Bootstrap

Keberhasilan dan Kegagalan Daud Sebagai Raja (2 Samuel 1-24)

Tafsiran Alkitab / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Michelangelos david 620

Alkitab memandang Daud sebagai raja Israel teladan, dan kitab-kitab Samuel, Raja-raja dan Tawarikh menceritakan banyak keberhasilannya. Namun, sekalipun Daud "seorang yang berkenan di hati Allah" (1 Samuel 13:14), ia juga pernah menyalahgunakan kekuasaan dan berlaku tidak setia. Ia cenderung berhasil saat tidak terlalu mengandalkan diri sendiri, dan terjerumus ke dalam masalah serius ketika kekuasaan membuatnya lupa diri—contohnya ketika ia mengadakan sensus yang bertentangan dengan kehendak Tuhan (2 Samuel 24:10-17) atau ketika ia melakukan pelecehan seksual terhadap Betsyeba dan memerintahkan untuk membunuh suaminya, Uria (2 Samuel 11:2-17). Namun terlepas dari kegagalan-kegagalan Daud, Allah menggenapi perjanjian-Nya dengan Daud dan menanganinya dengan kemurahan

Daud Melecehkan Betsyeba dan Membunuh Uria (2 Samuel 11-12)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Orang-orang yang berkuasa menutupi kasus-kasus pelecehan seksual selama ribuan tahun, tetapi Alkitab dengan berani membeberkan kasus-kasus pelecehan terhadap Sarah, Hagar, Dina, dua orang bernama Tamar, dan Betsyeba, topik perikop ini. Pelecehan terhadap Betsyeba tampaknya yang paling mengejutkan karena dilakukan oleh nenek moyang Yesus yang paling terkenal, raja Daud. Ceritanya kuno, tetapi isunya tak pernah ketinggalan zaman. Dalam beberapa tahun terakhir ini, gelombang kasus pelecehan seksual melahirkan gerakan #metoo yang telah menggulingkan tokoh-tokoh besar dari dunia hiburan (Harvey Weinstein, Bill O'Reilly, Charlie Rose), politik (Al Franken, Patrick Meehan, John Conyers), bisnis (Steve Wynn, Travis Kalanick), olahraga (Larry Nassar), musik (R. Kelly), dan religi (Bill Hybels, Andy Savage, Paige Patterson). Nama-nama ini berasal dari USA, tetapi masalahnya terjadi di seluruh dunia.

Cerita Daud ini sudah sangat dikenal. Dari atas sotoh rumahnya, Daud melihat tetangganya yang cantik, Betsyeba, sedang mencuci. Ia lalu mengutus orang-orangnya untuk membawa perempuan itu ke istana, berhubungan seks dengannya, dan perempuan itu hamil. Dalam upaya mengatasi masalah kehamilan itu, Daud memanggil suami Betsyeba, Uria, untuk pulang dari tugas mengepung kota Raba, tetapi Uria memiliki integritas yang terlalu tinggi untuk tidur dengan istrinya sementara anggota pasukan lainnya dan tabut perjanjian ada di dalam kemah. Setelah Daud mengatur agar Uria mati dalam pertempuran, ia mengira bencana sudah lewat. Akan tetapi Daud lupa memperhitungkan Allah.

Di sepanjang perjalanan sejarah, hubungan antara Daud dan Betsyeba ini sering dijelaskan sebagai perzinahan, yang menyiratkan ada persetujuan bersama, suka sama suka. Namun, jika kita meneliti lebih dalam, kita tahu bahwa itu sebenarnya penyalahgunaan kekuasaan secara seksual, dengan kata lain, pemerkosaan. Baik teks maupun konteks ayat-ayat Alkitab tidak mendukung kesimpulan bahwa itu adalah perselingkuhan di antara dua orang dewasa yang setuju. Orang yang berpikir Betsyeba menggoda Daud dengan mandi di tempat yang terlihat dari jendela istana mungkin tidak memahami kata kerja Ibrani rachats, yang digunakan untuk tindakan Betsyeba di sini (2 Samuel 11:2), yang secara harfiah berarti “mencuci/membasuh” sebagaimana yang diterjemahkan di bagian lain dalam cerita ini (2 Samuel 11:8; 12:20). Tidak ada alasan untuk menganggap Batsyeba telanjang, atau bahwa ia sadar bahwa raja, yang seharusnya berada di medang perang bersama pasukannya, akan melihatnya dari atas sotoh istananya seperti Tom Si Pengintip (2 Samuel 11:1-2).

