini memberikan pembelajaran yang kaya tentang kepemimpinan, yang menunjukkan betapa kehidupan banyak orang tergantung pada perbuatan dan perkataan para pemimpin.
Para pakar percaya bahwa, pada mulanya, setiap pasangan kitab (1&2 Samuel, 1&2 Raja-raja, 1&2 Tawarikh) merupakan satu kesatuan yang dibagi menjadi dua gulungan kitab. Gulungan-gulungan kitab Samuel dan Raja-raja membentuk sejarah politik kerajaan-kerajaan Israel yang disatukan. Kitab Tawarikh menceritakan sejarah yang sama dengan kitab Raja-raja, tetapi dengan fokus pada aspek-aspek keimaman dan ibadah sejarah orang Ibrani. Kita akan menyusuri cerita sepanjang tiga babak berikut ini: (1) Dari Konfederasi Suku sampai Kerajaan, (2) Zaman Keemasan Kerajaan, (3) Dari Kerajaan Yang Gagal sampai Pembuangan.
Dari Konfederasi Suku sampai Kerajaan: 1 Samuel
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKitab 1 Samuel menandai peralihan Israel dari koalisi suku-suku yang terpecah menjadi kerajaan dengan pemerintah pusat di Yerusalem. Cerita berawal dari kelahiran dan panggilan nabi Samuel, dan berlanjut dengan panggilan dan pemerintahan raja Saul dan raja Daud. Ini adalah cerita tentang pembentukan negara, sentralisasi kekuasaan dan ibadah, serta penetapan tatanan politik, militer dan sosial yang baru.
Panggilan Samuel (1 Samuel 1-3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDari ayat penutup kitab Hakim-hakim dan pasal-pasal pembuka kitab 1 Samuel, kita tahu bahwa bangsa Israel tidak memiliki pemimpin dan tidak terhubung dengan Allah. Pemimpin bangsa yang mereka miliki paling-paling adalah imam Eli, yang bersama anak-anaknya mendirikan tempat ibadah di Silo. Kemakmuran ekonomi, politik, militer bangsa Israel tergantung pada kesetiaan mereka pada Allah. Karena itu, mereka membawa persembahan dan pengorbanan mereka kepada Tuhan ke rumah ibadah itu, tetapi para imamnya mengolok-olok interaksi dengan Allah. "Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila;… sebab mereka memandang rendah korban untuk TUHAN" (1 Samuel 2:12, 17). Mereka tidak dapat dipercaya sebagai pemimpin umat, dan mereka tidak menghormati Tuhan dalam hati mereka. Para umat mendapati orang-orang yang seharusnya membawa mereka ke dalam pengalaman beribadah malah mencuri dari mereka.
Otoritas Yang Diwariskan Versus Panggilan Samuel
Hal yang agak menjadi ancaman dari suatu bangsa yang akan menjadi kerajaan adalah bahwa otoritas yang diwariskan itu bisa berbahaya karena dua hal. Pertama, tidak ada jaminan bahwa keturunan dari pemimpin terhebat pun akan cakap dan setia. Kedua, dilahirkan dalam kekuasaan itu sendiri seringkali membawa pengaruh yang merusak, yang terlalu sering membuat orang merasa nyaman, atau — seperti dalam kasus anak-anak Eli — merasa berhak. Eli menunaikan tugasnya sebagai perintah suci dari Allah (1 Samuel 2:25), tetapi anak-anaknya menganggapnya sebagai kepunyaan pribadi (1 Samuel 2:14). Dibesarkan dalam atmosfir yang agak mirip dengan bisnis keluarga, mereka mengira sejak kecil mereka sudah mewarisi hak-hak istimewa ayahnya. Karena "bisnis keluarga" ini terkait bait suci Allah – yang memberikan hak kepada keluarga itu untuk memiliki otoritas ilahi atas orang banyak—pelanggaran yang dilakukan anak-anak Eli jauh lebih membahayakan.
Bisnis keluarga dan dinasti politik di dunia saat ini memiliki kesamaan dengan situasi Eli. Pendiri perusahaan atau pemerintahan mungkin sudah membawa banyak manfaat bagi dunia, tetapi jika para ahli waris memandangnya sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi, orang-orang yang seharusnya mereka layani akan menderita kerugian. Semua orang mendapatkan manfaat jika para pendiri dan penerus setia pada tujuan awal yang baik. Dunia menjadi tempat yang lebih baik, bisnis dan komunitas berkembang pesat, dan keluarga tercukupi dengan baik. Namun, ketika tujuan awal diabaikan atau diselewengkan, bisnis atau komunitas akan menderita, dan organisasi serta keluarga berada dalam bahaya.
Sejarah yang menyedihkan dari pewarisan kekuasaan di berbagai pemerintah, gereja, bisnis, dan organisasi lainnya mengingatkan kita bahwa orang-orang yang mengira menerima kekuasaan sebagai hak seringkali tidak merasa perlu untuk mengembangkan keterampilan, disiplin diri, dan sikap melayani yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang baik. Kenyataan ini merisaukan hati penulis kitab Pengkhotbah. "Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang setelah aku. Lalu siapa yang mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh? Meskipun demikian ia akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan di bawah matahari dengan jerih payah dan dengan mempergunakan hikmat.” (Pengkhotbah 2:18-19). Hal yang merisaukannya itu terjadi juga pada kita saat ini. Keluarga-keluarga yang memperoleh kekayaan dan kekuasaan dari keberhasilan wirausaha satu generasi seringkali akan kehilangan pencapaian ini pada generasi ketiga serta menghadapi pertengkaran keluarga yang menghancurkan dan kemalangan pribadi.[1] Ini tidak berarti bahwa kekuasaan atau kekayaan yang diwariskan selalu menimbulkan akibat-akibat buruk, tetapi bahwa pewarisan adalah suatu kebijakan yang berbahaya dalam usaha pengelolaan/pemerintahan. Keluarga, organisasi, atau pemerintah yang harus melimpahkan otoritas melalui pewarisan sebaiknya mengupayakan berbagai cara untuk menangkal bahaya-bahaya yang menyertai pewarisan ini. Ada konsultan-konsultan dan lembaga-lembaga ahli di bidang ini yang dapat membantu keluarga-keluarga dan bisnis/perusahaan dalam situasi pewarisan ini.
Tuhan Memanggil Samuel Menjadi Pemimpin (sebagai Suksesi Eli)
Jika bukan anak-anaknya yang dursila, lalu siapa yang akan menggantikan imam Eli? 1 Samuel 3:1-4:1 dan 1 Samuel 7:3-17 menyingkapkan rencana Allah untuk membangkitkan Samuel kecil sebagai pengganti imam Eli. Samuel menerima satu dari beberapa panggilan Allah yang dapat didengar (audible) yang dicatat dalam Alkitab, tetapi perhatikanlah bahwa panggilan ini bukan untuk menjalankan suatu pekerjaan atau pelayanan. (Samuel sudah melayani di rumah Tuhan sejak ia berusia dua atau tiga tahun, dan pilihan pekerjaan itu dilakukan oleh ibunya. Baca 1 Samuel 1:20-28 dan 2:18-21). Panggilan Samuel adalah untuk melakukan suatu tugas, yaitu memberitahu imam Eli bahwa Allah sudah memutuskan untuk menghukumnya dan anak-anaknya, yang akan segera dipecat sebagai imam Tuhan. Setelah memenuhi panggilan ini, Samuel melanjutkan pelayanannya di bawah bimbingan imam Eli sampai ia diakui sebagai nabi secara resmi (1 Samuel 4:1) dan menggantikan Eli yang wafat (1 Samuel 4:18). Samuel menjadi pemimpin umat Allah bukan karena ambisi yang melayani diri sendiri atau merasa berhak, tetapi karena Tuhan memberinya visi (1 Samuel 3:10-14) serta kemampuan dan keterampilan untuk memimpin umat-Nya menggenapi visi itu (1 Samuel 3:19-4:1). Lihat Vocation Overview untuk penjelasan lebih lanjut tentang topik panggilan untuk bekerja.
Bahaya Memperlakukan Tuhan Sebagai Jimat Keberuntungan (1 Samuel 4)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTidak jelas apakah kebobrokan pemimpin, Eli, yang menyebabkan kebobrokan umat atau sebaliknya, tetapi kitab 1 Samuel pasal 4-6 lebih menunjukkan bahaya yang menimpa orang-orang yang dipimpin dengan buruk. Israel sudah berabad-abad terlibat konflik dengan negara tetangganya, bangsa Filistin. Dan bangsa itu lagi-lagi melakukan serangan baru yang mengalahkan orang Israel dan menewaskan 4.000 orang (1 Samuel 4:1-3). Bangsa Israel mengenali kekalahan itu sebagai tanda tidak diperkenan Allah. Namun, alih-alih mengoreksi kesalahan mereka, bertobat, dan datang pada Allah meminta pimpinan, mereka malah mencoba memanipulasi Allah untuk mencapai tujuan mereka. Mereka mengambil tabut perjanjian dan membawanya dalam peperangan melawan orang Filistin, dengan asumsi tabut itu akan membuat mereka tak terkalahkan. Anak-anak Eli ikut memberikan aura otoritasnya pada rencana itu. Tetapi orang Filistin membantai orang Israel dalam pertempuran itu, menewaskan 30.000 prajurit Israel, merampas tabut perjanjian, membunuh anak-anak Eli dan menyebabkan kematian Eli sendiri (1 Samuel 4:4-19).
Anak-anak Eli, bersama para pemimpin militer, melakukan kesalahan dengan berpikir bahwa karena mereka menyandang nama umat Allah dan memiliki simbol kehadiran Allah, mereka memegang kendali atas kuasa Allah. Orang-orang yang bertanggung jawab itu mungkin percaya bahwa mereka benar-benar dapat mengendalikan kuasa Allah dengan membawa serta tabut perjanjian itu. Atau mereka mungkin menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa karena mereka umat Allah, maka apa pun yang mereka inginkan untuk diri mereka sendiri akan menjadi keinginan Tuhan untuk mereka. Namun, akhirnya mereka mendapati bahwa kehadiran Allah bukanlah jaminan untuk memproyeksikan kuasa Tuhan, tetapi undangan untuk menerima pimpinan Allah. Ironisnya, tabut itu berisi sarana pimpinan Tuhan yang terbaik - Sepuluh Hukum Tuhan (Ulangan 10:5) - tetapi anak-anak Eli tak mau repot-repot mencari pimpinan Allah apa pun sebelum menyerang bangsa Filistin.
Mungkinkah kita juga terjatuh dalam kebiasaan buruk yang sama dalam bekerja? Ketika kita menghadapi pertentangan atau kesulitan dalam pekerjaan kita, apakah kita mencari pimpinan Allah dalam doa, ataukah kita hanya menaikkan doa kilat dan meminta Allah melakukan yang kita inginkan? Apakah kita memikirkan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam terang firman-Nya, ataukah Alkitab kita hanya tersimpan di laci meja? Apakah kita memeriksa motivasi-motivasi kita dan menilai tindakan-tindakan kita dengan keterbukaan untuk diubah Allah, atau apakah kita hanya menghiasi diri kita dengan simbol-simbol orang Kristen? Jika pekerjaan kita tampaknya tidak memuaskan atau karier kita tidak sesukses yang kita harapkan, adakah kemungkinan kita juga memakai Allah sebagai jimat keberuntungan, daripada mematuhi-Nya sebagai Tuan atas pekerjaan kita?
Kesempatan Yang Datang dari Bekerja dengan Setia (1 Samuel 5-7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiOrang Filistin yang merampas tabut perjanjian ternyata tidak lebih baik keadaannya daripada orang Israel, dan tabut itu menjadi properti yang berbahaya bagi kedua belah pihak sampai tidak digunakan lagi untuk kepentingan militer, dan Samuel memanggil orang Israel untuk berbalik pada Tuhan dan beribadah kepada Dia saja (1 Samuel 5:1-7: 3). Bangsa Israel mendengarkan panggilan ini dan kembali menyembah Tuhan, dan karier Samuel berkembang dengan cepat. Perannya sebagai imam langsung meningkat menjadi “hakim” (yang berarti pemimpin militer) dan ia berhasil memimpin perlawanan terhadap orang Filistin (1 Samuel 7:4-13). Tugasnya segera termasuk mengadakan pengadilan untuk masalah hukum (1 Samuel 10:16). Di balik semua tanggung jawabnya terletak panggilannya untuk menjadi "nabi Tuhan yang dapat dipercaya" (1 Samuel 3:20).
Pekerja yang terampil dan dapat dipercaya yang setia pada jalan Allah sering mendapati pekerjaan mereka melampaui deskripsi tugas mereka. Dalam menghadapi tanggung jawab yang semakin bertambah dan meluas, respons Samuel bukanlah, "Itu bukan tugasku." Namun, ia melihat kebutuhan mendesak yang ada di hadapannya, menyadari bahwa ia memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan itu, dan bertindak melaksanakannya. Ketika ia berbuat begitu, Allah meningkatkan otoritas dan efektivitasnya untuk memperlengkapi kesediaannya.
Satu pelajaran yang bisa kita petik dari sini adalah menanggapi Allah dengan kesediaan untuk melayani seperti yang dilakukan Samuel. Apakah Anda melihat kesempatan-kesempatan yang ada di depan Anda di tempat kerja, yang sebetulnya, tidak sesuai dengan deskripsi tugas Anda? Apakah atasan atau rekan-rekan kerja Anda tampaknya mengharapkan Anda mengambil tanggung jawab lebih dalam hal-hal yang bukan bagian pekerjaan Anda secara resmi? Hal-hal seperti ini sering menjadi peluang untuk pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan (kecuali atasan Anda tidak menghargai tanggung jawab lain yang Anda ambil). Apa yang perlu Anda lakukan untuk memanfaatkan kesempatan ini? Anda mungkin juga bisa melihat kebutuhan-kebutuhan di sekitar Anda yang bisa Anda bantu penuhi jika Anda memiliki keyakinan dan keberanian untuk merespons. Apa yang perlu Anda lakukan untuk meningkatkan keyakinan Anda pada Allah dan menerima keberanian yang diperlukan untuk mengikuti pimpinan-Nya?
Catatan terakhir tentang pemerintahan Samuel (1 Samuel 7:15-17) menyatakan bahwa ia berkeliling ke kota-kota Israel dari tahun ke tahun, untuk memerintah dan menegakkan keadilan. Pasal ini diakhiri dengan perkataan, “Dan ia mendirikan mezbah bagi Tuhan.” Pelayanan sipil dan militernya bagi Israel didasarkan pada kesetiaan dan penyembahannya yang seumur hidup pada Tuhan.
Anak-anak Samuel Mengecewakan (1 Samuel 8:1-3)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika Samuel menjadi tua, ia mengulangi kesalahan Eli dengan menunjuk anak-anaknya untuk menggantikannya. Seperti anak-anak Eli, mereka juga ternyata serakah dan jahat (1 Samuel 8:1-3). Anak-anak yang mengecewakan dari para pemimpin besar menjadi tema yang berulang di kitab Samuel dan Raja-raja. (Tragedi anak Daud, Absalom, memenuhi bagian terbesar kitab 2 Samuel pasal 13-19, yang akan kita bahas kemudian. Lihat "Daud Gagal Menangani Konflik Keluarga Yang Mengakibatkan Perang Saudara” - 2 Samuel 13-19). Hal ini mengingatkan kita bahwa tugas menjadi orang tua sama menantangnya dengan semua pekerjaan yang lain, dan jauh lebih pelik secara emosional. Tidak ada solusi yang diberikan dalam teks Alkitab ini, tetapi kita bisa menemukan bahwa Eli, Samuel, dan Daud tampaknya sudah memberikan banyak hak istimewa kepada anak-anak mereka yang menyusahkan, tetapi tidak banyak terlibat sebagai orang tua. Dan kita juga tahu bahwa para orang tua yang paling berdedikasi pun bisa mengalami kehancuran hati akibat kelakuan buruk anak-anaknya. Alih-alih menyalahkan atau membuat stereotip, mari kita camkan baik-baik bahwa menjadi orang tua adalah pekerjaan yang membutuhkan banyak doa, keterampilan, dukungan komunitas, keberuntungan dan kasih seperti halnya pekerjaan lainnya, atau malah lebih. Pada akhirnya, menjadi orang tua—entah anak kita membawa kegembiraan, atau kekecewaan, atau kedua-duanya – berarti bergantung pada kasih karunia dan kemurahan Allah dan mengharapkan penebusan yang melebihi yang kita alami selama hidup kita. Barangkali penghiburan terbesar kita adalah mengingat bahwa Allah juga mengalami kehancuran hati sebagai orang tua karena Anak-Nya yang terhukum, namun mengatasi semuanya itu dengan kekuatan cinta kasih.
Bangsa Israel Meminta Raja (1 Samuel 8:4-22)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMelihat ketidakberesan anak-anaknya, bangsa Israel meminta Samuel untuk: “angkatlah bagi kami untuk memerintah kami, sama seperti semua bangsa lain.” Permintaan ini mengesalkan hati Samuel (1 Samuel 8:4-6). Samuel memperingatkan mereka bahwa raja-raja membebankan tuntutan-tuntutan yang berat pada bangsanya.
