Bootstrap

Dari Kerajaan Yang Gagal sampai Pembuangan (1 Raja-raja 11 - 2 Raja-raja 25; 2 Tawarikh 10-36)

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Chess 316657 620 copy

Salomo baru raja ketiga di Israel, tetapi kerajaannya sudah mencapai puncak masa kejayaannya. Selama empat ratus tahun berikutnya, satu demi satu raja yang buruk memimpin kerajaan itu menuju kemerosotan, kehancuran dan kekalahan/pembuangan.

Kerajaan Salomo Yang Kuat Terbagi Dua (1 Raja-raja 11:26-12:19)

Setelah Salomo wafat, segera tampak jelas bahwa keresahan sudah berkembang di balik lapisan manajemen yang baik dan efektif. Setelah kematian raja besar itu, Yerobeam (sebelumnya kepala pekerja rodi) dan segenap jemaah Israel mendatangi putra dan penerus raja, Rehabeam (lk. 931 - 914 SM), dan memintanya untuk "meringankan pekerjaan sukar yang dibebankan ayahmu dan tanggungan berat yang dipikulkannya kepada kami" (1 Raja-raja 12:3-16; 2 Tawarikh 10). Mereka siap menunjukkan kesetiaan kepada raja baru itu sebagai imbalan atas pengurangan beban kerja paksa dan pajak yang tinggi.[1] Namun, selama empat puluh tahun, Rehabeam hanya mengenal kehidupan istana yang mewah, yang ditopang dan dicukupi oleh orang Israel. Pikirannya yang merasa berhak terlalu kuat untuk menerima kompromi. Alih-alih meringankan beban yang tidak semestinya dibebankan ayahnya kepada rakyat, Rehabeam malah memperberat kuk mereka.

Menepati nubuat Samuel selanjutnya (1 Samuel 8:18), pemberontakan pun timbul dan kerajaan menjadi terpecah untuk selamanya. Karena banyak orang Israel sudah bersedia melakukan bagian tugas mereka yang cukup untuk mendukung negara, munculnya ekspektasi-ekspektasi yang tidak realistis dan logis menimbulkan pemberontakan dan perpecahan. Sepuluh suku bagian utara melepaskan diri, dan mengangkat Yerobeam (lk. 931 - 910 SM) menjadi raja mereka. Meskipun Yerobeam pernah menjadi pemimpin delegasi yang meminta keringanan pajak dari Rehabeam, dinastinya ternyata tidak lebih baik bagi rakyatnya.

Derap Kerajaan Utara ke dalam Pembuangan (1 Raja-raja 12:25 - 2 Raja-raja 17:18)

Selama dua abad (910-722 SM) kerajaan Israel utara diperintah oleh raja-raja yang melakukan kejahatan besar di mata Tuhan. Abad-abad ini ditandai terus-menerus dengan peperangan, pengkhianatan, pembunuhan, yang mencapai puncaknya dengan penaklukan bangsa Asyur yang menjadi malapetaka. Untuk menghancurkan seluruh identitas bangsa, orang-orang Asyur menangkap dan menyerakkan penduduk ke berbagai wilayah kerajaan mereka dan membawa masuk orang asing untuk menduduki wilayah yang ditaklukkan (2 Raja-raja 17:5-24). Seperti yang dibahas dalam “Ketidaktaatan Daud pada Tuhan mendatangkan penyakit sampar nasional (1 Tawarikh 21:1-17),” kegagalan para pemimpin sering membawa dampak yang mengerikan pada rakyatnya.

Obaja Menyelamatkan Seratus Orang Saat Bekerja dalam Sistem Yang Korup (1 Raja-raja 18)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Setidaknya ada dua episode dalam periode ini yang patut menjadi perhatian kita. Yang pertama, penyelamatan seratus nabi oleh Obaja mungkin bisa menolong orang-orang yang perlu membuat keputusan apakah harus berhenti kerja dari organisasi yang sudah menjadi tidak etis, sebuah keputusan yang dihadapi banyak orang di dunia kerja.

Obaja adalah kepala staf di istana raja Ahab. (Ahab terkenal sebagai raja Israel yang paling jahat). Permaisuri Ahab, Izebel, memerintahkan untuk membunuh nabi-nabi Tuhan. Sebagai pejabat tinggi di istana raja Ahab, Obaja sudah mengetahui lebih dulu tentang perintah operasi itu, dan juga cara untuk menghindarinya. Ia lalu menyembunyikan seratus nabi di dalam dua gua dan menyediakan roti dan air minum untuk mereka sampai krisis mereda. Mereka selamat karena ada “seorang yang sungguh-sungguh takut akan TUHAN” (1 Raja-raja 18:3) dalam posisi otoritas yang dapat melindungi mereka. Situasi serupa terjadi dalam Kitab Ester, yang disampaikan dengan lebih rinci dalam “Bekerja dalam Sistem yang Bobrok (Ester)” di https://www.teologikerja.org/.

