Bootstrap

Key Topic Overview Articles

Panggilan & Vokasi (Tinjauan Umum)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pendahuluan

Ketika orang Kristen bertanya tentang vokasi (atau "panggilan"), kita biasanya mengartikan, “Apakah Allah memanggilku untuk suatu tugas, profesi atau jenis pekerjaan tertentu?” Pertanyaan ini penting karena pekerjaan yang kita lakukan penting bagi Tuhan. Jika pekerjaan itu penting, maka logis untuk bertanya pekerjaan apa yang Tuhan ingin kita lakukan.

Di dalam Alkitab, Allah memanggil orang-orang – setidaknya orang-orang tertentu – untuk pekerjaan tertentu, dan memberikan kepada semua orang berbagai panduan untuk pekerjaan mereka. Kita akan menyelidiki catatan Alkitab tentang “panggilan-panggilan” ini secara mendalam. Meskipun Kitab Suci sebenarnya jarang memakai kata “panggilan” untuk menggambarkan pimpinan Allah untuk suatu pekerjaan, peran atau tugas, peristiwa-peristiwa dalam Alkitab ini sangat cocok dengan yang biasanya kita artikan sebagai “panggilan” vokasional. Jadi, sebagai jawaban awal, kita dapat berkata “ya,” Allah memang memimpin orang-orang kepada tugas, peran dan jenis pekerjaan tertentu.

Tetapi di dalam Alkitab, konsep panggilan lebih mendalam dari aspek kehidupan apa pun, seperti pekerjaan. Allah memanggil manusia untuk dipersatukan dengan-Nya dalam semua aspek kehidupan. Dan ini hanya dapat terjadi dengan merespons panggilan Kristus untuk mengikut Dia. Panggilan untuk mengikut Kristus adalah dasar dari semua panggilan lainnya. Namun penting agar tidak merancukan panggilan untuk mengikut Kristus dengan panggilan untuk menjadi pekerja gereja profesional. Orang-orang di setiap jalan kehidupan dipanggil untuk mengikut Kristus dengan kedalaman dan komitmen yang sama.

Di dalam artikel ini, setelah menyelidiki panggilan untuk mengikut Kristus, kita akan menyelidiki panggilan dalam pekerjaan tertentu berdasarkan berbagai ayat-ayat Alkitab yang terkait dengan panggilan. Kita akan melihat bagaimana Allah Tritunggal Bapa, Putra dan Roh Kudus bekerja sama dalam memimpin dan menjadi teladan dalam pekerjaan kita.

Di dalam perjalanan itu, kita akan membahas topik-topik terkait seperti:

  • bagaimana mengenali panggilan atau pimpinan Allah dalam hal pekerjaan

  • natur panggilan komunitas

  • panggilan gereja vs. pekerjaan non-gereja

  • panggilan-panggilan dalam karya penciptaan dan penebusan Allah di luar pekerjaan yang dibayar

  • pentingnya cara Anda bekerja dalam pekerjaan apa pun yang Anda miliki, dan

  • kemerdekaan terakhir yang dinikmati orang Kristen dalam pekerjaan mereka.

Panggilan untuk Menjadi Milik Kristus dan Berpartisipasi dalam Karya Penebusan-Nya di Dunia

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Di dalam Alkitab, kata “panggilan” paling sering dipakai untuk merujuk pada inisiatif Allah untuk membawa orang kepada Kristus dan berpartisipasi dalam karya penebusan-Nya di dunia. Arti panggilan ini sangat menonjol di dalam surat-surat Paulus, entah kata “panggilan” itu benar-benar digunakan atau tidak.

Roma 1:6

Kamu juga termasuk di antara … yang telah dipanggil menjadi milik Yesus Kristus.

Roma 8:28

Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

1 Timotius 2:4

[Allah] menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.

2 Korintus 5:17-20

Jadi, siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, yang baru sudah datang. Semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan telah memercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab, di dalam Kristus, Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya tanpa memperhitungkan pelanggaran mereka dan Dia telah memercayakan berita pendamaian itu kepada kami. Jadi kami ini utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami. Dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: Berilah dirimu didamaikan dengan Allah.

Panggilan untuk menjadi milik Kristus lebih mendalam daripada berbagai “panggilan” di tempat kerja yang menjadi fokus utama artikel ini. Oleh karena itu, kita perlu memulai penyelidikan kita tentang panggilan ini dengan panggilan untuk mengikut Yesus. Yaitu, panggilan untuk memiliki relasi yang dipulihkan dengan Allah, orang lain dan dunia sekitar kita. Panggilan yang mencakup seluruh keberadaan dan tindakan seseorang. Panggilan yang mengingatkan kita bahwa panggilan dalam pekerjaan tertentu tidaklah sepenting (alias sekunder dibandingkan) panggilan untuk menjadi milik Kristus dan untuk berpartisipasi dalam karya penebusan-Nya di dunia.

Secara khusus, pekerjaan kita harus menjadi bagian yang menyatu dengan partisipasi kita dalam karya Kristus sendiri. Karya penciptaan-Nya mendasari tindakan kreativitas dan produktivitas di alam semesta (Yohanes 1:1-3). Karya penebusan-Nya dapat berlangsung di semua tempat kerja melalui keadilan, pemulihan, rekonsiliasi, belas kasih, kemurahan, kerendahan hati dan kesabaran (Kolose 3:12). Karya penebusan Kristus tidak terbatas pada penginjilan, tetapi meliputi semua yang diperlukan untuk membuat dunia sebagaimana yang selalu dimaksudkan Allah. Pekerjaan penebusan ini terjadi dalam keselarasan dengan pekerjaan mencipta, mengembangkan dan merawat yang Allah delegasikan kepada manusia di Taman Eden. Alkitab tidak mengindikasikan bahwa pekerjaan penebusan telah menggantikan pekerjaan penciptaan. Keduanya masih terus berlangsung, dan pada umumnya orang Kristen diperintahkan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan penciptaan maupun pekerjaan penebusan.[1]

Panggilan Universal untuk Bekerja

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebelum kita membahas kemungkinan pimpinan Allah dalam pekerjaan tertentu, kita harus menyadari bahwa Allah menciptakan manusia untuk bekerja dan Dia memerintahkan manusia untuk bekerja sesuai kemampuan mereka. Di awal Alkitab, Allah menjadikan bekerja sebagai esensi atau hakikat hidup manusia. Dia menciptakan manusia menurut gambar-Nya, dan Dia sendiri adalah Pekerja. Dia menempatkan Adam di taman Eden dengan tujuan untuk mengerjakan taman itu. Kemudian, di berbagai bagian Kitab Suci, Allah memerintahkan semua manusia untuk bekerja sesuai kemampuan mereka. Bekerja terus berlangsung sampai akhir Alkitab. Ada pekerjaan di Taman Eden, dan ada pekerjaan di Langit Baru/ Bumi Baru.

Kejadian 1:27-28

Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka. Allah memberkati mereka dan berfirman kepada mereka, “Beranak cuculah dan bertambah banyaklah. Penuhilah dan takhlukkanlah bumi. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, atas burung-burung di udara dan atas segala binatang melata di bumi.”

Kejadian 2:15,19-20

TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya di Taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara taman itu.… Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang liar dan segala burung di udara. Semuanya dibawa kepada manusia itu untuk melihat bagaimana ia menamainya. Sama seperti nama yang diberikan manusia itu kepada setiap makhluk hidup, begitulah namanya. Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung di udara, dan kepada segala binatang liar, tetapi baginya tidak didapati penolong yang sepadan dengan dia.

Keluaran 20:9

Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaaanmu.

2 Tesalonika 3:10

Sebab juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.

Wahyu 21:24-26

Bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya. Pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup sepanjang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana. Kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya.

Yesaya 65:21-22

Mereka akan mendirikan rumah-rumah dan mendiaminya pula, mereka akan menanam kebun-kebun anggur dan memakan buahnya pula. Mereka tidak akan mendirikan sesuatu supaya orang lain mendiaminya, dan mereka tidak akan menanam sesuatu supaya orang lain memakan buahnya; sebab umur umat-Ku akan sepanjang umur pohon, dan orang-orang pilihan-Ku akan menikmati pekerjaan tangan mereka.

Berdasarkan ayat-ayat ini, kita bisa berkata bahwa semua orang “dipanggil” untuk bekerja, sepanjang kita memahami bahwa “dipanggil” dalam pengertian ini sebenarnya berarti “diciptakan” dan “diperintahkan” untuk bekerja. Allah menciptakan Anda sebagai pekerja, dan Dia memerintahkan Anda untuk bekerja, meskipun Dia tidak memberi Anda surat tawaran kerja tertentu. Mungkin sulit untuk mengenali pekerjaan tertentu yang menjadi panggilan Tuhan untuk Anda, tetapi yang pasti Dia menciptakan Anda sebagai pekerja dan Dia mau Anda bekerja sesuai kemampuan Anda.

Panggilan untuk Hidup, Bukan Hanya untuk Bekerja

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun kita sedang fokus pada panggilan Allah untuk bekerja, pekerjaan hanyalah salah satu aspek kehidupan. Allah memanggil kita untuk menjadi milik Kristus dalam semua aspek kehidupan.

Kolose 3:17

Segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus.

Pekerjaan kita tidak selalu merupakan aspek terpenting dari panggilan atau pelayanan kita dalam karya penebusan Kristus. Pertama-tama, kita harus ingat bahwa bekerja tidak terbatas hanya pada pekerjaan yang dibayar. Pekerjaan yang Tuhan berikan pada kita mungkin saja pekerjaan yang tidak berbayar, seperti membesarkan anak, atau merawat anggota keluarga yang lemah/sakit, atau mengajar privat siswa-siswa sepulang sekolah. Meskipun kita dipanggil untuk pekerjaan yang dibayar, Allah kemungkinan tidak memanggil banyak dari kita ke dalam pekerjaan yang membuat kita tak dapat melayani orang lain melalui pekerjaan yang tidak dibayar.

Meskipun Anda memiliki pekerjaan yang dibayar, hal terpenting yang Allah mau Anda lakukan bisa jadi berada di luar pekerjaan Anda. Pekerjaan Anda bisa memenuhi kebutuhan Anda akan uang - yang pada dasarnya memenuhi sebagian perintah Allah untuk bekerja - tetapi bisa jadi tidak memenuhi semua tujuan lain yang Allah maksudkan untuk Anda bekerja. Kita sudah melihat bahwa merawat anak dan orang tua atau orang yang memiliki kelemahan adalah suatu pekerjaan, dan banyak orang yang melakukannya juga memiliki pekerjaan lain yang dibayar. Di sisi lain, yang disebut hobi juga bisa menjadi pekerjaan terpenting yang Allah sediakan untuk Anda. Anda mungkin bekerja dengan menulis, melukis, bermain musik, seni peran, astronomi, memimpin kelompok muda-mudi, sukarelawan di masyarakat sejarah, suaka pelestarian alam, atau ribuan jenis pekerjaan lainnya. Jika hal seperti ini menjadi panggilan Anda, Anda kemungkinan akan terlibat lebih serius dibandingkan orang lain yang menganggapnya sebagai aktivitas waktu luang saja, namun Anda mungkin tetap mencari nafkah dengan cara lain. Ada perbedaan antara pekerjaan dan pengisi waktu luang. Tetapi aktivitas apa pun bisa menjadi pekerjaan, yang dibayar atau pun tidak, bagi orang yang satu, dan menjadi aktivitas waktu luang bagi orang yang lain.

Jika Anda punya pekerjaan, tentu saja pekerjaan itu merupakan aspek panggilan Anda selama Anda memilikinya. Tak peduli bagaimana kaitan pekerjaan Anda dengan aktivitas lain yang Anda merasa terpanggil, Anda harus melakukan pekerjaan Anda seperti untuk Tuhan (Kolose 3:23). Oleh karena itu, suatu pekerjaan tidak boleh hanya menjadi cara menghasilkan uang. Tetapi juga harus menjadi cara untuk melayani orang lain, untuk membuat dunia menjadi makin seperti yang dimaksudkan Tuhan, dan untuk dibentuk oleh Tuhan. Anda mungkin tidak menganggap pekerjaan Anda sebagai aspek utama panggilan Anda, tetapi Allah bisa saja memakainya untuk menyiapkan Anda ke depan dengan cara yang tak dapat Anda bayangkan. Jika Anda meminta Tuhan menolong Anda melakukan pekerjaan Anda dengan setia dan memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan apa pun yang diberikan, permohonan Anda tidak akan sia-sia.

Kedua, kita harus berhati-hati agar tidak membiarkan pekerjaan mendominasi aspek-aspek kehidupan lainnya. Meskipun Tuhan memimpin Anda kepada pekerjaan atau profesi tertentu, Anda perlu membuat batasan-batasan pada pekerjaan itu agar dapat memberi ruang bagi aspek-aspek lain dari panggilan atau pimpinan Tuhan dalam hidup Anda. Jika Tuhan memimpin Anda untuk menikah dan menjadi pemilik usaha kecil, misalnya, Anda harus menyeimbangkan waktu dan tanggung jawab Anda di dalam kedua panggilan itu. Pekerjaan tidak boleh mendesak waktu santai, istirahat dan ibadah. Tidak ada formula untuk menyeimbangkan pekerjaan dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Namun berhati-hatilah agar rasa terpanggil pada suatu pekerjaan tidak membutakan Anda terhadap panggilan Tuhan dalam aspek-aspek kehidupan lainnya. Untuk lebih jelasnya tentang hal ini, lihat artikel Proyek Teologi Kerja "Rest and Work(Istirahat dan Kerja).

Pimpinan Tuhan dalam Pekerjaan Tertentu

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sampai di sini kita sekarang dapat mempelajari kemungkinan pimpinan Allah untuk suatu tugas, peran, karir atau jenis pekerjaan tertentu. Kita sudah belajar bahwa:

  1. Semua orang dipanggil untuk menjadi milik Kristus dan untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan dan penebusan-Nya.

  2. Semua orang diperintahkan untuk bekerja sesuai kemampuan mereka.

  3. Allah memanggil kita kepada seluruh hidup, bukan hanya untuk suatu pekerjaan.

Dengan menggabungkan semuanya kita dapat menyimpulkan bahwa profesi Anda kemungkinan bukan perhatian utama Allah untuk Anda. Allah jauh lebih peduli agar Anda berada dalam kasih karunia Kristus yang menyelamatlan dan berpartisipasi dalam karya penciptaan dan penebusan-Nya, apa pun pekerjaan Anda. Tepatnya, apa pun pekerjaan yang Anda lakukan merupakan kepentingan yang lebih rendah tingkatannya.

Meskipun membawa kita kepada pekerjaan atau karir yang tepat bukan perhatian utama Allah, ini tidak berarti Dia tidak peduli. Faktanya, pekerjaan khusus Roh Kudus adalah memimpin dan memampukan orang percaya untuk hidup dan bekerja di tempat Allah memanggil mereka. Di Perjanjian Lama, Allah memberikan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan mereka pada suatu waktu, seperti yang kita temukan pada Bezaliel dan Aholiab saat membangun kemah suci. Tetapi sekarang Roh secara rutin memimpin orang percaya dalam pekerjaan tertentu dan memberi mereka keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan (1 Korintus 12:7-10). [1] Dia memberi pimpinan tentang pekerjaan apa yang dilakukan maupun bagaimana cara melakukan pekerjaan itu.

Lanjutkan membaca untuk menyelidiki bagaimana Allah memimpin orang dalam pekerjaan tertentu.

Panggilan Langsung dan Jelas untuk Pekerjaan Tertentu

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Dengan memahami bahwa gambaran utama panggilan dalam Alkitab adalah panggilan untuk mengikut Yesus, kita kini siap menyelidiki panggilan-panggilan dalam jenis pekerjaan tertentu. Jika kita mengartikan “panggilan” sebagai perintah yang langsung dan jelas dari Allah untuk melakukan suatu tugas, jabatan, profesi atau jenis pekerjaan tertentu, maka panggilan itu sangat jarang ditemukan dalam Alkitab. Tidak lebih dari seratusan orang saja yang dipanggil Allah dalam pengertian ini. Allah memanggil Nuh untuk membuat bahtera. Allah memanggil Musa dan Harun untuk melaksanakan tugas-tugas mereka (Keluaran 3:4, 28:1). Allah memanggil nabi-nabi seperti Samuel (1 Samuel 3:10), Yeremia (Yeremia 1:4-5), Amos (Amos 7:15) dan lain-lainnya. Allah memanggil Abram dan Sara dan beberapa orang lain untuk melakukan perjalanan atau menetap (yang bisa dianggap sebagai panggilan di tempat kerja). Allah menempatkan orang-orang dalam kepemimpinan politik seperti Yusuf, Gideon, Saul, Daud dan keturunan Daud. Allah memilih Bezaliel dan Aholiab sebagai tukang-tukang ahli dalam membuat kemah suci (Keluaran 31:1-6). Yesus memanggil rasul-rasul dan beberapa murid lainnya (contoh: Markus 3:14-19), dan Roh Kudus memanggil Barnabas dan Saulus sebagai misionaris (Kisah Para Rasul 13:2). Kata “memanggil” tidak selalu dipakai, tetapi pimpinan Allah yang jelas bagi orang tertentu untuk melakukan pekerjaan tertentu tampak jelas dalam contoh-contoh ini.

Selain contoh-contoh ini, tidak banyak orang di Alkitab yang menerima panggilan pribadi untuk melakukan pekerjaan tertentu dari Allah. Ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa panggilan langsung dari Allah untuk melakukan pekerjaan tertentu juga jarang terjadi pada saat ini. Jika Allah memanggil Anda secara langsung dan jelas untuk pekerjaan tertentu, Anda tidak memerlukan panduan dari artikel semacam ini, selain mungkin untuk menegaskan bahwa ya, panggilan itu memang ada di Alkitab dalam kasus yang langka. Oleh karena itu kita tidak akan membahas panggilan pribadi secara langsung dan jelas ini lebih lanjut, tetapi kita akan berfokus pada apakah Allah memimpin atau membawa orang kepada jenis pekerjaan tertentu melalui cara-cara yang kurang dramatis.

Pimpinan untuk Suatu Tugas atau Profesi

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun Allah tidak memberikan panggilan pribadi secara langsung dan jelas kepada sebagian besar orang, tetapi Allah memberikan pimpinan kepada orang-orang dengan cara-cara yang kurang dramatis, seperti melalui Pendalaman Alkitab, doa, komunitas Kristen dan refleksi pribadi. Mengembangkan kepekaan umum terhadap pimpinan Allah dalam kehidupan tidak tercakup dalam artikel ini. Tetapi kita akan memerhatikan tiga pertimbangan utama dalam mengenali pimpinan vokasional Allah.

Kebutuhan Dunia

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pertimbangan pertama adalah kebutuhan dunia. Satu indikator terkuat tentang apa yang Allah mau Anda lakukan mungkin adalah kesadaran Anda tentang apa yang harus dilakukan untuk membuat dunia lebih seperti yang dimaksudkan Allah. Ini tidak selalu berarti masalah-masalah dunia yang sangat besar, tetapi bisa hal apa saja di dunia yang perlu dilakukan. Mencari nafkah untuk menopang diri sendiri dan keluarga adalah salah satu contoh yang disebutkan dalam Alkitab:

Amsal 13:22

Orang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya.

Amsal 14:1

Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri.

1 Timotius 5:8

Jika ada orang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman.

Titus 3:14

Biarlah orang-orang kita juga belajar melakukan pekerjaan yang baik untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup yang pokok, supaya hidup mereka jangan sampai tidak berbuah.

Contoh alkitabiah lainnya adalah bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan orang-orang sekitar selain keluarga sendiri:

Amsal 14:21

Berbahagialah orang yang berbelas kasihan kepada orang yang miskin.

1 Tesalonika 4:11

Anggaplah suatu kehormatan untuk hidup tenang, mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tanganmu, seperti yang telah kami pesankan kepadamu.

Lukas 3:10-11

Orang banyak bertanya kepada-Nya, “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” Jawab-Nya kepada mereka, “Siapa yang mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan orang yang tidak punya, dan siapa saja yang mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat demikian juga.”

Amsal 11:25

Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan; siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.

Matius 25:34-36

Lalu Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya, “Mari hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan: Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum, dan ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan. Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu menjenguk Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.”

Bekerja untuk melayani kepentingan masyarakat luas juga perintah yang alkitabiah:

Yeremia 29:5-7

Dirikanlah rumah dan tempatilah; buatlah kebun dan nikmatilah hasilnya. Ambillah istri dan perolehlah anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah istri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan; bertambah banyaklah di sana dan jangan berkurang. Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana Aku membuangmu, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.

Tentu saja tidak mungkin bagi Anda untuk memenuhi semua kebutuhan dunia, karena itu Anda harus agak mempersempitnya. Mulailah dengan kebutuhan-kebutuhan yang menjadi tanggung jawab Anda pribadi, seperti membesarkan anak-anak Anda atau membayar utang Anda. Selebihnya, perhatikanlah kebutuhan-kebutuhan yang Anda berada dalam posisi yang baik untuk memenuhinya, atau tidak banyak orang yang bersedia memenuhinya, atau yang Anda rasa sangat mendesak. Sebagai contoh, Anda mungkin berada dalam posisi yang baik untuk mencalonkan diri sebagai pejabat terpilih di kota atau daerah Anda sendiri, daripada pindah ke daerah lain untuk mencari pekerjaan. Di sisi lain, Anda mungkin salah satu dari sedikit orang yang bersedia membuktikan terjadinya pelanggaran hak-hak azasi manusia di sebuah negara di belahan dunia yang lain. Atau Anda mungkin menjadi yakin bahwa mengajar anak muda yang bermasalah lebih mendesak daripada bergabung dengan sebuah grup musik. Selain itu, Anda mungkin juga menyadari bahwa ada sesuatu dalam hidup Anda, selain pekerjaan atau karir Anda, yang bisa menjadi cara terpenting untuk Anda membantu memenuhi kebutuhan dunia. Namun tidak ada gunanya bertugas mengonseling anak muda bermasalah, jika anak-anak Anda sendiri terbengkalai.

Intinya adalah Allah telah memberikan kemampuan kepada setiap orang untuk menyadari apa yang dibutuhkan dunia. Dia tampaknya ingin kita memerhatikannya dan mulai bekerja, daripada menanti-nantikan panggilan khusus dari-Nya. Tidak ada rumusan alkitabiah untuk menempatkan kebutuhan-kebutuhan dunia dalam tugas panggilan yang tepat. Itu sebabnya Anda perlu mencari pimpinan Tuhan dengan berbagai cara yang bijak yang bisa Anda temukan.

Keterampilan dan Karunia Anda

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pertimbangan kedua adalah keterampilan dan karunia Anda. Alkitab menyatakan Allah memberikan karunia-karunia kepada orang percaya untuk melakukan pekerjaan yang Dia mau mereka lakukan, dan menyebutkan beberapa karunia dan keterampilan yang diimpartasikan Allah.

Yesaya 28:24-26

Setiap harikah orang membajak, mencangkul dan menyisir tanahnya untuk menabur? Bukankah setelah meratakan tanahnya, ia menyerakkan jintan hitam dan menebarkan jintan putih, menaruh gandum berjajar dan jelai pada tempatnya dan sekoi di pinggirnya? Ia telah diajari cara yang tepat, dan diberi petunjuk oleh Allahnya.

Roma 12:6-8

Kita mempunyai karunia yang berbeda-beda [1] menurut anugerah yang diberikan kepada kita: Jika karunia itu untuk bernubuat, baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia itu untuk melayani, baiklah kita melayani, jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati; siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia membagikannya dengan hati yang ihklas, siapa yang memimpin, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan belas kasihan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.

1 Korintus 12:7-10

Kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama. Sebab kepada yang seorang, Roh memberi kata-kata hikmat, dan kepada yang lain, Roh yang sama memberi karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang, Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain, Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. Kepada yang seorang, Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mukjizat, dan kepada yang lain, Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang, Ia memberikan karunia untuk berbicara dengan bahasa lidah, dan kepada yang lain, Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa lidah itu.

Sebagaimana ditunjukkan kedua ayat terakhir, ketika Paulus membahas tentang karunia-karunia Roh, ia biasanya merujuk pada penggunaannya di dalam gereja. Dan jika semua pekerjaan yang dilakukan orang Kristen dilakukan untuk Tuhan (Kolose 3:23), maka kita dapat menyimpulkan bahwa karunia-karunia Roh juga diberikan untuk digunakan di tempat kerja. Oleh karena itu karunia dan keterampilan menjadi salah satu unsur pedoman dalam mengenali pimpinan Tuhan.

Sejumlah alat telah dikembangkan untuk menolong orang mengenali karunia-karunia mereka dan menggunakannya dalam konteks pekerjaan (baca “Untuk Penyelidikan Lebih Lanjut”). Namun sangat mudah untuk terlalu banyak memberi perhatian pada keterampilan dan karunia Anda. Generasi Barat saat ini adalah generasi yang paling banyak menganalisis-bakat dalam sejarah manusia, tetapi kecenderungan menganalis ini bisa membuat orang hanya asyik dengan diri sendiri dan kehilangan perhatian terhadap kebutuhan dunia. Ayat-ayat ini berkata bahwa Allah memberikan karunia-karunia untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepuasan pribadi. Lagipula, dalam banyak kasus, Allah baru memberikan karunia-karunia-Nya setelah Anda menerima pekerjaan yang akan memerlukan penggunaan karunia-karunia itu. Terlalu memerhatikan karunia-karunia yang sudah Anda miliki dapat menghalangi Anda untuk menerima karunia-karunia yang akan diberikan Tuhan pada Anda.