Inilah hak raja yang akan berkuasa atas kamu. Ia akan mengambil anak-anakmu laki-laki untuk ditugaskan di kereta perang atau di pasukan berkuda, ataupun berlari di depan keretanya. Ia akan menugaskan mereka sebagai kepala pasukan seribu dan pasukan lima puluh. Mereka akan membajak ladangnya dan menuai panen baginya. Mereka akan membuat peralatan perang dan perlengkapan keretanya. Ia akan mengambil anak-anakmu perempuan untuk menjadi pembuat minyak wangi, tukang masak, dan pembuat roti. Ia akan mengambil yang terbaik dari ladangmu, anggurmu, dan kebun zaitunmu, untuk diberikan kepada pegawai-pegawainya. Ia akan mengambil sepersepuluh dari gandummu dan hasil kebun anggurmu, untuk diberikan kepada pembesar-pembesar istananya dan para pegawai lainnya. Ia akan mengambil budakmu laki-laki dan hambamu perempuan, yang terbaik dari ternakmu dan keledaimu, untuk dipekerjakannya. Ia akan mengambil sepersepuluh dari kambing dombamu. Engkau sendiri akan menjadi budaknya. (1 Samuel 8:10-17)
Bahkan, raja-raja akan menjadi sangat serakah sampai akhirnya bangsa itu akan berseru kepada Allah agar mereka diselamatkan dari raja-raja itu (1 Samuel 8:18).
Allah juga memandang permintaan untuk memiliki raja itu sebagai ide buruk karena itu sama saja dengan menolak diri-Nya sebagai Raja. Namun, meskipun demikian, Tuhan memutuskan mengizinkan bangsa itu memilih bentuk pemerintahan mereka, dan berkata kepada Samuel, "Dengarkanlah suara rakyat, semua yang mereka katakan kepadamu. Bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak supaya Aku tidak lagi menjadi raja atas mereka. (1 Samuel 8:7). Sebagaimana dikatakan pakar Akitab John Goldingay, "Allah memulai bersama umat-Nya di tempat mereka berada; jika mereka tidak dapat menggapai jalan-Nya yang tinggi, Dia membuat jalan yang lebih rendah. Ketika mereka tidak menanggapi Roh Yahweh atau ketika segala macam roh membuat mereka menjadi anarki, Dia menyediakan ... pengaman institusi dari penguasa-penguasa dunia." Adakalanya Allah mengizinkan institusi-institusi yang bukan bagian dari rencana kekal-Nya, dan kerajaan Israel adalah salah satu contoh yang paling jelas.
Baik Allah maupun Samuel menunjukkan kerendahan hati, kesabaran dan kasih karunia yang besar dengan mengizinkan bangsa Israel membuat pilihan dan kesalahan, dan belajar dari akibat-akibatnya. Ada banyak situasi di institusi dan tempat kerja yang para pemimpinnya harus menyesuaikan diri dengan pilihan-pilihan buruk anggotanya, namun pada saat yang sama berusaha memberikan kesempatan-kesempatan untuk bertumbuh dan berkasih karunia. Peringatan Samuel kepada bangsa Israel bisa saja menjadi peringatan bagi bangsa-bangsa, perusahaan-perusahaan, gereja-gereja, sekolah-sekolah dan organisasi-organisasi lain di dunia masa kini. Di dunia kita yang sudah rusak, banyak orang menyalahgunakan kekuasaan, dan kita harus menyesuaikan diri sambil pada saat yang sama melakukan yang dapat kita lakukan untuk mengubah banyak hal. Cita-cita kita adalah mengasihi Allah dan memperlakukan orang lain sebagaimana perintah Allah dalam Hukum yang diberikan kepada Musa, yang sangat sulit dilakukan umat Allah di segala zaman.
Tugas Memilih Seorang Raja (1 Samuel 9-16)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSaul Terpilih Sebagai Raja Pertama Israel
Pilihan Tuhan untuk raja yang pertama adalah Saul (lk.1050-1010 SM), seorang yang tampak sebagian— karena ia benar-benar berdiri "lebih tinggi dari semua orang sebangsanya" (1 Samuel 9:2). Lagipula, ia sudah memenangkan beberapa pertempuran, alasan utama memiliki seorang raja (1 Samuel 11:1-11). Pada mulanya, Saul melayani dengan setia (1 Samuel 11:13-14), tetapi tak lama kemudian ia menjadi tidak taat pada Allah (1 Samuel 13:8-15) dan bersikap arogan terhadap rakyatnya (1 Samuel 14:24-30). Baik Samuel maupun Allah menjadi jengkel padanya dan mulai mencari penggantinya (1 Samuel 16:1). Namun, sebelum kita membandingkan tindakan-tindakan Saul dengan ekspektasi-ekspektasi kepemimpinan abad 21, kita perlu ingat bahwa Saul hanya melakukan yang biasanya dilakukan raja-raja di Timur Dekat kuno. Bangsa itu mendapatkan yang mereka minta (dan yang sudah diperingatkan Samuel), seorang raja lalim yang militeristik, karismatik, dan suka mengagungkan diri sendiri.
Bagaimana kita harus mengevaluasi raja pertama Israel? Apakah Allah membuat kesalahan dengan menyuruh Samuel mengurapi pemuda Saul sebagai raja? Atau apakah memilih Saul menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Israel agar tidak terkecoh dengan penampilan luar, rupawan di luar tetapi berlubang di dalamnya? Dengan meminta raja, bangsa Israel telah menunjukkan kekurangpercayaan mereka pada Allah. Raja yang mereka dapatkan akhirnya menunjukkan kekurangpercayaan pada Allah juga. Tugas utama Saul sebagai raja adalah menjamin keamanan bangsa Israel dari serangan bangsa Filistin dan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Namun, ketika menghadapi Goliat, ketakutan Saul mengalahkan imannya dan ia terbukti tidak mampu menjalankan perannya (1 Samuel 17:11). Di sepanjang pemerintahannya, Saul juga meragukan Allah, mencari nasihat di tempat-tempat yang salah, dan akhirnya mati bunuh diri ketika pasukannya dikepung musuh (1 Samuel 31:4).
Daud Dipilih Menggantikan Saul
Ketika Samuel mencari pengganti Saul, ia hampir membuat kesalahan yang sama dengan menilai dari penampakan luar (1 Samuel 16:1-4). Daud yang masih muda tampaknya tak masuk hitungan di mata Samuel, tetapi dengan pertolongan Allah, ia akhirnya tahu bahwa Allah memilih Daud untuk menjadi raja Israel. Dari luar, Daud tidak menunjukkan sosok yang pantas diharapkan orang untuk menjadi seorang pemimpin (1 Samuel 16:6-11). Beberapa waktu kemudian dalam cerita itu, raksasa Filistin yang bernama Goliat juga meremehkannya (1 Samuel 17:42). Daud adalah kandidat non-tradisional (yang tidak biasa) dari berbagai alasan, selain kemudaannya. Ia seorang anak bungsu di dalam masyarakat yang mengutamakan anak sulung. Ia juga dari etnis campuran, tidak asli orang Israel karena seorang nenek buyutnya adalah Rut (Ruth 4:21-22), pendatang dari Moab (Rut 1:1-4). Meskipun Daud memiliki beberapa hal yang bisa menjegalnya, Allah melihat janji yang besar di dalam dirinya.
Saat kita memikirkan tentang pemilihan pemimpin saat ini, perkataan Allah kepada Samuel sangat penting dan berharga untuk diingat: “Bukan seperti yang dilihat manusia, sebab manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7). Di dalam kerajaan Allah yang terbalik, yang terakhir atau yang paling tidak dianggap bisa menjadi pilihan terbaik. Pemimpin terbaik bisa menjadi orang yang tidak dicari siapapun. Sungguh menggoda untuk langsung tertarik pada kandidat yang sangat impresif, orang yang penuh karisma, figur yang tampaknya akan diikuti orang lain. Namun, kepercayaan-diri yang tinggi sebenarnya membuat penampilan lebih rendah, menurut sebuah artikel di Harvard Business Review 2012.[1]
Yang dihargai Allah bukan karisma, tetapi karakter. Apa yang diperlukan untuk belajar melihat karakter seseorang dari kacamata Allah?
Hal yang juga signifikan adalah bahwa ketika Samuel datang mencarinya, Daud sedang keluar melakukan pekerjaannya sebagai gembala, merawat domba-domba ayahnya dengan sepenuh hati. Setia melakukan pekerjaan yang ada merupakan persiapan yang baik untuk pekerjaan yang lebih besar, seperti dalam kasus Daud (1 Samuel 17:34-37, lihat juga Lukas 16:10; 19:17). Samuel segera mendapati bahwa Daud adalah seorang pemimpin yang kuat, percaya diri, dan cakap yang didambakan bangsanya, yang akan "memimpin [kami] dalam peperangan" (1 Samuel 8:20). Sepanjang kariernya Daud selalu ingat bahwa ia sedang melayani “di hadapan TUHAN” dalam mengurusi umat Allah (2 Samuel 6:21). Allah menyebutnya "seorang yang berkenan di hati-Ku" (Kisah Para Rasul 13:22).
Tuhan sudah memilih Daud sebagai pengganti Saul. Sekarang Samuel harus mengurapi Daud sebagai raja, sementara Saul masih duduk di takhta kerajaan. Samuel ragu ia bisa berhasil. "Bagaimana mungkin aku pergi?” Samuel berkata, “Jika Saul mendengarnya, ia akan membunuhku." (1 Samuel 16:2). Allah menjawab Samuel dengan menyuruhnya pergi secara tersamar. "Bawalah seekor lembu muda dan katakan: Aku datang untuk mempersembahkan kurban kepada TUHAN. Undanglah Isai ke upacara kurban. Aku akan memberitahukan kepadamu apa yang harus kaulakukan. Urapilah bagi-Ku orang yang akan kuberitahukan kepadamu." (1 Samuel 16:2-3). Dengan kata lain, pergilah terang-terangan ke rumah Isai (tempat raja baru itu berada), tetapi samarkan tujuan pergi ke sana. Dengan mengikuti petunjuk Allah, Samuel berhasil mengurapi raja Daud.
Saat bekerja, kita mungkin juga menghadapi tantangan ketika harus berurusan dengan sistem yang semena-mena atau pemimpin yang kejam. Apakah kita akan berbicara terus-terang, bahwa kita membawa target di punggung kita, dan siap menunggu ditembak jatuh? Ataukah kita akan menjajakinya dulu secara halus, dan berharap ini akan memberi kita kesempatan untuk bisa memengaruhi hasil akhir secara positif? Bagaimanakah cara “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” sebagaimana yang dikatakan Yesus itu? (Matius 10:16). Untuk penjelasan lebih lanjut tentang topik kapan kebohongan mungkin diperlukan secara moral, lihat artikel topikal TOW “When Someone Has No Right to the Truth.”
Ada waktunya untuk berbicara terus terang tentang sikap dan pandangan kita, dan ada pula waktunya untuk bertindak lebih tersamar, dengan mengingat tujuan akhirnya. Bagaimana kita mengetahui perbedaannya? Petunjuknya ada di dalam teks Alkitab ini, ketika Samuel terus-menerus bercakap-cakap dengan Allah mencari pimpinan. Saat berada di bawah tekanan, kita mungkin bisa mendapati diri kita membuat keputusan sendiri, dan keputusan itu kemungkinan cenderung mengarah kepada yang paling nyaman untuk kita sendiri daripada yang Allah kehendaki. Padahal kita memiliki janji Yesus akan pertolongan Roh Kudus Allah (Yohanes 14:26). Kebiasaan Samuel bercakap-cakap dengan Allah di tempat kerja memimpinnya untuk menjajaki dulu situasi yang ambigu secara moral itu bersama Allah agar dapat memahami tujuan-tujuan Allah dengan tepat. Dapatkah kita melakukan hal yang sama di tempat kerja kita sendiri, membawa persoalan dan keraguan kita kepada Allah dalam doa? Untuk memperjelas hal ini, lihat rencana pembacaan Alkitab, “Bagaimana Membuat Keputusan yang Benar.”
Daud Menaiki Tampuk Kekuasaan (1 Samuel 17-30)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTidak seperti Saul yang langsung memulai pemerintahan setelah diurapi Samuel (1 Samuel 11:1), Daud harus melalui masa belajar/persiapan yang lama dan sulit sebelum ia dinobatkan menjadi raja di Hebron. Kesuksesan pertamanya di mata publik terjadi ketika ia membunuh raksasa Goliat. yang mengancam keselamatan pasukan Israel. Dan ketika pasukan itu sedang dalam perjalanan pulang, serombongan wanita menyongsong mereka dan menyanyi, "Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa." (1 Samuel 18:7). Hal ini membuat Saul marah sekali (1 Samuel 18:1). Alih-alih mengakui bahwa ia dan bangsanya mendapatkan kebaikan dari kemampuan Daud, ia malah menganggap Daud sebagai ancaman. Ia lalu memutuskan untuk menyingkirkan Daud secepat mungkin (1 Samuel 18:9-13). Maka dimulailah suatu persaingan yang akhirnya memaksa Daud melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya, menjauhkan diri dari Saul sambil memimpin sekelompok perampok di padang gurun Yehuda selama sepuluh tahun.
Ketika mendapat beberapa kali kesempatan untuk membunuh raja Saul, Daud menolak, karena ia tahu takhta itu bukan miliknya yang harus direbut. Takhta itu adalah pemberian Tuhan. Seperti diungkapkan oleh Pemazmur, “Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain” (Mazmur 75:8). Daud menghormati otoritas yang diberikan Allah kepada Saul, meskipun Saul bertindak dengan cara yang tidak terhormat. Ini bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang masa kini yang bekerja pada majikan yang sulit, atau sedang menanti kepemimpinannya diakui. Sekalipun kita merasa dipanggil Allah untuk suatu tugas atau jabatan tertentu, kita tidak memiliki hak untuk merebut kekuasaan dengan menentang otoritas yang ada. Jika semua orang yang berpikir Allah mau mereka menjadi atasan berusaha mempercepat proses dengan merebut sendiri kekuasaan itu, semua peralihan kekuasaan akan sedikit banyak menimbulkan kekacauan. Allah itu sabar dan kita juga harus sabar, seperti Daud.
Dapatkah kita percaya bahwa Allah akan memberi kita otoritas yang kita butuhkan, pada waktu-Nya, untuk melakukan pekerjaan yang Dia mau kita lakukan? Di tempat kerja, memiliki otoritas lebih itu penting untuk menyelesaikan pekerjaan yang diperlukan. Merebut otoritas itu sebelum waktunya dengan menyerobot atasan atau menjatuhkan rekan kerja tidak membangun kepercayaan rekan-rekan kerja atau menunjukkan kepercayaan pada Allah. Kadang memang bikin frustasi jika harus menunggu terlalu lama untuk mendapatkan otoritas yang dibutuhkan, tetapi otoritas sejati tidak dapat direbut, hanya diberikan. Daud bersedia menunggu sampai Allah memberikan otoritas itu kepadanya.
Abigail Meredam Konflik antara Daud dan Nabal (1 Samuel 25)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika kekuasaan Daud meningkat, ia berkonflik dengan seorang tuan tanah kaya bernama Nabal. Secara kebetulan, gerombolan pemberontak Daud yang menentang pemerintahan raja Saul pernah berkemah di wilayah Nabal selama beberapa waktu. Orang-orang Daud itu memperlakukan gembala-gembala Nabal dengan baik, melindungi mereka dari bahaya atau setidaknya tidak mencuri apa pun dari mereka (1 Samuel 25:15-16). Daud berpikir ini setidaknya akan membuat Nabal merasa berutang padanya, dan ia lalu mengirim utusan untuk meminta Nabal menyumbangkan beberapa ekor domba untuk perjamuan makan pasukannya. Mungkin karena menyadari kelemahan permohonannya, Daud memerintahkan utusannya untuk bersikap sangat sopan terhadap Nabal.
Nabal tidak menggubris. Ia bukan saja menolak untuk memberikan apa pun untuk perjamuan itu, ia juga secara terang-terangan menghina Daud, menyangkal mengenal Daud dan meragukan integritas Daud sebagai pemberontak terhadap Saul (1 Samuel 25:10). Hamba-hamba Nabal sendiri menggambarkan tuan mereka itu sebagai “seorang yang dursila sehingga orang tidak dapat berbicara dengan dia” (1 Samuel 25:17). Daud langsung menyiapkan 400 tentaranya untuk membunuh Nabal dan semua laki-laki yang ada di rumahnya.
Tiba-tiba saja Daud hendak melakukan pembunuhan masal, sementara Nabal lebih mementingkan kepongahannya daripada memikirkan para pekerja dan keluarganya. Kedua orang arogan ini tidak dapat menyelesaikan percekcokan tentang domba tanpa menumpahkan darah ratusan orang yang tak bersalah. Syukurlah, istri Nabal yang berhati bijaksana, Abigail, mengambil tindakan dalam keributan itu. Ia dengan sigap menyiapkan hidangan pesta untuk Daud dan orang-orangnya, lalu pergi menjumpai Daud dengan permintaan maaf yang menjadi standar kesopanan baru di Perjanjian Lama (1 Samuel 25:26-31). Akan tetapi kata-kata yang dibungkus kesopanan itu merupakan kebenaran-kebenaran sulit yang perlu didengar Daud. Ia hampir saja menumpahkan darah tanpa alasan, yang akan membuatnya merasa bersalah yang tak pernah bisa dihilangkan.