Bekerja dalam organisasi yang korup atau jahat bisa mematahkan semangat. Betapa jauh lebih mudah untuk berhenti dan mencari tempat kerja yang lebih baik. Seringkali berhenti adalah satu-satunya cara agar kita sendiri terhindar dari ikut melakukan kejahatan. Namun, tidak ada tempat kerja di bumi ini yang benar-benar baik, dan kita akan menghadapi dilema etika dimana pun kita bekerja. Lagipula, semakin bobrok tempat kerja itu, semakin dibutuhkan adanya orang-orang saleh di tempat itu. Jika masih ada cara untuk tetap bekerja di tempat itu tanpa kita sendiri harus ikut melakukan kejahatan, bisa jadi Allah memang menghendaki kita tetap tinggal. Selama Perang Dunia II, sekelompok perwira yang menentang Hitler tetap berada di Abwher (badan intelijen militer) karena hal itu memberi mereka platform untuk bisa menggulingkan Hitler. Rencana mereka gagal, dan sebagian besar dihukum mati, termasuk teolog Dietrich Bonhoeffer. Saat menjelaskan mengapa ia tetap menjadi tentara Hitler, ia berkata, "Pertanyaan terpenting yang perlu ditanyakan kepada orang yang bertanggung jawab bukanlah bagaimana ia melepaskan dirinya secara heroik dari perkara itu, tetapi bagaimana generasi mendatang harus hidup."[1] Tanggung jawab kita untuk melakukan apa yang dapat kita lakukan untuk menolong orang lain tampaknya lebih penting bagi Allah daripada keinginan kita untuk menganggap diri kita bersih secara moral.

Ahab dan Izebel Membunuh Nabot untuk Menguasai Hartanya (1 Raja-raja 21)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Raja Ahab menyalahgunakan kekuasaannya lagi ketika ia menginginkan kebun anggur tetangganya, Nabot. Ahab menawarkan harga yang pantas untuk membeli kebun anggur itu, tetapi Nabot menganggap ladang itu sebagai warisan leluhur dan menyatakan tidak tertarik untuk menjualnya dengan harga berapa pun. Ahab merasa kesal menerima keterbatasan kuasanya yang wajar ini, tetapi istrinya Izebel memacunya untuk bertindak lalim. “Bukankah engkau sekarang yang berkuasa sebagai raja atas Israel?” hasutnya (1 Raja-raja 21:7). Jika raja tidak punya keinginan untuk menyalahgunakan kekuasaan, permasurinya punya. Ia membayar dua orang dursila untuk memberikan tuduhan palsu tentang penghujatan dan pengkhianatan yang tidak dilakukan Nabot, yang langsung dihukum mati dengan dilempari batu oleh para tua-tua kota. Kita dibuat tak habis pikir mengapa para tua-tua itu bertindak begitu cepat, bahkan tanpa mengadakan pengadilan yang semestinya. Apakah mereka bersekongkol dengan raja? Karena mereka berada di bawah kekuasaannya dan takut menentangnya? Bagaimanapun, dengan Nabot mati, Ahab bisa mengambil kebun anggur Nabot menjadi miliknya sendiri.

Penyalahgunaan kekuasaan, termasuk perampasan tanah secara terang-terangan seperti yang dilakukan Ahab, masih terjadi sampai hari ini, sebagaimana dikonfirmasi dalam berita-berita sekilas di hampir semua surat kabar harian. Dan sebagaimana yang terjadi pada zaman Ahab, penyalahgunaan kekuasaan membutuhkan keterlibatan orang-orang yang lebih suka mentolerir ketidakadilan, bahkan pembunuhan, daripada mempertaruhkan keselamatannya sendiri demi tetangga mereka. Hanya Elia, abdi Allah, yang berani menentang Ahab (1 Raja-raja 21:17-24). Meskipun protes-protesnya tidak bisa menolong Nabot, pertentangan yang dilakukan Elia berhasil mengekang Ahab untuk tidak menyelewengkan kekuasaan lagi, sehingga tidak ada lagi penyelewengan yang dicatat dalam kitab Raja-Raja sampai Ahab mati. Melebihi yang mungkin kita perkirakan, perlawanan yang berprinsip oleh satu kelompok kecil atau bahkan satu orang dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jika tidak, mengapa para pemimpin bersusah payah menyembunyikan kelakuan buruk mereka? Apakah Anda memperkirakan kemungkinan Anda akan mengetahui setidaknya satu penyalahgunaan kekuasaan di kehidupan pekerjaan Anda? Bagaimana Anda menyiapkan diri untuk merespons jika Anda menghadapi hal itu?

Perhatian Nabi Elisa pada Pekerjaan Biasa (2 Raja-raja 2-6)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketika raja-raja kerajaan utara terjerumus makin dalam kepada kemurtadan dan kezaliman, Allah membangkitkan nabi-nabi yang menentang mereka lebih keras dari sebelumnya. Nabi-nabi adalah figur-figur dengan kuasa Allah yang luar biasa yang datang entah dari mana untuk mengatakan kebenaran Allah di ruang-ruang kekuasaan manusia. Elia dan Elisa sejauh ini merupakan nabi yang paling menonjol di dalam kitab Raja-raja dan Tawarikh, dan dari antara mereka berdua, Elisa sangat dikenal karena perhatiannya pada pekerjaan biasa orang Israel. Elisa dipanggil untuk menentang raja-raja Israel yang memberontak di sepanjang kariernya yang panjang (2 Raja-raja 2:13 - 13:20). Tindakan-tindakannya menunjukkan bahwa ia memandang kehidupan ekonomi rakyat sama pentingnya dengan pergumulan dinasti kerajaan, dan ia berusaha melindungi rakyat dari bahaya-bahaya yang ditimbulkan raja-raja.