Alat Asesmen Karunia

Alat asesmen karunia bisa sangat membantu untuk mengenali karunia-karunia Anda dan menjajaki bagaimana hubungannya dengan berbagai jenis pekerjaan. Alat yang paling tepat dan terverifikasi secara statistik biasanya disediakan melalui para konselor dan lembaga profesional karena mereka memiliki interpretasi yang andal. Di antaranya adalah Strong Interest Inventory, Myers-Briggs Type Indicator (MBTI), California Psychological Inventory, Work-Life Values Checklist, dan PDINH: Global Personality Inventory (yang dikembangkan berdasarkan standar yang benar-benar global). Meskipun alat-alat ini tidak secara eksplisit Kristen, tetapi dengan interpreter orang Kristen yang cakap, alat-alat asesmen ini dapat menjadi titik awal untuk menyelidiki karunia-karunia Allah dan pimpinan-Nya dalam bekerja. Ada juga alat asesmen yang secara eksplisit Kristen dengan dasar teologis dan spiritual yang jelas. SIMA (the System for Identifying Motivated Abilities) dan MAP (Motivated Abilities Pattern) adalah dua alat semacam itu yang memerlukan interpretasi profesional.

Beberapa alat dengan landasan Kristen dapat digunakan tanpa interpreter profesional, seperti What Color Is Your Parachute? oleh Richard Bolles (terbit setiap tahun) dan Live Your Calling: A Practical Guide to Finding and Fulfilling Your Mission In Life, oleh Kevin dan Kay Marie Brennfleck. Meskipun alat-alat ini bisa digunakan secara mandiri, tetapi sebaiknya digunakan bersama konselor karir dan vokasional yang terlatih, dan idealnya diadakan dalam konteks gereja atau komunitas Kristen lainnya. Konselor karir Kristen dapat ditemukan di sebagian besar wilayah perkotaan, di hampir setiap universitas dan perguruan tinggi Kristen, dan di beberapa gereja individu.

Meskipun demikian, karunia-karunia yang sudah Anda miliki bisa memberikan semacam petunjuk tentang bagaimana sebaiknya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dunia. Sungguh narsis jika Anda menyatakan Tuhan telah memanggil Anda untuk menjadi pianis terhebat dunia dan kemudian berharap Dia mentransfer bakat yang diperlukan setelah bertahun-tahun Anda bermain piano biasa-biasa saja dan berlatih asal-asalan. Bimbingan karir melalui keterampilan dan karunia adalah tindakan keseimbangan yang sulit, dan itu sebabnya harus ditemukan di tengah relasi dengan Tuhan dan sesama orang Kristen.

Di sini kita lagi-lagi tak boleh sangat terfokus pada pekerjaan sampai mengabaikan aspek kehidupan lainnya. Allah juga memberi kita karunia-karunia untuk kehidupan berkeluarga, persahabatan, rekreasi, menjadi sukarelawan dan seluruh aktivitas kehidupan lainnya.

Hasrat Terdalam Anda

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Akhirnya, Alkitab berkata bahwa hasrat sejati atau terdalam Anda juga penting bagi Allah.

Mazmur 37:4

Bersukalah dalam TUHAN, maka Ia akan memberikan kepadamu hasrat hatimu.

Mazmur 145:19

Ia memenuhi keinginan orang yang takut kepada-Nya, mendengarkan teriak mereka minta tolong dan menyelamatkan mereka.

Matius 5:6

Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.

Yohanes 16:24

Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatu pun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu.

Orang Kristen kadang mengira, jika Allah memanggil mereka ke dalam pekerjaan tertentu, keadaan itu akan menjadi hal yang mereka benci. Jika tidak, mengapa Allah harus memanggil mereka ke sana? Salah satu fantasi aneh orang Kristen adalah memikirkan suatu negara yang Anda tidak akan suka tinggal di sana, dan kemudian menganggap Allah memanggil Anda untuk menjadi misionaris di sana. Padahal misionaris-misionaris terbaik memiliki hasrat yang kuat terhadap tempat dan orang-orang yang mereka layani. Lagipula, siapa yang mengatakan Allah ingin Anda menjadi misionaris? Jika Allah memimpin Anda kepada suatu pekerjaan atau profesi, kemungkinan besar Anda akan menemukan hasrat hati yang mendalam tentang hal itu.

Akan tetapi, bisa jadi sangat sulit untuk mengetahui hasrat sejati atau terdalam Anda. Motivasi-motivasi kita bisa sedemikian dikacaukan oleh dosa dan kerusakan dunia, sampai hasrat hati kita seringkali jauh dari hasrat sejati yang Tuhan letakkan di kedalaman lubuk hati kita.

Roma 7:8, 15, 21-23

Namun dengan perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan. Sebab tanpa hukum Taurat dosa mati…. Sebab, apa yang aku lakukan, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku lakukan, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku lakukan…. Jadi aku dapati hukum ini: Jika aku ingin melakukan apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku, aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.

Oleh karenanya, kita tak dapat sekadar berkata, “Lakukan saja yang membuatmu bahagia.” Apa yang membuat Anda bahagia — atau tampaknya membuat Anda bahagia — mungkin saja jauh dari memenuhi kebutuhan dunia, atau dari menggunakan keterampilan dan karunia Anda untuk kebaikan bersama, atau bahkan jauh dari memenuhi hasrat hati Anda yang sesungguhnya. Dan yang sebaliknya juga sering terjadi. Pekerjaan yang memuaskan hasrat hati Anda yang sesungguhnya pada mulanya tampak seperti tidak diinginkan, dan mungkin memerlukan pengorbanan besar dan usaha yang sulit. Dan hasrat sejati Anda bisa dipenuhi di berbagai aspek kehidupan, tidak selalu dalam pekerjaan. Mengetahui yang benar-benar Anda rindukan memerlukan kedewasaan rohani, yang bisa jadi lebih besar daripada yang Anda butuhkan saat Anda harus mengambil keputusan. Tetapi setidaknya Anda dapat terbebas dari pemikiran bahwa Allah hanya memanggil Anda kepada sesuatu yang Anda benci. Dengan dasar pemikiran ini, Frederick Buechner menulis: “Tempat Allah memanggil Anda adalah tempat Anda merasakan sukacita mendalam dan tempat kebutuhan mendalam dunia dipenuhi.”[1]

Kemerdekaan dalam Kristus

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Ketiga pertimbangan ini — kebutuhan dunia, keterampilan dan karunia Anda, dan hasrat terdalam Anda — bisa menjadi pedoman, tetapi tidak mutlak. Dalam satu hal, di dunia yang sudah jatuh ini, Anda mungkin tidak terlalu bisa memilih pekerjaan Anda. Di sepanjang sejarah, banyak orang yang memiliki pekerjaan sebagai budak, petani atau pengurus rumahtangga, dan ini masih terjadi di banyak belahan dunia di luar negara-negara maju. Sulit membayangkan bahwa – selain penduduk di beberapa negara maju – Allah menginginkan banyak orang menjadi budak, petani dan pengurus rumahtangga. Namun tampaknya situasi telah membuat banyak orang tidak dapat memilih pekerjaan yang benar-benar ingin mereka lakukan. Ini tidak berarti bahwa sebagian orang tidak mau atau tidak suka bertani, mengurus rumahtangga atau berbagai pekerjaan halal lainnya, melainkan bahwa situasi dunia seringkali membuat banyak orang harus melakukan pekerjaan yang tidak mereka sukai. Namun, di dalam pemeliharaan Tuhan, menjadi budak pun dapat menjadi berkat (Matius 24:45-47, 1 Korintus 7:21-24). Ini sama sekali bukan melegitimasi perbudakan di dunia saat ini. Ini hanya berarti bahwa Tuhan menyertai Anda di mana pun Anda bekerja. Mungkin lebih baik belajar menyukai pekerjaan yang Anda miliki – dan mencari cara-cara untuk berpartisipasi dalam karya Kristus di dalam pekerjaan itu – daripada berusaha mencari pekerjaan yang Anda pikir akan lebih Anda sukai.

Di negara-negara maju pun, banyak orang tidak punya banyak pilihan tentang jenis pekerjaan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah. Komunitas Kristen sebaiknya dapat memperlengkapi orang-orang dalam membuat pilihan tentang profesi mereka maupun dalam mengikuti pimpinan Tuhan tentang pekerjaan apa pun yang dilakukan. Apa pun pekerjaan Anda, kasih karunia Allah akan memampukan Anda untuk bekerja bagi kepentingan bersama, untuk lebih berkomitmen dalam bekerja, dan untuk mengatasi atau menanggung aspek-aspek negatif dari situasi Anda. Yang terpenting, Allah menjanjikan kemerdekaan akhir dari kerja keras, usaha yang menguras keringat dan onak duri pekerjaan.

Sekalipun Anda memiliki kebebasan untuk memilih pekerjaan Anda, ketiga pertimbangan yang sudah kita bicarakan – kebutuhan dunia, karunia dan keterampilan Anda dan hasrat terdalam Anda – hanya panduan, bukan penentu. Di dalam Kristus, orang Kristen memiliki kemerdekaan yang sempurna:

Yohanes 8:36

Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka.

2 Korintus 3:17

Sebab Tuhan adalah Roh dan di mana ada Roh Tuhan, di situ ada kemerdekaan.

Ini berarti Anda memiliki kebebasan untuk mengambil risiko, untuk gagal dan untuk melakukan kesalahan. Allah mungkin saja memimpin Anda dalam suatu pekerjaan yang Anda tidak tahu apa-apa, tidak memiliki kecakapan khusus tentang hal itu pada saat ini, dan tidak berpikir akan Anda sukai. Apakah Anda bersedia menerima pekerjaan itu? Sebaliknya, Anda mungkin terlambat menemukan dalam hidup Anda bahwa Anda sudah mengabaikan panggilan profesional Allah untuk Anda. Jangan khawatir, pada akhirnya Anda tidak akan dihakimi karena memperoleh pekerjaan yang tepat atau memenuhi potensi yang diberikan Tuhan pada Anda. Anda akan dihakimi berdasarkan kemurahan Yesus Kristus, yang dikaruniakan pada Anda hanya karena anugerah Allah yang memberi Anda iman. Panggilan untuk menjadi milik Kristus adalah satu-satunya panggilan Allah yang tak tergantikan.

Tubuh Kristus di bumi adalah komunitas orang percaya (Roma 12:5). Karena itu, kemerdekaan dalam Kristus berarti, panggilan atau pimpinan Allah itu paling baik dipahami dalam dialog dengan komunitas, bukan dalam pengasingan. Kita sudah tahu bahwa kebutuhan dunia (suatu bentuk komunitas) itu penting jika Anda mengenali untuk pekerjaan apa Allah sedang memimpin Anda. Komunitas juga merupakan faktor penting dalam bagaimana Anda mengenali pimpinan Allah itu. Apa yang dirasakan orang lain ketika Allah memimpin Anda? Apa yang mereka alami ketika mereka mengenali karunia dan keterampilan Anda, kebutuhan dunia dan hasrat terdalam Anda pada diri Anda? Lakukanlah diskusi tentang pimpinan Allah dengan orang-orang dalam komunitas Anda yang Anda kenal baik. Mungkin juga baik untuk berbicara dengan sahabat atau penasihat rohani, menerima masukan dari orang-orang yang bekerja di dekat Anda, atau meminta sekelompok orang untuk bertemu dengan Anda secara teratur saat Anda mengenali pimpinan Tuhan.

Komunitas juga merupakan faktor penting untuk mengenali siapa saja yang dipimpin ke berbagai jenis pekerjaan yang dibutuhkan dunia. Banyak orang bisa memiliki karunia dan hasrat kerinduan yang sama untuk membantu memenuhi kebutuhan dunia. Tetapi ini tidak berarti Allah mau mereka semua melakukan pekerjaan yang sama. Anda perlu mengenali bukan saja pekerjaan yang sedang dibawa Tuhan untuk Anda, tetapi juga pekerjaan yang Dia bawa untuk orang lain. Komunitas membutuhkan sekelompok pekerja yang seimbang yang bekerja secara harmonis. Sebagai contoh, para dokter membawa karunia dan keterampilan yang kuat — dan seringkali juga hasrat mendalam untuk menyembuhkan — ke dalam kebutuhan besar dunia akan penyembuhan fisik. Tetapi di AS, setidaknya, ada terlalu banyak dokter spesialis dan tidak cukup dokter perawatan primer untuk memenuhi kebutuhan komunitas. Satu per satu, para mahasiswa kedokteran menyesuaikan karunia-karunia dan hasrat hati mereka dengan kebutuhan dunia untuk mengenali pimpinan di bidang kedokteran. Tetapi secara menyeluruh, kelompok para dokter menjadi agak tidak berimbang. Mengenali panggilan Tuhan juga merupakan usaha komunitas.

Apakah Pekerjaan Gereja Merupakan Panggilan Yang Lebih Tinggi?

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Banyak orang Kristen memiliki kesan bahwa para pekerja gereja – terutama para penginjil, misionaris, gembala, pengkotbah, pendeta dan pelayan lainnya – memiliki panggilan yang lebih tinggi daripada para pekerja lainnya. Meskipun tidak banyak ayat Alkitab yang mendukung kesan ini, pada Abad Pertengahan, kehidupan “religius" — sebagai rahib atau biarawati — secara luas dianggap lebih suci daripada kehidupan biasa. Sayangnya, distorsi ini tetap berpengaruh di gereja-gereja dari semua tradisi, sekalipun doktrin di hampir semua gereja saat ini menekankan nilai yang sama pada pekerjaan orang awam. Di dalam Alkitab, Allah memanggil orang-orang untuk pekerjaan yang berkaitan dengan gereja maupun yang tidak berkaitan dengan gereja. Sebagai contoh:

Panggilan-panggilan untuk Pekerjaan Gereja

Keluaran 28:1

“Bawalah abangmu Harun dan anak-anaknya dari antara orang Israel kepadamu untuk melayani sebagai imam bagi-Ku, yaitu Harun, serta Nadab, Abihu, Eleazar dan Itamar, anak-anak Harun.

Markus 1:16-17

Ketika Yesus menyusuri tepi Danau Galilea, Ia melihat Simon dan Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. Yesus berkara kepada mereka, “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”

Kisah Para Rasul 13:2,5

Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus, “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk pekerjaan yang telah Kutentukan bagi mereka.” ....Setibanya di Salamis, mereka memberitakan firman Allah di dalam rumah-rumah ibadat orang Yahudi. Yohanes menyertai mereka sebagai pembantu mereka.

Panggilan-panggilan untuk Pekerjaan Non-Gereja

Ulangan 31:14

TUHAN berfirman kepada Musa, “Sesungguhnya sudah dekat waktu kematianmu. Panggillah Yosua dan berdirilah bersama dia dalam Kemah Pertemuan supaya Aku memberi perintah kepadanya.”

(Musa dan Yosua sama-sama hanya pemimpin politik/militer, bukan pemimpin kultus/religius. Mereka sama-sama sangat dekat dengan Allah, tetapi hal itu tidak membuat mereka menjadi pemimpin agama. Dan ini menunjukkan bahwa Allah memanggil orang dari seluruh bidang kehidupan).

1 Samuel 16:12-13

Kemudian Isai menyuruh orang untuk menjemput dia. Pipinya kemerah-merahan, matanya indah dan tampan kelihatannya. Lalu TUHAN berfirman, “Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia.” Samuel mengambil tabung tanduk yang berisi minyak itu dan mengurapi Daud di antara saudara-saudaranya. Sejak hari itu dan seterusnyha Roh TUHAN menguasai Daud. Lalu berangkatlah Samuel menuju Rama.

Mengingat fakta Alkitab ini, tidaklah tepat untuk berpikir bahwa Allah memanggil para pekerja gereja tetapi tidak memanggil para pekerja lainnya.

Kebingungan timbul karena banyak gereja ingin jemaat mereka “terpanggil” untuk ditahbiskan atau melayani sebagai pendeta, pengkotbah atau pelayan lainnya. Kata “memanggil” sering dipakai untuk menggambarkan proses menyeleksi seorang pelayan atau keputusan untuk memasuki pekerjaan gereja penuh waktu. Padahal di Alkitab sendiri, situasi ini merupakan panggilan pribadi secara langsung dan jelas dari Allah yang jarang terjadi. Tetapi, situasi ini juga bisa menunjukkan perasaan yang kuat tentang pimpinan Allah. Seperti sudah kita ketahui, pimpinan Allah bisa terasa sama kuatnya dalam pekerjaan dan profesi yang tidak berkaitan dengan gereja. Namun, karena Proyek Teologi Kerja tidak menjadikan pekerjaan gereja sebagai salah satu pokok bahasannya, kita tidak akan mencoba mengevaluasi apakah “panggilan-panggilan” untuk pekerjaan gereja lebih kuat, lebih langsung, lebih jelas atau lebih penting daripada panggilan-panggilan untuk pekerjaan non-gereja. Kami akan menegaskan bahwa pekerjaan gereja pada umumnya bukanlah panggilan yang lebih tinggi daripada pekerjaan non-gereja, dan istilah “panggilan” berlaku sama kuatnya pada pekerjaan non-gereja maupun pekerjaan gereja. Kami juga akan menegaskan bahwa pekerjaan non-gereja adalah “pelayanan orang Kristen sepenuh-waktu” yang sama pentingnya dengan pekerjaan gereja.

Semua orang Kristen dipanggil (atau diperintahkan) untuk melakukan semua yang mereka lakukan, sepanjang waktu, sebagai pelayanan sepenuh waktu untuk Kristus:

Kolose 3:23

Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Sebelum mengakhiri pembahasan kita tentang hal ini, kita perlu memerhatikan bahwa satu aliran pemikiran dari 1 Timotius 5:17-18 bertentangan dengan pandangan yang baru saja kita bicarakan. Menurut perspektif ini, menjadi penatua gereja (yang kira-kira sama dengan gembala atau pendeta dalam penggunaan istilah gereja masa kini) memang merupakan panggilan yang lebih tinggi.

1 Timotius 5:17-18

Penatua-penatua yang baik kepemimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkotbah dan mengajar. Sebab Kitab Suci berkata, “Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik,” dan lagi, “Seorang pekerja patut mendapat upahnya.”

Menurut pandangan ini, profesi pendeta “dihormati dua kali lipat” dibandingkan profesi-profesi lainnya. Tetapi kebanyakan tafsiran Alkitab menolak interpretasi ini.[1] Interpretasi yang lebih akurat adalah bahwa para penatua yang melakukan pekerjaannya dengan baik patut dihargai lebih baik (atau menerima honorarium lebih besar) dibandingkan para penatua lain yang melakukan pekerjaan mereka dengan sekadarnya saja.[2] Kutipan-kutipan Alkitab Perjanjian Lama tentang upah makin memperkuat pemahaman bahwa ayat ini berbicara tentang memberi penghargaan kepada penatua-penatua yang berkinerja sangat baik, bukan tentang membandingkan pekerjaan gereja dengan pekerjaan lainnya. Pembandingan yang benar dari ayat ini adalah di antara para pendeta, bukan antara pendeta dan jemaat awam.

Satu-satunya pekerjaan yang tidak memiliki kedudukan yang sama di mata Allah adalah pekerjaan yang dilarang Alkitab atau tidak sesuai dengan nilai-nilainya. Sebagai contohnya, pekerjaan yang menuntut orang untuk membunuh, berzinah, mencuri, bersumpah palsu atau serakah (Keluaran 20:13-17), makan riba (Imamat 25:26), merusak kesehatan (Matius10:8), atau membahayakan lingkungan (Kejadian 2:15) haram di mata Tuhan. Ini tidak berarti orang-orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan ini memiliki kedudukan yang lebih rendah di mata Allah. Orang-orang yang karena situasinya membawa mereka kepada pekerjaan-pekerjaan haram tidak selalu merupakan orang-orang yang buruk/jahat. Ulangan 22:21 mengutuk pelacuran, misalnya, tetapi respons Kristus terhadap pelacur tidak mengutuk, melainkan membebaskan (Lukas 7:47-50; Matius 21:31-32). Pekerjaan-pekerjaan semacam ini mungkin tidak seburuk yang terburuk dalam situasi tertentu, tetapi pekerjaan ini tidak pernah dapat menjadi pekerjaan yang dikehendaki Tuhan bagi seseorang.

Panggilan untuk pelayanan atau pekerjaan gereja tidak lebih suci daripada panggilan untuk jenis-jenis pekerjaan lainnya. Yang terpenting bukanlah jabatan pekerjaan atau tempat kerja seseorang, tetapi ketaatan pada Allah yang memanggil kita.

Berganti Pekerjaan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Jika Allah memimpin atau menuntun orang dalam pekerjaan mereka, apakah diperbolehkan jika berganti pekerjaan? Bukankah itu berarti menolak pimpinan Allah dalam pekerjaan yang sudah Anda miliki? Martin Luther, teolog Protestan abad 16, sangat menentang soal berganti pekerjaan ini. Ia mendasarkan sebagian besar pemikirannya pada ayat ini:

Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. (1 Korintus 7:20)

Luther menyamakan “keadaan” dengan pekerjaan, dan menyimpulkan bahwa tidaklah benar bagi orang Kristen untuk berganti pekerjaan. Tetapi John Calvin yang sezaman dengan Luther tidak menerima interpretasi ini — dan sebagian besar teolog masa kini juga tidak. Dalam satu hal, interpretasi ini tidak cukup memperhatikan ayat selanjutnya, yang menyatakan bahwa berganti pekerjaan, setidaknya dalam situasi tertentu, diperbolehkan:

Apakah engkau hamba pada waktu engkau dipanggil? Itu tidak apa-apa. Tetapi jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu” (1 Korintus 7:21).[1]

Miroslav Volf menulis bahwa karena faktor-faktor di dalam Allah memimpin orang pada pekerjaan dapat berubah selama menjalani kehidupan kerja, Allah bisa saja memimpin orang untuk berganti pekerjaan. [2] Kemampuan-kemampuan Anda harus berkembang seiring pengalaman Anda dalam melayani Tuhan. Dia dapat memimpin Anda kepada tugas-tugas yang lebih besar yang mengharuskan Anda berganti pekerjaan. “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam hal kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam hal yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Matius 25:21).

Sebaliknya, jika Anda baru menjadi orang Kristen di kemudian hari, mungkinkah Allah menghendaki Anda untuk berganti pekerjaan? Mungkin tampaknya menemukan hidup baru dalam Kristus berarti juga harus mencari pekerjaan atau karir baru. Tetapi pada umumnya yang terjadi tidak demikian. Karena tidak ada hirarki profesi, pada umumnya tidaklah benar untuk berpikir Allah ingin Anda mencari “panggilan yang lebih tinggi” setelah menjadi orang Kristen. Jika pekerjaan Anda tidak termasuk pekerjaan haram yang disebutkan di atas, atau jika pekerjaan atau kolega-kolega Anda tidak mengancam Anda untuk terpuruk dalam kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai ajaran Kristen, tidak ada perlunya berganti pekerjaan. Tetapi, entah Anda berganti pekerjaan atau tidak, Anda kemungkinan perlu melakukan pekerjaan Anda secara berbeda dari sebelumnya, dengan lebih memerhatikan perintah-perintah, nilai-nilai dan kebajikan-kebajikan alkitabiah, seperti yang terjadi pada pemungut cukai bernama Zakheus:

Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu." Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita. Melihat hal itu, semua orang mulai bersungut-sungut, katanya: "Ia menumpang di rumah orang berdosa." Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: "Tuhan, lihatlah, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” Kata Yesus kepada-Nya, “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada seisi rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham.” (Lukas 19:5-9)

Mengenali Pimpinan Tuhan dalam Cara Anda Bekerja

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Cara Anda bekerja sama pentingnya bagi Allah dengan pekerjaan atau profesi yang Anda miliki. Dalam setiap pekerjaan, Anda setidaknya punya kesempatan untuk memenuhi kebutuhan orang lain, menggunakan karunia dan keterampilan Anda, dan mengungkapkan – atau menemukan – hasrat terdalam Anda. Keputusan Anda setiap hari untuk melayani Tuhan hari ini lebih penting daripada menempatkan diri Anda pada pekerjaan yang tepat esok hari.

Sesungguhnya, hal kecil yang dapat Anda lakukan dalam melayani Tuhan hari ini sering menjadi kunci untuk dapat melakukan hal yang lebih besar di waktu mendatang. “Siapa saja yang setia dalam hal-hal kecil, ia setia juga dalam hal-hal besar,” kata Yesus (Lukas 16:10). Sepanjang hidup, Anda dapat melayani Kristus paling baik dengan memanfaatkan sebaik-baiknya setiap pekerjaan bagi tujuan-tujuan-Nya, entah Anda merasa terpanggil dalam pekerjaan itu atau tidak. Hal-hal spesifik tentang cara mengikut Kristus di tempat kerja dibahas dalam sejumlah artikel topikal Proyek Teologi Kerja, yang dapat dilihat melalui www.theologyofwork.org, seperti Kebenaran dan Kebohongan, Etika Kerja, dan Penginjilan – Memberitakan Injil di Tempat Kerja.