Daud tersentuh oleh kata-kata Abigail dan melepaskan rencananya untuk membunuh Nabal dan semua orang dan anak laki-lakinya. Ia bahkan berterima kasih kepada Abigail yang telah mengalihkannya dari rencana yang sembrono. "Terpujilah kearifanmu dan terpujilah dirimu, yang pada hari ini mencegah aku menumpahkan darah dan membalas dengan tanganku sendiri. Tetapi, demi TUHAN yang hidup, Allah Israel, yang telah mencegah aku berbuat jahat kepadamu, seandainya engkau tidak segera datang menemui aku, pasti tidak ada seorang laki-laki pun yang masih hidup pada Nabal sampai fajar menyingsing." (1 Samuel 25:33-34).
Insiden ini menunjukkan bahwa orang perlu meminta pertanggungjawaban pemimpin, meskipun melakukan hal itu bisa membawa risiko besar pada dirinya sendiri. Anda tidak harus memiliki status yang berotoritas untuk terpanggil memberi pengaruh. Namun, Anda jelas memerlukan keberanian, yang untungnya merupakan hal yang dapat Anda terima dari Allah setiap waktu. Intervensi Abigail juga mengajarkan bahwa menunjukkan sikap hormat, bahkan pada saat melontarkan kritik tajam, menjadi contoh dalam menantang otoritas. Nabal telah mengubah pertengkaran kecil menjadi situasi yang mengancam kehidupan dengan membungkus pertikaian kecil dengan penghinaan pribadi. Abigail menyelesaikan krisis yang mengancam kehidupan dengan membungkus teguran besar dengan dialog yang penuh hormat.
Dengan cara apa Allah memanggil Anda untuk menggunakan pengaruh agar orang-orang yang dalam posisi otoritas yang tinggi bertanggung jawab? Bagaimana Anda dapat mengembangkan sikap hormat yang baik yang disertai komitmen tak tergoyahkan untuk mengatakan kebenaran? Keberanian apa yang Anda perlukan dari Allah untuk benar-benar melakukan hal itu?
Zaman Keemasan Kerajaan: 2 Samuel 1-24, 1 Raja-raja 1-11, 1 Tawarikh 13, 21-25
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetelah Saul mati, Daud diurapi menjadi raja atas suku Yehuda di wilayah selatan, tetapi baru setelah banyak terjadi pertumpahan darah, Daud akhirnya diurapi menjadi raja atas seluruh Israel (2 Samuel 5:1-10). Ketika Daud akhirnya menjadi orang sukses, ia menginvestasikan talentanya untuk mengembangkan orang lain. Berbeda dengan Saul yang takut disaingi, Daud justru mengelilingi dirinya dengan sekelompok pahlawan yang perbuatan-perbuatan gagah perkasanya menandingi dirinya (2 Samuel 23:8-39, 1 Tawarikh 11:10-47). Ia menghormati mereka (1 Tawarikh 11:19), mendukung ketenaran mereka dan mempromosikan mereka (1 Tawarikh 11:25). Allah memakai kerelaan Daud mendukung dan mensponsori orang lain untuk membangun kesuksesan Daud sendiri dan memberkati orang-orang di dalam kerajaannya.
Akhirnya, konfederasi suku Israel yang lemah bersatu menjadi satu bangsa. Selama 80 tahun, pertama-tama di bawah pemerintahan raja Daud (lk. 1010 - 970 SM), dan kemudian di bawah pemerintahan anaknya, Raja Salomo (lk. 970 - 931 SM), Israel mengalami zaman keemasan dan kemakmuran yang terkenal di seluruh bangsa-bangsa Timur Dekat kuno. Akan tetapi di tengah segala kesuksesan mereka, kedua raja ini juga melanggar perjanjian Allah. Meskipun tindakan ini hanya menimbulkan kehancuran yang terbatas di zaman mereka sendiri, tetapi pelanggaran itu menjadi pola bagi raja-raja setelah mereka untuk berpaling dari Tuhan dan meninggalkan perjanjian-Nya.
Keberhasilan dan Kegagalan Daud Sebagai Raja (2 Samuel 1-24)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiAlkitab memandang Daud sebagai raja Israel teladan, dan kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh menceritakan banyak keberhasilannya. Namun, sekalipun Daud "seorang yang berkenan di hati Allah" (1 Samuel 13:14), ia juga pernah menyalahgunakan kekuasaan dan berlaku tidak setia. Ia cenderung berhasil saat tidak terlalu mengandalkan diri sendiri, dan terjerumus ke dalam masalah serius ketika kekuasaan membuatnya lupa diri—contohnya ketika ia mengadakan sensus yang bertentangan dengan kehendak Tuhan (2 Samuel 24:10-17) atau ketika ia melakukan pelecehan seksual terhadap Betsyeba dan memerintahkan untuk membunuh suaminya, Uria (2 Samuel 11:2-17). Namun terlepas dari kegagalan-kegagalan Daud, Allah menggenapi perjanjian-Nya dengan Daud dan menanganinya dengan kemurahan
Daud Melecehkan Betsyeba dan Membunuh Uria (2 Samuel 11-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiOrang-orang yang berkuasa menutupi kasus-kasus pelecehan seksual selama ribuan tahun, tetapi Alkitab dengan berani membeberkan kasus-kasus pelecehan terhadap Sarah, Hagar, Dina, dua orang bernama Tamar, dan Betsyeba, topik perikop ini. Pelecehan terhadap Betsyeba tampaknya yang paling mengejutkan karena dilakukan oleh nenek moyang Yesus yang paling terkenal, raja Daud. Ceritanya kuno, tetapi isunya tak pernah ketinggalan zaman. Dalam beberapa tahun terakhir ini, gelombang kasus pelecehan seksual melahirkan gerakan #metoo yang telah menggulingkan tokoh-tokoh besar dari dunia hiburan (Harvey Weinstein, Bill O'Reilly, Charlie Rose), politik (Al Franken, Patrick Meehan, John Conyers), bisnis (Steve Wynn, Travis Kalanick), olahraga (Larry Nassar), musik (R. Kelly), dan religi (Bill Hybels, Andy Savage, Paige Patterson). Nama-nama ini berasal dari USA, tetapi masalahnya terjadi di seluruh dunia.
Cerita Daud ini sudah sangat dikenal. Dari atas sotoh rumahnya, Daud melihat tetangganya yang cantik, Betsyeba, sedang mencuci. Ia lalu mengutus orang-orangnya untuk membawa perempuan itu ke istana, berhubungan seks dengannya, dan perempuan itu hamil. Dalam upaya mengatasi masalah kehamilan itu, Daud memanggil suami Betsyeba, Uria, untuk pulang dari tugas mengepung kota Raba, tetapi Uria memiliki integritas yang terlalu tinggi untuk tidur dengan istrinya sementara anggota pasukan lainnya dan tabut perjanjian ada di dalam kemah. Setelah Daud mengatur agar Uria mati dalam pertempuran, ia mengira bencana sudah lewat. Akan tetapi Daud lupa memperhitungkan Allah.
Di sepanjang perjalanan sejarah, hubungan antara Daud dan Betsyeba ini sering dijelaskan sebagai perzinahan, yang menyiratkan ada persetujuan bersama, suka sama suka. Namun, jika kita meneliti lebih dalam, kita tahu bahwa itu sebenarnya penyalahgunaan kekuasaan secara seksual, dengan kata lain, pemerkosaan. Baik teks maupun konteks ayat-ayat Alkitab tidak mendukung kesimpulan bahwa itu adalah perselingkuhan di antara dua orang dewasa yang setuju. Orang yang berpikir Betsyeba menggoda Daud dengan mandi di tempat yang terlihat dari jendela istana mungkin tidak memahami kata kerja Ibrani rachats, yang digunakan untuk tindakan Betsyeba di sini (2 Samuel 11:2), yang secara harfiah berarti “mencuci/membasuh” sebagaimana yang diterjemahkan di bagian lain dalam cerita ini (2 Samuel 11:8; 12:20). Tidak ada alasan untuk menganggap Batsyeba telanjang, atau bahwa ia sadar bahwa raja, yang seharusnya berada di medang perang bersama pasukannya, akan melihatnya dari atas sotoh istananya seperti Tom Si Pengintip (2 Samuel 11:1-2).
Orang yang berpikir ia bersedia datang ke istana dengan senang hati tidak mengerti bahwa ketika raja zaman dahulu memanggil rakyat biasa untuk menghadap ke istana, orang itu tak punya pilihan selain menurut. (Lihat Ester 2:14, 3:12, dan 8:9 sebagai contoh). Dan Daud tidak hanya mengutus satu orang, tetapi beberapa orang utusan, untuk memastikan Betsyeba menurut (2 Samuel 11:4). Ingat, satu-satunya orang yang menolak menuruti perintah Daud dalam cerita ini, Uria, mati dibunuh (2 Samuel 11:14-18). Teks ini tidak mengatakan bahwa Betsyeba tahu bahwa ia dibawa ke istana untuk berhubungan seks dengan raja. Kemungkinan besar ia justru mengira ia dipanggil ke istana untuk menerima kabar tentang kematian suaminya, yang kemudian memang terjadi (2 Samuel 11:26-27).
Teks ini menunjukkan bahwa tindakan itu merupakan perlakuan satu arah dari Daud. “Daud tidur dengan dia,” bukannya “mereka tidur bersama” (2 Samuel 11:4). Kata yang digunakan di sini menunjukkan bahwa hubungan itu merupakan perkosaan, bukan perzinahan. Daud menyuruh orang “mengambil” (laqach) Betsyeba lalu "tidur" (shakav) dengan dia. Kata kerja shakav memang bisa berarti hubungan seksual, tetapi kata itu digunakan di banyak peristiwa perkosaan di Alkitab Ibrani. Kata kerja laqach dan shakav hanya muncul bersama-sama dalam konteks perkosaan (Kejadian 34:2; 2 Samuel 12:11; 16:22).
Kita tidak bisa menyalahkan Betsyeba yang menurut saja ketika dibawa ke kamar laki-laki yang memiliki kekuasaan besar dan riwayat kekerasan. Ketika cerita berlanjut, semua orang mencela Daud, bukan Betsyeba. Allah menyalahkan Daud. “Hal yang dilakukan Daud itu jahat di mata Tuhan” (2 Samuel 11:27). Nabi Natan mendakwa Daud dengan menceritakan perumpamaan tentang seorang kaya (yang melambangkan Daud) yang “mengambil” seekor domba yang sangat berharga (Betsyeba) dari seorang miskin (Uria). Setelah mendengar perumpamaan Natan, Daud bahkan mengecam orang kaya itu (dirinya sendiri). “Orang yang melakukan itu harus dihukum mati” (2 Samuel 12:5). Maka dengan jelas dan tegas Natan berkata, "Engkaulah orang itu!" (2 Samuel 12:7). Berdasarkan hukum tentang perkosaan dan perzinahan di Ulangan 22:22-29, jika hanya si laki-laki yang harus dihukum mati, maka yang terjadi bukanlah perzinahan, tetapi perkosaan.
Jika kita menyebut peristiwa ini sebagai perzinahan atau mempermasalahkan tindakan Betsyeba, kita tidak hanya mengabaikan teks Alkitab ini, tetapi kita juga pada intinya menyalahkan orang yang menjadi korban. Namun, jika kita menyebutnya sebagai perkosaan dan berfokus pada tindakan-tindakan Daud, kita tidak hanya membaca teks dengan cermat, tetapi kita juga memvalidasi kisah-kisah para korban pelecehan seksual lainnya. Sama seperti Allah melihat yang dilakukan Daud terhadap Batsyeba, Tuhan juga melihat yang dilakukan para pelaku terhadap para korban pelecehan seksual saat ini.
Kejahatan Daud adalah menyalahgunakan kekuasaan yang dilakukan dalam bentuk pelanggaran seksual. Sebagai penguasa atas kerajaan Israel terbesar, Daud jelas memiliki kekuasaan yang melebihi semua orang Israel Perjanjian Lama lainnya. Sebelum naik takhta, Daud menggunakan kekuasaannya untuk melayani orang lain, seperti saat menolong membebaskan penduduk kota Kehila dan Ziklag yang tak berdaya (1 Samuel 23:1-14; 30:1-31), tetapi dengan Betsyeba ia menyalahgunakan kekuasaannya pertama-tama untuk melayani nafsunya, dan kemudian untuk melanggengkan reputasinya.
Meskipun tidak banyak dari kita yang memiliki otoritas sebesar Daud, banyak dari kita memiliki kekuasaan di lingkup yang lebih kecil dalam konteks keluarga atau pekerjaan, entah karena jenis kelamin, ras, kedudukan, kekayaan, atau status lainnya, atau pun sekadar karena kita lebih tua, lebih berpengalaman, dan lebih bertanggung jawab. Sungguh menggoda untuk menggunakan kekuasaan dan hak-hak istimewa kita dengan berpikir bahwa kita sudah bekerja keras untuk semua kemajuan ini (kantor yang lebih baik, tempat parkir khusus, gaji yang lebih tinggi), meskipun orang-orang yang kurang memiliki kekuasaan tidak ikut menikmatinya.
Sebaliknya, banyak dari kita yang rentan terhadap orang-orang yang berkuasa karena alasan yang sama, meskipun berada di sisi yang berlawanan dari distribusi kekuasaan. Bisa menggoda juga untuk berpikir bahwa orang yang dalam posisi lemah seharusnya berusaha membela diri, seperti yang dipikirkan banyak orang tentang Betsyeba. Teks Alkitab tidak menunjukkan bukti bahwa ia berusaha menolak paksaan seksual Daud, oleh karena itu — menurut pemikiran ini — ia tentu merupakan partisipan yang bersedia. Seperti sudah kita ketahui, Alkitab menolak pemikiran ini. Korban kejahatan selalu adalah korban kejahatan, tak peduli seberapa besar atau kecil perlawanan yang mungkin ia coba lakukan.
Daud menjerumuskan dirinya ke dalam kejahatan ini setelah ia lupa bahwa Tuhanlah yang memberinya posisi kekuasaannya, dan bahwa Tuhan memerhatikan yang ia lakukan dengan hal itu. Gembala dimaksudkan untuk merawat, bukan memakan domba-domba yang digembalakannya (Yehezkiel 34). Yesus, Gembala yang baik, menggunakan kekuasaan-Nya untuk memberi makan, melayani, menyembuhkan, dan memberkati orang-orang yang ada dalam kekuasaan-Nya, dan Dia memerintahkan para pengikut-Nya untuk melakukan hal yang sama (Markus 9:35; 10:42-45).
Kekuasaan Daud yang sangat besar memungkinkannya untuk menghindari aspek-aspek tanggung jawabnya yang tidak menyenangkan, khususnya dalam memimpin pasukannya berperang, meskipun ia seorang pahlawan militer, yang telah mengalahkan Goliat dan “beribu-ribu orang” dalam pertempuran (1 Samuel 17; 18:7; 21:11; 29:5). Konsekuensi keputusannya untuk tinggal di rumah saja dan menikmati tidur siang adalah karena ia kurang memiliki akuntabilitas, sementara teman-teman dekatnya (“orang-orang gagah perkasa”) sedang berperang. Ada banyak orang yang mengetahui hal yang dilakukan Daud, tetapi mereka adalah para pelayan, dan, tak heran jika tak satu pun dari mereka yang buka mulut. Orang yang berhadapan dengan kekuasaan biasanya harus membayar harga.
Akan tetapi hal itu tidak menghentikan Abigail, istri yang bijaksana dari Nabal yang bebal, untuk menempatkan dirinya dalam bahaya demi mencegah Daud yang saat itu belum menjadi raja melakukan amukan berdarah (1 Samuel 25). Andai saja salah seorang dari pelayan Daud berani mengatakan peringatan awal seperti yang dilakukan Abigail, mungkin perkosaan terhadap Betsyeba dan pembunuhan terhadap Uria itu tidak akan terjadi. Setelah kejahatan dilakukan, nabi Natan disuruh Allah menghadapi raja itu, yang beruntungnya mau mendengarkan pesan itu (2 Samuel 12). Perhatikan bahwa Abigail dan Natan sendiri bukanlah korban yang dimaksudkan dalam penyelewengan kekuasaan Daud. Mereka berada dalam posisi kekuasaan yang lebih rendah dari pelaku, namun entah bagaimana mereka sadar bahwa mereka bisa melakukan intervensi dan bersedia mengambil risiko untuk melakukan hal itu. Apakah tindakan mereka menunjukkan bahwa kita yang menyadari adanya pelecehan memiliki tanggung jawab untuk mencegah atau melaporkannya, meskipun hal itu membawa risiko pada kita atau reputasi kita?
Kebanyakan dari kita tidak berada dalam situasi harus menghadapi bos atau pengawas yang berisiko mengancam hidup kita, tetapi membuka mulut dalam konteks-konteks seperti ini bisa berarti kehilangan status, promosi, atau pekerjaan. Namun, sebagaimana yang ditunjukkan cerita ini, dan banyak cerita lain semacam ini dalam Kitab Suci, Allah memanggil umat-Nya untuk bertindak sebagai nabi di gereja kita, sekolah kita, bisnis kita, dan di mana pun kita bekerja dan bertempat tinggal. Contoh Abigail dan Natan—selain perintah Yesus di Matius 18:15-17—menunjukkan bahwa idealnya kita harus berbicara langsung dengan pelaku. (Namun, Roma 13:1-7 menyiratkan bahwa orang Kristen juga bisa memakai cara-cara proses hukum lain yang tidak harus berhadapan langsung dengan pelaku).