Orang yang berpikir ia bersedia datang ke istana dengan senang hati tidak mengerti bahwa ketika raja zaman dahulu memanggil rakyat biasa untuk menghadap ke istana, orang itu tak punya pilihan selain menurut. (Lihat Ester 2:14, 3:12, dan 8:9 sebagai contoh). Dan Daud tidak hanya mengutus satu orang, tetapi beberapa orang utusan, untuk memastikan Betsyeba menurut (2 Samuel 11:4). Ingat, satu-satunya orang yang menolak menuruti perintah Daud dalam cerita ini, Uria, mati dibunuh (2 Samuel 11:14-18). Teks ini tidak mengatakan bahwa Betsyeba tahu bahwa ia dibawa ke istana untuk berhubungan seks dengan raja. Kemungkinan besar ia justru mengira ia dipanggil ke istana untuk menerima kabar tentang kematian suaminya, yang kemudian memang terjadi (2 Samuel 11:26-27).

Teks ini menunjukkan bahwa tindakan itu merupakan perlakuan satu arah dari Daud. “Daud tidur dengan dia,” bukannya “mereka tidur bersama” (2 Samuel 11:4). Kata yang digunakan di sini menunjukkan bahwa hubungan itu merupakan perkosaan, bukan perzinahan. Daud menyuruh orang “mengambil” (laqach) Betsyeba lalu "tidur" (shakav) dengan dia. Kata kerja shakav memang bisa berarti hubungan seksual, tetapi kata itu digunakan di banyak peristiwa perkosaan di Alkitab Ibrani. Kata kerja laqach dan shakav hanya muncul bersama-sama dalam konteks perkosaan (Kejadian 34:2; 2 Samuel 12:11; 16:22).

Kita tidak bisa menyalahkan Betsyeba yang menurut saja ketika dibawa ke kamar laki-laki yang memiliki kekuasaan besar dan riwayat kekerasan. Ketika cerita berlanjut, semua orang mencela Daud, bukan Betsyeba. Allah menyalahkan Daud. “Hal yang dilakukan Daud itu jahat di mata Tuhan” (2 Samuel 11:27). Nabi Natan mendakwa Daud dengan menceritakan perumpamaan tentang seorang kaya (yang melambangkan Daud) yang “mengambil” seekor domba yang sangat berharga (Betsyeba) dari seorang miskin (Uria). Setelah mendengar perumpamaan Natan, Daud bahkan mengecam orang kaya itu (dirinya sendiri). “Orang yang melakukan itu harus dihukum mati” (2 Samuel 12:5). Maka dengan jelas dan tegas Natan berkata, "Engkaulah orang itu!" (2 Samuel 12:7). Berdasarkan hukum tentang perkosaan dan perzinahan di Ulangan 22:22-29, jika hanya si laki-laki yang harus dihukum mati, maka yang terjadi bukanlah perzinahan, tetapi perkosaan.

Jika kita menyebut peristiwa ini sebagai perzinahan atau mempermasalahkan tindakan Betsyeba, kita tidak hanya mengabaikan teks Alkitab ini, tetapi kita juga pada intinya menyalahkan orang yang menjadi korban. Namun, jika kita menyebutnya sebagai perkosaan dan berfokus pada tindakan-tindakan Daud, kita tidak hanya membaca teks dengan cermat, tetapi kita juga memvalidasi kisah-kisah para korban pelecehan seksual lainnya. Sama seperti Allah melihat yang dilakukan Daud terhadap Batsyeba, Tuhan juga melihat yang dilakukan para pelaku terhadap para korban pelecehan seksual saat ini.