Kesimpulan tentang Panggilan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kami menganggap serius panggilan dan pimpinan Allah kepada orang-orang untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan biasa. Dengan melakukan hal ini, kami berusaha mengoreksi kecenderungan yang sudah ada sejak lama, yang menganggap pekerjaan biasa tidak sama pentingnya bagi Allah dan tidak seberharga panggilan-Nya. Tetapi akan sama salahnya jika Anda meninggikan pentingnya pekerjaan atau profesi Anda sampai ke posisi penyembahan berhala. Mendapatkan pekerjaan yang tepat tidak mendatangkan keselamatan, atau bahkan kebahagiaan. Lagipula, tujuan bekerja yang benar bagi orang Kristen adalah untuk melayani kepentingan bersama, bukan mendahulukan kepentingan sendiri. Sepanjang hidup, melayani kepentingan bersama lebih banyak berasal dari melakukan pekerjaan setiap hari dengan kemampuan terbaik Anda dalam Kristus, daripada dari menemukan pekerjaan terbaik untuk diri sendiri.

Untuk Penyelidikan Lebih Lanjut

Perspektif Historis-Teologis

Untuk perspektif historis-teologis tentang vokasi yang lebih lengkap dari yang bisa dituliskan dalam artikel ini, lihat Vocation in Historical-Theological Perspective, oleh Gordon Preece.

Legitimasi Bermacam-macam Profesi

Banks, Robert. God the Worker: Journeys into the Mind, Heart and Imagination of God. Sutherland, N.S.W.: Albatross Books, 1992.

Pope John Paul II. On Human Work (Laborem Exercens). Terjemahan Vatikan. Boston: Pauline Books & Media, 1981, khususnya pasal 6, 9, 10, 21 dan 22.

Richardson, Alan. The Biblical Doctrine of Work. London: SCM Press LTD, 1952, terutama pasal-pasal “Creative Craftsmanship and Skill,” “Work as Divine Ordinance for Man,” dan “‘Vocation’ in the New Testament.” Richardson umumnya memakai pandangan yang lebih suram tentang pekerjaan biasa dari yang ada dalam Catatan ini, dan pendekatan alkitabiahnya mencerminkan kepekaan tahun 1940-50an yang tampaknya sudah ketinggalan zaman sekarang ini. Tetapi ia menghimpun sekumpulan ayat Alkitab yang sangat baik terkait pekerjaan, mengingat bukunya yang ringkas itu, dan pasal-pasalnya membahas banyak topik yang sangat penting tentang iman-pekerjaan. Dan juga, seperti Proyek Teologi Kerja, ia memakai proses yang dirancang untuk mengundang partisipasi dan respons yang luas, yang disatukan dalam bagan yang dipublikasikan. Kami tidak selalu setuju dengan kesimpulan-kesimpulan atau pandangan-pandangan alkitabiahnya, tetapi kami mendapati bukunya sangat menggugah-pikiran.

Stevens, R. Paul. Doing God's Business: Meaning and Motivation for the Marketplace. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2006, khususnya pasal 1 dan 2.

Bimbingan Karir dan Mengenali Karunia-karunia

Banks, Robert. Faith Goes to Work. Eugene, OR: Wipf & Stock, 1999.

Mackenzie, Alistair, Wayne Kirkland dan Annette Dunham. Soul Purpose. Christ Church, NZ: NavPress, 2004.

Schuurman, Douglas J. Vocation: Discerning Our Calling in Life. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2004.

Schuster, John P. Answering Your Call: A Guide for Living Your Deepest Purpose. San Francisco: BerrettKoehler Publishers, 2002.

Panggilan dalam Pemikiran dan Praktik Orang Kristen

Guinness, Os. The Call: Finding and Fulfilling the Central Purpose of Your Life. London: Word Publishing, 1998.

Hardy, Lee. The Fabric of This World: Inquiries into Calling, Career Choice, and the Design of Human Work. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1990.

Placher, Williams C., ed. Callings: Twenty Centuries of Christian Wisdom on Vocation. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2005.

Preece, Gordon R. The Viability of the Vocation Tradition in Trinitarian, Credal and Reformed Perspective: The Threefold Call. Lewiston, NY: Edwin Mellen Press, 1998.

Stevens, R. Paul. The Other Six Days: Vocation, Work, and Ministry in Biblical Perspective. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2000.

Volf, Miroslav. Work in the Spirit: Toward a Theology of Work. Eugene, OR: Wipf & Stock, 2001.

Persaingan di Dunia Kerja (Tinjauan Umum)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Persaingan adalah realita kerja sehari-hari. Namun, apakah orang Kristen boleh bersaing? Atau, apakah kita harus sedapat mungkin menghindari persaingan? Haruskah kita menggunakan segala pengaruh yang kita miliki untuk mengurangi atau bahkan meniadakan persaingan?

Kita semua tahu betapa sulitnya untuk berhasil di pasar yang bersaing, dan betapa kita terus-menerus tergoda untuk mencari keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain – model persaingan “dog-eat-dog” (kejam dan saling menjatuhkan). Pada saat yang sama kita tahu bahwa persaingan juga membawa dampak yang menguntungkan. Sebagai contoh, harga ponsel dan tiket pesawat mengalami kemajuan signifikan sejak persaingan di sektor-sektor itu diperkenalkan. Kawasan yang hanya memiliki satu toko kelontong cenderung mendapat layanan yang lebih buruk dan harga yang lebih tinggi dibandingkan kawasan yang memiliki tiga toko kelontong. Tekanan persaingan bisa konstruktif (mendorong munculnya yang terbaik, menciptakan nilai/manfaat dan akuntabilitas kepada konsumen/ pelanggan), namun juga bisa destruktif (menimbulkan godaan untuk mengambil jalan pintas, menipu konsumen, atau mengacaukan kinerja pesaing). Persaingan bisa menghancurkan sekaligus menciptakan kekayaan dan pekerjaan. Persaingan menumbuhkan rasa takut dan juga pengharapan.

Ketika kita mencari pandangan Kristen tentang persaingan—atau hal lainnya— Hukum Yang Terutama (Matius 22:37-39) tentang mengasihi Allah dan sesama adalah batu uji yang tak tertandingi. “Sesama” mencakup semua orang yang berinteraksi dengan kita, termasuk orang asing (Lukas 10:25-37) dan musuh (Matius 5:43-48). Bagaimana dengan para pesaing di bidang ekonomi? Karena kita berinteraksi dengan mereka (melalui aktivitas ekonomi), mereka adalah sesama kita. Namun, bagaimana kita dapat mengasihi mereka jika kita bersaing dengan mereka?

Solusi yang dianjurkan adalah mengasihi pesaing kita dengan melakukan “persaingan sebagai bentuk kerja sama.” Dengan cara ini, kita bersaing bukan hanya untuk melayani diri sendiri, keluarga dan rekan kerja kita, tetapi juga untuk para konsumen dan bahkan pesaing kita. Cara ini bukan perilaku yang lazim di dunia yang telah jatuh, tetapi memungkinkan jika kita memiliki pemahaman yang benar tentang apa sebenarnya “persaingan” itu serta formasi moral dan spiritual yang diperlukan agar tidak hanya memikirkan kepentingan kita sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain (Filipi 2:4).

Persaingan Memberi Pilihan Yang Menggiatkan Produktivitas Ekonomi

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Persaingan terjadi ketika ada pilihan. Jika pembeli memiliki pilihan tentang produk apa yang akan dibeli dan dari siapa akan dibeli, maka para penjual berada dalam persaingan dengan satu sama lain, begitu pula para pembeli. Persaingan dapat terjadi dalam berbagai jenis aktivitas manusia—atletik, akademis, romantis, dan lain sebagainya—tetapi di sini kita akan berfokus pada persaingan ekonomi karena peran utamanya dalam hal kerja.

Kebutuhan untuk membuat pilihan, dan karenanya kebutuhan untuk bersaing, melekat pada keterbatasan, dan karenanya akan selalu ada pada manusia meskipun tidak/belum jatuh dalam dosa. Kita terbatas pada ruang, waktu, dan sumber daya, sehingga kita harus membuat pilihan tentang hal-hal apa yang akan dipakai untuk tujuan apa. Sebagai contoh yang sangat sederhana, Anda tidak bisa pergi ke acara pertandingan sepak bola pukul 8 malam dan tinggal di rumah untuk membaca buku pada pukul 8 malam. Pertandingan sepak bola dan buku bersaing untuk mendapatkan waktu dan (biasanya) juga uang Anda. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang akan menghabiskan waktu dan sumber daya Anda bersaing dengan segala hal lain yang bisa menghabiskan waktu dan sumber daya Anda. Anda harus memilih di antaranya, dengan keterbatasan waktu dan sumber daya yang Anda miliki.

Sistem yang membuat pembeli bisa bebas memilih di antara para penjual dan produk-produk yang bersaing ini disebut "ekonomi pasar". Pembeli memilih dari sejumlah produk, yang masing-masing diberi harga yang menurut pikiran penjual akan menimbulkan penjualan. Dengan menawarkan sejumlah produk, dan dengan menaikkan dan menurunkan harga, pasar yang terstruktur-rapi melayani masyarakat dengan menunjukkan berapa banyak dan jenis apa saja barang dan jasa yang diinginkan orang seperti apa dan dalam kondisi apa – informasi yang kita perlukan agar kita dapat mengatur kerja kita untuk saling melayani. Ini bukan hanya karena kita kurang memiliki kapasitas komputasi (untuk melakukan penghitungan) yang diperlukan – masalah yang bisa diatasi dengan kemajuan di bidang komputasi. Melainkan, karena satu-satunya cara yang memungkinkan untuk mengumpulkan informasi ini adalah dengan mengukur pilihan-pilihan yang akan dibuat orang ketika mereka bebas untuk memilih. Inilah tepatnya yang dilakukan pasar. Itulah sebabnya banyak yang benar-benar menyebutnya sebagai "riset pasar". Informasi yang diperlukan untuk mengatur semua aktivitas ekonomi manusia secara kolektif tidak dapat dikumpulkan dengan cara lain, karena memang tidak ada yang memiliki informasi itu. Katakanlah Anda melihat sepotong roti seharga Rp 15.000 dan membelinya. Apakah Anda akan membelinya jika harganya Rp 14.000? Rp 10.000? Rp 20.000? Rp 40.000? Tidak ada yang tahu. Anda sendiri pun tidak tahu, karena Anda tidak memikirkannya. Informasi itu tidak ada dan tak mungkin ada selain hanya memilih apakah akan membelinya. Tetapi memiliki informasi ini – bukan hanya untuk Anda sendiri tetapi untuk setiap konsumen roti, dan tidak hanya untuk roti tetapi untuk semua produk yang mungkin Anda beli yang bukan roti – diperlukan untuk mengatur produksi roti secara kolektif.[1]

Allah yang memiliki pengetahuan tak terbatas tentu saja dapat memerintahkan produksi dan distribusi yang sangat tepat tanpa memerlukan pasar. Tetapi, kecuali dan sampai Allah melakukannya, manusia harus memilih produk dan layanan yang tampaknya terbaik, mengingat keterbatasan waktu dan sumber daya yang mereka miliki. Ketika setiap kita menawarkan produk dan layanan kita kepada satu sama lain, kita pasti akan saling bersaing untuk menawarkan opsi-opsi yang paling menarik.

Persaingan Mendapat Tempat di dalam Alkitab

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Terlibat dalam persaingan ekonomi tampaknya dibolehkan dalam Alkitab. Deskripsi tentang wanita saleh di Amsal 31 memujinya berulang-ulang karena terlibat dalam transaksi ekonomi di pasar yang bersaing. Ia memberi dengan murah hati kepada orang-orang yang kesusahan (Amsal 31:20) tetapi ia juga pintar dalam membeli (Amsal 31:13, 14, 16) dan menjual (Amsal 31:18, 24, 28). Usahanya menguntungkan (Amsal 31:18) dan keluarganya mendapat kekayaan (Amsal 31:11) dan kedudukan sosial (Amsal 31:23, 31). Kata Ibrani yang diterjemahkan “menguntungkan” di Amsal 31:18 merujuk secara khusus pada keuntungan yang didapat dari transaksi pasar. [1] Barang-barang yang ia jual dengan sangat menguntungkan diakui sebagai kontribusi bagi masyarakat (Amsal 31:31).

Seperti kita ketahui, pasar-pasar secara alami selalu bersaing, dan Yesus tampaknya bekerja dalam bisnis yang barang-barangnya dijual di pasar (Markus 6:3), seperti juga Paulus (Kisah Para Rasul 18:3) dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya. Paulus berbicara tentang membeli di pasar (1 Korintus 10:25) sebagai aktivitas sehari-hari yang bisa kita lakukan. Kita menemukan hal ini tercermin dalam banyak referensi ayat Kitab Suci tentang membeli dan menjual; aturan perdagangan dalam hukum Perjanjian Lama (seperti di Imamat 19 dan Ulangan 25) dan keprihatinan tentang keadilan dalam kitab nabi-nabi (seperti di Yeremia 5:27-29 dan Yehezkiel 18:7-13), sastra dan puisi tentang hikmat (seperti Mazmur 94 dan Amsal 20), serta kelanjutan dari keprihatinan-keprihatinan ini di Perjanjian Baru (seperti di Matius 25 dan Yakobus 4). Regulasi-regulasi ini menunjukkan bahwa persaingan berpotensi melukai orang—hal yang akan kita bahas sebentar lagi—tetapi juga bahwa firman Allah mengatur persaingan dan bukan meniadakannya.

Mengingat potensi manfaat dari ekonomi pasar, tak heran jika Alkitab rupanya membolehkan umat Allah terlibat dalam persaingan. Jika tidak, orang-orang percaya hanya dapat berpartisipasi dalam ekonomi komando (terpusat). Ini tidak berarti Alkitab menetapkan semacam persaingan ekonomi yang tidak terbatas, yang saling menjatuhkan atau "yang menang berhak mengambil semua keuntungan". Melainkan, ini menunjukkan bahwa pertanyaan "Bagaimana Allah ingin kita terlibat dalam persaingan?" dapat menjadi jawaban yang bermanfaat.

Persaingan Dapat Melukai Individu dan Masyarakat

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Meskipun persaingan mendasari pilihan ekonomi dan berbagai manfaatnya, persaingan juga menjadi penyebab dari berbagai masalah yang menimpa individu dan masyarakat. Penyebabnya bukan persaingan itu sendiri, tetapi dosa yang merasuki dunia persaingan. Salah satu efek utama dosa adalah membuat orang berpikir, dengan bodohnya, bahwa kepentingan terbaik diri sendiri sangat bertentangan dengan kepentingan orang lain (Yakobus 4:1-12). Hal ini menyebabkan kita bersaing dengan berusaha melukai pesaing kita—dan juga orang-orang yang seharusnya kita layani dalam pekerjaan kita—ketimbang berusaha meningkatkan produk-produk kita. Sebuah perusahaan bisa memakai iklan palsu untuk menjatuhkan pesaing. Seorang karyawan bisa menyebarkan desas-desus tentang saingannya agar ia mendapat promosi. Seorang konsultan bisa membebankan biaya tagihan lebih banyak dari jam kerja yang sebenarnya ia habiskan untuk melayani klien.

Hukum Musa menentang dosa semacam ini dengan melindungi hak-hak kepemilikan (Ulangan 24:10-15), meminta kerja yang rajin (Keluaran 20:9) dan menghukum kecurangan (Ulangan 19:14 dan 25:13-16). Sebaliknya, di dalam kitab-kitab sejarah dan nabi-nabi di Perjanjian Lama, raja-raja yang jahat dikecam karena menumpuk kekayaan melalui pemanfaatan politik dan perampasan langsung (seperti di 1 Raja-raja 21:1-29 dan Mikha 6:9-16). Keserakahan dan kekikiran, tentu saja, dikecam tanpa memandang konteksnya – tema yang dijadikan fokus utama di Perjanjian Baru (seperti di Lukas 12:13-21)–tetapi persaingan ekonomi itu sendiri tidak diidentifikasi secara khusus sebagai hal yang tidak adil.[1]

Alkitab tidak memberi ruang untuk kenaifan terhadap bahaya-bahaya persaingan. Pikirkanlah tiga bagian Alkitab yang bisa dipilih dari sekian banyak ayat lainnya ini:

Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia, … hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. (Filipi 2:3-4)
Aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala keterampilan dalam pekerjaan berasal dari rasa iri seseorang terhadap yang lain. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. (Pengkotbah 4:4)
Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah sesamanya. Seluruh bangsa itu pun harus berkata: Amin! Terkutuklah orang yang menuntun orang buta ke jalan yang sesat. Seluruh bangsa itu pun harus berkata: Amin! Terkutuklah orang yang memperkosa hak pendatang, anak yatim dan janda. Seluruh bangsa itu pun harus berkata: Amin. (Ulangan 27:17-19)

Di sini kita melihat tiga yang terbesar dari sekian banyak godaan yang bisa ditimbulkan persaingan ekonomi:

  • Godaan egoisme, membuat kepentingan diri sendiri lebih penting dari kepentingan orang lain

  • Godaan iri hati, menilai kesejahteraan kita sendiri dengan membandingkannya dengan kesejahteraan orang lain

  • Godaan keserakahan, melanggar aturan main yang adil dengan mengambil kekayaan dan keuntungan dari orang lain secara tidak adil

Kejahatan-kejahatan ini sudah terlalu lazim sampai tak perlu banyak penjelasan lagi. Hal-hal seperti ini sudah menjadi pengalaman sehari-hari. Di dunia yang telah jatuh, kita tahu, orang kadang bahkan akan menyerah kepada godaan-godaan ini. Banyak yang akan menyerah secara teratur dan berulang-ulang sampai membentuk sistem kejahatan yang terorganisir. Sistem kejahatan yang terorganisir inilah yang sering disebut Kitab Suci sebagai "dunia." Tuhan bekerja di dalam gereja untuk memampukan kita hidup dalam kesalehan saat menghadapi pencobaan, dan bahkan di tengah orang-orang fasik anugerah-Nya mampu menahan kejahatan (Roma 2:14-15). Namun, tak cukup hanya memperingatkan bahwa godaan-godaan ini ada. Kita harus menyadari betapa dahsyatnya efek kejatuhan dan kejahatan dunia ini dan membuat rencana-rencana yang sesuai dengan keadaan itu (Efesus 6:12; 1 Yohanes 2:15-16). Kita memerlukan lebih dari sekadar niat baik untuk menahan diri dari godaan-godaan kejahatan dalam persaingan ekonomi.

Persaingan yang terjadi melintasi batas bangsa-bangsa dan kelompok/etnis, dan masalah-masalah etika yang ditimbulkannya menjadi jauh lebih rumit dengan adanya globalisasi. Sebagai contoh, tarif yang rendah biasanya meningkatkan peluang ekonomi bagi pekerja di negara-negara miskin, sementara pada saat yang sama cenderung menggeser pekerja dari negara-negara yang lebih kaya. Kita hampir tidak memiliki ruang di sini untuk membahas semua persoalan spesifik yang muncul di zaman kita mengenai migrasi, pembatasan perdagangan, alih daya, dll. Kita hanya dapat mencatat bahwa Alkitab menghargai itikad baik global (contohnya Imamat 24:22) dan pemberian bantuan (contohnya 1 Tesalonika 4:9-10) serta menekankan perlunya komunitas tertentu untuk hidup tertib (contohnya Roma 13:1-7; 1 Petrus 2:13-17). Dalam ketegangan antara itikad baik global dan ketertiban tertentu inilah sebagian besar ketegangan etika berada. Idealnya, kita mungkin berharap bisa menilai pilihan-pilihan sulit ini dari sudut pandang yang netral, tetapi pada kenyataannya, kita selalu lebih condong kepada yang satu daripada yang lainnya.

Persoalan etika lainnya yang penting di Alkitab adalah memberi tempat kepada orang-orang yang kalah dalam persaingan ekonomi, atau yang tidak dapat bersaing sama sekali karena tidak mampu bekerja. Hukum tentang memungut sisa panen di Perjanjian Lama merupakan contoh yang indah tentang cara memastikan bahwa ekonomi selalu memberi peluang kepada orang yang kesulitan secara ekonomi. Sebagian hasil pertanian harus ditinggalkan di ladang untuk dipungut orang miskin, yang memadukan dengan elok kewajiban orang kaya untuk bermurah hati dan kewajiban orang miskin untuk menghidupi diri sendiri dengan bekerja (Imamat 19:9, Ulangan 24:19-22). Sistem ini mendatangkan hasil yang sangat indah dalam kisah Rut, Naomi, dan Boas (Rut 2). Menemukan cara tepat yang memadukan kedua perintah ini dalam sistem ekonomi masa kini menjadi tantangan terus-menerus yang harus diterapkan umat Allah dengan saksama. Alkitab tentu saja memerintahkan agar orang yang tidak dapat bekerja ditangani dengan murah hati. Tanggung jawab utama hal ini ada di dalam keluarga, sesuai dengan kepedulian Allah terhadap integritas keluarga (contohnya 1 Timotius 5:8); tetapi juga merupakan kewajiban umum, dan gereja khususnya memiliki tanggung jawab untuk melakukan yang dapat dilakukannya dengan mengambil peran (contohnya 1 Yohanes 3:17).

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Merupakan Solusi

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Kita telah melihat bahwa persaingan itu esensial tetapi juga dapat melukai orang. Alkitab mengakui kedua fakta ini. Alkitab menerima—dan di beberapa tempat menghargai—persaingan. Namun, Alkitab mengecam bahaya yang ditimbulkan satu sama lain ketika orang saling bersaing tanpa kasih, dan memerintahkan kita untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri (Markus 12:31). Bagaimana kita dapat menyelaraskan hal yang tampaknya bertentangan ini? Dengan melakukan persaingan sebagai bentuk kerja sama. Bahkan saat kita bersaing dengan orang lain, kita harus bekerja sama dengan mereka dan masyarakat dalam kasih dengan memerhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan tujuan-tujuan Allah. Pada bagian ini kita akan membahas bahwa berpartisipasi dalam persaingan ekonomi dapat menjadi bentuk kerja sama, dan karenanya dapat menjadi cara untuk mengasihi sesama.

Kita mulai dengan mengakui bahwa ekonomi bukan hanya akibat dari keterbatasan kita, tetapi juga hasil dari relasionalitas kita. Sebagaimana dinyatakan dalam tafsiran Proyek Teologi Kerja tentang kitab Kejadian, kita diciptakan sebagai makhluk relasional menurut gambar Allah kita yang relasional. Kita adalah makhluk yang saling bergantung dan bekerja sama dalam hampir segala hal, termasuk di dunia kerja. “Ekonomi” di satu sisi hanyalah aspek sosial dan budaya – aspek relasional dan koperatif kerja.

Kepelbagaian kebutuhan, preferensi, dan situasi kita menciptakan peluang untuk saling mengasihi melalui transaksi ekonomi. Hal-hal yang kita hasilkan atau layanan yang kita sediakan memberikan pilihan kepada orang lain. Orang yang satu mungkin lebih suka mengasihi dan memuliakan Allah serta mengasihi sesama dengan menyajikan makanan untuk orang lain, dan sebagai balasannya ia menerima sarana untuk mendengarkan musik di perangkat seluler. Orang yang lain mungkin lebih suka mengasihi dan memuliakan Allah serta mengasihi sesama dengan mengoperasikan perangkat komputer yang menyiarkan musik ke perangkat seluler, dan sebagai balasannya ia menerima makanan siap saji. Jadi, Jane sabagai pelayan restoran mencari uang dengan menyajikan makanan dan membelanjakannya untuk mengunduh lagu dari perusahaan Mary, sementara Mary yang ahli IT mencari uang dengan mengoperasikan komputer dan membelanjakannya untuk memesan makanan di restoran Jane. Dengan kata lain, kita bersaing bukan hanya karena kita ingin melakukan penjualan, tetapi karena kita juga ingin menyediakan hal yang baik untuk konsumen.

Aspek relasional kerja merupakan alasan yang lebih dalam dari keadaan "tidak baik" Adam yang seorang diri saja (Kejadian 2:18). Hawa dibutuhkan bukan hanya untuk memberi keturunan, tetapi sebagai "penolong" Adam, mitra kerja samanya dalam pekerjaan mengembangkan dan mengurus dunia. Satu orang saja tidak dapat bekerja sama, dan karenanya tidak dapat mencerminkan kemuliaan Allah Tritunggal, yang pribadi-pribadi-Nya bekerja dalam kerjasama yang kekal. Seperti dikatakan John Bolt:

“Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.” Agar kita dapat memahaminya dengan benar, kita harus menyingkirkan sejenak pandangan modern tentang “companionate marriage” (pernikahan yang didasari persahabatan dan kesetaraan). Intinya bukan bahwa Adam itu kesepian, tetapi bahwa ada yang tidak lengkap pada dirinya sebagai manusia. Jika manusia adalah gambar Allah sesuai rancangan Sang Pencipta, maka “laki-laki” perlu dilengkapi dengan “perempuan.” Di sini pada hakikatnya kita menemukan dasar dari seluruh tatanan sosial.[1]

Banyak orang secara bersama-sama – komunitas manusia – dapat melakukan pekerjaan mengelola dan memelihara ciptaan, sehingga dapat menunjukkan kasih yang relasional yaitu Allah.