Bagi kita yang suka menghindari konflik, belajar mengatakan kebenaran kepada orang yang berkuasa dapat dikembangkan secara bertahap dari waktu ke waktu, seperti melakukan terapi fisik untuk otot yang lemah atau cedera. Kita melatih kemampuan berkonfrontasi dengan memulainya dari langkah-langkah kecil, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau menunjukkan masalah-masalah kecil. Setelah itu kita bisa beranjak ke isu-isu yang lebih signifikan dengan memberikan perspektif-perspektif alternatif yang mungkin tidak populer. Lambat laun, kita bisa menjadi lebih berani sehingga jika kita menyadari ada pelanggaran moral yang signifikan seperti pelecehan seksual oleh rekan kerja atau atasan, harapannya kita dapat mengatakan kebenaran dengan cara yang bijak dan ramah. Di sisi lain, para pemimpin yang bijak memudahkan bawahannya untuk meminta pertanggungjawaban mereka dan mengangkat isu-isu. Saat Anda menjadi pemimpin, apa yang Anda lakukan untuk menerima atau mengumpulkan umpan balik negatif dari orang lain?
Daud menerima umpan balik yang sangat negatif dari Natan, dan ia bertobat. Meskipun demikian, Natan berkata kepada Daud bahwa pertobatan dan pengampunan pribadinya tidak dengan sendirinya mengakhiri segala akibat dosanya pada orang lain:
Lalu berkatalah Daud kepada Natan, "Aku sudah berdosa kepada TUHAN."
Kata Natan kepada Daud, "TUHAN telah menyingkirkan dosamu; engkau tidak akan mati. Walaupun demikian, karena engkau benar-benar menista TUHAN dengan perbuatan ini, pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati." (2 Samuel 12:13-14).
Pertobatan pribadi Daud tidak menghilangkan budaya eksploitasi yang ada di bawah kepemimpinannya. Natan berkata kepada Daud bahwa hukuman atas dosanya akan sangat berat, dan pemerintahan Daud selanjutnya akan diwarnai dengan huru hara (2 Samuel 13-2, 1 Raja-raja 1). Bahkan Amnon anak Daud melakukan kejahatan yang sama (perkosaan) dengan cara yang lebih tercela, terhadap adik tirinya sendiri, Tamar (2 Samuel 13:1-19). Daud sendiri terlibat, meskipun mungkin tanpa disadari. Bahkan ketika hal itu diberitahukan kepadanya, Daud tidak melakukan apa-apa untuk menegakkan keadilan pada situasi itu. Akhirnya, anak Daud, Absalom, memutuskan untuk bertindak sendiri. Ia membunuh Amnon dan memulai perang di dalam rumahtangga Daud sendiri (2 Samuel 13), yang meningkat menjadi perang saudara dan serentetan tragedi di seluruh Israel.
Budaya yang mentolerir pelecehan sangat sulit diberantas, jauh lebih sulit dari yang diperkirakan para pemimpinnya. Jika Daud berpikir bahwa pertobatan pribadinya merupakan satu-satunya yang diperlukan untuk memulihkan integritas keluarganya, ia sangat keliru. Yang menyedihkan, sikap berpuas diri dan tidak ambil pusing dalam mentolerir budaya pelecehan ini masih terus berlangsung sampai hari ini. Berapa banyak gereja, perusahaan, universitas, pemerintah dan organisasi yang berjanji akan memberantas budaya pelecehan seksual setelah suatu insiden terungkap, namun segera kembali ke cara-cara lama yang sama dan melakukan pelecehan-pelecehan yang bahkan lebih buruk?
Namun, episode ini tidak berakhir dengan keputusasaan. Pelecehan seksual adalah salah satu dosa yang paling menyedihkan, namun tetap masih ada harapan akan keadilan dan pemulihan. Dapatkah kita membuat teladan Daud, Natan dan Betsyeba mendorong kita lebih berani untuk mengaku dosa dan bertobat (jika kita sebagai pelaku), untuk berkonfrontasi (jika kita mengetahui kejahatan itu), atau untuk pulih (jika kita adalah korban)? Dalam hal yang manapun, langkah pertama adalah menghentikan pelecehan. Baru setelah hal itu terjadi kita dapat berbicara tentang pertobatan, termasuk menerima kesalahan, hukuman, dan jika memungkinkan, ganti rugi. Dalam silsilah keturunan Daud yang paling terkenal, Yesus, Matius mengingatkan kita tentang perkosaan yang dilakukan Daud. Matius memasukkan Betsyeba di antara empat ibu yang ia sebutkan, bukan dengan menyebutnya istri Daud, tetapi istri Uria, orang yang dibunuh Daud (Matius 1:6). Pemberitahuan di awal kitab Injil ini mengingatkan kita bahwa Allah adalah Allah atas keadilan dan pemulihan. Di dalam satu segi ini, kita bahkan nungkin melihat Daud sebagai contoh yang patut ditiru. Orang yang berkuasa ini, ketika dihadapkan pada bukti kesalahannya sendiri, mau bertobat dan meminta keadilan, meskipun ia tahu hal itu bisa saja membawanya kepada kehancuran. Ia memang menerima belas kasihan, tetapi bukan dengan kekuatannya sendiri atau kekuatan kroni-kroninya, tetapi dengan tunduk pada otoritas yang melampaui kekuatannya untuk memanipulasi.
Daud Gagal Menangani Konflik Keluarga Yang Mengakibatkan Perang Saudara (2 Samuel 13-19)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBanyak orang merasa tidak nyaman dengan situasi konflik, sehingga kita cenderung menghindari terjadinya konflik, baik di rumah maupun di tempat kerja. Namun, konflik itu sangat mirip dengan penyakit. Konflik-konflik kecil mungkin bisa terselesaikan meskipun kita mengabaikannya, tetapi konflik-konflik besar akan menjadi lebih parah dan lebih memengaruhi sistem-sistem kehidupan kita jika kita tidak menyelesaikannya. Inilah yang terjadi dalam keluarga Daud. Daud membiarkan konflik di antara beberapa anaknya menjerumuskan keluarganya ke dalam tragedi. Putra sulungnya, Amnon, memperkosa dan mempermalukan saudara tirinya, Tamar (2 Samuel 13:1-19). Kakak kandung Tamar, Absalom, membenci Amnon atas kejahatan itu, tetapi tidak mengatakannya pada Daud. Daud mengetahui hal itu tetapi memutuskan untuk mengabaikan situasi itu (2 Samuel 13:21). Untuk informasi lebih lanjut tentang anak-anak yang mengecewakan orang tuanya, lihat "Ketika anak-anak mengecewakan (1 Samuel 8:1-3)."
Selama dua tahun, semuanya tampak baik-baik saja, tetapi konflik besar yang tidak diselesaikan ini tak pernah hilang. Ketika Amnon dan Absalom melakukan perjalanan ke suatu wilayah bersama-sama, Absalom melimpahi saudara tirinya dengan anggur sampai mabuk, lalu menyuruh para pelayannya untuk membunuhnya (2 Samuel 13:28-29). Konflik makin banyak melibatkan anggota keluarga, para bangsawan, dan tentara Daud, sampai seluruh bangsa dilanda perang saudara. Kehancuran yang ditimbulkan akibat menghindari konflik berkali-kali lipat lebih buruk daripada ketidaknyamanan yang mungkin timbul akibat menyelesaikan masalah sejak dini.
Profesor Ronald Heifetz dan Marty Linsky dari Harvard mengatakan bahwa para pemimpin harus "menyelesaikan konflik", sebab kalau tidak, konflik itu akan memburuk dengan sendirinya, menggagalkan tujuan-tujuan mereka, dan membahayakan organisasi mereka.[1] Demikian juga, Jim Collins memberikan contoh tentang Alan Iverson, yang pernah menjadi CEO Nucor Steel saat terjadi perbedaan pendapat yang besar tentang apakah perusahaan harus merambah ke daur ulang baja bekas. Iverson mengungkapkan perpecahan itu secara terbuka dengan membiarkan semua orang mengutarakan pendapat mereka, melindungi mereka dari pembalasan dendam orang lain yang mungkin tidak sependapat. "Perdebatan panas" yang terjadi sangat tidak menyenangkan bagi semuanya. “Orang-orang berteriak, mengepalkan tangan dan menggebrak meja. Wajah-wajah memerah dan urat-urat nadi menonjol.” Namun, mengakui konflik dan menyelesaikannya secara terbuka mencegahnya untuk tidak terdeteksi dan meledak kemudian. Lagipula, dengan mengungkapkan berbagai fakta dan pendapat, keputusan yang lebih baik bisa dihasilkan oleh kelompok. “Rekan-rekan kerja masuk ke kantor Iverson dengan memekik dan berteriak kepada satu sama lain, tetapi kemudian mereka akan keluar dengan satu konklusi…. Strategi perusahaan ‘berevolusi melalui banyak perdebatan dan pertengkaran yang menyakitkan’.” [2] Konflik yang diselesaikan dengan baik benar-benar dapat menjadi sumber kreativitas.
Daud Tahu Ia Memerlukan Pimpinan Tuhan tentang Cara Melakukan Pekerjaannya (1 Tawarikh 13)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDi dalam 1 Tawarikh 13, Daud menghadapi tantangan dalam pekerjaannya sebagai raja, dan membuat awal yang baik dengan menyelesaikannya. Ia percaya bahwa tabut Allah seharusnya dipindahkan dari Kiryat-Yearim, tempat tabut itu diabaikan pada zaman pemerintahan Saul. Namun, alih-alih mengambil keputusan sendiri, ia berunding dengan semua pemimpin dan meminta persetujuan mereka. Bersama-sama mereka berdoa kepada Allah meminta hikmat dan menyimpulkan bahwa mereka memang perlu membawa pulang tabut itu. Sangatlah mudah bagi seorang pemimpin untuk membuat kesalahan dengan bertindak sendiri, tanpa nasihat dari Allah maupun orang lain. Namun, Daud menyadari betul pentingnya nasihat Allah maupun manusia. Ia menerima "persetujuan" yang jelas untuk proyeknya ini.
Namun, bencana menimpa. Uza, yang membantu mengangkut tabut itu, mengulurkan tangannya untuk mengamankan tabut itu, dan Allah membunuhnya (1 Tawarikh 13:9-10). Hal ini membuat Daud marah (1 Tawarikh 13:9-11) dan sekaligus takut pada Tuhan (1 Tawarikh 13:12), yang membuat Daud meninggalkan proyek itu. Pelaksanaan proyek yang dimulai dengan konfirmasi dari Allah dan rekan-rekan yang dipercaya tiba-tiba berubah menjadi kegagalan yang dramatis. Hal yang sama terjadi pada saat ini. Pada akhirnya, hampir kita semua akan mengalami kegagalan yang menyakitkan dalam pekerjaan kita. Hal ini bisa sangat mengecilkan hati, bahkan menggoda kita untuk meninggalkan pekerjaan yang sudah Allah tetapkan untuk kita lakukan.
Sebagai informasi tambahan, Daud pernah melakukan dua pertempuran yang sukses. Di dalam setiap kasus, ia selalu bertanya pada Allah apakah mereka harus terus maju, dan Tuhan membuat keduanya berhasil. Akan tetapi pimpinan Allah untuk misi kedua berisi instruksi yang aneh. Allah berkata, “Janganlah bergerak maju di belakang mereka; tetapi buatlah gerakan yang melingkari mereka agar engkau dapat menyerang dari arah pohon-pohon.” Allah ingin Daud pergi berperang, tetapi Dia mau mereka bergerak maju dengan cara tertentu.
Setelah keberhasilan-keberhasilan ini, Daud merenungkan pengalaman ini dan memerintahkan agar jangan seorang pun selain orang-orang Lewi yang diperkenankan membawa tabut Allah, karena Tuhan memang memilih mereka untuk tugas itu (1 Tawarikh 15:2). Ketetapan ini sudah dituliskan dalam kitab Torat (Bilangan 4:15), tetapi terlupakan atau diabaikan. Setelah Daud mengumpulkan orang-orang Lewi untuk menyelesaikan tugas memindahkan tabut itu, ia menjelaskan tentang kegagalan sebelumnya, “Oleh karena kamu [para imam dan orang-orang Lewi] tidak hadir pada pertama kalinya, TUHAN, Allah kita, telah menyambar kita, sebab kita tidak meminta pentunjuk-Nya sebagaimana seharusnya.” (1 Tawarikh 15:13). Yang kedua kalinya, karena mereka mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam Hukum Taurat, tabut itu berhasil dipindahkan.
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita dalam pekerjaan kita sendiri. Bertanya pada Allah dan meminta nasihat dari orang yang dapat dipercaya tentang apa yang harus kita lakukan itu penting. Namun, itu saja belum cukup. Allah juga peduli dengan bagaimana cara kita melakukan pekerjaan itu. Sebagaimana ditunjukkan usaha Daud yang gagal ketika mengabaikan ketetapan di Bilangan 4:15, melakukan segala sesuatu dengan cara Allah membutuhkan pemahaman yang benar tentang Kitab Suci.
Ketidaktaatan Daud pada Tuhan Mendatangkan Penyakit Sampar Nasional (1 Tawarikh 21:1-17)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDaud juga mengalami kegagalan lain yang, bagi kita yang hidup di abad 21, mungkin aneh. Ia melakukan sensus terhadap orang Israel. Meskipun tindakan ini tampaknya merupakan hal yang baik untuk dilakukan, teks Alkitab menyatakan bahwa Iblis telah menghasut Daud untuk melakukan hal ini dan menentang nasihat panglimanya, Yoab. Lagipula, "Di mata Allah pun titah itu jahat, sebab itu dihajar-Nya orang Israel." (1 Tawarikh 21:7).
Daud mengakui dosanya yang melakukan sensus yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Ia diberi tiga pilihan, yang masing-masing akan membahayakan banyak orang di dalam kerajaan: (1) tiga tahun kelaparan, atau (2) tiga bulan dihancurkan oleh pedang musuh, atau (3) tiga hari penyakit sampar melanda negeri itu. Daud memilih opsi ketiga, dan tujuh puluh ribu orang mati ketika malaikat maut melewati negeri itu. Maka berserulah Daud kepada Allah, "Berkatalah Daud kepada Allah, “Bukankah aku yang menyuruh menghitung rakyat dan aku sendirilah yang telah berdosa dan yang melakukan kejahatan? Tetapi, domba-domba ini, apakah yang telah dilakukan mereka? Ya TUHAN, Allahku, biarlah tangan-Mu menimpa aku dan kaum keluargaku, tetapi janganlah menimpa umat-Mu dengan tulah.” (1 Tawarikh 21:17).
Seperti Daud, kita mungkin sulit untuk mengerti mengapa Allah menghukum 70.000 orang lain akibat dosa Daud. Teks Alkitab tidak memberikan jawaban. Namun, kita bisa menemukan bahwa pelanggaran para pemimpin jelas akan mencelakakan rakyatnya. Jika pemimpin bisnis memutuskan mengembangkan produk yang buruk, orang-orang di organisasinya akan kehilangan pekerjaan saat penghasilan menurun. Jika pengelola restoran tidak menerapkan aturan kebersihan, para pelanggan akan sakit. Jika guru memberi nilai bagus untuk pekerjaan yang buruk, siswa-siswa akan gagal atau tertinggal di tingkat pendidikan selanjutnya. Orang-orang yang menerima posisi kepemimpinan tidak bisa menghindar dari tanggung jawab atas akibat tindakan mereka pada orang lain.
Dukungan Daud terhadap Seni Musik (1 Tawarikh 25)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi1 Tawarikh menambahkan keterangan yang tidak terdapat dalam 2 Samuel dan 1 Raja-raja. Daud membentuk kelompok-kelompok musisi "untuk menyanyikan puji-pujian di rumah Tuhan."
Di bawah pimpinan ayah mereka, mereka sekalian bernyanyi di Rumah Tuhan dengan diiringi simbal, gambus, dan kecapi untuk ibadah di Rumah Allah dengan wewenang raja. Demikianlah tugas Asaf, Yedutun, dan Heman. Mereka beserta saudara-saudara mereka yang telah dilatih bernyanyi untuk TUHAN, semua orang terampil itu, berjumlah dua ratus delapan puluh delapan orang. (1 Tawarikh 25:6-7)
Menangani grup musik sebesar dua kali kelompok orkestra simfoni modern merupakan usaha yang luar biasa di negara yang baru muncul di abad 10 SM itu. Namun, Daud tidak melihatnya sebagai kemewahan, melainkan sebagai kebutuhan. Bahkan, ia memerintahkan hal ini dalam perannya sebagai panglima tertinggi tentara, dengan persetujuan para panglima lainnya (1 Tawarikh 25:1).
Banyak kalangan militer saat ini memiliki grup musik atau paduan suara, tetapi tidak banyak tempat kerja lain yang mengusahakannya, kecuali mereka memang organisasi musik. Namun ada sesuatu yang penting tentang musik dan kesenian lainnya bagi semua jenis pekerjaan. Dunia ciptaan Allah—sumber aktivitas ekonomi manusia—tidak hanya produktif, tetapi juga indah (misal, Kejadian 3:6; Mazmur 96:6; Yehezkiel 31:7-9), dan Allah menyukai hasil karya yang indah (misal, Yesaya 60:13). Apa tempat keindahan dalam pekerjaan Anda? Apakah Anda atau organisasi Anda atau orang-orang yang memakai pekerjaan Anda mendapatkan manfaat jika pekerjaan Anda menciptakan lebih banyak keindahan? Apa pula artinya bahwa bekerja dalam pekerjaan Anda itu indah?