Elisa Memperbaiki Sistem Irigasi Kota (2 Raja-raja 2:19-22)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Tindakan besar pertama Elisa adalah membersihkan sumur yang tercemar di kota Yerikho. Keprihatinan utama dalam perikop ini adalah produktivitas pertanian. Tanpa sumur yang sehat, ”tanah tidak subur.” Dengan memperbaiki akses ke air bersih, Elisa memungkinkan penduduk kota dapat menjalankan lagi misi yang diberikan Allah kepada manusia untuk berbuah, bertambah banyak dan menghasilkan makanan (Kejadian 1:28-30).

Elisa Mengatasi Masalah Ekonomi Rumahtangga (2 Raja-raja 4:1-7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketika salah seorang nabi di lingkungan Elisa meninggal, keluarganya terlilit hutang. Nasib keluarga miskin di Israel kuno biasanya menjual beberapa atau seluruh anggotanya sebagai budak, agar setidaknya mereka bisa diberi makan (lihat “Perbudakan atau Perhambaan Kontrak (Keluaran 21:1-11)” di https://www.teologikerja.org/). Janda itu hampir menjual kedua anaknya sebagai budak ketika ia datang pada Elisa untuk memohon bantuan (2 Raja-raja 4:1). Elisa menolong dengan suatu rencana yang akan membuat keluarga itu menjadi produktif secara ekonomi dan bisa menghidupi diri mereka sendiri. Ia bertanya kepada janda itu apa yang ia miliki untuk dipakai bekerja. “Hambamu ini tidak punya apa-apa di rumah,” katanya, “kecuali sebuah buli-buli berisi minyak” (2 Raja-raja 4:2). Rupanya modal ini saja pun sudah cukup untuk Elisa memulai rencananya. Ia menyuruh janda itu meminjam bejana-bejana kosong dari semua tetangganya dan mengisinya dengan minyak dari buli-buli itu. Ajaibnya, ia dapat mengisi semua bejana itu dengan minyak yang tak habis-habisnya dari buli-buli itu, dan keuntungan dari hasil penjualan minyak itu cukup untuk membayar utang keluarganya (2 Raja-raja 4:9). Pada intinya, Elisa menciptakan komunitas wirausaha yang di dalamnya perempuan itu dapat memulai bisnis kecil-kecilan. Seperti inilah tepatnya yang dilakukan beberapa metode yang paling efektif dalam memerangi kemiskinan saat ini, entah melalui ekonomi mikro, lembaga kredit, koperasi pertanian, atau program pemasok usaha kecil dari pihak perusahaan besar dan pemerintah.

Tindakan Elisa untuk kepentingan keluarga ini mencerminkan kasih dan perhatian Allah kepada orang-orang yang membutuhkan. Bagaimana pekerjaan kita dapat meningkatkan kesempatan pada orang miskin untuk bekerja sendiri mencapai kemakmuran? Dengan cara apa kita secara individu maupun kolektif menggerogoti kapasitas produktif orang miskin dan ekonomi, dan apa yang dapat kita lakukan, dengan pertolongan Allah, untuk melakukan pembaruan?

Elisa Memulihkan Kesehatan Panglima Militer (2 Raja-raja 5:1-14)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketika Elisa menyembuhkan penyakit kusta Naaman, panglima pasukan raja Aram, musuh Israel, hal itu memberikan dampak penting dalam bidang pekerjaan. “Menyembuhkan orang sakit bukanlah perkara kecil, apalagi orang sakit kusta,” tulis Jacques Ellul dalam esainya yang sangat mendalam tentang perikop ini,[1] karena penyembuhan mengembalikan kemampuan untuk bekerja. Dalam hal ini, penyembuhan mengembalikan Naaman kepada pekerjaannya dalam memerintah, dan menasihati rajanya dalam berurusan dengan raja Israel. Menariknya, penyembuhan orang asing ini juga membawa pembaruan budaya etika di dalam organisasi Elisa sendiri. Naaman menawarkan hadiah yang mahal kepada Elisa atas penyembuhan itu. Akan tetapi Elisa tidak mau menerima apa pun untuk hal yang dianggapnya hanya sebagai melakukan kehendak Tuhan. Namun, salah satu bujangnya yang bernama Gehazi melihat peluang untuk mendapat pemasukan tambahan. Gehazi mengejar Naaman, dan mengatakan bahwa Elisa berubah pikiran—bahwa ia akhirnya mau menerima bayaran yang sangat signifikan itu. Setelah menerima bayaran itu, Gehazi menyembunyikan pendapatan haramnya, lalu berbohong pada Elisa untuk menutupinya. Elisa merespons dengan mengatakan bahwa Gehazi akan menderita penyakit kusta yang sebelumnya diderita Naaman. Elisa tampaknya menyadari bahwa mentolerir korupsi di dalam organisasinya akan merusak dengan cepat seluruh kebaikan yang telah dilakukan pelayanan bagi Tuhan selama ini.