Itulah sebabnya kerja sama ada di pusat kehendak Allah dalam pekerjaan kita. Perlu dicatat bahwa di samping persaingan, kerja sama merupakan tema yang konsisten dalam tafsiran Proyek Teologi Kerja. Banyak sekali penerapan masa kini yang dianjurkan dalam tafsiran ini untuk membangun kerja sama yang lebih baik di tempat kerja. Inilah perhatian yang didukung secara luas di dalam Alkitab (Mazmur 133:1; Amsal 26:21; Pengkhotbah 4:9-12; Filipi 2:1-5; 2 Timotius 2:24).

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Melayani Konsumen

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Apa artinya bekerja sama? Bekerja sama dapat diartikan sebagai menyelaraskan aktivitas kita dengan satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Definisi sederhana ini membuat kita memikirkan apakah hal-hal tertentu yang tidak tampak bekerja sama, seperti persaingan, sebenarnya merupakan bentuk-bentuk kerja sama.

Tafsiran Proyek Teologi Kerja tentang kitab Amsal menyatakan bahwa bisnis pada dasarnya adalah sebuah bentuk kerja sama. Bagian itu menunjukkan hubungan yang wajar antara kerja sama dan persaingan dengan ketepatan yang bermanfaat:

Kekuasaan ekonomi pasar yang hampir universal tak pelak adalah karena manfaat persaingan. Meskipun memiliki aspek-aspek persaingan yang signifikan, bisnis, politik, dan bentuk-bentuk persaingan lainnya pada dasarnya adalah bentuk-bentuk kerja sama. Masyarakat mendukung persaingan agar semua pihak dapat berkembang.

Pernyataan bahwa bisnis pada dasarnya adalah bentuk kerja sama mungkin terasa tak masuk akal bagi banyak orang. Namun, tidak ada barang atau jasa yang dapat sampai ke tangan konsumen tanpa banyak orang yang bekerja sama. Di dalam setiap perusahaan, para rekan kerja harus bekerja sama. Kerja sama juga terjadi di antara perusahaan-perusahaan. Ada lebih dari satu, dan kadang sangat banyak, perusahaan yang bekerja sama dalam menghasilkan barang atau jasa tertentu. Pembeli (konsumen/ pelanggan) harus bekerja sama dengan penjual (perusahaan) dalam aktivitas perdagangan untuk mendapatkan barang dan jasa itu.

Kerja sama adalah realita dasar aktivitas ekonomi. Persaingan adalah efek tidak langsung dari kerja sama ini. Ketika para konsumen memiliki banyak pilihan tentang perusahaan yang akan bekerja sama dengan mereka sebagai pembeli barang dan jasa, perusahaan-perusahaan itu harus bersaing dengan satu sama lain untuk melihat siapa yang dapat bekerja sama lebih efektif dalam memberikan nilai/manfaat kepada konsumen.

Meski kedengarannya aneh, saling bersaing secara etis – dengan motivasi yang benar dan perilaku yang adil – benar-benar dapat menjadi bentuk kerja sama. Jika Honda dan Ford masing-masing bersaing untuk membuat dan menjual mobil-mobil yang paling baik melayani konsumen, para konsumen akan mendapat manfaat dari mobil, harga, dan layanan yang lebih baik. Hal ini memenuhi rancangan Allah tentang kerja itu sendiri. Seperti dikatakan Dorothy Sayers, “Tuntutan pertama yang diminta agamanya dari seorang tukang kayu adalah agar ia membuat meja-meja yang bagus.”[1]

Terkadang pembuatan produk yang baik dibantu oleh kerja sama yang disengaja, seperti standar keselamatan dan teknik/rekayasa (contohnya: peringkat dan ukuran ban). Terkadang ini bisa berarti membeli suku cadang dari jaringan pemasok lain atau saling melakukan servis/perawatan kendaraan satu sama lain. Kerja sama tidak boleh dilakukan untuk merugikan konsumen, seperti bersekongkol dalam menentukan harga atau melemahkan peraturan lingkungan. Persaingan tidak boleh bertujuan menjatuhkan perusahaan lain (seperti memasang iklan palsu) sehingga mengurangi akses konsumen untuk mendapatkan opsi-opsi yang berkualitas. Di pasar yang etis, perusahaan-perusahaan bersaing dalam kendali kasih kepada konsumen dan saling menghormati.

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Melayani Masyarakat

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Pasar yang terstruktur-rapi dan dibentuk oleh persaingan yang etis juga dapat mengurangi konflik ekonomi dengan mendorong penciptaan nilai – artinya, aktivitas kerja dan transaksi ekonomi yang dilakukan untuk saling menguntungkan, bukan untuk menguntungkan yang satu dengan mengorbankan yang lain. Bekerja dapat menciptakan nilai dengan mengolah lagi bahan baku ciptaan Allah, dan transaksi ekonomi dapat menciptakan nilai dengan memindahkan sumber daya dari orang yang kurang membutuhkan barang atau jasa tertentu kepada yang lebih membutuhkannya. Dengan menciptakan nilai, orang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi mereka bukan dengan mengambil nilai orang lain tetapi dengan meningkatkan seluruh jumlah nilai di dunia.

Sebagai contoh, pabrik baja mengubah bijih besi menjadi balok-balok baja. Hal ini menguntungkan para penambang bijih besi (dengan memberi mereka penghasilan) dan penduduk kota (dengan memungkinkan pembangunan gedung-gedung apartemen) serta pemilik dan pekerja pabrik. Hal ini bukan sekadar mengambil uang dari penduduk kota dan memberikannya kepada penambang bijih besi serta pemilik dan pekerja pabrik, tetapi membuat semua pihak menjadi lebih baik. Bekerja menciptakan nilai karena produk yang dihasilkan, balok-balok baja, lebih bermanfaat (memiliki nilai lebih besar) daripada bijih besi. Transaksi ekonomi menciptakan nilai karena penduduk kota lebih membutuhkan (atau menghargai) balok-balok baja daripada uang yang mereka bayarkan, sementara para penambang dan pengusaha pabrik lebih membutuhkan (atau menghargai) uang daripada bijih besi yang mereka gunakan. Semua pihak menjadi lebih baik setelah pembuatan dan penjualan balok-balok itu daripada sebelumnya. Dengan cara ini, para penjual menopang diri sendiri dan keluarga mereka bukan dengan mengorbankan konsumen tetapi justru dengan melayani konsumen.[1] Hal ini terjadi meskipun perusahaan selalu dalam persaingan tertentu dengan konsumen dalam hal harga. Artinya, produk itu menciptakan nilai, tetapi masih ada suatu ketegangan terkait harga, yang artinya berapa banyak nilai yang bertambah pada penjual dan berapa banyak pula pada pembeli. Ketegangan antara kepentingan penjual dan kepentingan pembeli tak pernah bisa dihilangkan sepenuhnya, sehingga godaan untuk menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain akan selalu ada. Dengan memberikan banyak pilihan kepada setiap pihak, persaingan yang etis menciptakan peluang dan dukungan seluas-luasnya untuk mengejar penciptaan nilai dan bukan sekadar transfer kekayaan.

Pendekatan ekonomi yang sehat secara etis mengakui bahwa kerja sama adalah realitas dasar, dan persaingan yang etis melayani tujuan-tujuan kerja sama. Memang benar, ketika tingkat persaingan meningkat, hal itu dapat memunculkan perubahan lingkungan sosial yang cepat, dislokasi ekonomi, migrasi, dan lembaga-lembaga yang tidak permanen. Dalam setiap ekonomi, harus ada penyediaan bagi orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dengan bersaing. Semua ini tidak membuktikan bahwa persaingan tidak dapat melayani kebutuhan kerja sama sosial. Sebaliknya justru lingkungan yang sangat kompetitif seringkali dapat melayani kepentingan umum dan memfasilitasi kerja sama sosial lebih baik daripada alternatif-alternatif yang ada. Orang yang kehilangan pekerjaan ketika perusahaannya bangkrut berada dalam kondisi yang relatif baik jika ada banyak perusahaan pesaing untuk ia bisa mencari pekerjaan baru, tetapi keadaannya tidak akan sebaik itu jika hanya sedikit atau tidak ada pesaing lain dalam industri itu.

Mari kita tinjau lebih spesifik bagaimana partisipasi kita dalam persaingan ekonomi dapat selaras dengan definisi kita tentang kerja sama. Definisi itu memerlukan koordinasi “untuk mencapai tujuan bersama.” Jika persaingan merupakan bentuk kerja sama, ini menunjukkan adanya kepentingan umum atau kebaikan bersama yang dikejar semua perusahaan saat mereka bersaing.[2] Tujuan bersama yang tepat dari persaingan adalah tujuan utama yang diidentifikasi Kitab Suci untuk pekerjaan dan transaksi kita – yaitu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga dan komunitas kita, dan untuk mendorong kesejahteraan umum dunia kita. Pada kenyataannya persaingan tidak selalu terarah kepada tujuan ini, karena banyak orang dan perusahaan tidak mengenalinya sebagai tujuan. Namun, persaingan pada kenyataannya berorientasi pada kepentingan umum ketika orang dan organisasi mengenali bahwa tujuan mereka adalah untuk melayani konsumen dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Ini menjadi tantangan bagi beberapa kalangan yang menganggap tujuan utama atau bahkan tujuan satu-satunya dalam bisnis adalah menghasilkan uang bagi pemegang saham; padahal tak ada alasan untuk menganggap bisnis tidak dapat bersaing dalam melayani konsumen dan sekaligus memberi keuntungan bagi pemegang saham, dan keduanya seringkali bisa berjalan seiring.

Selama para pesaing tidak dimotivasi oleh kasih kepada Allah dan sesama (atau etika lainnya yang dianut) untuk melayani kepentingan umum, masyarakat perlu membuat hukum dan peraturan untuk melindungi kepentingan umum. Di dunia yang telah jatuh, hal seperti ini tidak dapat dihindari. Namun, peraturan adalah pengganti kasih yang buruk. Masyarakat akan jauh lebih dilayani dengan baik jika sebagian besar atau seluruh warganya berkomitmen untuk bekerja, dan bahkan bersaing, dengan didasari kasih untuk melayani kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan diri sendiri saja. Inilah salah satu tujuan teologi kerja, membuat orang bekerja dan bersaing dengan cara yang melayani Allah dan sesama, bukan diri sendiri saja.

Gambaran Paulus tentang atletik sangat kaya dalam hal ini. Para atlet sering berbicara tentang persaingan ketat yang "mendorong munculnya kemampuan terbaik." Di dalam olahraga, mematuhi aturan dan melakukan yang terbaik untuk mengalahkan tim lain secara adil dan benar dapat menjadi cara bekerja sama dengan tim lain untuk memberikan hasil yang diinginkan kedua belah pihak – yaitu permainan yang bagus dan menyenangkan di mana kedua tim bermain sebaik mungkin dan tim yang lebih baik akan menang. Keunggulan dan pencapaian didorong dan dihargai. Demikian pula, berusaha keras mengalahkan perusahaan pesaing dengan melayani konsumen lebih baik dapat menjadi cara bekerja sama dengan pesaing untuk memberikan hasil yang diinginkan kedua belah pihak – pasar yang efisien yang menyediakan barang dan jasa terbaik sekaligus memberi keuntungan kepada investor.

Persaingan yang etis mungkin tampaknya tidak melibatkan koordinasi, yang menurut definisi kita merupakan kualitas kerja sama. Memang, koordinasi secara langsung dan eksplisit antar para pesaing untuk mereduksi persaingan biasanya tidak sah dan tidak etis karena melibatkan kolusi terhadap konsumen. Namun, koordinasi di antara para pesaing terjadi di tingkat sosial yang lebih tinggi dan dapat melayani kepentingan umum. Contohnya yang nyata adalah organisasi-organisasi perdagangan, publisitas dan lobi industri secara keseluruhan, pengamanan jaringan pemasok, penetapan standar industri, lembaga-lembaga pelatihan dan (di negara-negara yang diizinkan secara hukum) perundingan bersama. Bentuk-bentuk kerja sama yang nyata ini menentukan adanya norma-norma bersama dan, di atas semuanya, mengakui kesamaan hakikat semua manusia di antara perusahaan-perusahaan yang bersaing.

Hal ini, pada gilirannya, mengantar ke tingkat kerja sama sosial yang lebih tinggi. Tujuan terpenting dari sistem ekonomi – terutama dalam fungsi penetapan harga pasar – adalah memfasilitasi koordinasi besar-besaran di antara para pelaku ekonomi yang bersaing. Pembeli berusaha membeli barang yang lebih baik dengan harga yang lebih rendah; penjual berusaha memproduksi dan menjual barang dengan harga yang lebih menguntungkan. Jika sistem ekonomi dan ekosistem lembaga sosial yang lebih luas berfungsi sebagaimana mestinya, harga akan naik dan turun untuk memungkinkan pemasok mendapat permintaan dan sebaliknya. Hal ini akan mengalokasikan barang dan jasa yang ada secara lebih efektif dibandingkan sistem lainnya, dan—barangkali yang lebih penting—memberikan insentif paling efektif untuk pengarahan investasi barang dan jasa di masa mendatang.

Fungsi koordinasi sosial dari transaksi ekonomi ini, yang dibangun dengan persaingan yang etis sebagai bentuk kerja sama, menjadi semakin penting di era globalisasi. Transaksi pasar adalah satu-satunya metode yang telah ditemukan yang mampu mengkoordinir secara efektif tindakan sejumlah besar orang dan organisasi yang sangat beragam kepada tujuan bersama yang menguntungkan semua pihak. Kita akan selalu membutuhkan lembaga pemerintah untuk mencapai kepentingan politik yang tidak dapat dicapai oleh sistem ekonomi sendiri. Sebaliknya, kita akan selalu membutuhkan pasar untuk mencapai kepentingan ekonomi yang tidak dapat dicapai oleh sistem politik sendiri.

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Melayani Para Pesaing

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Anehnya, persaingan yang ketat justru membantu, bukan menjatuhkan, para pesaing itu sendiri. Jika Honda memberikan nilai lebih kepada konsumen, hal itu akan memacu Ford untuk meningkatkan diri, begitu juga sebaliknya. Hal ini mengingatkan kita pada pepatah, "Besi menajamkan besi, dan orang menajamkan sesamanya” (Amsal 27:17). Tekanan keras dan bertubi-tubi dari orang lain seringkali menjadi cara untuk membuat kita menjadi yang terbaik. Dengan demikian, menjadi pesaing yang tangguh dapat menjadi cara untuk mengasihi para pesaing maupun masyarakat. Negara-negara yang memberangus persaingan dengan memilih perusahaan "juara nasional" dalam industri tertentu pada akhirnya akan mendapati perusahaan tidak dapat berkembang dan hanya menempatkannya pada posisi berpuas diri, kualitas yang sedang-sedang saja, dan akhirnya gagal.

Bukankah masih ada kemungkinan para pesaing akan saling membahayakan dengan bersaing? Jika Ford berhasil membuat kendaraan yang diinginkan konsumen dan menjualnya dengan harga lebih murah dari Honda, bukankah para karyawan Honda bisa kehilangan pekerjaan dan pemegang saham kehilangan investasinya?

Belum tentu. Michael Porter, profesor di Sekolah Bisnis Harvard menegaskan bahwa persaingan di sini bukan berarti bersaing untuk "menjadi yang terbaik" atau "menjadi nomor satu" seperti dalam persaingan “zero-sum” (dengan hasil nol) yang berfokus untuk mengalahkan pesaing – sehingga kemenangan perusahaan yang satu akan menyebabkan kekalahan perusahaan yang lain. Sebaliknya, persaingan berarti bersaing untuk “menjadi unik” untuk menciptakan nilai bagi konsumen dengan cara yang tidak dilakukan pesaing. Nilai ini dapat diciptakan dengan berbagai cara untuk beragam konsumen, sehingga selalu masih ada tempat di pasar yang bersaing untuk berbagai perusahaan berkembang selama mereka bersaing untuk menjadi unik sebagai pencipta nilai dan bukan hanya berusaha melayani konsumen dengan cara (terbaik) yang sama.

Keberhasilan Ford tidak otomatis membuat Honda gulung tikar. Honda justru akan terpacu untuk mencari cara alternatif dalam melayani konsumen, cara yang akan memenuhi kebutuhan yang tidak dilakukan oleh Ford. Ford mungkin mengalahkan Honda di pasar truk, misalnya, tetapi Honda dapat merespons dengan berfokus di pasar lain, seperti pasar mobil ekonomis. Bahkan jika di pasar mobil ekonomis Ford mengalahkan Honda dengan membuat satu jenis mobil ekonomis, Honda dapat menemukan jenis mobil ekonomis lain yang tidak dibuat (atau tidak sebaik yang dibuat) Ford. Honda hanya akan gulung tikar jika tidak bisa menemukan peluang alternatif untuk melayani konsumen secara berkelanjutan—yang dalam hal ini, mempertahankan Honda tetap beroperasi ketika gagal melayani konsumen bukanlah opsi yang dapat dibenarkan atau lebih baik secara moral.

Dalam sebuah wawancara di Sekolah Bisnis Harvard, Porter diminta merangkum "kesalahan-kesalahan strategi yang paling umum." Dan ia menjawab:

Kesalahan terbesar dari semua kesalahan adalah bersaing untuk menjadi yang terbaik, menempuh jalan yang sama seperti yang dilakukan orang lain dan berpikir bahwa entah bagaimana Anda dapat mencapai hasil yang lebih baik. Perlombaan seperti ini sulit dimenangkan. Banyak sekali manajer yang mencampuradukkan efektivitas operasional dengan strategi.
Kesalahan umum lainnya adalah mencampuradukkan pemasaran dengan strategi. Wajar jika strategi muncul dari berfokus pada konsumen dan kebutuhan-kebutuhannya. Maka dari itu, di banyak perusahaan, strategi dibangun di sekitar proposisi/penawaran nilai, yang merupakan sisi permintaan dari persamaan itu. Tetapi... ini juga tentang sisi persediaan, konfigurasi unik dari aktivitas-aktivitas yang memberikan nilai. Strategi menghubungkan pilihan-pilihan di sisi permintaan dengan pilihan-pilihan unik di dalam rantai nilai (sisi persediaan). Anda tidak bisa memiliki keunggulan dalam bersaing tanpa keduanya.[1]

Dengan kata lain, tujuannya bukanlah meyakinkan konsumen bahwa Anda memberikan nilai, tetapi benar-benar memberikannya. Bukan mengalahkan pesaing dalam memberikan nilai, tetapi memberikannya secara unik, melalui kesesuaian yang nyata antara kemampuan (unik) Anda sendiri dengan kebutuhan konsumen.

Dalam tulisan yang sudah digunakan secara luas, Joan Magretta merangkum gagasan utama Porter:

Persaingan untuk menjadi unik mencerminkan pola pikir dan cara berpikir yang berbeda tentang sifat persaingan. Di sini, perusahaan-perusahaan mengejar cara-cara bersaing yang berbeda yang bertujuan melayani berbagai macam kebutuhan dan konsumen. Fokusnya, dengan kata lain, adalah menciptakan nilai lebih bagi konsumen yang dipilih, bukan meniru dan menyamai pesaing….
Bersaing untuk menjadi unik tidak seperti berperang karena keberhasilan satu perusahaan tidak perlu membuat pesaingnya gagal. Tidak juga seperti pertandingan olahraga karena setiap perusahaan dapat memilih untuk menciptakan permainannya sendiri. Analogi yang lebih tepat… mungkin adalah seni pertunjukan. Ada banyak penyanyi dan pelakon yang bagus – masing-masing menonjol dan sukses dengan caranya sendiri. Masing-masing menemukan dan membentuk penontonnya sendiri. Semakin banyak pemain yang bagus, semakin besar jumlah penonton dan semakin berkembang kesenian itu. Penciptaan nilai yang seperti inilah esensi dari penciptaan nilai yang hasilnya positif….
Tentu saja tidak semua perusahaan akan berhasil. Persaingan akan menyingkirkan perusahaan-perusahaan yang kinerjanya kurang baik. Tetapi, perusahaan-perusahaan yang berkinerja baik bisa memperoleh hasil yang berkelanjutan karena mereka menciptakan nilai lebih.[2]

Semua ini sejalan dengan gagasan “persaingan sebagai bentuk kerja sama”. Gagasan ini mengenali fungsi persaingan dalam menghasilkan dan mempromosikan kebaikan bersama. Dan secara spesifik menolak pemikiran bahwa tujuan dari aktivitas persaingan adalah menjatuhkan atau mengalahkan pesaing. Para pesaing berusaha menciptakan nilai bagi para konsumen, memperkaya diri dengan memperkaya orang lain, dan memacu para pesaing untuk melakukan hal yang sama.

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Kadang Membutuhkan Pengorbanan

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sejauh ini, kita telah menjelaskan kerja sama dan persaingan dalam rancangan Allah yang semula – seperti apa kedua hal itu jika kita mencerminkan dengan benar gambar Allah Tritunggal yang adalah kasih. Memiliki pemahaman yang berasal dari Allah sendiri dan dari rancangan-Nya yang semula tentang hakikat diri kita sangatlah penting jika kita ingin membangun pandangan kita berdasarkan standar yang benar.

Tetapi bagi banyak orang, segala pembicaraan tentang rancangan Allah yang sempurna bagi dunia terasa abstrak dan tidak relevan dengan kehidupan nyata. Apa pun yang mungkin kita spekulasikan tentang persaingan di dunia yang tidak jatuh dalam dosa, pada kenyataannya dunia telah jatuh dalam dosa. Itulah realitas kita sekarang, dan kita sering lebih merasakan kehancuran saat ini daripada keterkaitan kita dengan hakikat diri awal kita – atau kemuliaan yang akan datang yang Allah sediakan bagi kita di dalam Kristus.

Di zaman yang jahat ini, persaingan ekonomi pada praktiknya tidak pernah benar-benar etis dan sering dilakukan dengan cara-cara yang tidak etis. Sebagai partisipan di pasar-pasar ekonomi yang bersaing, tanggung jawab kita setiap hari adalah memastikan bahwa kita terlibat dalam persaingan yang etis dan mendorong persaingan yang etis pada orang lain, yang dimotivasi oleh kasih kepada semua manusia.

Beban etika bisa menjadi sangat berat. Kita mungkin berjuang untuk bersaing secara etis, tetapi para pesaing kita mungkin tidak. Meskipun para pesaing tidak menjatuhkan kita dengan cara curang yang tidak akan kita lakukan, mengasihi pesaing – melakukan persaingan sebagai bentuk kerja sama – sulit dilakukan. Diperlukan usaha yang keras dan kesediaan mengorbankan kepentingan diri kita jauh di luar batas minimum perilaku yang biasanya diharapkan dari para pesaing di bidang ekonomi. Kita mungkin harus membayar harga yang mahal untuk memutuskan terlibat dalam persaingan yang etis. Atau kita mungkin mendapati bahwa persaingan tidak etis orang lain mengeksploitasi kita sampai kita tidak bisa menopang diri sendiri dan orang-orang yang bergantung pada kita.

Itu sebabnya Salib sangat penting dalam cara kita bersaing. Salib adalah satu-satunya jalan kembali kepada kasih suci Allah Tritunggal. Gambar tentang kasih suci itu sedang dipulihkan di dalam Kristus yang rela mati agar Allah dapat menebus kita, dan kita harus meniru Kristus sebagai cara dipersatukan dengan-Nya, agar gambar Allah itu dapat dipulihkan di dalam kita juga. Kita harus memikul salib kita dan mati setiap hari untuk mengikut Kristus (Matius 16:24-28).

Mati terhadap diri sendiri, sesuai teladan Salib, adalah inti dari etika Kristen. John Calvin menyebut penyangkalan diri ini sebagai “inti seluruh kehidupan Kristen.”[1] Terlibat dalam persaingan ekonomi dengan tujuan memberi manfaat kepada konsumen dan masyarakat, dan bahkan para pesaing kita, membawa kita kepada cara hidup ekonomi yang berpusat pada penyangkalan diri seperti Kristus.

Mati terhadap diri sendiri ini, tentu saja, sangat bertentangan dengan keinginan sifat dasar kita yang telah jatuh dalam dosa. Kekuatan kita sendiri tidak akan mampu membuat kita sesuai dengan teladan salib Kristus. Kuasa Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk hidup menurut teladan Kristus.

Hal ini dimulai dengan reformasi keberdosaan kita sendiri. Kejahatan tidak hanya ada “di luar sana” di antara para pesaing ekonomi kita, tetapi juga “di dalam sini” di hati kita sendiri. Akibat kejatuhan, kita bisa membenci para pesaing kita dan ingin membenarkan tindakan memajukan diri sendiri dengan mengorbankan mereka. Ketika kita berusaha melayani orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, seperti yang dilakukan Kristus, kita terus-menerus akan mengalami ketegangan dalam memahami diri kita sebagai agen kasih suci Allah, membawa kasih suci itu kepada dunia melalui kasih kita kepada orang lain, menjadi orang berdosa yang diampuni oleh karena anugerah, serta mengingat dengan rendah hati bahwa sebenarnya Allah-lah yang memenangkan semua pertempuran penting atas kejahatan, bukan kita.