Kejahatan Daud adalah menyalahgunakan kekuasaan yang dilakukan dalam bentuk pelanggaran seksual. Sebagai penguasa atas kerajaan Israel terbesar, Daud jelas memiliki kekuasaan yang melebihi semua orang Israel Perjanjian Lama lainnya. Sebelum naik takhta, Daud menggunakan kekuasaannya untuk melayani orang lain, seperti saat menolong membebaskan penduduk kota Kehila dan Ziklag yang tak berdaya (1 Samuel 23:1-14; 30:1-31), tetapi dengan Betsyeba ia menyalahgunakan kekuasaannya pertama-tama untuk melayani nafsunya, dan kemudian untuk melanggengkan reputasinya.

Meskipun tidak banyak dari kita yang memiliki otoritas sebesar Daud, banyak dari kita memiliki kekuasaan di lingkup yang lebih kecil dalam konteks keluarga atau pekerjaan, entah karena jenis kelamin, ras, kedudukan, kekayaan, atau status lainnya, atau pun sekadar karena kita lebih tua, lebih berpengalaman, dan lebih bertanggung jawab. Sungguh menggoda untuk menggunakan kekuasaan dan hak-hak istimewa kita dengan berpikir bahwa kita sudah bekerja keras untuk semua kemajuan ini (kantor yang lebih baik, tempat parkir khusus, gaji yang lebih tinggi), meskipun orang-orang yang kurang memiliki kekuasaan tidak ikut menikmatinya.

Sebaliknya, banyak dari kita yang rentan terhadap orang-orang yang berkuasa karena alasan yang sama, meskipun berada di sisi yang berlawanan dari distribusi kekuasaan. Bisa menggoda juga untuk berpikir bahwa orang yang dalam posisi lemah seharusnya berusaha membela diri, seperti yang dipikirkan banyak orang tentang Betsyeba. Teks Alkitab tidak menunjukkan bukti bahwa ia berusaha menolak paksaan seksual Daud, oleh karena itu — menurut pemikiran ini — ia tentu merupakan partisipan yang bersedia. Seperti sudah kita ketahui, Alkitab menolak pemikiran ini. Korban kejahatan selalu adalah korban kejahatan, tak peduli seberapa besar atau kecil perlawanan yang mungkin ia coba lakukan.

Daud menjerumuskan dirinya ke dalam kejahatan ini setelah ia lupa bahwa Tuhanlah yang memberinya posisi kekuasaannya, dan bahwa Tuhan memerhatikan yang ia lakukan dengan hal itu. Gembala dimaksudkan untuk merawat, bukan memakan domba-domba yang digembalakannya (Yehezkiel 34). Yesus, Gembala yang baik, menggunakan kekuasaan-Nya untuk memberi makan, melayani, menyembuhkan, dan memberkati orang-orang yang ada dalam kekuasaan-Nya, dan Dia memerintahkan para pengikut-Nya untuk melakukan hal yang sama (Markus 9:35; 10:42-45).

Kekuasaan Daud yang sangat besar memungkinkannya untuk menghindari aspek-aspek tanggung jawabnya yang tidak menyenangkan, khususnya dalam memimpin pasukannya berperang, meskipun ia seorang pahlawan militer, yang telah mengalahkan Goliat dan “beribu-ribu orang” dalam pertempuran (1 Samuel 17; 18:7; 21:11; 29:5). Konsekuensi keputusannya untuk tinggal di rumah saja dan menikmati tidur siang adalah karena ia kurang memiliki akuntabilitas, sementara teman-teman dekatnya (“orang-orang gagah perkasa”) sedang berperang. Ada banyak orang yang mengetahui hal yang dilakukan Daud, tetapi mereka adalah para pelayan, dan, tak heran jika tak satu pun dari mereka yang buka mulut. Orang yang berhadapan dengan kekuasaan biasanya harus membayar harga.