Menilai Pemerintahan Raja Daud (1 Raja-raja)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagaimana kita mengevaluasi Daud dan pemerintahannya? Patut dicatat bahwa meskipun Salomo memiliki lebih banyak kekayaan, wilayah dan kemasyhuran daripada Daud ayahnya, tetapi yang dinyatakan sebagai raja Israel terbesar dalam kitab Raja-raja dan Tawarikh adalah Daud, sebagai model yang menjadi tolok ukur raja-raja lainnya.
Kita mungkin mendapatkan pengharapan untuk diri kita sendiri dari respons Allah terhadap hal-hal positif maupun negatif yang kita temukan dalam kehidupan dan perbuatan Daud. Kita terkesan dengan kesalehannya yang fundamental meskipun kita menjadi pucat dengan kekerasan, nafsu dan manipulasi politiknya. Ketika kita melihat ambivalensi yang sama di hati dan tindakan kita sendiri, kita mendapat penghiburan dan pengharapan dalam Allah yang mengampuni segala dosa kita. Penyertaan Allah pada Daud memberi kita pengharapan bahwa sekalipun menghadapi ketidaksetiaan kita, Allah tetap menyertai kita sebagai Hound of Heaven (Pengejar dari Surga) yang tak pernah lelah.
Seperti Saul, Daud menggabungkan kebesaran dan kesetiaan dengan dosa dan kesalahan. Kita mungkin lalu bertanya-tanya, mengapa Allah melanggengkan pemerintahan Daud, tetapi Saul tidak. Sebagian mungkin karena hati Daud tetap melekat pada Allah (1 Raja-raja 11:4, 15:3), meskipun ia berbuat salah. Hal seperti ini tak pernah dikatakan tentang Saul. Atau mungkin hanya karena cara terbaik untuk Allah menggenapi tujuan-tujuan-Nya bagi umat-Nya adalah dengan menempatkan Daud di atas takhta dan mempertahannya di sana. Ketika Allah memanggil kita untuk suatu tugas atau posisi, yang Dia pikirkan tidak selalu atau melulu diri kita. Dia mungkin memilih kita karena dampak yang bisa kita berikan pada orang lain. Sebagai contoh, Allah memberi kemenangan atas Babel kepada Koresh, raja Persia, bukan untuk mengganjar atau menguntungkan Koresh, tetapi untuk membebaskan Israel dari pembuangan (2 Tawarikh 36:22-23).
Daud Menyiapkan Salomo Menggantikannya Sebagai Raja (1 Raja-raja 1; 1 Tawarikh 22)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKarena Daud sebagai raja sudah menumpahkan banyak darah, Allah memutuskan bukan Daud yang akan membangun rumah untuk Tuhan, tetapi Salomo, anaknya (1 Tawarikh 22:7-10). Jadi Daud menerima bahwa tugas terakhirnya adalah melatih Salomo untuk menjadi raja (1 Tawarikh 22:1-16) dan mengelilinginya dengan tim yang cakap (1 Tawarikh. 22:17-29). Daud menyediakan banyak sekali bahan-bahan untuk pembangunan bait suci di Yerusalem, dan berkata, "Salomo, anakku, masih muda dan kurang berpengalaman, padahal rumah yang akan didirikannya bagi TUHAN haruslah luar biasa besarnya." (1 Tawarikh 22:5). Ia secara terbuka menyerahkan otoritas kepada Salomo dan memastikan para pemimpin Israel mengakui Salomo sebagai raja baru dan siap membuatnya berhasil.
Daud sadar bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab yang berlaku lebih lama dari karier orang itu sendiri. Di dalam banyak kasus, pekerjaan Anda akan terus berlanjut setelah Anda beralih (entah karena promosi, pensiun, atau menerima pekerjaan lain). Anda punya kewajiban untuk menciptakan kondisi-kondisi yang diperlukan agar penerus Anda berhasil. Di dalam Daud menyiapkan Salomo, kita melihat ada tiga bagian dalam perencanaan suksesi. Pertama, Anda perlu menyediakan sumber daya yang diperlukan penerus Anda untuk menyelesaikan tugas-tugas yang belum Anda selesaikan. Jika Anda minimal cukup berhasil, Anda tentu sudah tahu bagaimana mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan dalam posisi Anda. Ini seringkali bergantung pada relasi-relasi yang tidak serta-merta diwarisi pengganti Anda. Sebagai contoh, kesuksesan mungkin tergantung pada bantuan orang-orang yang tidak bekerja di departemen Anda, tetapi bersedia membantu Anda dalam pekerjaan Anda. Anda perlu memastikan pengganti Anda tahu siapa saja orang-orang ini, dan Anda perlu mendapatkan komitmen mereka untuk terus membantu pengganti Anda setelah Anda tidak menjabat lagi. Daud mengatur agar “semua orang-orang yang terampil dalam segala jenis pekerjaan” yang sudah menjalin relasi dengannya bekerja untuk Salomo setelah ia pergi (1 Tawarikh 22:15).
Kedua, Anda perlu mengimpartasikan pengetahuan dan relasi-relasi Anda kepada orang yang menggantikan Anda. Dalam banyak situasi, ini dilakukan dengan mengajak pengganti Anda bekerja bersama Anda jauh sebelum Anda pergi. Daud mulai melibatkan Salomo dalam struktur kepemimpinan dan ritual-ritual kerajaan menjelang kematiannya, meskipun tampaknya ia bisa melakukan pekerjaan yang jauh lebih baik jika ia memulai lebih dini (1 Raja-raja 1:28-40). Dalam kasus-kasus lain, Anda mungkin tidak memiliki peran yang perlu diteruskan kepada pengganti Anda, dan Anda mungkin tidak memiliki tugas yang tumpang tindih dengannya. Dalam hal itu, Anda perlu menyampaikan informasi secara tertulis dan juga melalui orang-orang yang akan tetap berada dalam organisasi itu. Apa yang dapat Anda lakukan untuk menyiapkan perkerjaan dan pengganti Anda agar berhasil, bagi kemuliaan Allah, setelah Anda pergi?
Ketiga, Anda perlu memindahkan kekuasaan secara tegas kepada orang yang mengambil alih posisi itu. Entah Anda memilih sendiri pengganti Anda atau orang lain yang membuat keputusan itu tanpa masukan dari Anda, Anda punya pilihan untuk mengakui secara terbuka atau tidak peralihan itu dan menyerahkan dengan jelas otoritas yang sebelumnya Anda pegang. Perkataan dan tindakan Anda akan membawa berkat atau kutuk pada pengganti Anda. Satu contoh terkini adalah manipulasi yang menunjukkan Vladimir Putin terlibat dalam mempertahankan kekuasaan setelah pembatasan masa jabatan membuatnya tidak bisa memperoleh masa jabatan ketiga berturut-turut sebagai Presiden Rusia. Ia lalu mengatur agar sebagian kekuasaan Presiden dialihkan kepada Perdana Menteri, dan kemudian menggunakan pengaruhnya untuk membuat mantan bawahan Presiden terpilih menunjuk Putin sebagai Perdana Menteri segera setelah itu.[1] Setelah satu masa jabatan sebagai Perdana Menteri, Putin dengan mudah melenggang menjadi Presiden lagi, atas undangan petahana, yang menyingkir.[2]
Akibatnya, konsentrasi kekuasaan di tangan Putin terus berlanjut selama beberapa dasawarsa, masa jabatan panjang yang ingin dicegah, karena sangat mungkin merugikan Rusia dan tetangganya. Sebaliknya, Daud mengatur agar Salomo diurapi secara terbuka sebagai raja, menyerahkan simbol-simbol kerajaan kepadanya dan menyatakannya sebagai raja baru di depan publik meskipun Daud sendiri masih hidup (1 Raja-raja 1:32-35, 39-40).
Salomo Menggantikan Daud Sebagai Raja (1 Raja-raja 1-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSaat menggantikan Daud sebagai raja, Salomo menghadapi banyak sekali tugas dan kewajiban (1 Raja-raja 3:5-15). Ia menyadari betul bahwa ia tidak mampu menangani semua tugas itu (1 Tawarikh 22:5). Pekerjaan yang dipercayakan padanya begitu besar dan luas. Selain proyek pembangunan bait suci, ia harus mengurusi bangsa yang besar dan kompleks, "suatu umat yang besar, yang tidak terhitung dan tidak terkira banyaknya" (1 Raja-raja 3:8). Meskipun ia meningkatkan pengalaman tentang pekerjaan itu, ia sadar bahwa pekerjaan itu sangat kompleks dan ia tak dapat memikirkan tindakan yang tepat dalam setiap situasi. Ia memerlukan pertolongan ilahi: karena itu ia meminta Allah, "Berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang penuh pengertian untuk menjadi hakim atas umatmu dan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat; sebab, siapakah yang sanggup menjadi hakim atas umat-Mu yang besar ini?” (1 Raja-raja 3:9). Allah mengabulkan doanya dan memberinya “hikmat dan pengertian yang sangat dalam, serta akal budi yang luas seperti pasir di tepi laut.” (1 Raja-raja 4:29).
Salomo Membangun Rumah Tuhan (1 Raja-raja 5-8)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTugas besar pertama Salomo adalah membangun Rumah Tuhan. Untuk mencapai karya arsitektur yang hebat ini, Salomo mempekerjakan tenaga-tenaga ahli dari segala penjuru kerajaannya. Tiga pasal (1 Raja-raja 5-7) dihabiskan untuk menjelaskan pekerjaan pembangunan Bait Suci itu, yang karena keterbatasan ruang akan kita pilih dan bahas sebagian kecil saja:
Salomo juga mempunyai tujuh puluh ribu kuli pengangkat barang dan delapan puluh ribu pemotong batu di pegunungan. Selain itu Salomo mempunyai tiga ribu tiga ratus pengawas yang mengepalai pekerjaan itu dan mengawasi rakyat yang melaksanakan pekerjaan itu. Raja memerintahkan agar mereka memecah batu-batu besar, batu-batu pilihan untuk membuat dasar rumah dari batu-batu yang dipotong itu. (1 Raja-raja 5:15–17)
Ia membentuk dua tiang tembaga, tiang yang satu delapan belas hasta tingginya dan dapat dililit dengan tali sepanjang dua belas hasta; demikian juga tiang yang lain. Dibuatnya juga dua kepala tiang dari tembaga tuangan untuk ditaruh di ujung tiang-tiang itu. Kepala tiang yang satu lima hasta tingginya dan yang lain juga lima hasta. Dibuatnya pula dua hiasan bercorak jaring untuk kepala tiang yang ada di ujung tiang itu, seperti untaian rantai; tujuh untaian bagi satu tiang dan tujuh lagi bagi tiang yang lain. (1 Raja-raja 7:15-17)
Salomo membuat segala perlengkapan yang ada di rumah TUHAN mezbah emas, meja emas tempat roti sajian; kandil-kandil dari emas murni di depan ruang terdalam, lima di sebelah kanan dan lima di sebelah kiri; kembangnya, lampu, dan sepitnya, semuanya dari emas; bejana-bejananya, pisau-pisau, bokor-bokor penyiraman, cawan-cawan, dan tungku-tungku perbaraannya, semuanya dari emas murni; engsel untuk pintu ruang terdalam, yakni Tempat Mahakudus, dan engsel untuk pintu ruang besar Bait Suci, semuanya dari emas. Lalu selesailah segala pekerjaan yang dilakukan Raja Salomo di Rumah TUHAN itu. Kemudian Salomo memasukkan barang-barang kudus Daud, ayahnya, dan menaruh perak, emas, dan segala perlengkapannya dalam perbendaharaan Rumah TUHAN. (1 Raja-raja 7:48-51)
Dari tenaga-tenaga ahli yang cakap hingga para pekerja rodi, orang-orang dalam kerajaan itu menyumbangkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk ikut membangun Bait Suci itu. Dengan demikian, Salomo melibatkan banyak sekali orang untuk ikut membangun dan mendukung kerajaannya. Entah Salomo memang bermaksud demikian atau tidak, mempekerjakan sangat banyak orang dari semua lapisan masyarakat memastikan bahwa sebagian besar warganegara ikut berinvestasi pribadi dalam kesejahteraan politik, agama, sosial, dan ekonomi kerajaan.
Salomo Memusatkan Kekuasaan Kerajaan (1 Raja-raja 9-11)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTindakan masif nasional yang diperlukan untuk membangun Bait Suci membuat Salomo menjadi penguasa kerajaan yang kuat. Selama masa pemerintahannya, situasi militer dan perekonomian Israel bisa mencapai puncaknya, dan kerajaannya mencakup lebih banyak wilayah dibanding semua zaman lain dalam sejarah Israel. Ia berhasil mencapai sentralisasi kekuasaan negara, manajeman ekonomi, dan ibadah.
Untuk mendapatkan jumlah tenaga kerja yang cukup besar, raja Salomo mengerahkan pekerja dari seluruh wilayah Israel. Jumlah yang dikumpulkan sampai tiga puluh ribu orang (1 Raja-raja 5:13-14). Salomo tampaknya membayar orang Israel yang dikerahkan untuk bekerja itu (1 Raja-raja 9:22) sesuai ketetapan di Imamat 25:44-46, yang melarang memperbudak orang Israel. Namun, penduduk asing benar-benar diperbudak (1 Raja-raja 9:20-21). Selain itu, banyak pekerja didatangkan dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Dari mana pun asalnya, beragam tenaga ahli yang sangat terampil dikumpulkan bersama-sama, termasuk ahli-ahli tukang terbaik yang ada pada saat itu. Kitab Samuel, Raja-Raja, dan Tawarikh—yang sangat tertarik pada pekerjaan raja-raja —tidak banyak berbicara tentang pekerja-pekerja ini kalau tidak berkaitan dengan Bait Suci. Akan tetapi mereka terlihat di latar belakang, melakukan semua yang mungkin dilakukan masyarakat.
Salomo tahu bahwa ketika pemerintah pusat berkembang, tenaga kerja yang semakin besar membutuhkan makanan. Para prajurit perlu dipelihara (1 Raja-raja 6:9-11), di samping para pekerja di semua proyek pembangunan Salomo. Birokrasi yang berkembang juga perlu diberi makan. Maka raja lalu mengatur negara menjadi dua belas sektor dan menunjuk seorang deputi sebagai pengawas di setiap sektor. Setiap deputi itu bertugas menyediakan seluruh jatah makanan yang dibutuhkan per bulan setiap tahun. Akibatnya, putri-putri bangsa itu dikerahkan untuk bekerja sebagai "juru masak dan tukang roti" (1 Samuel 8:13). Israel menjadi seperti kerajaan-kerajaan lain yang memberlakukan pekerja rodi, pajak yang berat, dan kelompok elit pusat yang memegang kekuasaan atas seluruh negeri.
Seperti yang telah dinubuatkan Samuel, raja-raja membawa pasukan yang sangat besar (1 Samuel 8:11-12). Militerisasi mendapat dukungan kekuatan penuh selama pemerintahan Salomo karena militer merupakan komponen yang sangat penting bagi stabilitas kerajaan. Prajurit dari setiap kepangkatan dari yang terendah sampai para jenderal semuanya membutuhkan senjata-senjata seperti lembing, tombak, busur dan anak panah, pedang, belati, pisau, dan ketapel. Mereka membutuhkan alat pelindung seperti perisai, ketopong, dan baju zirah. Untuk mengurus tentara berskala besar seperti itu, organisasi militer harus ditangani secara nasional. Berbeda dengan ayahnya, Daud, Salomo disebut "orang yang suka damai," tetapi kedamaian itu dijamin dengan kehadiran kekuatan militer yang terorganisir dengan baik dan dipelihara dengan baik.
Dari kisah Salomo kita melihat bahwa masyarakat tergantung pada pekerjaan sangat banyak orang, dengan berbagai struktur dan sistem yang mengatur produksi dan distribusi berskala besar. Kemampuan manusia untuk mengatur pekerjaan adalah bukti bahwa kita diciptakan segambar dengan Allah yang membawa keteraturan dalam kekacauan dunia (Kejadian 1). Alangkah tepatnya Alkitab menggambarkan kemampuan ini dalam pembangunan tempat pertemuan antara Allah dan manusia. Diperlukan kemampuan yang dari Allah untuk mengatur pekerjaan yang berskala cukup besar dalam membangun rumah Tuhan. Tidak banyak dari kita yang mau kembali memikirkan cara-cara mengatur Salomo—pengerahan tenaga kerja, kerja rodi, dan militerisasi—agar kita dapat bersyukur bahwa Allah memimpin kita kepada cara-cara yang lebih baik dan lebih efektif sekarang ini. Yang dapat kita petik dari episode ini barangkali adalah bahwa Allah sangat tertarik pada seni menyelaraskan pekerjaan dan kreativitas manusia untuk mencapai tujuan-tujuan Allah di dunia.
Menilai Zaman Keemasan Salomo (1 Raja-raja)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiNubuat Samuel tentang bahaya-bahaya memiliki raja digenapi pada zaman Salomo.