Namun kejahatan tentu saja juga ada “di luar sana”; dan Perjanjian Baru menegaskan keberadaan kuasa jahat itu di dunia. Dalam hal persaingan ekonomi, kejatuhan sangat membatasi kedalaman dan keluasan kerja sama sosial yang bisa kita harapkan dari dunia. Ketika kita mempertahankan standar persaingan sebagai bentuk kerja sama dengan cara-cara yang kreatif dan penuh kasih, seperti kesediaan kita untuk mengorbankan keuntungan kita sendiri demi kepentingan itu, kita memberi tantangan kepada ideologi-ideologi ekonomi duniawi. Persaingan sebagai bentuk kerja sama merupakan cara yang realistis bagi masyarakat pluralis untuk mengarahkan aktivitas ekonomi perorangan dan perusahaan pada kebaikan bersama dan tujuan-tujuan lain yang sehat secara etika. Hal ini akan menantang orang-orang yang menyanjung persaingan pasar maupun yang menyangkal bahwa terlibat dalam persaingan yang etis itu mungkin.

Kita telah menekankan bahwa Salib memulihkan gambar Allah dan rancangan awal hakikat diri kita. Tetapi Salib juga mengarahkan kita ke depan dan ke belakang. Salib tidak hanya memulihkan ciptaan karena menekankan mati terhadap diri sendiri sebagai cara hidup. Salib dan kuasa kebangkitan dari Roh Kudus yang mentransformasi kita seperti itu juga memungkinkan kita untuk terlibat dalam tindakan-tindakan pengorbanan diri dan untuk hidup hari ini dengan cara yang menantikan secara aktif penyempurnaan kerajaan Allah yang akan datang. Sebagai contoh, kita bisa memilih untuk menolong rekan kerja kita berhasil dalam proyek yang menguntungkan konsumen kita, meskipun kita tahu hal itu akan membuat rekan kerja itu dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi dari kita. Kita bisa memilih untuk menentang, atau bahkan mengungkapkan ke dunia luar, tindakan-tindakan organisasi kita yang mengeksploitasi orang lain, meskipun kita tahu kita bisa kehilangan pekerjaan sebagai akibatnya. Kita bisa memilih untuk mengkampanyekan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk mengendalikan persaingan yang tidak adil, meskipun menghabiskan waktu untuk itu tidak akan memberi manfaat langsung apa-apa pada kita.

Salib tidak hanya berlaku untuk tindakan-tindakan individu, tetapi juga tindakan suku-suku dan bangsa-bangsa. Wahyu 21-22 menggambarkan umat Allah yang memasuki Yerusalem Baru sebagai "bangsa-bangsa," bukan hanya sebagai sekumpulan besar orang yang tidak saling terhubung dan tidak memiliki identitas. Struktur-struktur budaya yang telah menjadi bagian, dan dalam hal tertentu bahkan berasal, dari Kejatuhan (Kejadian 10-11) juga akan ditebus, bukan hanya individu perorangan saja. "Sekumpulan besar orang" sebagai bangsa-bangsa itu berkumpul untuk berjalan dalam terang Allah (Wahyu 21:24), membawa kemuliaan dan hormat dengan penuh khidmat di hadapan-Nya sebagai persembahan dan pelayanan mereka kepada-Nya (Wahyu 21:26) dan menerima kuasa penyembuhan dari pohon kehidupan (Wahyu 22:2). Bahkan berbagai jabatan politik bangsa-bangsa (Wahyu 21:24) dan beragam bahasa (Wahyu 13:7) tetap ada. Dan "mereka akan menjadi umat-Nya [laoi itu bentuk jamak] dan Allah sendiri akan ada di tengah-tengah mereka sebagai Allah mereka" (Wahyu 21:3). Sebutan yang sebelumnya khusus untuk Israel (Kejadian 17:7-8, Yeremia 32:38, Yehezkiel 37:27) kini berlaku bagi semua bangsa.

Pentakosta mengarahkan hidup kita yang sekarang ini kepada realitas masa mendatang yang struktur-struktur budayanya akan ditebus. Yesus mengutus umat-Nya dengan kuasa Roh untuk “menjadikan semua bangsa murid-Nya” (Matius 28:18-19). Untuk mencapai tujuan ini, pada hari Pentakosta Dia mencurahkan Roh Kudus kepada umat-Nya untuk memberi kuasa kepada orang-orang dari berbagai suku bangsa untuk mengikut Dia dan menyelaraskan hidup dengan Salib, bukan dengan menghapus keberagaman budaya mereka tetapi dengan memakai budaya mereka yang beragam sebagai sarana pemuridan (Kisah Para Rasul 2:5-13). Pentakosta membuat pemuridan terjadi di tengah struktur budaya yang telah jatuh, dengan memakai struktur-struktur itu sebagai sarana untuk melakukan transformasi Injil oleh Roh.

Dallas Willard, yang banyak menulis tentang mengapa gereja harus memakai struktur-struktur budaya dengan cara seperti ini, merangkum gagasan itu dengan kalimat yang luar biasa ini: “Pemuridan bukan untuk gereja; gereja untuk pemuridan, dan pemuridan untuk dunia.”[2]

Semua ini tidak berarti bahwa gereja harus mengembangkan agenda budaya yang terpisah dari pemuridan kepada Kristus. Pemuridan kepada Kristus adalah satu-satunya tujuan, dan segala agenda budaya yang berdiri sendiri atau terpisah dari pemuridan adalah berhala. Selain itu, kerendahan hati tentang keberadaan kita sebagai makhluk yang terbatas – dan berdosa – selalu dibutuhkan. Peran gereja bukanlah untuk menyebarluaskan yang dianggapnya sebagai seperangkat aturan sosial-ekonomi ilahi yang harus ditaati seluruh umat manusia, melainkan untuk memperlengkapi umat Allah dalam belajar bekerja dan bersaing dengan cara-cara yang melayani sesama.

Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Memerlukan Formasi

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Salah satu cara menyimpulkan perintah praktis tentang persaingan yang etis adalah seperti ini: Sedapat mungkin biarkan tekanan persaingan mendorong Anda untuk memberikan nilai yang lebih baik kepada konsumen, bukan untuk unggul dengan merugikan konsumen atau pesaing. Di dunia yang telah jatuh, melakukan hal ini sulit dan menyakitkan. Mekanisme pasar tidak menjamin hal itu akan terjadi, hanya memberi peluang saja. Mengasihi sesama secara nyata tergantung pada kita. Namun, hal itu dapat dilakukan, dan banyak orang di sekitar kita sedang melakukannya, dan pun kita harus melakukannya lebih lagi.

Di level pribadi, perubahan yang mendasar adalah pada sikap. Apakah saya memandang pesaing saya sebagai sesama? Bagaimana saya dapat memiliki itikad baik terhadap pesaing saya? Paulus berkata, sebagaimana kita pernah memandang Allah dengan kebencian tetapi sekarang kita mendekati-Nya dengan kasih, kita pun memerlukan perubahan sikap seperti itu terhadap orang lain (2 Korintus 5:16).

Salah satu hal praktis terpenting yang dapat kita lakukan adalah berdoa secara teratur bagi para pesaing kita dan bagi situasi persaingan kita. Sangat kecil kemungkinan kita akan menemukan cara yang lebih efektif untuk menundukkan kesombongan, iri hati, dan keserakahan selain meminta Allah memberikan kebaikan kepada orang-orang yang menjadi pesaing kita. Kita dapat mendoakan secara langsung, dengan membawa dan menyebutkan nama-nama pesaing kita ke hadapan Allah untuk memohonkan kebaikan bagi mereka. Kita juga dapat memasukkannya dalam doa-doa kita yang memberkati pekerjaan kita sendiri, dengan memohon agar Allah memakai pelayanan kita kepada konsumen untuk mendorong para pesaing kita meningkatkan diri atau menemukan cara-cara pelayanan yang baru dan berbeda. Kita dapat meminta Allah menciptakan lingkungan yang sehat dan membangun di tengah persaingan sektor ekonomi kita.

Langkah alami berikutnya dari dialog internal ini adalah meminta pertolongan Allah untuk mengendalikan dialog eksternal kita dan "menjinakkan lidah" ​​(Yakobus 3:8). Bagaimana kita menggambarkan pesaing kita saat kita membicarakan mereka dengan rekan-rekan kerja dan orang lain? Sebagai penghalang kesuksesan kita, atau lebih buruk lagi sebagai musuh yang harus dikalahkan? Para pesaing ekonomi harus menahan keinginan untuk menjelek-jelekkan tim lawan, seperti halnya para atlet dan penggemar. Meskipun perintah Allah untuk mengasihi musuh itu menyiratkan bahwa kita dapat memiliki musuh, tidak ada kebutuhan umum untuk melihat pesaing ekonomi sebagai musuh (meskipun mereka mungkin demikian dalam hal tertentu). Bagaimanapun, kita tidak boleh berbicara tentang pesaing kita dengan cara yang merendahkan martabat mereka atau menyiratkan kita ingin mereka terluka. Sebaliknya, kita dapat menggambarkan mereka sebagai tolok ukur untuk menilai keberhasilan kita sendiri, barometer tentang hal-hal yang melayani konsumen dengan baik atau tidak, dan sumber disiplin dan akuntabilitas yang menjaga kita tetap fokus pada misi kita.

Di level yang lebih dalam, bagaimana kita menggambarkan tujuan pekerjaan dan organisasi kita? Ketika kita menggambarkan tujuan kita, apakah kita menggambarkan kepentingan umum atau kebaikan bersama yang membuat persaingan dapat menyelaraskan tindakan kita dengan tindakan pesaing kita? Atau apakah kita hanya berbicara tentang bagaimana kita melayani kepentingan diri sendiri?

Hal ini dengan sendirinya mengantar kepada langkah ketiga yang sangat penting. Apakah tindakan-tindakan kita sesuai dengan perkataan-perkataan ini? Apakah kita benar-benar fokus pada memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga dan komunitas kita, serta mendorong kesejahteraan sesama dan dunia kita? Apakah organisasi kita berusaha untuk berhasil dengan menciptakan nilai bagi konsumen, dan membedakan diri dari pesaing melalui nilai unik yang diciptakan? Apakah melayani konsumen merupakan tujuan utama pekerjaan kita? Apakah meningkatkan nilai yang kita sampaikan kepada konsumen merupakan inti dari strategi persaingan kita? Semakin banyak yang kita lakukan, semakin kita mengarah kepada tujuan bersama yang kita harap dapat membuat pasar menyelaraskan aktivitas kita dengan para pesaing kita.

Dan tentu saja sangat penting bagi kita untuk menjaga kejujuran diri dan perusahaan kita. Godaan untuk memajukan diri sendiri dengan menghalangi pekerjaan pesaing kita, bukan melayani konsumen dengan baik, selalu muncul. Itu sebabnya Kitab Suci sangat sering dan sedemikian keras mengecam pencurian, penipuan, dan eksploitasi.

Gagasan persaingan sebagai bentuk kerja sama tercermin dalam beberapa tafsiran Proyek Teologi Kerja (contohnya Matius 5:7 dan Roma 12:1-3), dan ini menjadi pemahaman yang bermanfaat tentang langkah-langkah spesifik yang bisa kita ambil untuk mengikuti jalan itu. Tafsiran kitab Amsal menyoroti masalah yang terjadi pada orang-orang yang kalah dalam persaingan:

Hukuman yang tepat untuk kegagalan dalam persaingan bukanlah dihancurkan atau dijebloskan ke jurang kemiskinan, tetapi diarahkan atau dialihkan ke pekerjaan yang lebih produktif. Perusahaan-perusahaan bisa bangkrut, tetapi pesaing mereka yang sukses tidak menjadi monopoli. … Karir bisa naik turun, tetapi hukuman yang tepat untuk kegagalan bukanlah "Anda tidak akan pernah bekerja di kota ini lagi" melainkan, "Bantuan apa yang Anda butuhkan untuk menemukan hal yang lebih cocok dengan bakat Anda?" Individu dan organisasi yang paling bijak belajar terlibat dalam persaingan dengan cara yang memanfaatkan sebaik-baiknya partisipasi setiap pemain dan menawarkan “pendaratan yang lembut” bagi yang kalah dalam kontes hari ini, tetapi mungkin saja memberikan kontribusi yang berharga esok.

Tafsiran Lukas 6:27-36 menunjukkan hal serupa: "Di level korporat, itu berarti tidak menghancurkan pesaing, pemasok, atau pelanggan, apalagi dengan tindakan yang tidak adil atau tidak produktif seperti tuntutan hukum yang sembrono, monopoli, desas-desus yang tidak benar, manipulasi saham, dan sejenisnya."

Tafsiran Filipi 1:27-2:11 menawarkan dua cara nyata untuk menjauhi kesombongan dalam situasi persaingan:

Seperti telah kita lihat, ambisi — bahkan persaingan — tidak selalu buruk… tetapi, mementingkan agenda sendiri secara tidak adil itulah hal yang buruk. Hal itu memaksa Anda mengadopsi penilaian yang tidak akurat dan berlebihan terhadap diri sendiri ("kesombongan"), yang menempatkan Anda di dunia fantasi yang semakin jauh yang membuat Anda tidak efektif dalam pekerjaan maupun keyakinan. Ada dua penawarnya. Pertama, pastikan bahwa keberhasilan Anda bergantung dan berkontribusi pada keberhasilan orang lain. Ini biasanya berarti bertindak dalam kerja sama tim yang tulus dengan orang lain di tempat kerja. Kedua, teruslah mencari umpan balik yang akurat tentang diri Anda dan kinerja Anda. Anda mungkin mendapati kinerja Anda sangat baik, tetapi jika Anda mendapatkannya dari sumber yang akurat, itu bukan kesombongan. Tindakan sederhana mau menerima umpan balik dari orang lain ini adalah bentuk kerendahan hati, karena Anda menundukkan citra diri Anda pada citra mereka tentang Anda. Tentu saja, ini hanya berlaku jika Anda menemukan sumber umpan balik yang akurat.

Komunitas iman Kristen juga dapat berperan sebagai tempat transformasi rohani yang unik dan sebagai komunitas yang menyatukan orang-orang dari berbagai kelompok budaya – bahkan para pesaing ekonomi. Gereja dapat membingkai ulang pemahaman kita tentang persaingan dengan menjunjung tinggi persaingan yang etis, atau persaingan sebagai bentuk kerja sama, dan menentang pemahaman-pemahaman stereotip yang memutlakkan persaingan sampai meniadakan kerja sama. Mereka dapat mengadakan diskusi-diskusi khusus berdasarkan bidang pekerjaan tentang seperti apa persaingan yang etis itu, dan bagaimana hal itu dapat diperkenalkan di setiap bidang usaha.

Kita juga perlu memandang melampaui ranah pribadi dan gereja ke ranah publik. Kita harus menentang bentuk-bentuk persaingan tidak adil yang mungkin telah dilembagakan di lingkungan kita, dan mencari cara-cara untuk memperluas kesempatan bagi orang-orang yang dirugikan dalam persaingan, seperti orang miskin, penyandang disabilitas, dan kelompok yang terpinggirkan. Ini bisa menjadi sangat menantang jika status quo yang ingin kita ubah justru menguntungkan kita. Namun, perspektif alkitabiah tentang persaingan mendesak kita untuk mereformasi sistem yang tidak adil, sekalipun hal itu memperbesar tekanan persaingan pada diri kita sendiri. (Akan sangat membantu jika kita mau mengingat betapa kita justru sering mendapat manfaat dengan berada di bawah tekanan persaingan).

Mengasihi Sesama melalui Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Sebagai pengikut Kristus di dunia yang telah jatuh, kita dipanggil untuk mengasihi, dan karenanya kita bekerja untuk kepentingan keluarga, konsumen, dan komunitas kita. Di dalam hampir setiap budaya dalam sejarah, ini melibatkan partisipasi di pasar ekonomi yang bersaing. Kesombongan, iri hati, dan keserakahan manusia yang telah jatuh ada di sekitar kita di setiap sudut kehidupan. Namun, Allah terus bekerja di dunia, memakai struktur-struktur budaya manusia yang sah – termasuk pasar-pasar yang bersaing – untuk mencapai tujuan-Nya. Persaingan dapat, dan sering, menjadi bentuk kerja sama yang memungkinkan pasar-pasar dan harga-harga menentukan aktivitas para pesaing untuk memberi manfaat bagi konsumen, perusahaan, dan kepentingan umum. Kita dapat berpartisipasi dalam pasar ekonomi dengan cara-cara yang mewujudkan dan mendorong persaingan sebagai bentuk kerja sama; inilah strategi kita yang paling menjanjikan untuk meningkatkan kebaikan bersama komunitas kita dan menentang penyalahgunaan struktur-struktur pasar yang tidak benar.

Etika Kerja (Tinjauan Umum)

Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

Catatan: Artikel "Tinjauan Umum" merupakan eksplorasi lengkap tentang topik-topik utama dalam teologi kerja. Jika Anda tertarik pada aspek tertentu topik itu, Daftar Isi bisa membantu Anda menemukannya dengan cepat.

Pendahuluan

Etika adalah tentang mengetahui dan melakukan apa yang baik atau benar, dan etika kerja adalah tentang mengetahui dan melakukan apa yang baik atau benar di dunia kerja. Bagi orang Kristen, ini berarti menggunakan Alkitab dan sumber-sumber iman Kristen lain dalam membantu memutuskan dan melakukan apa yang etis atau bermoral di dunia kerja. (Dalam artikel ini, "etika" dan "moralitas" digunakan secara bergantian)

Ada tiga pendekatan umum etika yang sudah digunakan secara luas dalam pandangan moral Kristen maupun di dunia pada umumnya. Pendekatan-pendekatan itu adalah 3C

  1. Command/ Perintah — Bagaimana cara bertindak yang benar menurut aturan?

  2. Consequences/ Konsekuensi — Tindakan apa yang paling memungkinkan hasil terbaik?

  3. Character/ Karakter — Ingin menjadi orang bermoral seperti apakah saya? [1]

Yang membedakan etika Kristen bukan karena pendekatan yang digunakannya berbeda, tetapi karena membawa nilai-nilai alkitabiah dalam setiap pendekatannya. Ada perintah-perintah alkitabiah (yang juga disebut prinsip-prinsip), hasil-hasil yang diinginkan secara alkitabiah, dan ciri-ciri karakter alkitabiah (yang juga disebut kebajikan) yang perlu dibawa orang Kristen dalam keputusan, tindakan, dan perkembangan moral mereka.

Dalam mengembangkan etika Kristen, kita akan memikirkan bantuan apa yang disediakan dan diberikan Alkitab untuk setiap pendekatan ini. Kemudian kita akan meneliti apakah kita perlu menggabungkan ketiga pendekatan ini dengan cara tertentu untuk memberi kita pendekatan yang lebih seimbang dan terpadu. Akhirnya, kita akan memikirkan bagaimana hidup dengan realita bahwa dunia ini sudah jatuh atau tidak sempurna, dan bahwa hampir tidak pernah ada solusi yang sempurna.

Kita akan membahas pendekatan etika Kristen yang diterapkan di dunia kerja, tetapi kita tidak akan mencoba memberi jawaban atas isu-isu utama dalam etika kerja. Sebaliknya, kita akan mengembangkan prinsip-prinsip dan metode-metode etika Kristen yang dapat digunakan pembaca untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada berbagai masalah dan kasus.

Di sini kami memberi Anda pilihan dua presentasi yang berbeda dalam menyampaikan pendekatan-pendekatan ini. Ada pilihan untuk membaca narasi yang berupa studi kasus kehidupan nyata atau ada juga pilihan presentasi yang lebih sistematis tentang beberapa pendekatan yang berbeda. Pendekatan sistematis lebih singkat dan lebih abstrak. Pendekatan naratif lebih panjang dan menerapkan pendekatan-pendekatan ini pada situasi kehidupan nyata yang dihadapi penjual mobil bekas bernama Wayne Kirkland.

Klik untuk melanjutkan membaca

Presentasi Etika Sistematis

Klik untuk melanjutkan membaca

Presentasi Etika Naratif (Kasus)

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, David. Pastoral Ethics. Oxford: Lynx, 1994.

Atkinson, David, dan David H. Field. New Dictionary of Christian Ethics and Pastoral Theology. Leicester, England, dan Downers Grove, IL: IVP, 1995.

Boulton, Wayne G. serta Thomas D. Kennedy dan Allen Verhey, penyunting. From Christ to the World: Introductory Readings in Christian Ethics. Grand Rapids: Eerdmans, 1994.

Burkett, Larry. Business by the Book. Nashville: Thomas Nelson, 1990.

Chewning, Richard C., John W. Eby and Shirley J. Roels. Business Through the Eyes of Faith. London: Apollos, 1992.

Cook, David. Moral Choices: A Way of Exploring Christian Ethics. London: SPCK, 2000.

Farley, Benjamin W. In Praise of Virtue: An Exploration of Biblical Virtues in a Christian Context. Grand Rapids: Eerdmans, 1995.

Gardner, E. Clinton. Biblical Faith and Social Ethics. New York: Harper and Rowe, 1960.

Gill, Robin. Churchgoing and Christian Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

Grenz, Stanley J. The Moral Quest. London: Apollos, 1997.

Hauerwas, Stanley. Vision and Virtue. Notre Dame: Fides/Claretian, 1974.

Hauerwas, Stanley. Character and the Christian Life: A Study in Theological Ethics. San Antonio: Trinity University Press, 1975.

Hauerwas, Stanley. A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic. Indiana: University of Notre Dame, 1981.

Higginson, Richard. Called to Account. Guildford: Eagle, 1993.

Higginson, Richard. Questions of Business Life. UK: Spring Harvest, 2002.

Hill, Alexander. Just Business: Christian Ethics for the Marketplace. Downers Grove: IVP, 1997.

Hollinger, Dennis P. Choosing the Good: Christian Ethics in a Complex World. Grand Rapids: Baker, 2002.

Mackenzie, Alistair and Wayne Kirkland. Just Decisions. New Zealand: NavPress NZ, 2008.

Mackenzie, Alistair dan Wayne Kirkland. Where’s God on Monday? Christchurch, NZ: NavPress NZ, 2002.

MacIntyre, Alasdair. After Virtue: A Study in Moral Theology. Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984.

McLemore, Clinton W. Street Smart Ethics. Louisville/London: WJKP, 2003.

Maxwell, John C. There’s No Such Thing as “Business” Ethics. USA: Warner Books, 2003.

Murdock, Mike. The Businessman’s Topical Bible. Tulsa: Honor Books, 1992.

Murdock, Mike. The Businesswoman’s Topical Bible. Tulsa: Honor Books, 1994.

Nash, Laura. Believers in Business, Nashville: Thomas Nelson, 1994.

Rae, Scott B. and Kenman L. Wong. Beyond Integrity: A Judeo-Christian Approach to Business Ethics. Grand Rapids: Zondervan, 1996.

Rae, Scott B. Moral Choices: An Introduction To Ethics. Grand Rapids, MI: Zondervan, 1995.

Sherman, Doug and William Hendricks. Your Work Matters to God. Colorado Springs: NavPress, 1987.

Sherman, Doug dan William Hendricks. Keeping Your Ethical Edge Sharp. Colorado Springs: NavPress, 1990.

Stackhouse, Max L. “The Ten Commandments: Economic Implications” dalam On Moral Business, Max L. Stackhouse, Dennis P. McCann dan Shirley Roels, penyunting. Grand Rapids: Eerdmans, 1995.

Stassen, Glen H. dan David P. Gushee. Kingdom Ethics. Downers Grove: IVP, 2003.

Zigarelli, Michael. Management by Proverbs. Chicago: Moody Press, 1999.

    Presentasi Etika Sistematis

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Pendahuluan

    Pandangan Kristen tentang kerja agak unik/khas karena menekankan bahwa pekerjaan manusia pada akhirnya mendapatkan makna dan tujuannya dari karakter dan tujuan-tujuan Allah. Siapa Allah dan apa yang dilakukan-Nya itulah yang membentuk cara kita memandang dunia, tempat kerja dan pekerjaan kita di dunia, serta nilai-nilai yang kita pegang dalam bekerja. Dasar pemikirannya adalah menyadari bahwa Allah terus bekerja di dunia ini dan kita adalah para pekerja yang diciptakan menurut gambar- Nya dan diundang untuk bekerja sebagai mitra dalam pekerjaan Allah yang masih terus berlangsung. Kita bekerja untuk mendukung penggenapan tujuan-tujuan Allah melalui pekerjaan kita dan mencerminkan karakter Allah dalam cara kita bekerja. Pemahaman kita tentang realitas inilah yang membawa masuk perspektif-perspektif Kristen yang khas ini ke dalam pandangan kita tentang etika kerja. Namun, kita akan memulai dengan beberapa tinjauan etika yang lebih umum.

    Definisi

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Kata "etika" berasal dari kata Yunani ethos, yang memiliki dua arti dalam pemakaian umum bahasa Yunani: kebiasaan atau adat, dan aturan atau hukum. Penggunaan di Perjanjian Baru mencakup kedua dimensi ini. Contohnya, di Kisah Para Rasul 25:16 kata itu biasanya diterjemahkan menjadi “kebiasaan" ("bukanlah kebiasaan pada orang-orang Roma untuk menyerahkan seorang"), sedangkan di 1 Korintus 15:33 diterjemahkan sebagai "moral" atau "karakter" ("Pergaulan yang buruk merusakkan moral yang baik" – diterjemahkan dari Alkitab bahasa Inggris versi NIV).