Tindakan Naaman sendiri menunjukkan hal penting lain dalam cerita ini. Naaman punya masalah - penyakit kusta. Ia perlu disembuhkan. Namun, bayangan awalnya tentang solusi itu — semacam perjumpaan dramatis dengan seorang nabi — membuatnya menolak solusi sebenarnya yang berupa perintah untuk mandi di Sungai Yordan. Ketika ia mendengar cara pengobatan sederhana yang disampaikan utusan Elisa ini —bukan Elisa sendiri—“Naaman pergi dengan marah.” Baik solusi itu maupun sumbernya tampaknya tak cukup penting untuk menjadi perhatian Naaman.

Di dunia masa kini, kedua persoalan ini sering terulang. Pertama, pemimpin senior mengabaikan solusi yang disampaikan karyawan yang levelnya lebih rendah karena tidak mau menerima pandangan dari orang yang dianggap tidak berkualitas. Jim Collins dalam bukunya Good to Great mengidentifikasi ciri pertama dari yang ia sebut pemimpin "tingkat lima" sebagai kerendahan hati, kesediaan untuk mendengarkan berbagai sumber.[2]

Kedua, solusi itu tidak diterima karena tidak sesuai dengan cara yang dipikirkan pemimpin. Untungnya banyak pemimpin saat ini, seperti Naaman, memiliki bawahan yang bersedia mengambil risiko untuk berbicara logis kepada mereka. Di dalam organisasi tidak hanya dibutuhkan atasan yang rendah hati, tetapi juga bawahan yang berani. Menariknya, orang yang membuat seluruh cerita ini terjadi adalah seorang yang statusnya paling rendah di antara semuanya, seorang anak perempuan asing yang dibawa Naaman pada saat penjarahan dan diberikan kepada istrinya sebagai budak (2 Raja-raja 5:13). Semua ini menjadi pengingat yang luar biasa bahwa arogansi dan ekspektasi yang salah dapat menghalangi pandangan, tetapi hikmat Allah tetap berusaha menerobosnya.

Elisa Mengembalikan Kapak Penebang Pohon (2 Raja-raja 6:1-7)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketika sedang membelah kayu di tepi Sungai Yordan, seorang nabi rekan Elisa kehilangan kapak yang terjatuh ke sungai. Padahal kapak itu ia pinjam dari seorang penebang pohon. Harga sepotong besi seberat itu di zaman perunggu bisa menyebabkan kehancuran ekonomi pemiliknya, dan nabi yang meminjamnya menjadi sangat bingung. Elisa menganggap kerugian ekonomi itu sebagai masalah pribadi yang mendesak, dan langsung membuat besi itu mengapung di atas air sehingga bisa diambil dan dikembalikan kepada pemiliknya. Sekali lagi Elisa turun tangan untuk memungkinkan orang dapat bekerja mencari nafkah.

Karunia seorang nabi adalah mengetahui tujuan-tujuan Allah dalam kehidupan sehari-hari lalu bekerja dan bertindak berdasarkan hal itu. Allah memanggil nabi-nabi untuk memulihkan ciptaan Allah yang baik, di tengah dunia yang sudah jatuh, dengan cara yang menunjukkan kuasa dan kemuliaan Allah. Aspek teologis dari pekerjaan seorang nabi—memanggil manusia untuk menyembah Allah yang benar—tak pelak disertai aspek praktis untuk memulihkan cara-cara kerja yang baik dari tatanan yang diciptakan. Perjanjian Baru menunjukkan bahwa sebagian orang Kristen juga dipanggil sebagai nabi (1 Korintus 12:28; Efesus 4:11). Elisa bukan hanya seorang tokoh sejarah yang menunjukkan kepedulian Allah terhadap pekerjaan umat-Nya, tetapi juga seorang yang menjadi teladan bagi umat Krisen masa kini.

Derap Kerajaan Selatan ke dalam Pembuangan (1 Raja-raja 11:41 - 2 Raja-raja 25:26; 2 Tawarikh 16-36)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Mengikuti jejak kerajaan utara, raja-raja kerajaan selatan pun segera mulai berjatuhan ke dalam penyembahan berhala dan kejahatan. Di bawah pemerintahan Rehabeam “Mereka juga mendirikan tempat-tempat pemujaan serta tugu-tugu dan tiang-tiang berhala di atas setiap bukit yang tinggi dan di bawah setiap pohon yang rimbun. Bahkan ada pelacuran bakti di negeri itu. Mereka melakukan segala yang menjijikkan seperti bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari orang Israel" (1 Raja-raja 14:23-24). Raja-raja penerus Rehabeam berada di antara berlaku setia dan melakukan yang jahat di mata Allah. Selama beberapa waktu, Yehuda memiliki cukup banyak raja-raja yang baik yang mencegah/menangguhkan bencana, tetapi pada akhirnya kerajaan itu pun jatuh ke dalam keadaan yang sama seperti yang dialami kerajaan utara. Bangsa Yehuda ditaklukkan, dan raja-raja serta para pembesar ditangkap dan dibuang oleh bangsa Babel (2 Raja-raja 24, 25). Ketidaksetiaan para raja yang “diminta” bangsa itu dengan menolak nasihat Allah ratusan tahun sebelumnya, mencapai puncaknya dengan kehancuran ekonomi, pemusnahan tenaga kerja, kelaparan, dan pembunuhan besar-besaran atau pembuangan sebagian besar penduduk. Bencana yang sudah dinubuatkan itu berlangsung selama tujuh puluh tahun sampai raja Koresy dari Persia mengizinkan pemulangan sebagian orang Yahudi untuk membangun kembali Bait Suci dan tembok-tembok di Yerusalem (2 Tawarikh 36:22-23).