“Inilah hak raja yang akan berkuasa atas kamu. Ia akan mengambil anak-anakmu laki-laki… Ia akan mengambil anak-anakmu perempuan… Ia akan mengambil yang terbaik dari ladangmu, kebun anggurmu, dan kebun zaitunmu… Ia akan mengambil sepersepuluh dari gandummu dan hasil kebun anggurmu… Ia akan mengambil budak-budakmu laki-laki dan hambamu perempuan, yang terbaik dari ternakmu dan keledaimu, untuk dipekerjakannya. Ia akan mengambil sepersepuluh dari kambing dombamu. Engkau sendiri akan menjadi budaknya. Pada waktu itu kamu akan menjerit karena rajamu yang kamu pilih itu, tetapi TUHAN tidak akan menjawab kamu pada waktu itu.” (1 Samuel 8:11-18)
Dari luar, kampanye pembangunan dan pengaturan Salomo tampak sangat sukses. Rakyat dengan senang hati melakukan pengorbanan yang diperlukan untuk membangun Bait Suci itu (1 Raja-raja 8:65-66), tempat semua orang bisa datang untuk menerima keadilan (1 Raja-raja 8:12-21), pengampunan (1 Raja-raja 8:33-36), pemulihan (1 Raja-raja 8:37-40), dan belas kasihan Allah (1 Raja-raja 8:46-53).
Namun, setelah Bait Suci itu selesai dibangun, Salomo membangun istana yang sama besar dan megahnya dengan Bait Suci (1 Raja-raja 9:1, 10). Ketika ia menjadi terbiasa dengan kekuasaan dan kekayaan, ia menjadi arogan, mementingkan diri sendiri, dan tidak setia. Ia mengambil sebagian besar kapasitas produktif bangsa itu untuk kepentingan pribadinya. Takhta gadingnya yang sudah keren dilapisi emas (2 Tawarikh 9:17). Ia mengadakan perjamuan-perjamuan makan yang mewah (1 Raja-raja 10:5). Ia mengingkari perjanjian dengan sekutunya (1 Raja-raja 9:12), dan ia memiliki "tujuh ratus istri dari kaum bangsawan dan tiga ratus selir" (1 Raja-raja 11:3). Yang terakhir ini menjadi kehancuran utamanya, karena "ia mencintai banyak perempuan asing" (1 Raja-raja 11:1) dengan akibat "Pada waktu Salomo sudah tua, istri-istrinya itu mencondongkan hatinya kepada ilah-ilah lain, sehingga hatinya tidak sepenuhnya setia kepada TUHAN, Allahnya, seperti hati Daud, ayahnya.”(1 Raja-raja 11:4). Ia mendirikan kuil-kuli untuk Asytoret, Milkom, Kamos dan Molokh (1 Raja-raja 11:5-7). Dengan syarat perjanjian bahwa kesetiaan raja kepada Allah akan menjadi kunci kemakmuran bangsanya, maka Israel pun segera merosot cepat dari puncaknya. Allah sangat peduli apakah kita melakukan pekerjaan kita bagi tujuan-tujuan-Nya atau tidak. Prestasi-prestasi luar biasa bisa tercapai ketika kita bekerja sesuai dengan rencana Allah, tetapi pekerjaan kita akan cepat hancur jika sebaliknya.
Dari Kerajaan Yang Gagal sampai Pembuangan (1 Raja-raja 11 - 2 Raja-raja 25; 2 Tawarikh 10-36)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSalomo baru raja ketiga di Israel, tetapi kerajaannya sudah mencapai puncak masa kejayaannya. Selama empat ratus tahun berikutnya, satu demi satu raja yang buruk memimpin kerajaan itu menuju kemerosotan, kehancuran dan kekalahan/pembuangan.
Kerajaan Salomo Yang Kuat Terbagi Dua (1 Raja-raja 11:26-12:19)
Setelah Salomo wafat, segera tampak jelas bahwa keresahan sudah berkembang di balik lapisan manajemen yang baik dan efektif. Setelah kematian raja besar itu, Yerobeam (sebelumnya kepala pekerja rodi) dan segenap jemaah Israel mendatangi putra dan penerus raja, Rehabeam (lk. 931 - 914 SM), dan memintanya untuk "meringankan pekerjaan sukar yang dibebankan ayahmu dan tanggungan berat yang dipikulkannya kepada kami" (1 Raja-raja 12:3-16; 2 Tawarikh 10). Mereka siap menunjukkan kesetiaan kepada raja baru itu sebagai imbalan atas pengurangan beban kerja paksa dan pajak yang tinggi.[1] Namun, selama empat puluh tahun, Rehabeam hanya mengenal kehidupan istana yang mewah, yang ditopang dan dicukupi oleh orang Israel. Pikirannya yang merasa berhak terlalu kuat untuk menerima kompromi. Alih-alih meringankan beban yang tidak semestinya dibebankan ayahnya kepada rakyat, Rehabeam malah memperberat kuk mereka.
Menepati nubuat Samuel selanjutnya (1 Samuel 8:18), pemberontakan pun timbul dan kerajaan menjadi terpecah untuk selamanya. Karena banyak orang Israel sudah bersedia melakukan bagian tugas mereka yang cukup untuk mendukung negara, munculnya ekspektasi-ekspektasi yang tidak realistis dan logis menimbulkan pemberontakan dan perpecahan. Sepuluh suku bagian utara melepaskan diri, dan mengangkat Yerobeam (lk. 931 - 910 SM) menjadi raja mereka. Meskipun Yerobeam pernah menjadi pemimpin delegasi yang meminta keringanan pajak dari Rehabeam, dinastinya ternyata tidak lebih baik bagi rakyatnya.
Derap Kerajaan Utara ke dalam Pembuangan (1 Raja-raja 12:25 - 2 Raja-raja 17:18)
Selama dua abad (910-722 SM) kerajaan Israel utara diperintah oleh raja-raja yang melakukan kejahatan besar di mata Tuhan. Abad-abad ini ditandai terus-menerus dengan peperangan, pengkhianatan, pembunuhan, yang mencapai puncaknya dengan penaklukan bangsa Asyur yang menjadi malapetaka. Untuk menghancurkan seluruh identitas bangsa, orang-orang Asyur menangkap dan menyerakkan penduduk ke berbagai wilayah kerajaan mereka dan membawa masuk orang asing untuk menduduki wilayah yang ditaklukkan (2 Raja-raja 17:5-24). Seperti yang dibahas dalam “Ketidaktaatan Daud pada Tuhan mendatangkan penyakit sampar nasional (1 Tawarikh 21:1-17),” kegagalan para pemimpin sering membawa dampak yang mengerikan pada rakyatnya.
Obaja Menyelamatkan Seratus Orang Saat Bekerja dalam Sistem Yang Korup (1 Raja-raja 18)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiSetidaknya ada dua episode dalam periode ini yang patut menjadi perhatian kita. Yang pertama, penyelamatan seratus nabi oleh Obaja mungkin bisa menolong orang-orang yang perlu membuat keputusan apakah harus berhenti kerja dari organisasi yang sudah menjadi tidak etis, sebuah keputusan yang dihadapi banyak orang di dunia kerja.
Obaja adalah kepala staf di istana raja Ahab. (Ahab terkenal sebagai raja Israel yang paling jahat). Permaisuri Ahab, Izebel, memerintahkan untuk membunuh nabi-nabi Tuhan. Sebagai pejabat tinggi di istana raja Ahab, Obaja sudah mengetahui lebih dulu tentang perintah operasi itu, dan juga cara untuk menghindarinya. Ia lalu menyembunyikan seratus nabi di dalam dua gua dan menyediakan roti dan air minum untuk mereka sampai krisis mereda. Mereka selamat karena ada “seorang yang sungguh-sungguh takut akan TUHAN” (1 Raja-raja 18:3) dalam posisi otoritas yang dapat melindungi mereka. Situasi serupa terjadi dalam Kitab Ester, yang disampaikan dengan lebih rinci dalam “Bekerja dalam Sistem yang Bobrok (Ester)” di https://www.teologikerja.org/.
Bekerja dalam organisasi yang korup atau jahat bisa mematahkan semangat. Betapa jauh lebih mudah untuk berhenti dan mencari tempat kerja yang lebih baik. Seringkali berhenti adalah satu-satunya cara agar kita sendiri terhindar dari ikut melakukan kejahatan. Namun, tidak ada tempat kerja di bumi ini yang benar-benar baik, dan kita akan menghadapi dilema etika dimana pun kita bekerja. Lagipula, semakin bobrok tempat kerja itu, semakin dibutuhkan adanya orang-orang saleh di tempat itu. Jika masih ada cara untuk tetap bekerja di tempat itu tanpa kita sendiri harus ikut melakukan kejahatan, bisa jadi Allah memang menghendaki kita tetap tinggal. Selama Perang Dunia II, sekelompok perwira yang menentang Hitler tetap berada di Abwher (badan intelijen militer) karena hal itu memberi mereka platform untuk bisa menggulingkan Hitler. Rencana mereka gagal, dan sebagian besar dihukum mati, termasuk teolog Dietrich Bonhoeffer. Saat menjelaskan mengapa ia tetap menjadi tentara Hitler, ia berkata, "Pertanyaan terpenting yang perlu ditanyakan kepada orang yang bertanggung jawab bukanlah bagaimana ia melepaskan dirinya secara heroik dari perkara itu, tetapi bagaimana generasi mendatang harus hidup."[1] Tanggung jawab kita untuk melakukan apa yang dapat kita lakukan untuk menolong orang lain tampaknya lebih penting bagi Allah daripada keinginan kita untuk menganggap diri kita bersih secara moral.
Ahab dan Izebel Membunuh Nabot untuk Menguasai Hartanya (1 Raja-raja 21)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiRaja Ahab menyalahgunakan kekuasaannya lagi ketika ia menginginkan kebun anggur tetangganya, Nabot. Ahab menawarkan harga yang pantas untuk membeli kebun anggur itu, tetapi Nabot menganggap ladang itu sebagai warisan leluhur dan menyatakan tidak tertarik untuk menjualnya dengan harga berapa pun. Ahab merasa kesal menerima keterbatasan kuasanya yang wajar ini, tetapi istrinya Izebel memacunya untuk bertindak lalim. “Bukankah engkau sekarang yang berkuasa sebagai raja atas Israel?” hasutnya (1 Raja-raja 21:7). Jika raja tidak punya keinginan untuk menyalahgunakan kekuasaan, permasurinya punya. Ia membayar dua orang dursila untuk memberikan tuduhan palsu tentang penghujatan dan pengkhianatan yang tidak dilakukan Nabot, yang langsung dihukum mati dengan dilempari batu oleh para tua-tua kota. Kita dibuat tak habis pikir mengapa para tua-tua itu bertindak begitu cepat, bahkan tanpa mengadakan pengadilan yang semestinya. Apakah mereka bersekongkol dengan raja? Karena mereka berada di bawah kekuasaannya dan takut menentangnya? Bagaimanapun, dengan Nabot mati, Ahab bisa mengambil kebun anggur Nabot menjadi miliknya sendiri.
Penyalahgunaan kekuasaan, termasuk perampasan tanah secara terang-terangan seperti yang dilakukan Ahab, masih terjadi sampai hari ini, sebagaimana dikonfirmasi dalam berita-berita sekilas di hampir semua surat kabar harian. Dan sebagaimana yang terjadi pada zaman Ahab, penyalahgunaan kekuasaan membutuhkan keterlibatan orang-orang yang lebih suka mentolerir ketidakadilan, bahkan pembunuhan, daripada mempertaruhkan keselamatannya sendiri demi tetangga mereka. Hanya Elia, abdi Allah, yang berani menentang Ahab (1 Raja-raja 21:17-24). Meskipun protes-protesnya tidak bisa menolong Nabot, pertentangan yang dilakukan Elia berhasil mengekang Ahab untuk tidak menyelewengkan kekuasaan lagi, sehingga tidak ada lagi penyelewengan yang dicatat dalam kitab Raja-Raja sampai Ahab mati. Melebihi yang mungkin kita perkirakan, perlawanan yang berprinsip oleh satu kelompok kecil atau bahkan satu orang dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jika tidak, mengapa para pemimpin bersusah payah menyembunyikan kelakuan buruk mereka? Apakah Anda memperkirakan kemungkinan Anda akan mengetahui setidaknya satu penyalahgunaan kekuasaan di kehidupan pekerjaan Anda? Bagaimana Anda menyiapkan diri untuk merespons jika Anda menghadapi hal itu?
Perhatian Nabi Elisa pada Pekerjaan Biasa (2 Raja-raja 2-6)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika raja-raja kerajaan utara terjerumus makin dalam kepada kemurtadan dan kezaliman, Allah membangkitkan nabi-nabi yang menentang mereka lebih keras dari sebelumnya. Nabi-nabi adalah figur-figur dengan kuasa Allah yang luar biasa yang datang entah dari mana untuk mengatakan kebenaran Allah di ruang-ruang kekuasaan manusia. Elia dan Elisa sejauh ini merupakan nabi yang paling menonjol di dalam kitab Raja-raja dan Tawarikh, dan dari antara mereka berdua, Elisa sangat dikenal karena perhatiannya pada pekerjaan biasa orang Israel. Elisa dipanggil untuk menentang raja-raja Israel yang memberontak di sepanjang kariernya yang panjang (2 Raja-raja 2:13 - 13:20). Tindakan-tindakannya menunjukkan bahwa ia memandang kehidupan ekonomi rakyat sama pentingnya dengan pergumulan dinasti kerajaan, dan ia berusaha melindungi rakyat dari bahaya-bahaya yang ditimbulkan raja-raja.
Elisa Memperbaiki Sistem Irigasi Kota (2 Raja-raja 2:19-22)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTindakan besar pertama Elisa adalah membersihkan sumur yang tercemar di kota Yerikho. Keprihatinan utama dalam perikop ini adalah produktivitas pertanian. Tanpa sumur yang sehat, ”tanah tidak subur.” Dengan memperbaiki akses ke air bersih, Elisa memungkinkan penduduk kota dapat menjalankan lagi misi yang diberikan Allah kepada manusia untuk berbuah, bertambah banyak dan menghasilkan makanan (Kejadian 1:28-30).
Elisa Mengatasi Masalah Ekonomi Rumahtangga (2 Raja-raja 4:1-7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika salah seorang nabi di lingkungan Elisa meninggal, keluarganya terlilit hutang. Nasib keluarga miskin di Israel kuno biasanya menjual beberapa atau seluruh anggotanya sebagai budak, agar setidaknya mereka bisa diberi makan (lihat “Perbudakan atau Perhambaan Kontrak (Keluaran 21:1-11)” di https://www.teologikerja.org/). Janda itu hampir menjual kedua anaknya sebagai budak ketika ia datang pada Elisa untuk memohon bantuan (2 Raja-raja 4:1). Elisa menolong dengan suatu rencana yang akan membuat keluarga itu menjadi produktif secara ekonomi dan bisa menghidupi diri mereka sendiri. Ia bertanya kepada janda itu apa yang ia miliki untuk dipakai bekerja. “Hambamu ini tidak punya apa-apa di rumah,” katanya, “kecuali sebuah buli-buli berisi minyak” (2 Raja-raja 4:2). Rupanya modal ini saja pun sudah cukup untuk Elisa memulai rencananya. Ia menyuruh janda itu meminjam bejana-bejana kosong dari semua tetangganya dan mengisinya dengan minyak dari buli-buli itu. Ajaibnya, ia dapat mengisi semua bejana itu dengan minyak yang tak habis-habisnya dari buli-buli itu, dan keuntungan dari hasil penjualan minyak itu cukup untuk membayar utang keluarganya (2 Raja-raja 4:9). Pada intinya, Elisa menciptakan komunitas wirausaha yang di dalamnya perempuan itu dapat memulai bisnis kecil-kecilan. Seperti inilah tepatnya yang dilakukan beberapa metode yang paling efektif dalam memerangi kemiskinan saat ini, entah melalui ekonomi mikro, lembaga kredit, koperasi pertanian, atau program pemasok usaha kecil dari pihak perusahaan besar dan pemerintah.
Tindakan Elisa untuk kepentingan keluarga ini mencerminkan kasih dan perhatian Allah kepada orang-orang yang membutuhkan. Bagaimana pekerjaan kita dapat meningkatkan kesempatan pada orang miskin untuk bekerja sendiri mencapai kemakmuran? Dengan cara apa kita secara individu maupun kolektif menggerogoti kapasitas produktif orang miskin dan ekonomi, dan apa yang dapat kita lakukan, dengan pertolongan Allah, untuk melakukan pembaruan?
Elisa Memulihkan Kesehatan Panglima Militer (2 Raja-raja 5:1-14)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika Elisa menyembuhkan penyakit kusta Naaman, panglima pasukan raja Aram, musuh Israel, hal itu memberikan dampak penting dalam bidang pekerjaan. “Menyembuhkan orang sakit bukanlah perkara kecil, apalagi orang sakit kusta,” tulis Jacques Ellul dalam esainya yang sangat mendalam tentang perikop ini,[1] karena penyembuhan mengembalikan kemampuan untuk bekerja. Dalam hal ini, penyembuhan mengembalikan Naaman kepada pekerjaannya dalam memerintah, dan menasihati rajanya dalam berurusan dengan raja Israel. Menariknya, penyembuhan orang asing ini juga membawa pembaruan budaya etika di dalam organisasi Elisa sendiri. Naaman menawarkan hadiah yang mahal kepada Elisa atas penyembuhan itu. Akan tetapi Elisa tidak mau menerima apa pun untuk hal yang dianggapnya hanya sebagai melakukan kehendak Tuhan. Namun, salah satu bujangnya yang bernama Gehazi melihat peluang untuk mendapat pemasukan tambahan. Gehazi mengejar Naaman, dan mengatakan bahwa Elisa berubah pikiran—bahwa ia akhirnya mau menerima bayaran yang sangat signifikan itu. Setelah menerima bayaran itu, Gehazi menyembunyikan pendapatan haramnya, lalu berbohong pada Elisa untuk menutupinya. Elisa merespons dengan mengatakan bahwa Gehazi akan menderita penyakit kusta yang sebelumnya diderita Naaman. Elisa tampaknya menyadari bahwa mentolerir korupsi di dalam organisasinya akan merusak dengan cepat seluruh kebaikan yang telah dilakukan pelayanan bagi Tuhan selama ini.