    Kedua kata ini — etika dan moral — sering digunakan secara bergantian. Anda bisa berkata bahwa etika adalah studi atau ilmu tentang prinsip-prinsip moral yang mengatur atau memengaruhi perilaku kita. Dennis Hollinger berkata bahwa etika adalah “…studi sistematis tentang norma-norma yang benar dan salah, adil dan tidak adil, baik dan jahat, dengan tujuan menerapkan norma-norma ini dalam realitas hidup kita.”[1]

    Kehidupan Kristen yang etis berkaitan dengan “…mengatur langkah-langkah kita dalam setiap situasi kehidupan berdasarkan komitmen-komitmen iman mendasar yang kita anut sebagai orang Kristen.”[2] Atau, menurut definisi lain: “Etika Kristen adalah upaya memberikan kerangka dan metode dalam membuat keputusan-keputusan yang akan menghormati Allah sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci, mengikuti teladan Yesus dan menanggapi Roh Kudus, untuk mencapai hasil yang mendukung tujuan-tujuan Allah di dunia.”[3]

    Berbagai Pendekatan Etika

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    TINJAUAN UMUM

    Kita perlu menempatkan pendekatan etika Kristen kita pada kerangka pemahaman berbagai pendekatan etika yang berbeda dan penalaran moral secara umum.[1] Ada tiga pendekatan berbeda yang paling sering diidentifikasi. Ketiganya dapat digambarkan secara singkat sebagai pendekatan perintah, konsekuensi, dan karakter.[2]

    Pendekatan Perintah

    Pendekatan perintah bertanya, "Apakah tindakan ini sendiri pada hakikatnya benar atau salah, menurut hukum/aturan?" Pendekatan ini sering disebut pendekatan deontologi (dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban atau aturan [3]). Pendekatan ini didasarkan pada proposisi bahwa tindakan-tindakan pada dasarnya benar atau salah, sebagaimana ditentukan oleh seperangkat aturan atau kewajiban. Perangkat kewajiban/aturan ini bisa diberikan oleh perintah ilahi, hukum alam, logika rasional, atau sumber lain. Dalam etika Kristen, kita tertarik pada perintah-perintah yang diberikan Allah atau yang disimpulkan secara logis dari penyataan-diri Allah dalam Alkitab.

    Pendekatan Konsekuensi

    Pendekatan konsekuensi bertanya, "Apakah tindakan ini akan mendatangkan hasil yang baik atau buruk?" Pendekatan ini sering disebut pendekatan teleologi (dari kata Yunani telos yang berarti akhir [4]) karena pendekatan ini berkata bahwa hasil akhir menentukan tindakan apa yang benar secara moral. Tindakan paling bermoral dapat ditentukan oleh:

    • Apa yang akan menghasilkan kebaikan terbesar? Salah satu contoh pendekatan teleologis yang terkenal adalah Utilitarianisme,[5] yang mendefinisikan kebaikan terbesar sebagai apa saja yang akan mendatangkan kebahagiaan terbesar bagi sebagian terbesar manusia.

    • Apa yang paling mendukung kepentingan pribadi seseorang? Sebagai contoh, sistem yang dikenal sebagai Egoisme Etis [6] berasumsi bahwa cara yang paling memungkinkan untuk mencapai kepentingan terbaik semua orang adalah dengan setiap orang mengejar kepentingan terbaiknya sendiri, dalam batas-batas tertentu.

    • Apa yang akan mendatangkan hasil akhir yang paling sesuai dengan maksud Allah atas ciptaan-Nya? Pendekatan ini dapat berfokus pada tujuan yang lebih rendah, seperti mencapai kualitas hidup yang lebih baik bagi orang cacat, maupun tujuan tertinggi/utama, seperti memuliakan Allah dan menikmati-Nya selamanya. Dalam hal situasi yang rumit, pendekatan ini berusaha memperhitungkan tindakan-tindakan mana yang akan memaksimalkan keseimbangan kebaikan atas kejahatan.

    Karena kebahagiaan maupun kepentingan pribadi bukanlah hasil tertinggi yang Allah inginkan bagi ciptaan-Nya, maka Utilitarianisme maupun Egoisme Etis biasanya tidak dianggap sebagai bentuk etika Kristen. Namun, ini tidak berarti konsekuensi-konsekuensi tidak penting secara etis bagi Allah, sama seperti fakta bahwa adanya sistem-sistem aturan yang tidak akitabiah tidak berarti perintah-perintah yang etis tidak penting bagi Allah.

    Pendekatan Karakter

    Pendekatan ini bertanya, “Apakah pelaku orang baik dengan motif-motif yang baik?” Dalam pendekatan ini, tindakan paling bermoral ditentukan oleh pertanyaan-pertanyaan tentang karakter, motif, dan kesadaran bahwa individu-individu tidak bertindak sendiri karena mereka juga bagian dari komunitas-komunitas yang membentuk karakter, sikap, dan tindakan mereka. Pendekatan ini sering disebut etika kebajikan.[7] Sejak permulaan era Kristen, kebajikan telah diakui sebagai unsur esensial dalam etika Kristen. Namun, sejak zaman Reformasi sampai akhir abad ke-20, etika kebajikan — seperti halnya etika konsekuensi — tertutupi oleh etika perintah di banyak pemikiran etika Protestan.

    Lalu bagaimana ketiga pendekatan yang berbeda ini diterapkan pada etika Kristen?

    Penerapan Pendekatan Perintah

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Orang Kristen dari sebagian besar tradisi gereja mengakui bahwa Alkitab sangat berperan penting dalam membentuk pemahaman kita tentang perintah-perintah dan prinsip-prinsip itu.

    Apa Aturan Allah? Adakah Perintah untuk Setiap Situasi?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Orang Kristen dari sebagian besar tradisi gereja mengakui bahwa Alkitab sangat berperan penting dalam membentuk pemahaman kita tentang perintah-perintah dan prinsip-prinsip itu. Dan tidak sulit untuk menemukan ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang kerja.

    • Di dua pasal pertama Alkitab, manusia laki-laki dan perempuan diberi pekerjaan yang harus dilakukan, baik untuk merawat maupun mengolah sumber daya alam yang diberikan Allah (Kejadian 1:26-29; Kejadian 2:15; Kejadian 2:18-20).

    • Allah mencontohkan pola bekerja dan beristirahat tujuh hari (enam hari bekerja, satu hari beristirahat) yang harus ditiru oleh umat Allah (Kejadian 2:2; Keluaran 20:9-11; Markus 2:27). Ada juga pola bekerja dan beristirahat harian (Mazmur 104:19-23).

    • Mencari nafkah dengan bekerja jujur/sungguh-sungguh dianjurkan (Mazmur 128:2; 1 Tesalonika 2:9; 2 Tesalonika 3:7-10).

    • Kitab Amsal berisi banyak nasihat untuk bekerja keras dan peringatan terhadap kemalasan (contohnya Amsal 6:6).

    • Pekerjaan manual (dengan tangan) tak boleh dipandang rendah. Raja pun bekerja dengan tangannya (1 Samuel 11:5). Yesus melakukan pekerjaan keterampilan sebagai tukang kayu (Markus 6:3).

    • Para nabi mengecam orang kaya yang malas (contohnya Amos 6:3-6).

    • Seperti nabi-nabi sebelum Dia (lihat Yesaya 5:7-8; Mikha 3:1-3; Amos 5:21-24), Yesus mencela orang-orang yang mengaku beriman tetapi berlaku tidak adil (Matius 23:23).

    • Rasul Paulus menafkahi dirinya sendiri dengan menjadi pembuat tenda untuk menjaga kemandirian dan harga dirinya, serta memberi teladan ketekunan dan kemandirian kepada orang-orang yang menjadi percaya melalui pemberitaan Injilnya. Paulus mendorong mereka untuk berbagi kepada orang lain yang membutuhkan (Efesus 4:28). Ia memandang bekerja jujur/sungguh-sungguh sebagai cara menghormati Injil (1 Tesalonikna 4:11). Ia menegur orang-orang antusias yang ingin meninggalkan pekerjaan mereka sehari-hari untuk melakukan yang mereka anggap sebagai pekerjaan Injil yang lebih mendesak, namun akhirnya mereka hanya hidup dengan bergantung pada orang lain (2 Tesalonika 3:10 dst.).

    • Bekerja harus dipandang sebagai tindakan ibadah/penyembahan (1 Korintus 10:31; Kolose 3:17, 23).

    Alkitab juga menunjukkan kepedulian terhadap masalah-masalah kerja.

    • Kita bekerja bukan hanya untuk menyenangkan atasan kita di dunia. Kita bekerja untuk Tuhan. (Kolose 3:23; Efesus 6:5-8). Bekerja harus dengan sepenuh hati dan dijalani dengan baik (PengKotbah 9:10; Kolose 3:22-24).

    • Allah mau manusia mendapat upah yang layak atas pekerjaan yang dilakukan dan menikmati makanan, tempat tinggal dan pakaian sebagai bagian dari hasil kerja itu (Lukas 10:7; 2 Tesalonika 3:10; Mazmur 128:1-2).

    • Para majikan harus memperlakukan pekerjanya dengan adil dan pantas, karena mereka sendiri juga memiliki majikan yang akan meminta pertanggungjawaban mereka (Kolose 4:1).

    • Mereka harus tahu bahwa “pekerja patut mendapat upahnya” (Lukas 10:7; 1 Timotius 5:18).

    • Para pekerja diingatkan akan tanggung jawabnya terhadap majikan mereka (1 Timotius 6:1; Titus 2:9).

    Di samping perintah-perintah ini, ada banyak ayat Alkitab lain yang berbicara tentang masalah-masalah relasi dan integritas di tempat kerja. The Businessman’s Topical Bible (Alkitab dengan topik-topik untuk Pengusaha) [1] (dan versi pelengkapnya untuk Wanita Pengusaha [2]) mengidentifikasi 100 masalah dunia kerja yang umum dan kemudian memakai 1550 ayat Alkitab untuk menunjukkan jawabannya. Topik-topik itu meliputi apa yang harus dilakukan ketika pelanggan tidak puas, ketika Anda kehilangan karyawan penting, ketika Anda merasa dikhianati, ketika Anda merasa tergoda untuk berbuat curang, dan ketika karyawan Anda membutuhkan motivasi.

    Meskipun demikian, upaya untuk merumuskan buku aturan yang lengkap berdasarkan ayat-ayat Kitab Suci yang akan berbicara tentang setiap masalah etis yang mungkin terjadi tampaknya merupakan usaha yang mustahil. Tak ada kumpulan perintah yang bisa cukup luas untuk mencakup setiap masalah yang muncul. Dan situasi-situasi di tempat kerja saat ini banyak yang tidak memiliki preseden di zaman Alkitab. Apakah etis memberikan opsi-opsi untuk membeli saham berdasarkan kinerja? Apakah etis mengiklankan produk untuk menarik orang supaya membeli lebih banyak? Apakah etis memiliki preferensi-preferensi dalam perekrutan terhadap kelompok-kelompok etnis yang kurang terwakili? Apakah etis membeli perusahaan pesaing? Tidak satu pun dari situasi-situasi ini yang tampaknya tercakup dalam perintah Alkitab.

    Lagipula, persoalan inilah yang dihadapi para ahli Taurat dan orang-orang Farisi ketika mereka berusaha membuat suatu aturan yang komprehensif, yang akhirnya membuat orang bukan hanya kewalahan dengan hal-hal sepele, tetapi juga kehilangan hal-hal penting. Namun, pada saat yang sama, tidaklah bijak jika kita mengabaikan fakta bahwa Kitab Suci memang memberi kejelasan tentang banyak hal: mencuri, berbohong, mengasihi orang lain termasuk musuh, berlaku adil, peduli terhadap orang miskin dan tertindas, dll. Sebagaimana dikatakan Chris Marshall, "Pengabaian terhadap otoritas normatif atas perintah, hukum, atau prinsip Kitab Suci juga bisa mengancam merusak karakter Kristen yang khas dari etika Kristen dan memberi terlalu banyak ruang untuk penilaian subyektif."[3] Alkitab tidak dapat diubah menjadi buku aturan komprehensif tentang etika kerja masa kini. Namun itu tidak berarti Alkitab tidak memiliki beberapa aturan yang penting dan masih relevan.

    Mencari Prinsip-Prinsip Panduan
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi banyaknya perintah Alkitab menjadi hanya beberapa perintah atau prinsip yang menyeluruh. Beberapa contohnya menekankan pentingnya Sepuluh Perintah Allah yang diberikan kepada Musa [1] atau Ucapan Bahagia yang disampaikan Yesus [2] atau kutipan-kutipan dari Kitab Amsal.[3]

    Buku Larry Burkett, Business by the Book, dengan subjudul yang tampaknya agak berlebihan, The Complete Guide of Biblical Principles for Business Men and Women (Panduan Lengkap Prinsip-prinsip Alkitab bagi Pria dan Wanita Pengusaha) [4] mengumumkan Enam Standar Minimum Bisnis Yang Alkitabiah:

    • Mencerminkan Kristus dalam perilaku-perilaku bisnis.

    • Bertanggung jawab.

    • Menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar.

    • Menghormati para kreditor.

    • Memperlakukan karyawan dengan adil.

    • Memperlakukan klien dengan adil.

    Ada banyak upaya lain untuk melakukan hal serupa. Sebagian besar berisi banyak wawasan yang berguna, tetapi seringkali juga berakhir dengan menyajikan skema yang dibuat-buat daripada menyatakan pandangan Alkitab mendasar yang benar-benar membantu memfokuskan perhatian kita pada inti permasalahan.

    Bertolak dari beberapa prinsip Alkitab yang lebih mendasar, Business Through the Eyes of Faith [5] menganggap perintah untuk mengasihi sesama sebagai persoalan etis utama. Hal itu lalu dikembangkan dengan memakai Mikha 6:8 sebagai prinsip yang mengatur dalam menentukan bagaimana Allah mau kita menerapkan kasih dalam bisnis: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Apakah yang dituntut TUHAN darimu selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”[6] Dengan demikian, kasih yang diterapkan melalui keadilan, kebaikan, dan kesetiaan menjadi prinsip etika yang mendasar. Dan kita mendapati Yesus sendiri menekankan pentingnya ketiga unsur yang sama ini di Matius 23:23, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu memberi persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” Hal ini tampaknya lebih mendekati inti etika Kristen sekaligus mengatasi pemisahan/perbedaan besar yang seringkali ada di antara etika pribadi dan sosial. Jika mematuhi beberapa perintah mendasar tampaknya menjadi pendekatan yang lebih baik daripada mencari perintah spesifik untuk setiap hal, maka pertanyaannya menjadi, "Adakah satu perintah Alkitab yang mendasari semua perintah lainnya?"

    Dari Prinsip-Prinsip Panduan Menjadi Satu Perintah Yang Jelas
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Ada daya tarik yang tak terbantahkan untuk mereduksi seluruh perintah moral Alkitab menjadi hanya satu perintah yang menyeluruh. Bagi John Maxwell, ini adalah Aturan Emas, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12). Pendekatan ini hanya perlu mengajukan satu pertanyaan, “Bagaimana saya ingin diperlakukan dalam situasi ini?”[1] Maxwell mengakui bahwa dalam penerapannya mungkin juga diperlukan sejumlah prinsip lain, seperti:

    • Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda.

    • Berjalan sejauh dua mil.

    • Menolong orang yang tidak dapat menolong Anda.

    • Melakukan yang benar ketika melakukan yang salah itu wajar.

    • Menepati janji sekalipun hal itu menyakitkan.

    Sayangnya, cara ini justru menambah dan bukannya mengurangi jumlah perintah yang mendasar. Cara ini juga bisa memasukkan prinsip-prinsip yang tidak secara langsung berasal dari Alkitab.

    Joseph Fletcher, dalam Situation Ethics [2] menundukkan segala sesuatu di bawah “Hukum Kasih” Yesus: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Ia kemudian menghadapi masalah yang sama, dipaksa menemukan sejumlah prinsip lain (empat pra-asumsi dan enam proposisi), untuk menjelaskan bagaimana hal yang paling mengasihi bisa ditentukan. Maxwell ingin menjauhkan diri dari “relativisme moral” Etika Situasi dan, tidak seperti Fletcher, ia tidak berkata bahwa Hukum Kasih adalah satu-satunya prinsip moral absolut dengan cara mereduksi semua aturan moral lainnya menjadi hanya sebagai “pencerahan” yang berguna. Tetapi Maxwell dan Fletcher sama-sama menunjukkan bahwa meskipun kesederhanaan meninggikan satu prinsip itu menarik dan berguna dalam beberapa hal, tetapi cara itu terlalu menyederhanakan dan cukup menyesatkan dalam hal lain.

    Mereka juga menunjukkan ketidakcukupan menggunakan satu pendekatan saja dalam melakukan etika, yang dalam kasus mereka, pendekatan perintah. Kedua contoh ini dimulai dengan meninggikan satu perintah Alkitab absolut, tetapi kemudian beranjak dengan cepat memikirkan berbagai situasi dan konsekuensi untuk menentukan perintah-perintah memenuhi syarat lainnya yang diperlukan untuk memberi kejelasan. Dan cara mereka berbicara tentang kasih menunjukkan bahwa penerapannya bagaimana pun akan sangat bergantung pada karakter pelaku.

    Tiga Prinsip Penyeimbang
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Bagi Alexander Hill, “dasar etika Kristen dalam bisnis adalah karakter Allah yang tidak berubah.”[1] Perintah atau prinsip yang harus dipatuhi manusia ditentukan oleh karakter Allah. Perhatikan bahwa meskipun Hill memulai dengan karakter Allah, metodenya tidak dianggap sebagai bentuk etika berbasis karakter, seperti yang akan dibahas sebentar lagi. Hal ini karena dalam menentukan bagaimana manusia harus bertindak, metode Hill mengembangkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip. Aturan dan prinsip adalah ciri khas etika dengan pendekatan perintah.

    Gambaran karakter Allah yang paling sering dimunculkan berulang-ulang di Alkitab adalah kudus, adil, dan kasih. Hukum, aturan, dan tindakan kita harus menunjukkan kekudusan, keadilan, dan kasih. Hill berpendapat bahwa etika Kristen menuntut ketiga prinsip itu diperhatikan setiap waktu. Setiap prinsip, sama seperti setiap kaki pada bangku berkaki tiga, menyeimbangkan kedua prinsip lainnya. Terlalu menekankan pentingnya yang satu dan mengabaikan yang lain akan selalu menimbulkan distorsi dalam pemikiran etika. Sebagai contoh, terlalu menekankan kekudusan bisa dengan mudah memunculkan aturan-aturan yang membuat orang Kristen menarik diri dari dunia dan masuk ke dalam isolasionisme yang tiada guna. Terlalu menekankan keadilan bisa dengan mudah mendatangkan hukuman-hukuman yang terlampau keras karena melanggar aturan. Terlalu menekankan kasih kadang bisa menyebabkan kerancuan dan kurangnya akuntabilitas.

    Pendekatan Hill tampaknya memberikan keseimbangan yang lebih baik daripada pendekatan yang hanya berfokus pada satu prinsip saja. Pendekatan ini memberi semacam bantuan untuk menjelajahi dimensi-dimensi etika pribadi maupun sosial. Tetapi konsep kasih, keadilan, dan kekudusan masih perlu dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip lain. Harapan mereduksi sedemikian banyak aturan menjadi hanya beberapa prinsip utama saja lagi-lagi tak bisa dicapai.


    Pendekatan Konsekuensi

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Pertanyaan mendasar yang diajukan pendekatan konsekuensi adalah, "Apakah ini akan mendatangkan hasil yang baik?” atau "Opsi mana yang akan mendatangkan hasil terbaik?" Tidak seperti pendekatan perintah (yang opsi terbaiknya ditentukan oleh aturan yang menentukan kebaikan yang melekat pada suatu tindakan), pendekatan konsekuensi ditentukan oleh hasil. Hasil akhirlah yang menentukan tindakan apa yang paling bermoral. Ini melibatkan upaya mengantisipasi dan memperhitungkan hasil-hasil dari berbagai tindakan yang berbeda dan memilih yang benar-benar baik atau seterbaik mungkin.

    Alkitab dan Konsekuensi
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Karena begitu banyaknya orang yang memikirkan etika dalam kerangka Sepuluh Perintah Allah, dan menganggap Alkitab sebagai buku aturan, mungkin mengejutkan mendapati betapa sering Kitab Suci sendiri mendorong pembacanya untuk memikirkan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka dan membiarkan hal ini memengaruhi pengambilan keputusan mereka.

    Sebagai contoh, kitab Amsal berisi banyak peringatan dan janji-janji — pepatah-pepatah sarat makna yang memaparkan kemungkinan hasil dari tindakan tertentu. Contohnya, Amsal 14:14 berkata, "Orang yang murtad hatinya akan kenyang dengan langkah-langkahnya, dan orang yang baik dengan apa yang ada padanya."

    Yesus juga memperingatkan para pendengar-Nya untuk menimbang dengan hati-hati konsekuensi dari setiap keputusan mereka. "Dari buahnyalah kamu akan mengenali mereka" (Matius 7:16). Bahkan, dalam satu hal, seluruh kehidupan dan pelayanan Yesus dapat dipandang sebagai contoh nyata tentang membuat keputusan untuk kebaikan yang lebih besar.

    Ucapan Bahagia juga memperlihatkan aspek konsekuensi yang tersirat — jika kamu ingin "dipuaskan" maka haus dan laparlah akan kebenaran, dst. (Matius 5:6). Begitu pula dengan banyak pesan Kotbah di Bukit lainnya, seperti:

    Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga. (Matius 5:16)
    Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pengawal dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. (Matius 5:25)
    Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. (Matius 6:3-4)
    Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu. (Matius 6:15)

    Memikirkan konsekuensi merupakan pendekatan alkitabiah yang penting dalam kita mengambil keputusan etis. Namun, ada juga sejumlah potensi jebakan dalam pemikiran itu ketika akan menjawab, "Apa yang baik?" "Baik untuk siapa?" "Apakah tujuan yang baik selalu membenarkan cara?" "Apakah konteks memengaruhi apa yang baik?" Mengukur yang baik tidaklah sesederhana yang kelihatan.

    Klik di sini untuk bergabung dalam pembahasan mendalam tentang penerapan praktis etika pendekatan konsekuensi yang terdapat dalam narasi studi kasus Wayne. Setelah membacanya, Anda akan menemukan tautan untuk kembali ke sini. (Tautan ke bagian studi kasus "Mengukur Yang Baik").

    Pendekatan Karakter

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Alih-alih bertanya "Apa aturan-aturannya?" atau "Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?" dalam setiap situasi tertentu, pendekatan kebajikan bertanya, "Akan menjadi orang seperti apakah saya?" Asumsinya, jika seseorang memiliki karakter yang baik, ia kemungkinan akan lebih melakukan hal yang benar/baik dalam berbagai situasi sepanjang hidupnya. Karena itu, pendekatan ini lebih merupakan etika tentang “menjadi” daripada tentang “melakukan”.

    Pendekatan ini juga mengakui bahwa mengetahui hal yang benar — dengan menggunakan pendekatan etika konsekuensi atau perintah — tidak menjamin Anda benar-benar akan melakukan hal yang benar itu. Melakukan hal yang benar membutuhkan karakter. Etika karakter mengembangkan kebiasaan melakukan hal yang benar dengan disertai kemampuan mengetahui hal yang benar. Etika ini tentang karakter Allah yang membentuk karakter kita — tentang apakah kita akan menjadi orang yang lebih kudus, adil, dan mengasihi - tiga ciri karakter yang menonjol dalam Alkitab. Dan ini bukan lagi sekadar prinsip-prinsip yang membimbing kita dalam pengambilan keputusan. Ini adalah sifat-sifat karakter yang menjadi tertanam dalam diri kita sebagai setelan bawaan. Ada beberapa alasan mengapa hal ini sangat penting.

    Pertama, karena cara kita berbicara tentang masalah-masalah etis sejauh ini menunjukkan bahwa kita memiliki waktu dan juga kemampuan untuk berpikir logis dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik dan membuat keputusan yang tepat. Dan kita kadang memang berlaku seperti itu. Namun, bagaimana dengan waktu-waktu pada umumnya? Bukankah sebagian besar keputusan kita dibuat dalam sepersekian detik ketika kita terburu-buru? Bagaimana kita berelasi dengan orang ini, atau menyelesaikan masalah itu, menasihati klien, atau memotivasi orang atau tim yang kinerjanya buruk?

    Kedua, mungkinkah berbagai pilihan etis yang kita buat sebenarnya sudah ditentukan sebelum kita membuat keputusan? Bahwa karakter kita secara otomatis memengaruhi banyak hal yang akan kita putuskan? Dan karena itu, keputusan-keputusan etis kita kebanyakan ditentukan oleh siapa kita (karakter dan nilai-nilai yang kita anut) daripada proses pengambilan keputusan yang kita gunakan.

    Ketiga, apakah kita benar-benar orang yang membuat keputusan pribadi dengan bebas, atau apakah keputusan kita banyak ditentukan oleh komunitas-komunitas kita? Apakah karakter dan komunitas terjalin erat dengan nilai-nilai kita secara tak terpisahkan saat berbicara tentang etika?