Akuntabilitas Keuangan di Bait Suci (2 Raja-raja 12:1-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

One example of the degeneration of the kingdom ironically serves to bring to light a model of good financial practice. Like virtually all of the kingdom’s leaders, the priests had become corrupt. Instead of using worshippers’ donations to maintain the Temple, they pilfered the money and divided it among themselves. Under the direction of Jehoash, one of the few kings “who did what was right in the sight of the Lord” (2 Kings 12:2), the priests devised an effective accounting system. A locked chest with a small hole in the top was installed in the Temple to receive the donations. When it got full, the high priest and the king’s secretary would open the chest together, count the money, and contract with carpenters, builders, masons, and stonecutters to make repairs. This ensured that the money was used for its proper purpose.

Ironisnya, salah satu contoh kebobrokan kerajaan justru memunculkan model tindakan ekonomi yang baik. Seperti hampir semua pemimpin di kerajaan, para imam juga sudah menjadi korup. Alih-alih menggunakan persembahan umat untuk merawat bait suci, mereka malah mencuri uang itu dan membagi-baginya di antara mereka sendiri. Atas perintah raja Yoas, salah satu dari sedikit saja raja “yang melakukan apa yang benar di mata Tuhan” (2 Raja-raja 12:2), para imam lalu memikirkan sistem akuntansi yang efektif. Sebuah peti terkunci dengan lubang kecil di atasnya diletakkan di bait suci untuk menampung persembahan. Ketika sudah penuh, imam besar dan sekretaris raja akan membuka peti itu bersama-sama, menghitung uangnya, dan membuat kontrak dengan tukang kayu, tukang bangunan, tukang batu, dan tukang pahat untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Cara ini menjamin uang persembahan itu digunakan untuk tujuan yang tepat.

Sistem yang sama masih digunakan sampai sekarang; contohnya, ketika uang tunai yang tersimpan di ATM dihitung. Prinsip bahwa orang yang dipercaya pun harus tunduk pada verifikasi dan akuntabilitas merupakan dasar dari manajemen yang baik. Setiap kali orang yang memegang kekuasaan—khususnya kekuasaan dalam menangani keuangan—berusaha menghindari verifikasi, organisasi itu berada dalam bahaya. Karena kitab Raja-raja memasukkan cerita ini, kita tahu bahwa Allah menghargai pekerjaan para pegawai bank, akuntan, auditor, penentu kebijakan perbankan, pengemudi mobil lapis baja, petugas pengamanan komputer, dan pekerja-pekerja lainnya yang melindungi integritas keuangan. Hal ini juga mendorong semua pemimpin di segala bidang untuk lebih dulu menjadikan dirinya sebagai contoh panutan dalam akuntabilitas publik dengan mempersilakan orang lain memeriksa pekerjaan mereka.

Arogansi dan Akhir Kerajaan (2 Tawarikh 26)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Bagaimana mungkin raja demi raja bisa begitu mudah jatuh ke dalam kejahatan? Kisah Uzia mungkin memberi kita pemahaman tertentu. Ia naik takhta pada waktu berusia enam belas tahun dan pada awalnya “ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan” (2 Tawarikh 26:4). Usia mudanya ternyata membawa manfaat, karena ia menyadari kebutuhannya akan pimpinan Tuhan. “Ia mencari Allah selama hidup Zakharia yang mengajarnya supaya takut akan Allah. Selama ia mencari TUHAN, Allah membuat dia berhasil” (2 Tawarikh 26:5).

Yang menarik, sebagian besar keberhasilan yang diberikan Tuhan kepada Uzia berkaitan dengan pekerjaan biasa. “Ia juga mendirikan menara-menara di padang gurun dan menggali banyak sumur, karena banyak ternaknya, baik di Syefela maupun di Dataran Tinggi. Ia juga mempunyai petani-petani dan penjaga-penjaga kebun anggur, di gunung-gunung dan di tanah yang subur, karena ia menyukai pertanian” ( 2 Tawarikh 26:10). “Di Yerusalem dibuatnya juga alat-alat perang, ciptaan seorang ahli” (2 Tawarikh 26:15a).

“Ia ditolong secara ajaib,” tulis Kitab Suci, “sehingga semakin kuat” (2 Tawarikh 26:15b). Lalu kekuatannya menjadi kehancurannya karena ia mulai melayani dirinya sendiri daripada melayani Tuhan. "Ketika sudah kuat ia menjadi tinggi hati sehingga ia terjerumus binasa. Ia berlaku tidak setia kepada TUHAN, Allahnya" (2 Tawarikh 26:16). Ia mencoba merebut otoritas para imam, yang menimbulkan huruhara di istana dan membuatnya kehilangan takhta dan diasingkan selama sisa hidupnya.