Akan tetapi hal itu tidak menghentikan Abigail, istri yang bijaksana dari Nabal yang bebal, untuk menempatkan dirinya dalam bahaya demi mencegah Daud yang saat itu belum menjadi raja melakukan amukan berdarah (1 Samuel 25). Andai saja salah seorang dari pelayan Daud berani mengatakan peringatan awal seperti yang dilakukan Abigail, mungkin perkosaan terhadap Betsyeba dan pembunuhan terhadap Uria itu tidak akan terjadi. Setelah kejahatan dilakukan, nabi Natan disuruh Allah menghadapi raja itu, yang beruntungnya mau mendengarkan pesan itu (2 Samuel 12). Perhatikan bahwa Abigail dan Natan sendiri bukanlah korban yang dimaksudkan dalam penyelewengan kekuasaan Daud. Mereka berada dalam posisi kekuasaan yang lebih rendah dari pelaku, namun entah bagaimana mereka sadar bahwa mereka bisa melakukan intervensi dan bersedia mengambil risiko untuk melakukan hal itu. Apakah tindakan mereka menunjukkan bahwa kita yang menyadari adanya pelecehan memiliki tanggung jawab untuk mencegah atau melaporkannya, meskipun hal itu membawa risiko pada kita atau reputasi kita?

Kebanyakan dari kita tidak berada dalam situasi harus menghadapi bos atau pengawas yang berisiko mengancam hidup kita, tetapi membuka mulut dalam konteks-konteks seperti ini bisa berarti kehilangan status, promosi, atau pekerjaan. Namun, sebagaimana yang ditunjukkan cerita ini, dan banyak cerita lain semacam ini dalam Kitab Suci, Allah memanggil umat-Nya untuk bertindak sebagai nabi di gereja kita, sekolah kita, bisnis kita, dan di mana pun kita bekerja dan bertempat tinggal. Contoh Abigail dan Natan—selain perintah Yesus di Matius 18:15-17—menunjukkan bahwa idealnya kita harus berbicara langsung dengan pelaku. (Namun, Roma 13:1-7 menyiratkan bahwa orang Kristen juga bisa memakai cara-cara proses hukum lain yang tidak harus berhadapan langsung dengan pelaku).

Bagi kita yang suka menghindari konflik, belajar mengatakan kebenaran kepada orang yang berkuasa dapat dikembangkan secara bertahap dari waktu ke waktu, seperti melakukan terapi fisik untuk otot yang lemah atau cedera. Kita melatih kemampuan berkonfrontasi dengan memulainya dari langkah-langkah kecil, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau menunjukkan masalah-masalah kecil. Setelah itu kita bisa beranjak ke isu-isu yang lebih signifikan dengan memberikan perspektif-perspektif alternatif yang mungkin tidak populer. Lambat laun, kita bisa menjadi lebih berani sehingga jika kita menyadari ada pelanggaran moral yang signifikan seperti pelecehan seksual oleh rekan kerja atau atasan, harapannya kita dapat mengatakan kebenaran dengan cara yang bijak dan ramah. Di sisi lain, para pemimpin yang bijak memudahkan bawahannya untuk meminta pertanggungjawaban mereka dan mengangkat isu-isu. Saat Anda menjadi pemimpin, apa yang Anda lakukan untuk menerima atau mengumpulkan umpan balik negatif dari orang lain?

Daud menerima umpan balik yang sangat negatif dari Natan, dan ia bertobat. Meskipun demikian, Natan berkata kepada Daud bahwa pertobatan dan pengampunan pribadinya tidak dengan sendirinya mengakhiri segala akibat dosanya pada orang lain:

Lalu berkatalah Daud kepada Natan, "Aku sudah berdosa kepada TUHAN."
Kata Natan kepada Daud, "TUHAN telah menyingkirkan dosamu; engkau tidak akan mati. Walaupun demikian, karena engkau benar-benar menista TUHAN dengan perbuatan ini, pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati." (2 Samuel 12:13-14).