    David Cook berpendapat bahwa kita jarang membuat keputusan moral yang disadari.[1] Kita sering tidak berpikir dalam hal moral, kita hanya berespons secara spontan. Jika demikian halnya dan reaksi kita sebenarnya hanya bersifat naluriah, maka pentingnya mengembangkan karakter ilahi semakin kuat, karena kita sedang membuat begitu banyak pilihan etis secara otomatis. Orang baik memiliki peluang yang lebih besar untuk membuat pilihan-pilihan yang baik.

    Kebajikan Yang Mana?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Sebagaimana pendekatan perintah dan konsekuensi harus menentukan perintah dan konsekuensi yang mana yang benar-benar baik, pendekatan karakter harus menentukan kebajikan yang mana yang baik. Aristoteles mengajarkan kebajikan Yunani klasik: keadilan, ketabahan, kebijaksanaan, pengendalian diri. Santo Ambrosius (339-397) mengakui kebajikan-kebajikan ini tersirat dalam Alkitab, tetapi ia juga menambahkan tiga kebajikan "teologis" spesifik lain dari Alkitab — iman, pengharapan, dan kasih. Teolog abad pertengahan Thomas Aquinas kemudian membandingkan kebajikan-kebajikan ini dengan sifat-sifat buruk yang sepadan - yang kita kenal dengan tujuh dosa maut.

    Etika kebajikan tetap menonjol dalam pemikiran Katolik, tetapi para teolog Protestan baru akhir-akhir ini mulai antusias menjelajahi pendekatan karakter. Kebanyakan mereka sudah memandang Alkitab sebagai sumber kebajikan. Kita telah melihat Alexander Hill mengidentifikasi kebajikan-kebajikan alkitabiah seperti kekudusan, keadilan, dan kasih sebagai kebajikan-kebajikan utama Allah. Meskipun demikian, ia menempatkan pendekatan kebajikan di bawah pendekatan aturan. Ia tidak berkata bahwa manusia harus mengembangkan kebajikan-kebajikannya sendiri. Sebaliknya ia berkata bahwa manusia harus mengembangkan aturan-aturan yang sesuai dengan kebajikan-kebajikan Allah.

    Para teolog Protestan yang mencoba mengidentifikasi kebajikan-kebajikan Kristen yang harus dikembangkan manusia cenderung berfokus secara khusus pada kehidupan dan pengajaran Yesus. Stassen dan Gushee berkata:

    Alkitab tidak datar; Kristus adalah puncak dan pusatnya. Tidak ada masalah moral yang layak dibahas tanpa memikirkan makna Yesus Kristus sebagai bahan pertimbangan untuk masalah itu. [1]

    Bagi Stassen dan Gushee, titik awal yang jelas untuk memikirkan kebajikan-kebajikan spesifik yang harus didambakan para pengikut Yesus adalah Kotbah di Bukit, khususnya Ucapan Bahagia. Miskin rohani, murah hati, haus/lapar akan kebenaran, lemah lembut/rendah hati, pembawa damai, berbelas kasihan - adalah beberapa kualitas utama yang harus dikembangkan. Bagi Yesus, tindakan dan perilaku kita adalah manifestasi dari sikap hati, motif, dan kualitas karakter yang jauh lebih mendasar (Markus 7:21-22). Rasul Paulus juga menekankan pentingnya pengembangan karakter. Sebagai contoh, di surat Galatia, ia menasihati orang-orang yang telah menjadi milik Yesus agar tidak memuaskan keinginan "daging", tetapi mempersilakan Roh Kudus menumbuhkan "buah" seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:16-25). Kepada jemaat di Filipi, Paulus menulis, "Hendaklah kamu… tanpa mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri.... Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus" (Filipi 2:3-5).

    Yesus adalah teladan kita. Teladan-Nyalah yang harus kita tiru. Karakter-Nyalah yang harus kita kembangkan melalui pekerjaan Roh-Nya. Referensi-referensi ini menunjukkan penekanan yang sangat kuat di Perjanjian Baru untuk menumbuhkan karakter Yesus.

    Klik di sini untuk pembahasan mendalam tentang penerapan praktis etika pendekatan konsekuensi. Setelah membacanya, Anda akan menemukan tautan untuk kembali ke sini. (Tautan ke bagian studi kasus "Bagaimana karakter bertumbuh dan berkembang dalam hidup kita”).

    Siapa Yesus Yang Sebenarnya?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Sebagai orang Kristen, kita ingin menjadi seperti Yesus (1 Yohanes 3:2). Karena itu, kita harus benar-benar menyadari bahaya yang kita hadapi ketika kita “membingkai ulang” perintah-perintah Yesus, konsekuensi-konsekuensi dan karakter yang diinginkan, dengan cara yang kurang menantang gaya hidup dan pandangan dunia kita sendiri. “Menjadikan” Yesus menurut gambaran kita sendiri adalah godaan yang kita semua hadapi. Sangat mudah, terutama di komunitas-komunitas yang relatif makmur, untuk secara tidak sadar memfilter dampak kehidupan dan pengajaran Yesus yang sangat besar pada lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik, sehingga yang tersisa hanyalah Yesus yang menangani sejumlah kecil isu moral “pribadi” saja. “WWJD - What Would Jesus Do“ (Apa Yang Akan Yesus Lakukan) bisa dengan mudah diremehkan. Riset menunjukkan bahwa kebanyakan orang yang pergi ke gereja secara teratur hanya menunjukkan pemahaman etis yang berbeda dari kebanyakan orang dalam beberapa hal yang terkait isu perilaku seksual, kejujuran pribadi, dan penumpukan kekayaan saja.[1] Dalam banyak hal lainnya, kita lebih dibentuk oleh nilai-nilai budaya kita daripada etika Yesus.

    Yang menggembirakan dari riset ini adalah penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa pergi ke gereja membuat perbedaan dalam pemahaman etis kita. Namun sayangnya, hanya dalam beberapa hal tertentu saja, karena persoalan etis yang disampaikan di gereja secara teratur tidak mencakup sebagian besar masalah etis di dunia kerja dan bisnis. Fakta bahwa para CEO Enron dan WorldCom bisa mengaku menjadi orang Kristen yang taat karena dukungan gereja menunjukkan beberapa titik buta? Kita harus berusaha lebih keras untuk mengatasi lebih banyak masalah di dunia kerja dengan cara kita menceritakan, merayakan, dan mengeksplorasi cerita Kristen.

    Karakter Kristen berkembang bukan hanya sebagai hasil transformasi pribadi. Karakter Kristus berkembang terutama dalam konteks komunitas. Sebagaimana ditulis Benjamin Farley:

    Perjanjian Baru, selaras dengan Alkitab Ibrani, menekankan konteks yang tak tergantikan dalam komunitas orang percaya….Di dalam konteks iman, pengharapan, dan kasih yang merawat inilah … kehidupan Kristen, sebagai sebuah proses, berlangsung. Bukan persoalan pribadi saja, tetapi dihadapkan pada budaya asing dan bermusuhan itulah yang membentuk tindakan moral Kristen [2]

    Kita jauh lebih mungkin menjadi orang baik jika kita berkomitmen pada komunitas yang berusaha menceritakan kembali, memahami, menerima, dan menghidupi cerita Injil – terutama jika komunitas ini juga berkomitmen untuk menemukan gambar karakter Yesus yang lebih jelas, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan tidak mengenakkan yang membantu kita menghadapi pandangan kita yang terbatas tentang kehidupan yang baik. Jika hal ini terjadi, kita kemungkinan tidak akan meniru banyak contoh menyedihkan tentang orang Kristen yang berbisnis dengan cara yang tidak Kristen.

    Menggabungkan Semuanya

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Nah, kita sudah membahas tentang Perintah, Konsekuensi, dan Karakter. Tiga pendekatan etika yang berbeda. Pada kenyataannya, beberapa gabungan pendekatan ini sering muncul saat menghadapi situasi nyata sehari-hari. Sebagai contoh, sulit untuk memikirkan penerapan perintah atau aturan tertentu tanpa juga memikirkan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan itu. Sementara pada saat yang sama, memilih di antara berbagai konsekuensi yang diantisipasi bergantung pada mengetahui prinsip-prinsip apa yang kita prioritaskan dalam menentukan yang terbaik. Dan, apa pun yang ditentukan dalam teori itu, karakterlah yang akhirnya menentukan bagaimana seseorang memilih untuk bertindak.

    Oleh karena itu, dalam membuat keputusan moral, kita akan mendapati diri kita berada dalam tarian etis yang melibatkan interaksi-interaksi yang saling memengaruhi di antara berbagai pendekatan ini.

    Rangkuman Ketiga Pendekatan

    Deontologi

    Teleologi

    Kebajikan

    Konsep Kunci

    Perintah/Aturan

    Konsekuensi/Hasil

    Karakter

    Pertanyaan Utama

    Apa aturan yang berlaku?

    Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?

    Apakah saya akan menjadi orang baik?

    Seringkali, pendekatan yang kita gunakan tergantung pada sifat situasi yang kita hadapi. Sebagai contoh, apakah kita sedang berusaha menyelesaikan persoalan moral yang besar ataukah memutuskan pilihan moral sehari-hari yang lebih sederhana. Mari kita jelaskan maksudnya.

    Menyelesaikan Persoalan Moral Yang Besar
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Banyak pengajaran tentang etika bisnis dibangun dengan menelaah studi-studi kasus yang penting dan dikembangkan sebagai respons terhadap persoalan moral yang besar; khususnya tantangan-tantangan yang muncul ketika prinsip-prinsip penting saling berbenturan dan tampaknya mengarahkan kepada solusi yang berbeda-beda. Usaha menyelesaikan masalah semacam itu cenderung dimulai dengan menekankan pentingnya mengembangkan metode penalaran moral dalam menghadapi tantangan itu. Model itu biasanya menekankan pentingnya memikirkan aturan-aturan yang relevan dan memperhitungkan kemungkinan hasilnya dengan tujuan membandingkan dan mempertimbangkannya untuk menemukan opsi tindakan terbaik dalam konteks itu. Penekanan pada kebajikan dan karakter dalam hal ini terutama berkaitan dengan memastikan ada cukup motivasi dan tekad untuk menjamin dihasilkannya tindakan yang tepat. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

    Model Prioritas Aturan/Konsekuensi (keputusan-tindakan)

    Menentukan hal apa yang benar yang harus dilakukan dalam setiap situasi →

    Menetapkan aturan (perintah) yang berlaku

    Menemukan hasil (konsekuensi) terbaik

    Menjadi orang baik dengan melakukan hal yang benar dalam segala situasi →

    Melakukan yang Anda tentukan benar (karakter)

    Jenis metode yang dianjurkan biasanya terlihat seperti ini:[1]

    1. Mengumpulkan semua fakta yang relevan.

    2. Memperjelas masalah-masalah etis utama.

    3. Mengdentifikasi aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang relevan untuk kasus itu.

    4. Merujuk ke sumber-sumber panduan yang penting — terutama Alkitab, dengan keterbukaan pada cara terbaik dalam membaca Alkitab untuk mengatasi situasi ini. Namun juga merujuk ke sumber-sumber yang relevan lainnya.

    5. Meminta bantuan orang-orang di komunitas yang mengenal Anda dan situasi itu. Ini akan membantu Anda terhindar dari penipuan diri atau terlalu memperhatikan kecenderungan/ prasangka tertentu Anda.

    6. Membuat daftar semua tindakan alternatif.

    7. Membandingkan alternatif-alternatif itu dengan prinsip-prinsip.

    8. Menghitung kemungkinan hasil dari setiap tindakan dan memikirkan konsekuensi-konsekuensi.

    9. Merenungkan keputusan Anda dalam doa di hadapan Tuhan.

    10. Membuat keputusan dan menindaklanjutinya.

    11. Membangun sistem dan kebiasaan praktik yang membentuk karakter organisasi/masyarakat agar cenderung melakukan yang telah Anda tentukan benar sebagaimana yang seharusnya.

    12. Menemukan cara-cara untuk terus-menerus melakukan aktivitas-aktivitas yang memang bagian dari melakukan hal yang benar seperti yang telah Anda tentukan.

    Pilihan Moral Sehari-hari
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Model kedua mengakui bahwa sebagian besar keputusan etis dalam kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari dibuat secara instan, seringkali di bawah tekanan dan tanpa banyak kesempatan untuk berpikir panjang. Keputusan-keputusan ini adalah hasil dari kebiasaan-kebiasaan seumur hidup dan juga dipengaruhi oleh budaya tempat kita bekerja, kelompok sebaya dan komunitas iman kita. Sejauh mana kebajikan dan karakter Kristen telah tertanam dalam diri kita juga ikut memengaruhi. Inilah pemuridan Kristen yang umum. Tetapi pentingnya “menjadi” sebagai dasar untuk kita “melakukan” tidak berarti penalaran moral tidak diperlukan. Dalam kehidupan yang baik, masih ada tempat untuk memahami aturan-aturan dan memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi. Namun dalam hal ini, aturan dan konsekuensi berada di bawah kebajikan dan dipandang sebagai pelayan, bukan tuan. Ini memutarbalik prioritas yang ditunjukkan pada diagram sebelumnya:

    Model prioritas-karakter (perkembangan etis)

    Menjadi orang baik →

    Mengembangkan karakter yang baik agar memiliki kebijaksanaan dan ketekunan untuk mematuhi aturan dan menemukan hasil (karakter) terbaik

    ↓ ↓

    Menentukan hal yang benar untuk dilakukan ketika situasi tidak jelas →

    Menentukan aturan yang berlaku dalam setiap situasi (perintah)

    Menemukan hasil terbaik dalam setiap situasi (konsekuensi)


    Ini tidak berarti bahwa penekanan pada kebajikan juga tidak menimbulkan masalah moral, karena kita bisa saja menemukan kebajikan-kebajikan saling bersaing dan menarik ke arah yang berbeda-beda. Contohnya, keberanian dan kehati-hatian dapat menarik ke arah yang berbeda, atau keadilan dan kedamaian, atau kesetiaan dan kebenaran. Membuat keputusan moral yang baik dalam hal-hal seperti ini bukan tentang mencari satu jawaban yang benar karena ada kemungkinan jawabannya tidak hanya satu. Membuat keputusan moral yang baik di sini lebih tentang melihat alternatif-alternatif sebagai ketegangan yang dapat memunculkan respons-respons kristiani yang seimbang.

    Membuat Keputusan Etis di Dunia Yang Telah Jatuh
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Sejauh ini kita sudah berbicara seolah-olah kita memiliki kemampuan untuk mematuhi aturan-aturan Allah, mencari hasil yang dicari Allah, menjadi karakter yang diinginkan Allah pada diri kita. Padahal biasanya kita sangat jauh dari kemampuan itu. Kita bisa tidak memiliki kekuatan atau posisi untuk melakukan hal yang benar. Kita bisa tidak memiliki keberanian. Kita bisa tersandung oleh keinginan, sikap, ketakutan, relasi-relasi, dan faktor-faktor lain diri kita sendiri yang tidak benar.

    Terkadang kita tidak hanya kekurangan kemampuan, tetapi juga pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan yang benar. Mungkin aturan Allah tidak jelas ketika menyangkut perang atau bioetika, misalnya. Mungkin kita tidak tahu hasil yang mana yang dikehendaki Allah ketika pilihannya adalah bekerja sebagai pelacur atau melihat anak-anak kita kelaparan. Mungkin kita tak dapat membayangkan karakter seperti apa yang Yesus inginkan dari kita di tempat kerja ketika orang-orang tampaknya kompeten namun berpikiran sempit, atau tidak kompeten namun baik hati.

    Dalam banyak situasi kerja dan kehidupan, kita benar-benar tak dapat mencapai solusi yang sempurna. Kita sering menghadapi pilihan bukan antara yang lebih baik dan terbaik, tetapi antara yang buruk dan lebih buruk. Meskipun demikian, Allah tetap bersama kita. Pendekatan etika Kristen tidak menghukum kita untuk gagal jika kita tidak dapat menggapai kesempurnaan. Sebaliknya, pendekatan ini memberi kita sumber daya untuk melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, atau setidaknya melakukan yang lebih baik daripada yang biasanya kita lakukan. Dalam sistem yang korup, mungkin tidak banyak yang dapat kita lakukan untuk membuat perbedaan nyata. Meskipun demikian, Alkitab memberi kita gambaran tentang maksud Allah dalam segala sesuatu, meskipun kita tak dapat menggapainya dalam waktu dekat. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi alasan untuk berharap, bukan merasa bersalah. Allah telah memilih memasuki kehidupan manusia — dalam diri Yesus — di tengah rezim yang korup. Dia menderita konsekuensi terburuk, tetapi muncul sebagai pemenang oleh kasih karunia Allah. Kita pun dapat mengharapkan hal yang sama sebagai pengikut Yesus. “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan supaya dunia diselamatkan melalui Dia” (Yohanes 3:17).

    Pada akhirnya, semua bermuara pada kasih karunia. Kasih karunia Allah dapat memperjelas bagi kita apa itu hal yang benar. Kasih karunia Allah dapat membuat kita mampu melakukan yang kita tahu benar. Bahkan jika kita gagal, kasih karunia Allah dapat mengampuni kita dan memungkinkan kita untuk mencoba lagi.

    Kejatuhan dunia adalah salah satu alasan terpenting untuk menganggap pendekatan karakter sangat penting. Kita mungkin tidak dapat mematuhi semua aturan Allah atau menginginkan semua hasil yang diinginkan Allah. Namun, dengan kasih karunia Allah, kita dapat berlatih melakukan sesuatu yang lebih baik hari ini daripada yang kita lakukan kemarin. Jika kita tak melakukan apa-apa pun selain mengatakan kebenaran satu kali pada hari ini ketika kita sudah akan berbohong kemarin, karakter kita telah menjadi sedikit lebih seperti yang Allah inginkan. Pertumbuhan seumur hidup secara etis untuk menjadi lebih baik, sedikit demi sedikit, membuat perbedaan yang nyata.

    Kesimpulan

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Alkitab adalah sumber utama perintah-perintah yang harus kita patuhi, konsekuensi-konsekuensi yang harus kita inginkan, dan karakter-karakter yang harus kita bentuk sebagai pengikut Yesus Kristus. Meskipun perintah-perintah Alkitab adalah hal pertama yang mungkin terlintas di pikiran saat kita berpikir tentang etika Kristen, konsekuensi dan karakter juga merupakan unsur-unsur esensial dalam etika Kristen. Bagi kebanyakan dari kita, cara paling efektif untuk menjadi lebih etis mungkin adalah dengan lebih memerhatikan bagaimana tindakan dan keputusan kita di tempat kerja membentuk karakter kita. Keputusan etis terbaik di tempat kerja dan tempat-tempat lainnya adalah keputusan yang membentuk karakter kita menjadi makin seperti Yesus. Pada akhirnya, oleh kasih karunia Allah, “kita akan menjadi sama seperti Dia” (1 Yohanes 3:2).

    Presentasi Etika Naratif (Kasus)

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Klik di sini jika Anda hendak kembali ke bagian awal artikel Etika Kerja.

    Kasus Transmisi Yang Rusak

    Wayne adalah seorang Kristen pedagang mobil. Lebih dari dua belas bulan yang lalu, Wayne menjual Toyota Camry bekas kepada seorang klien yang beritikad baik. Mobil itu telah diperiksa secara menyeluruh sebelum dijual dan dipastikan dalam kondisi di atas rata-rata untuk kisaran harganya. Sekarang, dua belas bulan kemudian, klien itu menelepon Wayne. Ada masalah yang baru muncul pada transmisi otomatisnya. Apa yang akan dilakukan Wayne untuk menyelesaikan masalah itu? Penjualan mobil itu sudah lama, tetapi Wayne juga bersimpati pada kesulitan klien itu. Haruskah ia (Wayne bertanya-tanya) bertanggung jawab atas masalah itu dan menanggung biaya perbaikan transmisi? Secara realitanya, ini berarti memilih untuk menanggung kerugian finansial atas mobil Camry itu. Menambah biaya perbaikan akan membuat mobil itu lebih mahal bagi Wayne daripada harga jual yang ia berikan. Alih-alih langsung berkomitmen untuk melakukan tindakan tertentu, Wayne memberi tahu klien itu bahwa ia akan menghubunginya lagi dalam waktu satu hari.

    Saat Wayne menutup telepon, sejumlah keresahan mulai berkecamuk di benaknya. Siapa yang harus menanggung biayanya, Wayne atau kliennya? Atas dasar apa Wayne harus membuat keputusan? Dan dengan cara apa iman Kristennya memengaruhi yang ia pilih untuk dilakukan?

    1. Perintah-perintah apa yang seharusnya dipatuhi orang Kristen?

    2. Konsekuensi-konsekuensi apa yang seharusnya diinginkan orang Kristen?

    3. Karakter seperti apa yang seharusnya ditunjukkan orang Kristen?

    Kita akan tetap bersama Wayne sementara ia memikirkan setiap pendekatan ini.

    Pendekatan Perintah

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Ketika Wayne memikirkan masalahnya dengan mobil itu, ia bertanya-tanya apakah ada aturan atau perintah sederhana yang dapat membantunya menentukan hal yang benar untuk dilakukan. Satu titik awalnya cukup jelas — apakah hukum negara memberikan jawaban yang jelas? Bagaimana aturan hukum itu?

    Apa Saja Kewajiban Wayne Menurut Hukum Itu?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Wayne tahu bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen (di Selandia Baru) memberikan enam garansi kepada konsumen tentang kendaraan yang dibeli. Yang terpenting adalah kendaraan itu harus memiliki kualitas yang sesuai. Kendaraan itu harus:

    • Sesuai dengan tujuan penggunaan jenis kendaraan itu.

    • Dapat diterima dari segi ‘finishing’ (hasil pengerjaan akhir) dan penampilan.

    • Bebas dari cacat-cacat kecil.

    • Aman.

    • Tahan lama — dengan kata lain, kendaraan itu dapat digunakan untuk pemakaian normal selama jangka waktu yang wajar setelah pembelian.

    • Usia dan harga kendaraan harus diperhitungkan saat memutuskan apakah kendaraan itu memenuhi kualitas yang layak.

    Jadi, berapa lama yang dianggap sebagai jangka waktu yang "wajar" setelah pembelian? Tidak ada jawaban yang ditentukan dengan jelas untuk pertanyaan ini, sehingga kewajiban hukum Wayne tidak pasti. Tetapi, untuk mobil Camry umur tujuh tahun dengan jarak tempuh sedang seperti yang dijual Wayne, tiga bulan atau 5000 kilometer (km) akan dianggap sebagai jangka waktu yang "wajar" bagi Wayne untuk secara hukum berkewajiban memperbaiki mobil itu. Klien bisa saja berpikir bahwa enam atau dua belas bulan itu "wajar". Tetapi jangka waktu dua belas bulan kemungkinan tidak akan diakui jika suatu saat diproses secara hukum di pengadilan.

    Wayne bertanya kepada klien itu berapa kilometer ia telah mengendarai mobil itu selama dua belas bulan. Jawabannya adalah 22.000 km. Hal ini menunjukkan pada Wayne bahwa ia sebenarnya tidak memiliki kewajiban hukum untuk memperbaiki kerusakan itu. Jangka waktu setelah penjualan maupun jarak yang sudah dilalui jauh melampaui batas garansi yang "wajar" untuk mobil dengan usia dan jarak tempuh seperti ini.

    Perintah Hukum dan/atau Moral?

    Meskipun Wayne merasa yakin ia tidak memiliki kewajiban hukum untuk membayar biaya perbaikan, keresahannya tentang masalah itu belum berakhir. Ia tahu bahwa legalitas dan moralitas bukanlah hal yang sama. Hukum biasanya menetapkan standar moral minimum masyarakat untuk melindungi orang-orang. Wayne teringat pada suatu kejadian yang diceritakan temannya baru-baru ini. Dewan Direksi perusahaan tertentu sedang rapat membicarakan sebuah proposal bisnis. Tanggapan awal yang dibahas adalah tentang legalitas proposal itu, yang segera menjadi jelas bahwa usulan itu tidak melanggar hukum. Namun kemudian seorang direktur berkata, "Memang legal, tetapi apakah itu benar?"

    "Begitu pertanyaan itu diajukan," kata teman Wayne, "keheningan menyelimuti ruang rapat, karena kami semua tahu jawabannya adalah 'Tidak', bahkan sebelum kami sempat membahas alasannya."

    Wayne tahu bahwa yang dikatakan hukum itu jelas tidak cukup. Tetapi, berpikir melampaui standar minimum hukum tidak selalu mudah. ​​Standar lebih tinggi apa yang harus dipatuhi sebuah perusahaan? Ada suatu masa di masyarakat Barat ketika prinsip-prinsip etika Kristen menjadi standar yang lebih tinggi yang diterima secara luas — jika tidak secara universal. Di Amerika, perusahaan J.C. Penney — jaringan toserba besar — ​​dikenal sebagai "Toserba Aturan Emas," dan dianggap tepat untuk membuat ketentuan layanan pelanggan yang didasarkan perintah-perintah Alkitab. Tak diragukan hal serupa berlaku (atau masih berlaku) di masyarakat yang diidentikkan dengan satu agama atau filsafat tertentu.