Kisah Uzia membawa kesadaran yang penting bagi orang-orang dalam posisi kepemimpinan saat ini. Karakter yang membawa sukses—khususnya ketergantungan pada Allah—mudah terkikis oleh kekuasaan dan hak-hak istimewa yang menyertai kesuksesan. Berapa banyak pemimpin bisnis, militer, dan politik yang percaya bahwa mereka tak terkalahkan sehingga lalu kehilangan kerendahan hati, disiplin, dan sikap melayani yang dibutuhkan untuk tetap sukses? Berapa banyak dari kita yang sukses, yang lebih memerhatikan diri sendiri dan kurang memikirkan Allah ketika kekuatan kita meningkat sedikit saja? Uzia juga beruntung karena memiliki bawahan yang berani menentangnya ketika ia melakukan kesalahan, meskipun ia mengabaikan mereka (2 Tawarikh 26:18). Apa, atau siapa, yang Anda miliki yang akan menahan Anda agar tidak terhanyut dalam kesombongan dan menjauh dari Allah ketika kesuksesan Anda meningkat?

Nista Hizkia pada Generasi Mendatang (2 Raja-raja 20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Raja Hizkia dari Yehuda merupakan contoh lain dari arogansi raja-raja. Perikop ini dimulai ketika Hizkia sakit dan hampir mati. Ia memohon pada Allah untuk disembuhkan, dan Allah, melalui perkataan nabi Yesaya, menambahkan umurnya 15 tahun lagi. Dalam pada itu, ketika raja Babel tetangganya mendengar kabar tentang sakitnya Hizkia, ia mengirim utusan untuk memata-matai dan mencari tahu apakah situasi itu membuat Israel siap ditaklukkan. Ketika mereka datang, Hizkia sudah benar-benar sembuh. Boleh jadi kesembuhan yang ajaib itu membuatnya merasa tak terkalahkan, sehingga, alih-alih menunjukkan bahwa ia sehat dan cepat- cepat mengirim mata-mata itu pulang, ia malah memamerkan kekayaan harta bendanya kepada mereka. Hal ini membuat Israel menjadi target yang lebih menggoda dari sebelumnya.

Tuhan menanggapi tindakan bodoh ini dengan mengutus nabi Yesaya untuk bernubuat lagi.

Lalu kata Yesaya kepada Hizkia: "Dengarkanlah firman TUHAN! Sesungguhnya, waktunya akan datang, ketika segala yang ada dalam istanamu dan yang disimpan oleh nenek moyangmu sampai hari ini akan diangkut ke Babel. Tidak ada yang akan ditinggalkan, demikianlah firman TUHAN. Sebagian dari keturunanmu yang akan kauperoleh akan diambil menjadi sida-sida di istana raja Babel." (2 Raja-raja 20:16-18)

Ayat ini bisa mengingatkan kita tentang pekerjaan kita sendiri. Pada saat kesuksesan besar, kita bisa mudah sekali menjadi sombong dan ceroboh. Ini bisa mendatangkan kehancuran besar jika kita lupa bahwa kita bergantung pada kasih karunia Allah dalam segala keberhasilan kita.

Hizkia memperburuk kesalahan pertamanya dengan kesalahan kedua. Yesaya baru saja menubuatkan bahwa setelah Hizkia mati, anak-anaknya akan ditangkap dan diceraiberaikan, dan kerajaannya akan dihancurkan. Alih-alih bertobat dan memohon agar Allah kembali menyelamatkan bangsanya, ia tidak berbuat apa pun.

Hizkia menjawab Yesaya: "Sungguh baik firman TUHAN yang engkau ucapkan itu!" Namun, pikirnya: "Asal ada damai dan keamanan seumur hidupku!" (2 Raja-raja 20:19)

Ia tampaknya hanya memikirkan dirinya sendiri. Karena kehancuran itu tidak terjadi di masa ia masih hidup, Hizkia tak mau ambil pusing tentang hal itu.

Cerita ini menantang kita untuk berpikir tentang dampak tindakan-tindakan kita pada generasi mendatang, dan tidak hanya memikirkan masa hidup kita sendiri. Marion Wade, pendiri ServiceMaster, fokus membangun perusahaan yang mampu bertahan daripada memikirkan kesuksesannya sendiri. Ia berkata,

Saya tidak mencari kesuksesan pribadi sebagai individu atau sekadar kesuksesan materi sebagai perusahaan. Saya tidak menyamakan kesuksesan ini sebagai Kekristenan. Apa pun yang Tuhan inginkan merupakan yang saya inginkan. Namun, saya benar-benar berusaha membangun bisnis yang akan bertahan lebih lama daripada saya di dunia kerja, yang akan menjadi saksi Yesus Kristus melalui cara menjalankan bisnis itu. [1]

Lewis D. Solomon mendapati bahwa Wade berhasil membangun budaya kepemimpinan yang dipimpin-Allah yang masih bertahan lama setelah masa jabatannya. Selama masa yang panjang ini, perusahaan itu sangat sukses. Namun, pada akhirnya, kendali beralih ke tangan CEO yang mengadopsi gaya kepemimpinan yang kurang berani berpusat pada Allah, dan kinerja perusahaan itu pun menurun.

