Nista Hizkia pada Generasi Mendatang (2 Raja-raja 20)
Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Raja Hizkia dari Yehuda merupakan contoh lain dari arogansi raja-raja. Perikop ini dimulai ketika Hizkia sakit dan hampir mati. Ia memohon pada Allah untuk disembuhkan, dan Allah, melalui perkataan nabi Yesaya, menambahkan umurnya 15 tahun lagi. Dalam pada itu, ketika raja Babel tetangganya mendengar kabar tentang sakitnya Hizkia, ia mengirim utusan untuk memata-matai dan mencari tahu apakah situasi itu membuat Israel siap ditaklukkan. Ketika mereka datang, Hizkia sudah benar-benar sembuh. Boleh jadi kesembuhan yang ajaib itu membuatnya merasa tak terkalahkan, sehingga, alih-alih menunjukkan bahwa ia sehat dan cepat- cepat mengirim mata-mata itu pulang, ia malah memamerkan kekayaan harta bendanya kepada mereka. Hal ini membuat Israel menjadi target yang lebih menggoda dari sebelumnya.
Tuhan menanggapi tindakan bodoh ini dengan mengutus nabi Yesaya untuk bernubuat lagi.
Lalu kata Yesaya kepada Hizkia: "Dengarkanlah firman TUHAN! Sesungguhnya, waktunya akan datang, ketika segala yang ada dalam istanamu dan yang disimpan oleh nenek moyangmu sampai hari ini akan diangkut ke Babel. Tidak ada yang akan ditinggalkan, demikianlah firman TUHAN. Sebagian dari keturunanmu yang akan kauperoleh akan diambil menjadi sida-sida di istana raja Babel." (2 Raja-raja 20:16-18)
Ayat ini bisa mengingatkan kita tentang pekerjaan kita sendiri. Pada saat kesuksesan besar, kita bisa mudah sekali menjadi sombong dan ceroboh. Ini bisa mendatangkan kehancuran besar jika kita lupa bahwa kita bergantung pada kasih karunia Allah dalam segala keberhasilan kita.
Hizkia memperburuk kesalahan pertamanya dengan kesalahan kedua. Yesaya baru saja menubuatkan bahwa setelah Hizkia mati, anak-anaknya akan ditangkap dan diceraiberaikan, dan kerajaannya akan dihancurkan. Alih-alih bertobat dan memohon agar Allah kembali menyelamatkan bangsanya, ia tidak berbuat apa pun.
Hizkia menjawab Yesaya: "Sungguh baik firman TUHAN yang engkau ucapkan itu!" Namun, pikirnya: "Asal ada damai dan keamanan seumur hidupku!" (2 Raja-raja 20:19)
Ia tampaknya hanya memikirkan dirinya sendiri. Karena kehancuran itu tidak terjadi di masa ia masih hidup, Hizkia tak mau ambil pusing tentang hal itu.
Cerita ini menantang kita untuk berpikir tentang dampak tindakan-tindakan kita pada generasi mendatang, dan tidak hanya memikirkan masa hidup kita sendiri. Marion Wade, pendiri ServiceMaster, fokus membangun perusahaan yang mampu bertahan daripada memikirkan kesuksesannya sendiri. Ia berkata,
Saya tidak mencari kesuksesan pribadi sebagai individu atau sekadar kesuksesan materi sebagai perusahaan. Saya tidak menyamakan kesuksesan ini sebagai Kekristenan. Apa pun yang Tuhan inginkan merupakan yang saya inginkan. Namun, saya benar-benar berusaha membangun bisnis yang akan bertahan lebih lama daripada saya di dunia kerja, yang akan menjadi saksi Yesus Kristus melalui cara menjalankan bisnis itu. [1]
Lewis D. Solomon mendapati bahwa Wade berhasil membangun budaya kepemimpinan yang dipimpin-Allah yang masih bertahan lama setelah masa jabatannya. Selama masa yang panjang ini, perusahaan itu sangat sukses. Namun, pada akhirnya, kendali beralih ke tangan CEO yang mengadopsi gaya kepemimpinan yang kurang berani berpusat pada Allah, dan kinerja perusahaan itu pun menurun.
“ServiceMaster, sebuah perusahaan publik Fortune 500 yang sukses, tumbuh dari akar-akar yang sederhana, yang awalnya dipimpin oleh pengajar-penatalayan-pemimpin dan kemudian oleh para CEO penerusnya yang menggabungkan gaya kepemimpinan pengajar-penatalayan-pemimpin. Belum lama ini, perusahaan transisi ini, yang sekarang dipimpin seorang CEO non-Injili, menganut pendekatan non-sektarian dan inklusif. Bersamaan dengan transisi ini, persoalan-persoalan hukum perusahaan meningkat dan pemasukan keuangannya mengalami kemacetan.[2]