Pertobatan pribadi Daud tidak menghilangkan budaya eksploitasi yang ada di bawah kepemimpinannya. Natan berkata kepada Daud bahwa hukuman atas dosanya akan sangat berat, dan pemerintahan Daud selanjutnya akan diwarnai dengan huru hara (2 Samuel 13-2, 1 Raja-raja 1). Bahkan Amnon anak Daud melakukan kejahatan yang sama (perkosaan) dengan cara yang lebih tercela, terhadap adik tirinya sendiri, Tamar (2 Samuel 13:1-19). Daud sendiri terlibat, meskipun mungkin tanpa disadari. Bahkan ketika hal itu diberitahukan kepadanya, Daud tidak melakukan apa-apa untuk menegakkan keadilan pada situasi itu. Akhirnya, anak Daud, Absalom, memutuskan untuk bertindak sendiri. Ia membunuh Amnon dan memulai perang di dalam rumahtangga Daud sendiri (2 Samuel 13), yang meningkat menjadi perang saudara dan serentetan tragedi di seluruh Israel.

Budaya yang mentolerir pelecehan sangat sulit diberantas, jauh lebih sulit dari yang diperkirakan para pemimpinnya. Jika Daud berpikir bahwa pertobatan pribadinya merupakan satu-satunya yang diperlukan untuk memulihkan integritas keluarganya, ia sangat keliru. Yang menyedihkan, sikap berpuas diri dan tidak ambil pusing dalam mentolerir budaya pelecehan ini masih terus berlangsung sampai hari ini. Berapa banyak gereja, perusahaan, universitas, pemerintah dan organisasi yang berjanji akan memberantas budaya pelecehan seksual setelah suatu insiden terungkap, namun segera kembali ke cara-cara lama yang sama dan melakukan pelecehan-pelecehan yang bahkan lebih buruk?

Namun, episode ini tidak berakhir dengan keputusasaan. Pelecehan seksual adalah salah satu dosa yang paling menyedihkan, namun tetap masih ada harapan akan keadilan dan pemulihan. Dapatkah kita membuat teladan Daud, Natan dan Betsyeba mendorong kita lebih berani untuk mengaku dosa dan bertobat (jika kita sebagai pelaku), untuk berkonfrontasi (jika kita mengetahui kejahatan itu), atau untuk pulih (jika kita adalah korban)? Dalam hal yang manapun, langkah pertama adalah menghentikan pelecehan. Baru setelah hal itu terjadi kita dapat berbicara tentang pertobatan, termasuk menerima kesalahan, hukuman, dan jika memungkinkan, ganti rugi. Dalam silsilah keturunan Daud yang paling terkenal, Yesus, Matius mengingatkan kita tentang perkosaan yang dilakukan Daud. Matius memasukkan Betsyeba di antara empat ibu yang ia sebutkan, bukan dengan menyebutnya istri Daud, tetapi istri Uria, orang yang dibunuh Daud (Matius 1:6). Pemberitahuan di awal kitab Injil ini mengingatkan kita bahwa Allah adalah Allah atas keadilan dan pemulihan. Di dalam satu segi ini, kita bahkan nungkin melihat Daud sebagai contoh yang patut ditiru. Orang yang berkuasa ini, ketika dihadapkan pada bukti kesalahannya sendiri, mau bertobat dan meminta keadilan, meskipun ia tahu hal itu bisa saja membawanya kepada kehancuran. Ia memang menerima belas kasihan, tetapi bukan dengan kekuatannya sendiri atau kekuatan kroni-kroninya, tetapi dengan tunduk pada otoritas yang melampaui kekuatannya untuk memanipulasi.