Tindakan Naaman sendiri menunjukkan hal penting lain dalam cerita ini. Naaman punya masalah - penyakit kusta. Ia perlu disembuhkan. Namun, bayangan awalnya tentang solusi itu — semacam perjumpaan dramatis dengan seorang nabi — membuatnya menolak solusi sebenarnya yang berupa perintah untuk mandi di Sungai Yordan. Ketika ia mendengar cara pengobatan sederhana yang disampaikan utusan Elisa ini —bukan Elisa sendiri—“Naaman pergi dengan marah.” Baik solusi itu maupun sumbernya tampaknya tak cukup penting untuk menjadi perhatian Naaman.
Di dunia masa kini, kedua persoalan ini sering terulang. Pertama, pemimpin senior mengabaikan solusi yang disampaikan karyawan yang levelnya lebih rendah karena tidak mau menerima pandangan dari orang yang dianggap tidak berkualitas. Jim Collins dalam bukunya Good to Great mengidentifikasi ciri pertama dari yang ia sebut pemimpin "tingkat lima" sebagai kerendahan hati, kesediaan untuk mendengarkan berbagai sumber.[2]
Kedua, solusi itu tidak diterima karena tidak sesuai dengan cara yang dipikirkan pemimpin. Untungnya banyak pemimpin saat ini, seperti Naaman, memiliki bawahan yang bersedia mengambil risiko untuk berbicara logis kepada mereka. Di dalam organisasi tidak hanya dibutuhkan atasan yang rendah hati, tetapi juga bawahan yang berani. Menariknya, orang yang membuat seluruh cerita ini terjadi adalah seorang yang statusnya paling rendah di antara semuanya, seorang anak perempuan asing yang dibawa Naaman pada saat penjarahan dan diberikan kepada istrinya sebagai budak (2 Raja-raja 5:13). Semua ini menjadi pengingat yang luar biasa bahwa arogansi dan ekspektasi yang salah dapat menghalangi pandangan, tetapi hikmat Allah tetap berusaha menerobosnya.
Elisa Mengembalikan Kapak Penebang Pohon (2 Raja-raja 6:1-7)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKetika sedang membelah kayu di tepi Sungai Yordan, seorang nabi rekan Elisa kehilangan kapak yang terjatuh ke sungai. Padahal kapak itu ia pinjam dari seorang penebang pohon. Harga sepotong besi seberat itu di zaman perunggu bisa menyebabkan kehancuran ekonomi pemiliknya, dan nabi yang meminjamnya menjadi sangat bingung. Elisa menganggap kerugian ekonomi itu sebagai masalah pribadi yang mendesak, dan langsung membuat besi itu mengapung di atas air sehingga bisa diambil dan dikembalikan kepada pemiliknya. Sekali lagi Elisa turun tangan untuk memungkinkan orang dapat bekerja mencari nafkah.
Karunia seorang nabi adalah mengetahui tujuan-tujuan Allah dalam kehidupan sehari-hari lalu bekerja dan bertindak berdasarkan hal itu. Allah memanggil nabi-nabi untuk memulihkan ciptaan Allah yang baik, di tengah dunia yang sudah jatuh, dengan cara yang menunjukkan kuasa dan kemuliaan Allah. Aspek teologis dari pekerjaan seorang nabi—memanggil manusia untuk menyembah Allah yang benar—tak pelak disertai aspek praktis untuk memulihkan cara-cara kerja yang baik dari tatanan yang diciptakan. Perjanjian Baru menunjukkan bahwa sebagian orang Kristen juga dipanggil sebagai nabi (1 Korintus 12:28; Efesus 4:11). Elisa bukan hanya seorang tokoh sejarah yang menunjukkan kepedulian Allah terhadap pekerjaan umat-Nya, tetapi juga seorang yang menjadi teladan bagi umat Krisen masa kini.
Derap Kerajaan Selatan ke dalam Pembuangan (1 Raja-raja 11:41 - 2 Raja-raja 25:26; 2 Tawarikh 16-36)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMengikuti jejak kerajaan utara, raja-raja kerajaan selatan pun segera mulai berjatuhan ke dalam penyembahan berhala dan kejahatan. Di bawah pemerintahan Rehabeam “Mereka juga mendirikan tempat-tempat pemujaan serta tugu-tugu dan tiang-tiang berhala di atas setiap bukit yang tinggi dan di bawah setiap pohon yang rimbun. Bahkan ada pelacuran bakti di negeri itu. Mereka melakukan segala yang menjijikkan seperti bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari orang Israel" (1 Raja-raja 14:23-24). Raja-raja penerus Rehabeam berada di antara berlaku setia dan melakukan yang jahat di mata Allah. Selama beberapa waktu, Yehuda memiliki cukup banyak raja-raja yang baik yang mencegah/menangguhkan bencana, tetapi pada akhirnya kerajaan itu pun jatuh ke dalam keadaan yang sama seperti yang dialami kerajaan utara. Bangsa Yehuda ditaklukkan, dan raja-raja serta para pembesar ditangkap dan dibuang oleh bangsa Babel (2 Raja-raja 24, 25). Ketidaksetiaan para raja yang “diminta” bangsa itu dengan menolak nasihat Allah ratusan tahun sebelumnya, mencapai puncaknya dengan kehancuran ekonomi, pemusnahan tenaga kerja, kelaparan, dan pembunuhan besar-besaran atau pembuangan sebagian besar penduduk. Bencana yang sudah dinubuatkan itu berlangsung selama tujuh puluh tahun sampai raja Koresy dari Persia mengizinkan pemulangan sebagian orang Yahudi untuk membangun kembali Bait Suci dan tembok-tembok di Yerusalem (2 Tawarikh 36:22-23).
Akuntabilitas Keuangan di Bait Suci (2 Raja-raja 12:1-12)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiOne example of the degeneration of the kingdom ironically serves to bring to light a model of good financial practice. Like virtually all of the kingdom’s leaders, the priests had become corrupt. Instead of using worshippers’ donations to maintain the Temple, they pilfered the money and divided it among themselves. Under the direction of Jehoash, one of the few kings “who did what was right in the sight of the Lord” (2 Kings 12:2), the priests devised an effective accounting system. A locked chest with a small hole in the top was installed in the Temple to receive the donations. When it got full, the high priest and the king’s secretary would open the chest together, count the money, and contract with carpenters, builders, masons, and stonecutters to make repairs. This ensured that the money was used for its proper purpose.
Ironisnya, salah satu contoh kebobrokan kerajaan justru memunculkan model tindakan ekonomi yang baik. Seperti hampir semua pemimpin di kerajaan, para imam juga sudah menjadi korup. Alih-alih menggunakan persembahan umat untuk merawat bait suci, mereka malah mencuri uang itu dan membagi-baginya di antara mereka sendiri. Atas perintah raja Yoas, salah satu dari sedikit saja raja “yang melakukan apa yang benar di mata Tuhan” (2 Raja-raja 12:2), para imam lalu memikirkan sistem akuntansi yang efektif. Sebuah peti terkunci dengan lubang kecil di atasnya diletakkan di bait suci untuk menampung persembahan. Ketika sudah penuh, imam besar dan sekretaris raja akan membuka peti itu bersama-sama, menghitung uangnya, dan membuat kontrak dengan tukang kayu, tukang bangunan, tukang batu, dan tukang pahat untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Cara ini menjamin uang persembahan itu digunakan untuk tujuan yang tepat.
Sistem yang sama masih digunakan sampai sekarang; contohnya, ketika uang tunai yang tersimpan di ATM dihitung. Prinsip bahwa orang yang dipercaya pun harus tunduk pada verifikasi dan akuntabilitas merupakan dasar dari manajemen yang baik. Setiap kali orang yang memegang kekuasaan—khususnya kekuasaan dalam menangani keuangan—berusaha menghindari verifikasi, organisasi itu berada dalam bahaya. Karena kitab Raja-raja memasukkan cerita ini, kita tahu bahwa Allah menghargai pekerjaan para pegawai bank, akuntan, auditor, penentu kebijakan perbankan, pengemudi mobil lapis baja, petugas pengamanan komputer, dan pekerja-pekerja lainnya yang melindungi integritas keuangan. Hal ini juga mendorong semua pemimpin di segala bidang untuk lebih dulu menjadikan dirinya sebagai contoh panutan dalam akuntabilitas publik dengan mempersilakan orang lain memeriksa pekerjaan mereka.
Arogansi dan Akhir Kerajaan (2 Tawarikh 26)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiBagaimana mungkin raja demi raja bisa begitu mudah jatuh ke dalam kejahatan? Kisah Uzia mungkin memberi kita pemahaman tertentu. Ia naik takhta pada waktu berusia enam belas tahun dan pada awalnya “ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan” (2 Tawarikh 26:4). Usia mudanya ternyata membawa manfaat, karena ia menyadari kebutuhannya akan pimpinan Tuhan. “Ia mencari Allah selama hidup Zakharia yang mengajarnya supaya takut akan Allah. Selama ia mencari TUHAN, Allah membuat dia berhasil” (2 Tawarikh 26:5).
Yang menarik, sebagian besar keberhasilan yang diberikan Tuhan kepada Uzia berkaitan dengan pekerjaan biasa. “Ia juga mendirikan menara-menara di padang gurun dan menggali banyak sumur, karena banyak ternaknya, baik di Syefela maupun di Dataran Tinggi. Ia juga mempunyai petani-petani dan penjaga-penjaga kebun anggur, di gunung-gunung dan di tanah yang subur, karena ia menyukai pertanian” ( 2 Tawarikh 26:10). “Di Yerusalem dibuatnya juga alat-alat perang, ciptaan seorang ahli” (2 Tawarikh 26:15a).
“Ia ditolong secara ajaib,” tulis Kitab Suci, “sehingga semakin kuat” (2 Tawarikh 26:15b). Lalu kekuatannya menjadi kehancurannya karena ia mulai melayani dirinya sendiri daripada melayani Tuhan. "Ketika sudah kuat ia menjadi tinggi hati sehingga ia terjerumus binasa. Ia berlaku tidak setia kepada TUHAN, Allahnya" (2 Tawarikh 26:16). Ia mencoba merebut otoritas para imam, yang menimbulkan huruhara di istana dan membuatnya kehilangan takhta dan diasingkan selama sisa hidupnya.
Kisah Uzia membawa kesadaran yang penting bagi orang-orang dalam posisi kepemimpinan saat ini. Karakter yang membawa sukses—khususnya ketergantungan pada Allah—mudah terkikis oleh kekuasaan dan hak-hak istimewa yang menyertai kesuksesan. Berapa banyak pemimpin bisnis, militer, dan politik yang percaya bahwa mereka tak terkalahkan sehingga lalu kehilangan kerendahan hati, disiplin, dan sikap melayani yang dibutuhkan untuk tetap sukses? Berapa banyak dari kita yang sukses, yang lebih memerhatikan diri sendiri dan kurang memikirkan Allah ketika kekuatan kita meningkat sedikit saja? Uzia juga beruntung karena memiliki bawahan yang berani menentangnya ketika ia melakukan kesalahan, meskipun ia mengabaikan mereka (2 Tawarikh 26:18). Apa, atau siapa, yang Anda miliki yang akan menahan Anda agar tidak terhanyut dalam kesombongan dan menjauh dari Allah ketika kesuksesan Anda meningkat?
Nista Hizkia pada Generasi Mendatang (2 Raja-raja 20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiRaja Hizkia dari Yehuda merupakan contoh lain dari arogansi raja-raja. Perikop ini dimulai ketika Hizkia sakit dan hampir mati. Ia memohon pada Allah untuk disembuhkan, dan Allah, melalui perkataan nabi Yesaya, menambahkan umurnya 15 tahun lagi. Dalam pada itu, ketika raja Babel tetangganya mendengar kabar tentang sakitnya Hizkia, ia mengirim utusan untuk memata-matai dan mencari tahu apakah situasi itu membuat Israel siap ditaklukkan. Ketika mereka datang, Hizkia sudah benar-benar sembuh. Boleh jadi kesembuhan yang ajaib itu membuatnya merasa tak terkalahkan, sehingga, alih-alih menunjukkan bahwa ia sehat dan cepat- cepat mengirim mata-mata itu pulang, ia malah memamerkan kekayaan harta bendanya kepada mereka. Hal ini membuat Israel menjadi target yang lebih menggoda dari sebelumnya.
Tuhan menanggapi tindakan bodoh ini dengan mengutus nabi Yesaya untuk bernubuat lagi.
Lalu kata Yesaya kepada Hizkia: "Dengarkanlah firman TUHAN! Sesungguhnya, waktunya akan datang, ketika segala yang ada dalam istanamu dan yang disimpan oleh nenek moyangmu sampai hari ini akan diangkut ke Babel. Tidak ada yang akan ditinggalkan, demikianlah firman TUHAN. Sebagian dari keturunanmu yang akan kauperoleh akan diambil menjadi sida-sida di istana raja Babel." (2 Raja-raja 20:16-18)
Ayat ini bisa mengingatkan kita tentang pekerjaan kita sendiri. Pada saat kesuksesan besar, kita bisa mudah sekali menjadi sombong dan ceroboh. Ini bisa mendatangkan kehancuran besar jika kita lupa bahwa kita bergantung pada kasih karunia Allah dalam segala keberhasilan kita.
Hizkia memperburuk kesalahan pertamanya dengan kesalahan kedua. Yesaya baru saja menubuatkan bahwa setelah Hizkia mati, anak-anaknya akan ditangkap dan diceraiberaikan, dan kerajaannya akan dihancurkan. Alih-alih bertobat dan memohon agar Allah kembali menyelamatkan bangsanya, ia tidak berbuat apa pun.
Hizkia menjawab Yesaya: "Sungguh baik firman TUHAN yang engkau ucapkan itu!" Namun, pikirnya: "Asal ada damai dan keamanan seumur hidupku!" (2 Raja-raja 20:19)
Ia tampaknya hanya memikirkan dirinya sendiri. Karena kehancuran itu tidak terjadi di masa ia masih hidup, Hizkia tak mau ambil pusing tentang hal itu.
Cerita ini menantang kita untuk berpikir tentang dampak tindakan-tindakan kita pada generasi mendatang, dan tidak hanya memikirkan masa hidup kita sendiri. Marion Wade, pendiri ServiceMaster, fokus membangun perusahaan yang mampu bertahan daripada memikirkan kesuksesannya sendiri. Ia berkata,
Saya tidak mencari kesuksesan pribadi sebagai individu atau sekadar kesuksesan materi sebagai perusahaan. Saya tidak menyamakan kesuksesan ini sebagai Kekristenan. Apa pun yang Tuhan inginkan merupakan yang saya inginkan. Namun, saya benar-benar berusaha membangun bisnis yang akan bertahan lebih lama daripada saya di dunia kerja, yang akan menjadi saksi Yesus Kristus melalui cara menjalankan bisnis itu. [1]
Lewis D. Solomon mendapati bahwa Wade berhasil membangun budaya kepemimpinan yang dipimpin-Allah yang masih bertahan lama setelah masa jabatannya. Selama masa yang panjang ini, perusahaan itu sangat sukses. Namun, pada akhirnya, kendali beralih ke tangan CEO yang mengadopsi gaya kepemimpinan yang kurang berani berpusat pada Allah, dan kinerja perusahaan itu pun menurun.
“ServiceMaster, sebuah perusahaan publik Fortune 500 yang sukses, tumbuh dari akar-akar yang sederhana, yang awalnya dipimpin oleh pengajar-penatalayan-pemimpin dan kemudian oleh para CEO penerusnya yang menggabungkan gaya kepemimpinan pengajar-penatalayan-pemimpin. Belum lama ini, perusahaan transisi ini, yang sekarang dipimpin seorang CEO non-Injili, menganut pendekatan non-sektarian dan inklusif. Bersamaan dengan transisi ini, persoalan-persoalan hukum perusahaan meningkat dan pemasukan keuangannya mengalami kemacetan.[2]
Pengandalan-Diri Sebagai Ganti Pimpinan Tuhan (2 Tawarikh 16-20)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun kekuatan kerajaan menurun, raja-raja tetap merasa yakin mereka mampu mengendalikan situasi mereka. Karena percaya diri dengan kemampuan mereka sendiri dan mengandalkan nasihat manusia, mereka sering tidak meminta pimpinan Allah, yang biasanya berakibat buruk.