“ServiceMaster, sebuah perusahaan publik Fortune 500 yang sukses, tumbuh dari akar-akar yang sederhana, yang awalnya dipimpin oleh pengajar-penatalayan-pemimpin dan kemudian oleh para CEO penerusnya yang menggabungkan gaya kepemimpinan pengajar-penatalayan-pemimpin. Belum lama ini, perusahaan transisi ini, yang sekarang dipimpin seorang CEO non-Injili, menganut pendekatan non-sektarian dan inklusif. Bersamaan dengan transisi ini, persoalan-persoalan hukum perusahaan meningkat dan pemasukan keuangannya mengalami kemacetan.[2]

Pengandalan-Diri Sebagai Ganti Pimpinan Tuhan (2 Tawarikh 16-20)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun kekuatan kerajaan menurun, raja-raja tetap merasa yakin mereka mampu mengendalikan situasi mereka. Karena percaya diri dengan kemampuan mereka sendiri dan mengandalkan nasihat manusia, mereka sering tidak meminta pimpinan Allah, yang biasanya berakibat buruk.

Dalam suatu peristiwa, raja Ahab dari Kerajaan Israel hendak pergi berperang. Raja Yosafat dari Kerajaan Yehuda mengingatkannya, “Mintalah dahulu petunjuk firman TUHAN” (2 Tawarikh 18:4). Ahab lalu berkonsultasi dengan nabi-nabi di istananya, tetapi Yosafat bertanya apakah ada yang benar-benar nabi Tuhan yang bisa dimintai petunjuk. Ahab menjawab, "Masih ada seorang lagi. Dengan perantaraannya dapat diminta petunjuk TUHAN. Tetapi, aku membenci dia, sebab ia tidak pernah menubuatkan yang baik tentang aku melainkan hanya malapetaka” (2 Tawarikh 18:7). Ahab tidak menginginkan nasihat dari Tuhan karena nasihat itu tidak sesuai dengan keinginannya. Namun, akhirnya ia berkonsultasi juga dengan Mikha, yang benar saja, Mikha menubuatkan malapetaka dalam pertempuran itu, sehingga Ahab lalu memenjarakannya dan membiarkannya kelaparan (2 Tawarikh 18:18-27). Ahab maju perang dan terbunuh (2 Tawarikh 19:33-34).

Dengan cara yang sama, raja Asa memilih membentuk aliansi dengan raja Aram daripada mengandalkan perlindungan Tuhan. Setelah itu, ia ditantang oleh seorang pelihat yang berkata padanya, "Engkau bersandar pada raja Aram dan tidak bersandar pada TUHAN Allahmu, karena itu tentara raja Aram akan luput dari tanganmu” (2 Tawarikkh 16:7). Demikian juga, ketika Asa terserang penyakit kaki yang mematikan, ia tidak mencari pertolongan Allah, hanya para tabib (2 Tawarikh 16:12), yang membuatnya mengalami kematian dini.

Setelah itu, raja Yosafat ingat untuk bersandar pada pimpinan Allah. Ia lalu mengingatkan para hakimnya, “Pertimbangkanlah apa yang kamu buat, karena bukanlah untuk manusia kamu mengadili melainkan untuk TUHAN, yang turut bersamamu ketika menjatuhkan putusan. Sekarang, kiranya takut akan TUHAN meliputi kamu. Bertindaklah hati-hati, karena pada TUHAN, Allah kita, tidak ada kecurangan, sikap pandang bulu atau suap menyuap.” (2 Tawarikh 19:6-7). Meskipun demikian, ketika Yosafat sendiri menghadapi pasukan musuh yang sangat besar dalam pertempuran, nabi Yahaziel mengingatkannya: "Janganlah kamu takut dan kecut hati karena pasukan yang besar ini, sebab bukan kamu yang berperang melainkan Allah.” (2 Tawarikh 20:15).

Bidang-bidang pekerjaan dalam perikop ini—strategi militer, kedokteran, dan tata hukum—membutuhkan keterampilan manusia. Namun, keterampilan saja tidak cukup - perspektif Allah juga diperlukan. Kebanyakan bidang pekerjaan modern juga membutuhkan keterampilan, dan kita mungkin merasa pengetahuan dan pendidikan kita lebih maju dibandingkan zaman dulu. Kita mungkin berpikir kita tidak memerlukan—atau menginginkan—pimpinan Allah, sehingga kita lalu mengandalkan kekuatan kita sendiri. Allah memang telah mengaruniakan kita hikmat dan pengetahuan, tetapi Dia ingin kita mencari wajah-Nya meskipun kita berpikir kita memiliki semua kemampuan yang kita perlukan. Faktanya, segala kemampuan dan kekuatan modern membuat kebutuhan kita untuk bergantung pada Allah semakin besar, bukan semakin kecil, karena kemampuan kita tanpa pimpinan Allah akan lebih membahayakan daripada sebelumnya. Allah memberi kita talenta dan kemampuan dengan suatu alasan, dan kita perlu menggunakannya dengan berkonsultasi dengannya.