Daud Gagal Menangani Konflik Keluarga Yang Mengakibatkan Perang Saudara (2 Samuel 13-19)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Banyak orang merasa tidak nyaman dengan situasi konflik, sehingga kita cenderung menghindari terjadinya konflik, baik di rumah maupun di tempat kerja. Namun, konflik itu sangat mirip dengan penyakit. Konflik-konflik kecil mungkin bisa terselesaikan meskipun kita mengabaikannya, tetapi konflik-konflik besar akan menjadi lebih parah dan lebih memengaruhi sistem-sistem kehidupan kita jika kita tidak menyelesaikannya. Inilah yang terjadi dalam keluarga Daud. Daud membiarkan konflik di antara beberapa anaknya menjerumuskan keluarganya ke dalam tragedi. Putra sulungnya, Amnon, memperkosa dan mempermalukan saudara tirinya, Tamar (2 Samuel 13:1-19). Kakak kandung Tamar, Absalom, membenci Amnon atas kejahatan itu, tetapi tidak mengatakannya pada Daud. Daud mengetahui hal itu tetapi memutuskan untuk mengabaikan situasi itu (2 Samuel 13:21). Untuk informasi lebih lanjut tentang anak-anak yang mengecewakan orang tuanya, lihat "Ketika anak-anak mengecewakan (1 Samuel 8:1-3)."

Selama dua tahun, semuanya tampak baik-baik saja, tetapi konflik besar yang tidak diselesaikan ini tak pernah hilang. Ketika Amnon dan Absalom melakukan perjalanan ke suatu wilayah bersama-sama, Absalom melimpahi saudara tirinya dengan anggur sampai mabuk, lalu menyuruh para pelayannya untuk membunuhnya (2 Samuel 13:28-29). Konflik makin banyak melibatkan anggota keluarga, para bangsawan, dan tentara Daud, sampai seluruh bangsa dilanda perang saudara. Kehancuran yang ditimbulkan akibat menghindari konflik berkali-kali lipat lebih buruk daripada ketidaknyamanan yang mungkin timbul akibat menyelesaikan masalah sejak dini.

Profesor Ronald Heifetz dan Marty Linsky dari Harvard mengatakan bahwa para pemimpin harus "menyelesaikan konflik", sebab kalau tidak, konflik itu akan memburuk dengan sendirinya, menggagalkan tujuan-tujuan mereka, dan membahayakan organisasi mereka.[1] Demikian juga, Jim Collins memberikan contoh tentang Alan Iverson, yang pernah menjadi CEO Nucor Steel saat terjadi perbedaan pendapat yang besar tentang apakah perusahaan harus merambah ke daur ulang baja bekas. Iverson mengungkapkan perpecahan itu secara terbuka dengan membiarkan semua orang mengutarakan pendapat mereka, melindungi mereka dari pembalasan dendam orang lain yang mungkin tidak sependapat. "Perdebatan panas" yang terjadi sangat tidak menyenangkan bagi semuanya. “Orang-orang berteriak, mengepalkan tangan dan menggebrak meja. Wajah-wajah memerah dan urat-urat nadi menonjol.” Namun, mengakui konflik dan menyelesaikannya secara terbuka mencegahnya untuk tidak terdeteksi dan meledak kemudian. Lagipula, dengan mengungkapkan berbagai fakta dan pendapat, keputusan yang lebih baik bisa dihasilkan oleh kelompok. “Rekan-rekan kerja masuk ke kantor Iverson dengan memekik dan berteriak kepada satu sama lain, tetapi kemudian mereka akan keluar dengan satu konklusi…. Strategi perusahaan ‘berevolusi melalui banyak perdebatan dan pertengkaran yang menyakitkan’.” [2] Konflik yang diselesaikan dengan baik benar-benar dapat menjadi sumber kreativitas.

Daud Tahu Ia Memerlukan Pimpinan Tuhan tentang Cara Melakukan Pekerjaannya (1 Tawarikh 13)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di dalam 1 Tawarikh 13, Daud menghadapi tantangan dalam pekerjaannya sebagai raja, dan membuat awal yang baik dengan menyelesaikannya. Ia percaya bahwa tabut Allah seharusnya dipindahkan dari Kiryat-Yearim, tempat tabut itu diabaikan pada zaman pemerintahan Saul. Namun, alih-alih mengambil keputusan sendiri, ia berunding dengan semua pemimpin dan meminta persetujuan mereka. Bersama-sama mereka berdoa kepada Allah meminta hikmat dan menyimpulkan bahwa mereka memang perlu membawa pulang tabut itu. Sangatlah mudah bagi seorang pemimpin untuk membuat kesalahan dengan bertindak sendiri, tanpa nasihat dari Allah maupun orang lain. Namun, Daud menyadari betul pentingnya nasihat Allah maupun manusia. Ia menerima "persetujuan" yang jelas untuk proyeknya ini.