Dalam suatu peristiwa, raja Ahab dari Kerajaan Israel hendak pergi berperang. Raja Yosafat dari Kerajaan Yehuda mengingatkannya, “Mintalah dahulu petunjuk firman TUHAN” (2 Tawarikh 18:4). Ahab lalu berkonsultasi dengan nabi-nabi di istananya, tetapi Yosafat bertanya apakah ada yang benar-benar nabi Tuhan yang bisa dimintai petunjuk. Ahab menjawab, "Masih ada seorang lagi. Dengan perantaraannya dapat diminta petunjuk TUHAN. Tetapi, aku membenci dia, sebab ia tidak pernah menubuatkan yang baik tentang aku melainkan hanya malapetaka” (2 Tawarikh 18:7). Ahab tidak menginginkan nasihat dari Tuhan karena nasihat itu tidak sesuai dengan keinginannya. Namun, akhirnya ia berkonsultasi juga dengan Mikha, yang benar saja, Mikha menubuatkan malapetaka dalam pertempuran itu, sehingga Ahab lalu memenjarakannya dan membiarkannya kelaparan (2 Tawarikh 18:18-27). Ahab maju perang dan terbunuh (2 Tawarikh 19:33-34).
Dengan cara yang sama, raja Asa memilih membentuk aliansi dengan raja Aram daripada mengandalkan perlindungan Tuhan. Setelah itu, ia ditantang oleh seorang pelihat yang berkata padanya, "Engkau bersandar pada raja Aram dan tidak bersandar pada TUHAN Allahmu, karena itu tentara raja Aram akan luput dari tanganmu” (2 Tawarikkh 16:7). Demikian juga, ketika Asa terserang penyakit kaki yang mematikan, ia tidak mencari pertolongan Allah, hanya para tabib (2 Tawarikh 16:12), yang membuatnya mengalami kematian dini.
Setelah itu, raja Yosafat ingat untuk bersandar pada pimpinan Allah. Ia lalu mengingatkan para hakimnya, “Pertimbangkanlah apa yang kamu buat, karena bukanlah untuk manusia kamu mengadili melainkan untuk TUHAN, yang turut bersamamu ketika menjatuhkan putusan. Sekarang, kiranya takut akan TUHAN meliputi kamu. Bertindaklah hati-hati, karena pada TUHAN, Allah kita, tidak ada kecurangan, sikap pandang bulu atau suap menyuap.” (2 Tawarikh 19:6-7). Meskipun demikian, ketika Yosafat sendiri menghadapi pasukan musuh yang sangat besar dalam pertempuran, nabi Yahaziel mengingatkannya: "Janganlah kamu takut dan kecut hati karena pasukan yang besar ini, sebab bukan kamu yang berperang melainkan Allah.” (2 Tawarikh 20:15).
Bidang-bidang pekerjaan dalam perikop ini—strategi militer, kedokteran, dan tata hukum—membutuhkan keterampilan manusia. Namun, keterampilan saja tidak cukup - perspektif Allah juga diperlukan. Kebanyakan bidang pekerjaan modern juga membutuhkan keterampilan, dan kita mungkin merasa pengetahuan dan pendidikan kita lebih maju dibandingkan zaman dulu. Kita mungkin berpikir kita tidak memerlukan—atau menginginkan—pimpinan Allah, sehingga kita lalu mengandalkan kekuatan kita sendiri. Allah memang telah mengaruniakan kita hikmat dan pengetahuan, tetapi Dia ingin kita mencari wajah-Nya meskipun kita berpikir kita memiliki semua kemampuan yang kita perlukan. Faktanya, segala kemampuan dan kekuatan modern membuat kebutuhan kita untuk bergantung pada Allah semakin besar, bukan semakin kecil, karena kemampuan kita tanpa pimpinan Allah akan lebih membahayakan daripada sebelumnya. Allah memberi kita talenta dan kemampuan dengan suatu alasan, dan kita perlu menggunakannya dengan berkonsultasi dengannya.
Kegagalan Rehabeam dalam Membedakan Nasihat Yang Baik dan Yang Buruk (2 Tawarikh 10:1-19)
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiContoh kegagalan dalam kepemimpinan Israel terjadi ketika raja Rehabeam merasa membutuhkan nasihat dalam suatu perkara yang sulit. Yerobeam dan seluruh orang Israel memintanya untuk meringankan beban kerja rodi yang ditetapkan ayahnya, raja Salomo (2 Tawarikh 8:8). Sebagai balasannya mereka berjanji, "Kami akan mengabdi padamu." (2 Tawarikh 10:5). Rehabeam awalnya bertindak bijak dengan meminta nasihat para tua-tua dari kerajaannya, yang menganjurkan agar ia meringankan beban itu sebagaimana yang diminta rakyat. "Jika engkau mau berlaku ramah terhadap rakyat itu, menyenangkan mereka dan menjawab mereka dengan kata-kata yang baik, maka mereka akan menjadi hamba-hambamu seumur hidupmu." (2 Tawarikh 10:7). Rehabeam tampaknya tidak menyukai jawaban ini. Jadi ia meminta pendapat teman-teman sebayanya. Mereka menasihatinya agar bertindak menunjukkan kekuasaannya dan menyombongkan diri, "Kelingkingku lebih besar dari pinggang ayahku! Sekarang, ayahku telah membebani kamu dengan kuk yang berat, tetapi aku akan memperberat kukmu. Ayahku telah menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan cambuk berduri besi." (2 Tawarikh 10:10-11). Rehabeam memilih mendengarkan nasihat teman-teman sebayanya yang masih muda karena nasihat itu tampaknya menyentuh egonya. Ia menjawab Yerobeam dan rakyatnya seperti yang disarankan teman-temannya, lalu menunjuk seorang kepala rodi baru (2 Tawarikh 10:18). Orang-orang Israel menanggapinya dengan membunuh kepala rodi itu dan memberontak terhadap Rehabeam, yang tidak pernah berhasil mengatasi pemberontakan itu (2 Tawarikh 10:19).
Keputusan-keputusan sulit juga menjadi bagian dari kepemimpinan masa kini, entah kita memimpin seluruh kerajaan atau sekadar memimpin diri sendiri. Ke mana Anda meminta nasihat, dan bagaimana Anda menggunakan nasihat dengan baik? Rehabeam memulai dengan meminta nasihat dari orang-orang yang ia tahu dewasa secara rohani. Usia sendiri tidak membuat Anda menjadi bijak, dan orang saleh juga tidak selalu lebih bijak dari orang yang tidak percaya. Namun, para tua-tua yang ia datangi itu telah menunjukkan kedewasaan rohani dan kebijaksanaan selama bertahun-tahun ketika mereka melayani raja Salomo. Salah satu buktinya adalah kemampuan mereka dalam menyikapi situasi dan fakta-fakta baru. Meskipun mereka diangkat oleh Salomo, mereka mendengarkan Yerobeam dengan pikiran terbuka, yang menyebabkan mereka memberi nasihat yang berkebalikan dengan kebijakan Salomo. Sebaliknya, teman-teman Rehabeam yang masih muda tampaknya hanya memiliki satu hal yang menarik perhatiannya — mereka adalah teman-temannya. Mudah sekali meminta nasihat dari orang-orang yang sudah berpikir seperti yang Anda pikirkan. Namun, apakah Anda memiliki akses kepada orang-orang yang dewasa rohani, yang dapat mendengarkan dengan pikiran terbuka, dan tidak takut mengatakan kepada Anda hal yang tidak ingin Anda dengar?
Saat kita dihadapkan pada keputusan yang sulit, mencari nasihat seperti yang dilakukan Rehabeam adalah langkah awal yang baik. Langkah selanjutnya adalah membedakan manakah nasihat yang menerapkan Alkitab pada situasi Anda dengan tepat, dan manakah nasihat yang hanya meneguhkan kecenderungan diri Anda sendiri. Untuk mengetahui perbedaannya, Anda perlu memilah nasihat dengan hati-hati, membandingkannya dengan firman Allah dan bertanya apakah hal itu akan mendatangkan kebaikan yang lebih besar. Dalam situasi Rehabeam, nasihat yang baik menuntutnya untuk menunjukkan kesabaran, kebaikan, kemurahan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Ini adalah lima dari sembilan “buah Roh” yang tertulis di Galatia 5:22. Ini bukan sekadar kebajikan yang dapat diperoleh dengan latihan dan kerja keras, tetapi merupakan karunia roh Allah (Galatia 5:25). Andai saja Rehabeam mau menerima roh Allah, nasihat yang baik ini akan mendatangkan damai sejahtera bagi seluruh bangsa (2 Tawarikh 10:7). Namun, nasihat yang buruk telah mencobai Rehabeam untuk menyerah pada kecemburuan, keangkuhan, kesombongan dan kekejamannya sendiri, dan memuaskan egonya sendiri. Keempat hal dari “hal-hal yang tak boleh dilakukan” ini dijelaskan dalam Roma 1:29-31. Bukan kebetulan jika nasihat yang baik seringkali menuntut Anda untuk bertumbuh secara rohani, sementara nasihat yang buruk menggoda Anda untuk menyerah pada pencobaan. Konselor terbaik seringkali adalah orang yang dapat membantu Anda memahami dan menerapkan firman Allah dan mendorong Anda mengambil keputusan untuk bertumbuh dalam roh Allah.
Konklusi Kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMasalah pengaturan dan kepemimpinan menyentuh seluruh kehidupan. Ketika bangsa-bangsa dan organisasi-organisasi diatur dan dikelola dengan baik, orang-orang memiliki kesempatan untuk berkembang. Ketika para pemimpin gagal bertindak untuk kebaikan organisasi dan komunitas mereka, bencana muncul. Keberhasilan atau kegagalan raja-raja Israel dan Yehuda pada akhirnya bergantung pada kesetiaan mereka pada perjanjian dan hukum Allah. Dengan sebagian pengecualian tentang Daud, Salomo, dan beberapa lainnya, raja-raja itu memilih untuk menyembah ilah-ilah palsu, yang membuat mereka mengikuti prinsip-prinsip yang tidak etis dan memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan rakyat mereka. Ketidaksetiaan mereka pada akhirnya membawa kehancuran pada Israel maupun Yehuda.
Namun, kesalahan tidak hanya terletak pada raja-raja itu. Bangsa itu sendiri yang mendatangkan bahaya tirani itu pada mereka ketika mereka menuntut agar nabi Samuel mengangkat seorang raja bagi mereka. Karena tidak percaya Allah akan melindungi mereka, mereka rela menundukkan diri di bawah pimpinan seorang otokrat (penguasa mutlak). “Setiap bangsa mendapatkan pemerintahan yang pantas diterimanya,” kata Joseph de Maistre.[1] Pengaruh yang merusak dari kekuasaan merupakan bahaya yang selalu ada, tetapi bangsa dan organisasi harus diatur. Bangsa Israel kuno telah memilih pemerintahan yang kuat dengan membayar harga kekejaman dan korupsi, sebuah godaan yang sangat banyak dialami pada masa kini juga.
Bangsa-bangsa lain menolak melakukan pengorbanan apa pun yang diperlukan—membayar pajak, mematuhi aturan, melepaskan milisi-milisi kesukuan dan pribadi— untuk membangun pemerintahan yang fungsional dan membayar harga dengan anarki, kekacauan, dan ketercekikan ekonomi. Dan yang menyedihkan, hal seperti ini masih terus berlangsung hingga saat ini di berbagai negara. Keseimbangan yang sangat baik diperlukan untuk menghasilkan pemerintahan yang baik, keseimbangan yang hampir di luar kemampuan manusia. Jika ada satu pelajaran utama yang dapat kita tarik dari kitab-kitab Samuel, Raja-Raja, dan Tawarikh, pelajaran itu adalah bahwa hanya dengan menyerahkan diri kepada kasih karunia dan pimpinan Allah, perjanjian dan perintah-perintah-Nya, sebuah bangsa dapat menemukan kebajikan etis yang dibutuhkan untuk pemerintahan yang baik dan langgeng.
Pelajaran ini tidak hanya berlaku untuk bangsa-bangsa, tetapi juga untuk perusahaan-perusahaan, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi non-pemerintah, keluarga, dan segala macam tempat kerja lainnya. Pengaturan dan kepemimpinan yang baik sangat penting untuk orang berhasil dan berkembang secara ekonomi, relasi, pribadi, dan rohani. Kitab-kitab Samuel, Raja-raja, dan Tawarikh menggali berbagai aspek kepemimpinan dan pengaturan di antara banyak macam pekerja. Terkhusus yang meliputi bahaya-bahaya dari kekayaan dan otoritas yang diwariskan, bahaya memperlakukan Allah sebagai jimat keberuntungan dalam pekerjaan kita, kesempatan yang datang untuk para pekerja yang setia, kegembiraan dan kesedihan dalam menjadi orang tua, kriteria yang baik dalam memilih pemimpin, perlunya kerendahan hati dan kolaborasi dalam kepemimpinan, peran inovasi dan kreativitas yang esensial, dan perlunya perencanaan suksesi dan pengembangan kepemimpinan.
Kitab-kitab ini banyak memerhatikan penanganan konflik, memperlihatkan karier yang hancur akibat konflik yang ditekan maupun potensi kreatif dari ketidaksepakatan yang terbuka dan saling menghormati. Kitab-kitab ini menunjukkan kebutuhan akan diplomat dan penengah, yang formal maupun informal, dan peran penting bawahan yang berani mengatakan kebenaran—dengan penuh hormat—kepada orang yang berkuasa, meskipun akan berisiko pada diri mereka sendiri. Di dalam kitab-kitab yang dipenuhi figur-figur otoritas yang bercacat ini, beberapa pemimpin yang sangat baik adalah Abigail, yang keterampilan menyelesaikan konfliknya yang baik telah menyelamatkan kehidupan keluarganya dan integritas Daud, dan budak perempuan istri Naaman yang tidak disebutkan namanya, yang keberaniannya dalam melayani orang yang memperbudaknya (Naaman) membawa perdamaian di antara bangsa-bangsa yang bertikai.
Pemimpin terbaik yang paling menonjol dalam kitab-kitab ini adalah Elisa, nabi Allah. Di antara semua nabi, Elisa paling banyak memperhatikan kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan dan masalah ekonomi. Ia memperbaiki sistem pengairan kota, memodali komunitas ekonomi untuk berwirausaha, mendamaikan bangsa-bangsa melalui misi medis (atas dorongan budak perempuan yang disebutkan di atas), menciptakan budaya etika di dalam organisasinya sendiri, dan meningkatkan penghidupan para janda, pekerja laki-laki, komandan, dan petani. Menyampaikan firman Allah kepada manusia menghasilkan pemerintahan yang baik, pembangunan ekonomi, dan produktivitas pertanian.
Sayangnya, dalam kehidupan raja-raja sendiri, ada jauh lebih banyak contoh kepemimpinan dan penanganan yang buruk daripada yang baik. Selain menangani konflik dengan buruk seperti yang dijelaskan di atas, raja-raja, pekerja rodi, keluarga yang hancur, menonjolkan kelompok elit pegawai negeri dan perwira militer yang mengorbankan rakyat biasa, membebankan pajak yang tak terkira pada rakyat untuk mendukung gaya hidup mewah mereka, membunuh orang-orang yang menghalangi jalan mereka, menyita properti secara sewenang-wenang, menumbangkan lembaga keagamaan, dan akhirnya membawa kerajaan ke dalam penaklukan dan pembuangan. Anehnya, penyebab masalah-masalah ini bukanlah akibat kegagalan dan kelemahan raja-raja itu, tetapi kesuksesan dan kekuatan. Mereka memelintir kesuksesan dan kekuatan yang Allah berikan kepada mereka menjadi arogansi dan tirani, yang mengakibatkan mereka meninggalkan Tuhan dan melanggar perjanjian dan perintah-perintah-Nya. Inti kegelapan dari kepemimpinan yang berbahaya adalah penyembahan ilah-ilah palsu yang menggantikan Allah yang benar. Saat kita melihat kepemimpinan yang buruk saat ini—dalam diri orang lain atau diri kita sendiri—pertanyaan pertama yang baik mungkin adalah, “Ilah palsu apa yang sedang disembah dalam situasi ini?”
Sebagaimana cahaya akan bersinar lebih terang dalam kegelapan, kegagalan para raja membuat bersinar beberapa episode kepemimpinan yang baik. Musik dan seni berkembang di bawah pemerintahan Daud. Pembangunan Bait Suci pada zaman Salomo merupakan keajaiban arsitektur, konstruksi, seni kerajinan, dan organisasi ekonomi. Para imam pada zaman Yehoas mengembangkan sistem akuntabilitas keuangan yang masih digunakan sampai sekarang. Obaja memberikan teladan kebaikan yang dapat dilakukan orang beriman dalam sistem yang korup dan situasi yang jahat.
Obaja adalah teladan yang jauh lebih baik bagi kita saat ini daripada Daud, Salomo, atau raja mana pun. Perhatian utama raja adalah, "Bagaimana saya bisa memperoleh dan mempertahankan kekuasaan?" Perhatian Obaja adalah, "Bagaimana saya bisa melayani orang lain sebagaimana yang Allah mau dalam situasi di tempat saya berada?" Keduanya adalah masalah kepemimpinan. Yang satu berfokus pada berbagai kebaikan yang dibutuhkan untuk berkuasa, yang lain berfokus pada kuasa yang dibutuhkan untuk kebaikan. Marilah kita berdoa agar Allah memanggil umat-Nya ke posisi-posisi kekuasaan, dan agar Dia memberi kita masing-masing kekuatan yang dibutuhkan untuk memenuhi panggilan kita. Namun, sebelum dan sesudah kita mengucapkan doa-doa itu, mari kita mulai dan akhiri dengan berdoa, “Jadilah kehendak-Mu.”