Kegagalan Rehabeam dalam Membedakan Nasihat Yang Baik dan Yang Buruk (2 Tawarikh 10:1-19)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Contoh kegagalan dalam kepemimpinan Israel terjadi ketika raja Rehabeam merasa membutuhkan nasihat dalam suatu perkara yang sulit. Yerobeam dan seluruh orang Israel memintanya untuk meringankan beban kerja rodi yang ditetapkan ayahnya, raja Salomo (2 Tawarikh 8:8). Sebagai balasannya mereka berjanji, "Kami akan mengabdi padamu." (2 Tawarikh 10:5). Rehabeam awalnya bertindak bijak dengan meminta nasihat para tua-tua dari kerajaannya, yang menganjurkan agar ia meringankan beban itu sebagaimana yang diminta rakyat. "Jika engkau mau berlaku ramah terhadap rakyat itu, menyenangkan mereka dan menjawab mereka dengan kata-kata yang baik, maka mereka akan menjadi hamba-hambamu seumur hidupmu." (2 Tawarikh 10:7). Rehabeam tampaknya tidak menyukai jawaban ini. Jadi ia meminta pendapat teman-teman sebayanya. Mereka menasihatinya agar bertindak menunjukkan kekuasaannya dan menyombongkan diri, "Kelingkingku lebih besar dari pinggang ayahku! Sekarang, ayahku telah membebani kamu dengan kuk yang berat, tetapi aku akan memperberat kukmu. Ayahku telah menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan cambuk berduri besi." (2 Tawarikh 10:10-11). Rehabeam memilih mendengarkan nasihat teman-teman sebayanya yang masih muda karena nasihat itu tampaknya menyentuh egonya. Ia menjawab Yerobeam dan rakyatnya seperti yang disarankan teman-temannya, lalu menunjuk seorang kepala rodi baru (2 Tawarikh 10:18). Orang-orang Israel menanggapinya dengan membunuh kepala rodi itu dan memberontak terhadap Rehabeam, yang tidak pernah berhasil mengatasi pemberontakan itu (2 Tawarikh 10:19).

Keputusan-keputusan sulit juga menjadi bagian dari kepemimpinan masa kini, entah kita memimpin seluruh kerajaan atau sekadar memimpin diri sendiri. Ke mana Anda meminta nasihat, dan bagaimana Anda menggunakan nasihat dengan baik? Rehabeam memulai dengan meminta nasihat dari orang-orang yang ia tahu dewasa secara rohani. Usia sendiri tidak membuat Anda menjadi bijak, dan orang saleh juga tidak selalu lebih bijak dari orang yang tidak percaya. Namun, para tua-tua yang ia datangi itu telah menunjukkan kedewasaan rohani dan kebijaksanaan selama bertahun-tahun ketika mereka melayani raja Salomo. Salah satu buktinya adalah kemampuan mereka dalam menyikapi situasi dan fakta-fakta baru. Meskipun mereka diangkat oleh Salomo, mereka mendengarkan Yerobeam dengan pikiran terbuka, yang menyebabkan mereka memberi nasihat yang berkebalikan dengan kebijakan Salomo. Sebaliknya, teman-teman Rehabeam yang masih muda tampaknya hanya memiliki satu hal yang menarik perhatiannya — mereka adalah teman-temannya. Mudah sekali meminta nasihat dari orang-orang yang sudah berpikir seperti yang Anda pikirkan. Namun, apakah Anda memiliki akses kepada orang-orang yang dewasa rohani, yang dapat mendengarkan dengan pikiran terbuka, dan tidak takut mengatakan kepada Anda hal yang tidak ingin Anda dengar?

Saat kita dihadapkan pada keputusan yang sulit, mencari nasihat seperti yang dilakukan Rehabeam adalah langkah awal yang baik. Langkah selanjutnya adalah membedakan manakah nasihat yang menerapkan Alkitab pada situasi Anda dengan tepat, dan manakah nasihat yang hanya meneguhkan kecenderungan diri Anda sendiri. Untuk mengetahui perbedaannya, Anda perlu memilah nasihat dengan hati-hati, membandingkannya dengan firman Allah dan bertanya apakah hal itu akan mendatangkan kebaikan yang lebih besar. Dalam situasi Rehabeam, nasihat yang baik menuntutnya untuk menunjukkan kesabaran, kebaikan, kemurahan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Ini adalah lima dari sembilan “buah Roh” yang tertulis di Galatia 5:22. Ini bukan sekadar kebajikan yang dapat diperoleh dengan latihan dan kerja keras, tetapi merupakan karunia roh Allah (Galatia 5:25). Andai saja Rehabeam mau menerima roh Allah, nasihat yang baik ini akan mendatangkan damai sejahtera bagi seluruh bangsa (2 Tawarikh 10:7). Namun, nasihat yang buruk telah mencobai Rehabeam untuk menyerah pada kecemburuan, keangkuhan, kesombongan dan kekejamannya sendiri, dan memuaskan egonya sendiri. Keempat hal dari “hal-hal yang tak boleh dilakukan” ini dijelaskan dalam Roma 1:29-31. Bukan kebetulan jika nasihat yang baik seringkali menuntut Anda untuk bertumbuh secara rohani, sementara nasihat yang buruk menggoda Anda untuk menyerah pada pencobaan. Konselor terbaik seringkali adalah orang yang dapat membantu Anda memahami dan menerapkan firman Allah dan mendorong Anda mengambil keputusan untuk bertumbuh dalam roh Allah.