Namun, bencana menimpa. Uza, yang membantu mengangkut tabut itu, mengulurkan tangannya untuk mengamankan tabut itu, dan Allah membunuhnya (1 Tawarikh 13:9-10). Hal ini membuat Daud marah (1 Tawarikh 13:9-11) dan sekaligus takut pada Tuhan (1 Tawarikh 13:12), yang membuat Daud meninggalkan proyek itu. Pelaksanaan proyek yang dimulai dengan konfirmasi dari Allah dan rekan-rekan yang dipercaya tiba-tiba berubah menjadi kegagalan yang dramatis. Hal yang sama terjadi pada saat ini. Pada akhirnya, hampir kita semua akan mengalami kegagalan yang menyakitkan dalam pekerjaan kita. Hal ini bisa sangat mengecilkan hati, bahkan menggoda kita untuk meninggalkan pekerjaan yang sudah Allah tetapkan untuk kita lakukan.

Sebagai informasi tambahan, Daud pernah melakukan dua pertempuran yang sukses. Di dalam setiap kasus, ia selalu bertanya pada Allah apakah mereka harus terus maju, dan Tuhan membuat keduanya berhasil. Akan tetapi pimpinan Allah untuk misi kedua berisi instruksi yang aneh. Allah berkata, “Janganlah bergerak maju di belakang mereka; tetapi buatlah gerakan yang melingkari mereka agar engkau dapat menyerang dari arah pohon-pohon.” Allah ingin Daud pergi berperang, tetapi Dia mau mereka bergerak maju dengan cara tertentu.

Setelah keberhasilan-keberhasilan ini, Daud merenungkan pengalaman ini dan memerintahkan agar jangan seorang pun selain orang-orang Lewi yang diperkenankan membawa tabut Allah, karena Tuhan memang memilih mereka untuk tugas itu (1 Tawarikh 15:2). Ketetapan ini sudah dituliskan dalam kitab Torat (Bilangan 4:15), tetapi terlupakan atau diabaikan. Setelah Daud mengumpulkan orang-orang Lewi untuk menyelesaikan tugas memindahkan tabut itu, ia menjelaskan tentang kegagalan sebelumnya, “Oleh karena kamu [para imam dan orang-orang Lewi] tidak hadir pada pertama kalinya, TUHAN, Allah kita, telah menyambar kita, sebab kita tidak meminta pentunjuk-Nya sebagaimana seharusnya.” (1 Tawarikh 15:13). Yang kedua kalinya, karena mereka mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam Hukum Taurat, tabut itu berhasil dipindahkan.

Kisah ini menjadi pengingat bagi kita dalam pekerjaan kita sendiri. Bertanya pada Allah dan meminta nasihat dari orang yang dapat dipercaya tentang apa yang harus kita lakukan itu penting. Namun, itu saja belum cukup. Allah juga peduli dengan bagaimana cara kita melakukan pekerjaan itu. Sebagaimana ditunjukkan usaha Daud yang gagal ketika mengabaikan ketetapan di Bilangan 4:15, melakukan segala sesuatu dengan cara Allah membutuhkan pemahaman yang benar tentang Kitab Suci.

Ketidaktaatan Daud pada Tuhan Mendatangkan Penyakit Sampar Nasional (1 Tawarikh 21:1-17)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Daud juga mengalami kegagalan lain yang, bagi kita yang hidup di abad 21, mungkin aneh. Ia melakukan sensus terhadap orang Israel. Meskipun tindakan ini tampaknya merupakan hal yang baik untuk dilakukan, teks Alkitab menyatakan bahwa Iblis telah menghasut Daud untuk melakukan hal ini dan menentang nasihat panglimanya, Yoab. Lagipula, "Di mata Allah pun titah itu jahat, sebab itu dihajar-Nya orang Israel." (1 Tawarikh 21:7).

Daud mengakui dosanya yang melakukan sensus yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Ia diberi tiga pilihan, yang masing-masing akan membahayakan banyak orang di dalam kerajaan: (1) tiga tahun kelaparan, atau (2) tiga bulan dihancurkan oleh pedang musuh, atau (3) tiga hari penyakit sampar melanda negeri itu. Daud memilih opsi ketiga, dan tujuh puluh ribu orang mati ketika malaikat maut melewati negeri itu. Maka berserulah Daud kepada Allah, "Berkatalah Daud kepada Allah, “Bukankah aku yang menyuruh menghitung rakyat dan aku sendirilah yang telah berdosa dan yang melakukan kejahatan? Tetapi, domba-domba ini, apakah yang telah dilakukan mereka? Ya TUHAN, Allahku, biarlah tangan-Mu menimpa aku dan kaum keluargaku, tetapi janganlah menimpa umat-Mu dengan tulah.” (1 Tawarikh 21:17).

Seperti Daud, kita mungkin sulit untuk mengerti mengapa Allah menghukum 70.000 orang lain akibat dosa Daud. Teks Alkitab tidak memberikan jawaban. Namun, kita bisa menemukan bahwa pelanggaran para pemimpin jelas akan mencelakakan rakyatnya. Jika pemimpin bisnis memutuskan mengembangkan produk yang buruk, orang-orang di organisasinya akan kehilangan pekerjaan saat penghasilan menurun. Jika pengelola restoran tidak menerapkan aturan kebersihan, para pelanggan akan sakit. Jika guru memberi nilai bagus untuk pekerjaan yang buruk, siswa-siswa akan gagal atau tertinggal di tingkat pendidikan selanjutnya. Orang-orang yang menerima posisi kepemimpinan tidak bisa menghindar dari tanggung jawab atas akibat tindakan mereka pada orang lain.

Dukungan Daud terhadap Seni Musik (1 Tawarikh 25)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

1 Tawarikh menambahkan keterangan yang tidak terdapat dalam 2 Samuel dan 1 Raja-raja. Daud membentuk kelompok-kelompok musisi "untuk menyanyikan puji-pujian di rumah Tuhan."

Di bawah pimpinan ayah mereka, mereka sekalian bernyanyi di Rumah Tuhan dengan diiringi simbal, gambus, dan kecapi untuk ibadah di Rumah Allah dengan wewenang raja. Demikianlah tugas Asaf, Yedutun, dan Heman. Mereka beserta saudara-saudara mereka yang telah dilatih bernyanyi untuk TUHAN, semua orang terampil itu, berjumlah dua ratus delapan puluh delapan orang. (1 Tawarikh 25:6-7)

Menangani grup musik sebesar dua kali kelompok orkestra simfoni modern merupakan usaha yang luar biasa di negara yang baru muncul di abad 10 SM itu. Namun, Daud tidak melihatnya sebagai kemewahan, melainkan sebagai kebutuhan. Bahkan, ia memerintahkan hal ini dalam perannya sebagai panglima tertinggi tentara, dengan persetujuan para panglima lainnya (1 Tawarikh 25:1).

Banyak kalangan militer saat ini memiliki grup musik atau paduan suara, tetapi tidak banyak tempat kerja lain yang mengusahakannya, kecuali mereka memang organisasi musik. Namun ada sesuatu yang penting tentang musik dan kesenian lainnya bagi semua jenis pekerjaan. Dunia ciptaan Allah—sumber aktivitas ekonomi manusia—tidak hanya produktif, tetapi juga indah (misal, Kejadian 3:6; Mazmur 96:6; Yehezkiel 31:7-9), dan Allah menyukai hasil karya yang indah (misal, Yesaya 60:13). Apa tempat keindahan dalam pekerjaan Anda? Apakah Anda atau organisasi Anda atau orang-orang yang memakai pekerjaan Anda mendapatkan manfaat jika pekerjaan Anda menciptakan lebih banyak keindahan? Apa pula artinya bahwa bekerja dalam pekerjaan Anda itu indah?