    Namun seiring dengan makin sekulernya masyarakat Barat, pertimbangan agama menjadi tidak dapat diterima lagi sebagai dasar etika perusahaan. Padahal, tidak ada sumber panduan etika lain yang dapat diterima secara luas seperti yang pernah diterima etika alkitabiah saat itu. Secara umum ini berarti tidak ada sumber panduan etika selain yang hanya sekadar mematuhi hukum. Ini menjadi masalah bagi banyak sekolah bisnis ketika mereka hendak membicarakan etika. Karena ingin menegaskan status sekuler mereka dan menunjukkan bahwa mereka bebas dari keberpihakan atau campur tangan agama, mereka akhirnya seringkali mengabaikan moralitas dan nilai-nilai. Hasilnya adalah fokus yang sempit yang hanya berkutat di sekitar hal-hal yang legal saja. Diskusi di antara para direktur perusahaan di atas menunjukkan kepicikan sikap ini. Mereka semua tahu ada yang salah, tetapi mereka tidak punya cara untuk membicarakannya.

    Perintah Yang Melampaui Hukum

    Meskipun ada banyak kesulitan, pendekatan etika Kristen mencari perintah Allah yang akan mengatakan dengan jelas apa yang benar dan yang salah. Dalam beberapa hal, tidak sulit menemukan ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang masalah kerja dan ketenagakerjaan, misalnya. Dalam hal-hal lainnya, mungkin sangat sulit untuk mengidentifikasi, memahami, atau menerapkan ayat-ayat Alkitab dengan tepat. Bagaimana kita tahu aturan dan prinsip yang mana yang berlaku untuk situasi tertentu? Ada banyak sistem yang berbeda dalam menerapkan ayat Alkitab.

    Jadi, dari mana Wayne mulai mencari jawaban atas persoalannya ini?

    Aturan untuk Setiap Situasi?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Dalam kegalauannya, Wayne mencari pertolongan dari rak bukunya. Ia menemukan buku yang bisa jadi berisi hal yang ia cari — The Businessman’s Topical Bible. [1] Pandangan sekilas menunjukkan bahwa buku ini bisa menyelesaikan masalah. Buku ini mencari ayat Alkitab tertentu untuk memberi aturan yang berkaitan dengan masalah pekerjaan tertentu yang dihadapi.

    Wayne meninjau halaman-halamannya. Di dalam buku itu, penulis Mike Murdock mencantumkan 1550 ayat Alkitab untuk “memberikan wawasan Allah tentang situasi dan kondisi yang dihadapi setiap hari di dunia bisnis saat ini.” Ayat-ayat ini dikelompokkan dalam beberapa bagian, seperti “Sikap Anda”, “Pekerjaan Anda”, “Jadwal Harian Anda”, “Keluarga Anda”, “Keuangan Anda”, “Pebisnis dan Integritas”, atau “Ketika Pelanggan Tidak Puas."
    [2] Hampir 100 topik tercakup, yang meliputi berbagai situasi bisnis secara umum.

    Saat membaca beberapa bagian, Wayne memerhatikan bahwa penulis tidak mencoba menjelaskan metode tertentu dalam membuat keputusan. Ia hanya mencantumkan ayat-ayat Alkitab yang ia pikir relevan dengan setiap situasi, tanpa penjelasan atau penafsiran apa pun. Implikasinya ayat-ayat itu langsung diterapkan dan menjelaskan-sendiri.

    Wayne menemukan beberapa topik yang awalnya ia pikir bisa membantu mengatasi masalahnya:

    • “Ketika pelanggan tidak puas” yang mencantumkan ayat-ayat seperti 2 Timotius 2:24: “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus pandai mengajar, sabar” dan Lukas 6:35: “Kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan tanpa mengharapkan balasan apa pun. Upahmu akan besar.”

    • “Pebisnis dan Integritas,” yang mengutip Mazmur 112:5: “Bahagialah orang yang menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan adil.”

    • “Pebisnis dan Negosiasi,” yang meliputi 2 Timotius 1:7: “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan penguasaan diri.”[3]

    Setelah mempelajari lebih dalam, Wayne mendapati bahwa ayat-ayat Alkitab acak ini tidak banyak membantunya. 2 Timotius 2:24 tampaknya memberi nasihat yang bertentangan dengan 2 Timotius 1:7, dan bagaimanapun, 2 Timotius 1:7 berbicara tentang pengajaran, bukan tentang pembayaran kembali. Lukas 6:35 berbicara tentang musuh, bukan klien. Ayat-ayat ini tampaknya benar-benar tidak berlaku untuk situasi Wayne. Bahkan, salah satu masalah yang bisa timbul dari pendekatan semacam itu adalah, jika Alkitab dipandang sebagai "buku jawaban" atas semua situasi yang kita hadapi, kita bisa dengan mudah tergoda untuk mengambil ayat-ayat di luar konteksnya dan mengartikannya secara berbeda dari yang dimaksud penulis aslinya. (Ini sering disebut "proof-texting" – sekadar mencomot ayat Alkitab untuk mendukung suatu situasi tanpa memerhatikan konteks ayat keseluruhannya-Pen).

    Ketika kita memulai dengan "masalah" dan mencari "jawaban," kita sebenarnya sedang menggunakan Kitab Suci secara terbalik. Risikonya adalah kita hanya mencomot ayat yang sesuai dengan rancangan yang telah kita tentukan sebelumnya dan mengabaikan semua hal lainnya, bukannya membiarkan Alkitab berbicara sendiri dan membiarkan tema-tema dan pesan-pesan yang sesuai membuktikan diri melalui pembacaan dan pembacaan-ulang ayat itu.

    Sebagai contoh, ketika Wayne mempelajari lebih dalam bagian "Ketika pelanggan tidak puas," ia memerhatikan ayat Lukas 21:19: "Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu." Ketika ia membaca perikop ayat itu, ia menyadari bahwa ayat itu sama sekali tak ada hubungannya dengan pelanggan yang tidak puas dalam bisnis. Lukas sedang mengutip perkataan Yesus kepada para pengikut-Nya, yang memberitahukan apa yang harus mereka lakukan ketika mereka ditangkap dan dianiaya karena iman mereka! Ayat itu telah diambil di luar konteks, sama seperti banyak ayat lainnya di bagian-bagian yang dibaca Wayne.

    Ada bahaya lain dari mencari aturan Alkitab untuk setiap situasi. Tindakan semacam itu bisa dengan mudah tergelincir ke dalam semacam reduksionisme dan legalisme. Kita hanya perlu mengingat para ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk mengetahui seperti apa hal ini. Dalam kerinduan mereka yang tulus untuk menaati Allah, mereka memerinci hukum menjadi serangkaian hal-hal khusus yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang pada akhirnya membutakan mereka tentang legalisme dan kesombongan mereka sendiri, alih-alih membantu mereka menaati Allah.

    Jika ini terdengar seperti kritik keras terhadap para ahli Taurat dan orang Farisi, mari kita perhatikan secara singkat saja di sini bahwa hal yang mereka coba lakukan itu sebenarnya mengagumkan. Mereka adalah beberapa dari sedikit orang yang secara serius berusaha menerapkan iman dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bisnis. Mereka menyadari bahwa iman bukan hanya tentang menjalankan ritual di bait suci dan menghadiri pertemuan-pertemuan di sinagoge. Mereka berusaha menentukan apa artinya menjadi saleh dalam setiap aspek kehidupan. Masalahnya adalah, satu-satunya cara yang mereka tahu untuk melakukan hal itu adalah dengan berusaha menetapkan aturan untuk setiap situasi. Dan ini menimbulkan ledakan aturan-aturan yang jauh melampaui yang sebenarnya dikatakan Kitab Suci, namun tetap saja gagal mencakup setiap situasi.

    Sebagai contoh, ambillah kerinduan mereka untuk memenuhi perintah tentang memelihara hari Sabat. Dalam upaya memastikan seperti apa praktiknya tentang hal ini, mereka sama sekali telah mengabaikan dan kehilangan makna tentang hal itu, bahkan mencaci-maki Yesus karena berani menyembuhkan orang pada hari Sabat! Mereka menjadi tawanan dari aturan-aturan yang mereka buat sendiri, dan dengan berbuat demikian mereka justru menghalangi dan bukannya membantu orang mematuhi isi perintah itu.

    Jadi, upaya untuk merumuskan buku aturan lengkap berdasarkan Kitab Suci yang akan membahas setiap persoalan etis yang mungkin kita hadapi dalam konteks pekerjaan kita merupakan pencarian yang sia-sia dan tak ada gunanya. Alkitab bukan saja tidak mencakup ribuan situasi yang terjadi di dunia bisnis, tetapi bahkan jika kita berusaha memaksanya untuk melakukannya, kita justru berisiko mengatakan hal-hal yang sebenarnya tak pernah dimaksudkan ... atau yang lebih buruk lagi, meremehkan Kitab Suci dan tidak memahami maksudnya sama sekali.

    Namun, meskipun Alkitab tidak dapat dan tidak seharusnya diubah menjadi buku aturan yang komprehensif tentang etika kerja, Alkitab tetap berisi perintah/aturan yang penting dan relevan. Banyak perkataan dalam Kitab Suci yang jelas dan mudah diterapkan. Tidak setiap situasi yang kita hadapi di dunia kerja itu pelik. Dalam banyak kegiatan bisnis, tidak sulit untuk menemukan nasihat Alkitab. Jika Kitab Suci mengatakan (misalnya, Kolose 3:22) kita perlu bekerja sepenuh hati untuk tuan kita di bumi ("bos" atau majikan kita), maka kita harus melakukannya. Jika Alkitab memperingatkan kita terhadap kemalasan dan sikap tidak bertanggung jawab dalam mencari nafkah (misalnya, 2 Tesalonika 3:10-12), maka itulah yang seharusnya menjadi tujuan kita. Ketika Alkitab memerintahkan kita untuk menyelesaikan konflik dengan cara berbicara langsung dengan orang yang bermasalah dengan kita, ada pedoman yang perlu kita ikuti. Ketika Alkitab melarang kita untuk mencuri atau memfitnah orang lain, kita harus mematuhi perintah-perintah itu dengan tepat.

    Prinsip Yang Lebih Besar?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Dengan rasa kecewa, Wayne menaruh kembali buku itu di tempatnya. Saat melakukannya, ia melihat judul lain yang menarik perhatiannya — Business By The Book.[32] Karena penasaran, ia mengambil buku itu dan langsung mendapati bahwa pendekatan penulis Larry Burkett adalah mengidentifikasi prinsip-prinsip dalam Alkitab. Yang dimaksud dengan "prinsip-prinsip" di sini adalah pengajaran yang lebih luas dan lebih umum daripada aturan-aturan, tetapi masih dalam bentuk perintah yang berasal dari Alkitab tentang hal yang benar yang perlu dilakukan.

    Subjudul buku itu, tulis Wayne, adalah "The Complete Guide of Biblical Principles for Business Men and Women” (Panduan Lengkap Prinsip-prinsip Alkitab bagi Pria dan Wanita Pengusaha." Buku ini tampak menjanjikan. Jadi ia mulai membaca. Jelas bahwa Business by the Book berasumsi Allah telah menetapkan dalam prinsip-prinsip-Nya petunjuk etis yang diperlukan untuk "menjalankan bisnis dengan cara-Nya." Menurut Burkett, Alkitab berisi berbagai ketetapan, perintah, dan prinsip yang merupakan “rencana Allah bagi umat-Nya dalam bisnis.”[33]

    Yang mendasar dari prinsip-prinsip ini adalah Sepuluh Perintah Allah — yang menurut Burkett merupakan standar minimum yang membedakan umat Allah dari orang-orang di sekitar mereka. Maka ada “standar minimum lain yang membedakan pengikut Allah dari orang lain di dunia bisnis.”[34]

    Dalam hal ini, Burkett mengembangkan “enam standar minimun bisnis yang alkitabiah.” Yaitu:

    • Mencerminkan Kristus dalam perilaku-perilaku bisnis.

    • Bertanggung jawab.

    • Menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar.

    • Menghormati para kreditor.

    • Memperlakukan karyawan dengan adil.

    • Memperlakukan klien dengan adil.

    Aturan ini tidak terdapat di Alkitab, tetapi merupakan prinsip-prinsip yang diyakini Larry Burkett dapat disimpulkan langsung dari aturan-aturan dalam Alkitab. Maksudnya adalah agar aturan ini dapat mencakup lebih banyak situasi aktual yang terjadi di dunia kerja, karena aturan ini tidak sesempit aturan-aturan spesifik.

    Apakah Ini Membantu Wayne?

    Dua "standar minimum" tentang "menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar" dan "memperlakukan klien dengan adil" jelas relevan dengan masalah Wayne. Namun, meskipun mengenal prinsip-prinsip ini baik, hal ini sebenarnya tidak membuat Wayne lebih dekat kepada yang harus ia lakukan. Ia masih bergumul untuk menentukan dengan tepat apa yang dalam kasus ini bisa menjadi perlakuan yang "adil" dan proses apa yang bisa ia gunakan untuk menentukan apa yang adil itu? Ia bisa setuju dengan dua prinsip Burkett itu — tetapi hal ini tidak membantunya melangkah lebih jauh. Masalah seperti ini umum atau biasa terjadi dalam metode-metode yang berbasis perintah. Jika perintah itu spesifik, perintah itu tidak dapat mencakup berbagai situasi yang terjadi di dunia. Jika peritah itu umum, perintah itu tidak dapat memberikan solusi aktual bagi masalah-masalah yang dicakupnya.

    Namun, buku itu memberi saran untuk membicarakan dengan teman tentang apa yang dianggap adil dalam situasi ini. Menurut Wayne saran ini merupakan hal yang baik untuk dilakukan. Ia suka dengan gagasan mengembangkan lingkungan yang lebih komunal untuk membantunya memperoleh perspektif tentang masalahnya. Melakukan hal ini berlawanan dengan sifat individualisme yang kuat yang kita semua hadapi, dan juga mengakui bahwa banyak tantangan etis yang rumit dan membutuhkan orang lain yang berpikiran tajam untuk memberikan perspektif dan dukungan.

    Wayne kurang tertarik dengan yang dianggapnya sebagai pendekatan yang sangat preskriptif dalam menggunakan Alkitab. Pendekatan itu tampaknya mereduksi Kitab Suci menjadi serangkaian prinsip dan aturan yang mudah dipahami - seperti buku petunjuk tentang “cara melakukan sesuatu.” Meskipun menggembirakan melihat pendekatan Business by the Book menanggapi serius tantangan agar iman kita memengaruhi dunia bisnis secara praktis, yang disayangkan pendekatan itu dibangun di sekitar prinsip-prinsip yang dipilih secara terbatas berdasarkan perspektif tertentu Burkett. Oleh karena itu, seperti banyak usaha lain yang serupa yang meringkas pendekatan Alkitab tentang bisnis, pendekatan itu memberi wawasan yang berguna dalam beberapa hal, tetapi juga menjanjikan lebih dari yang dapat direalisasikannya.

    Satu Prinsip atau Perintah?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Wayne masih bergumul dengan masalahnya. Ia kembali ke rak bukunya untuk melihat apa lagi yang bisa membantunya. Buku John Maxwell, There’s No Such Thing as “Business” Ethics langsung menarik perhatiannya.

    John Maxwell berpikir, kita telah membuat pengambilan-keputusan Kristen menjadi jauh lebih rumit. Ia percaya bahwa semua perintah moral Alkitab pada dasarnya dapat direduksi menjadi satu perintah yang menyeluruh saja. Menurut Maxwell, tidak ada yang namanya etika bisnis: hanya ada satu aturan dalam membuat keputusan.[1] Dan itu adalah “Aturan Emas” yang disampaikan Yesus dalam Kotbah di Bukit - “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan; karena itulah seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12).

    Pedoman ini (“Bagaimana saya ingin diperlakukan dalam situasi ini?”) harus mengatur semua pengambilan keputusan etis.[2] Sederhana tetapi tidak mudah adalah cara Maxwell menjelaskan aturan ini. Namun, ia mengakui bahwa untuk menjelaskan aturan ini diperlukan sejumlah prinsip lain seperti:

    • Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda.

    • Berjalanlah sejauh dua mil.

    • Menolong orang yang tidak dapat menolong Anda.

    • Melakukan yang benar ketika melakukan yang salah itu wajar.

    • Menepati janji sekalipun hal itu menyakitkan.

    Meskipun ia tidak mengutip Alkitab secara eksplisit, pendekatan Maxwell jelas berasal dari Matius 7:12. [3] Selama dua abad terakhir, perkataan ini sudah dikenal sebagai Aturan Emas [4] dan Maxwell memerhatikan inti ajaran ini juga ada di dalam agama dan budaya lain. Jadi prinsip ini merupakan prinsip yang dapat dihargai orang Kristen maupun orang non-Kristen.

    Beberapa prinsip-penjelas yang disebutkan Maxwell juga jelas didasarkan pada bagian-bagian lain pengajaran Yesus dalam Kotbah di Bukit. Contohnya, "Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda" tampaknya merupakan implikasi logis dari Matius 5:43-48, dan "Berjalanlah sejauh dua mil" jelas merujuk ke ayat Matius 5:41.

    Satu hal yang membuat Wayne tertarik memakai Aturan Emas dalam pendekatan etika bisnis adalah karena pendekatan ini didasarkan pada ajaran Yesus. Mengingat kita sering bersalah karena menghindari Yesus dan etika-Nya, hal ini menyegarkan.

    Bagaimana Hal Ini Membantu Wayne Menyelesaikan Masalahnya?

    Aturan Emas tentu saja merupakan prinsip-penjelas yang sangat berguna bagi Wayne. Aturan ini membuatnya berpikir, "Bagaimana saya ingin diperlakukan jika saya berada dalam posisi klien saya?" Dan prinsip-prinsip terkait seperti "memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda" dan "berjalanlah sejauh dua mil" benar-benar menantang Wayne untuk bertindak melampaui yang secara hukum diharapkan darinya. Tetapi pendekatan Maxwell masih kurang membantu Wayne dalam menentukan secara spesifik tentang langkah tanggung jawabnya.

    Tak ada keraguan bahwa Aturan Emas adalah inti dari ajaran etika Yesus. Kesederhanaan meninggikan satu prinsip jelas menarik dan berguna dalam beberapa hal, tetapi juga menunjukkan sikap terlalu menyederhanakan dan bisa menyesatkan dalam hal lain. Kebutuhan Maxwell untuk melengkapi dengan aturan-aturan yang memenuhi syarat lainnya menunjukkan bahwa hal ini benar.

    Beberapa asumsi mendasar Maxwell juga dipertanyakan, seperti keyakinannya bahwa perilaku etis itu menguntungkan (setidaknya dalam jangka panjang). Tak ada bukti yang meyakinkan bahwa ini benar. [5] Bahkan, seperti dikatakan Scott Rae dan Kenman Wong, jika hal itu selalu (kebanyakan) benar:

    …tidak akan diperlukan buku-buku atau kursus-kursus tentang etika bisnis, karena hampir semua orang akan melakukan perilaku moral yang baik karena prospek imbalan finansial.[6]

    Ada keterbatasan lain pada pendekatan Maxwell. Pendekatan ini berasumsi hanya ada dua pihak yang terlibat dalam keputusan (orang yang membuat keputusan dan orang yang dipengaruhi oleh keputusan itu). Selama keputusan itu menguntungkan kedua orang ini, menurut Aturan Emas itu yang terbaik. Wayne menyadari bahwa dalam situasi khususnya saat ini, hal itu sebagian besar benar. Namun, pikirannya menerawang kepada banyak keputusan lain yang harus ia buat, yang secara tidak langsung akan memengaruhi orang lain dan/atau juga lingkungannya.

    Sebagai contoh, belum lama ini Wayne menjual kendaraan besar dengan penggerak empat roda. Ia merasa sudah menerapkan Aturan Emas pada kliennya (memperlakukannya dengan hormat, memberinya tawaran terbaik yang bisa ia berikan, mengungkapkan semua informasi yang sesuai, dll). Tetapi dalam penjualan itu, satu hal yang tidak ia pertimbangkan adalah masalah yang lebih luas tentang seberapa besar dampak kendaraan itu, dengan pemakaian bahan bakarnya yang tinggi, terhadap lingkungan.

    Tiga Prinsip Penyeimbang

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Wayne hampir kehabisan buku. Namun, ketika ia melirik ke rak bukunya lagi, ia melihat buku Just Business tulisan Alexander Hill.[1] Hill, seorang profesor bisnis dan ekonomi, dalam buku ini mencoba menemukan jalan tengah antara pendekatan satu-aturan yang sederhana dan pendekatan dengan banyak aturan lain yang lebih rumit.

    Poin utamanya adalah etika bisnis Kristen seharusnya tidak dibangun di atas aturan-aturan, tetapi di atas karakter Allah yang tidak berubah. Saat kita mempelajari dan mengamati karakter Allah, kita dapat belajar untuk meniru Allah. “Perilaku yang sesuai dengan karakter Allah itu etis — yang tidak sesuai berarti tidak etis.”[2]

    Oleh karena itu, kita dipanggil untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang menolong kita meniru karakter Allah. Tidak banyak dari kita yang akan membantah hal itu, tetapi pertanyaan besarnya adalah… lalu seperti apakah Allah itu? Jawaban Hill adalah tiga karakteristik sifat Allah yang paling sering ditekankan dalam Alkitab, yaitu:

    • Kekudusan

    • Keadilan

    • Kasih

    Secara lebih spesifik, ia mendefinisikan ciri-ciri sifat ini sebagai berikut:

    Kekudusan

    Mengejar kekudusan berarti memiliki fokus tujuan yang tak teralihkan untuk menjadikan Allah sebagai prioritas tertinggi. Ini berarti menganggap semua hal lainnya sebagai kepentingan yang lebih rendah — hal-hal seperti harta benda, tujuan karier, dan bahkan relasi-relasi pribadi. Mengejar kekudusan mencakup semangat, kemurnian, akuntabilitas, dan kerendahan hati.

    Keadilan

    “Keadilan membawa ketertiban pada relasi-relasi manusia dengan menetapkan seperangkat hak dan kewajiban timbal balik bagi orang-orang yang hidup dalam konteks komunitas.”[3] Dua hak pribadi yang mendasar adalah hak untuk diperlakukan secara bermartabat dan hak menjalankan kehendak bebas. Kewajiban atau tanggung jawab (yang sebenarnya merupakan sisi lain dari mata uang keadilan) menuntut kita memperlakukan orang lain dengan cara yang memberikan hak-hak ini kepada mereka. Hak dan kewajiban berada dalam ketegangan, menjadi penyeimbang yang diperlukan satu sama lain. Sebagai contoh, hak pekerja untuk mendapat upah yang layak berarti pemberi kerja memiliki kewajiban untuk membayar pekerja dengan adil. Dan ini juga mewajibkan pekerja untuk bekerja dengan rajin untuk mendapatkan upahnya. Keadilan berlaku di kedua sisi.

    Kasih

    Hill mengakui bahwa kasih pada umumnya dipandang sebagai kebajikan utama.[4] Tetapi kasih perlu dimoderasi oleh dua karakteristik lainnya. Kontribusi utama kasih pada gabungan kekudusan-keadilan-kasih adalah penekanannya pada relasi melalui empati, belas kasih, dan pengorbanan diri. Kasih menciptakan ikatan di antara manusia, dan sebaliknya, perusakan ikatan ini menimbulkan penderitaan.

    Bangku Berkaki Tiga

    Jadi, pandangan Hill adalah "tindakan bisnis itu etis jika mencerminkan karakter Allah yang kudus, adil, dan kasih."[5] (Tidak ada makna khusus dalam pengurutan ketiga karakteristik ini. Bahkan, ketiganya saling terkait sepenuhnya dengan satu sama lain). Gambaran yang digunakan Hill untuk menjelaskan hal ini adalah bangku berkaki tiga. Jika kita hendak menjalankan bisnis secara alkitabiah, ketiga (kaki) aspek itu harus diperhitungkan secara konsisten; jika tidak, kita akan memiliki bangku yang sangat tidak seimbang.

    Sebagai contoh, jika kekudusan terlalu ditekankan dengan mengesampingkan kasih dan keadilan, maka hasilnya adalah legalisme, suka menghakimi, merasa benar sendiri, dan menarik diri dari masyarakat.

    Jika keadilan mendominasi, maka hasil yang tidak menyenangkan, emosi yang dingin, dan hukuman adalah kemungkinan yang akan terjadi.

    Jika kasih menjadi satu-satunya ukuran utama, segala sesuatu bisa dengan mudah tergelincir ke dalam sikap permisif dan pilih kasih, karena tidak ada kompas moral yang mengarahkan kita ke batas-batas yang diperlukan kasih.

    Alexander Hill mengecam segala upaya mereduksi Kitab Suci menjadi kitab aturan yang dapat diterapkan pada situasi spesifik.[6] Ia juga sangat menyadari kerumitan tentang dunia bisnis. (Ini merupakan hal yang dihargai Wayne).

    Meskipun pendekatan Hill dibangun di atas tiga prinsip (perintah-perintah umum yang disimpulkan dari sifat-sifat Allah), ia juga sering memikirkan konsekuensi-konsekuensi — khususnya dalam menentukan apakah keadilan telah ditegakkan.

    Bagaimana Wayne Terbantu oleh Pendekatan Ini?

    Wayne bergumul untuk bisa memahami dengan tepat seperti apa kekudusan itu dalam situasinya ini, dan ia mendapati prinsip keadilan dan kasih yang seimbang sangat menolong. Hak dan kewajiban tertentu apa yang ada dalam relasinya sebagai penjual dengan kliennya? Dan respons terhadap permintaan klien yang bagaimana yang adil bagi kedua pihak? Wayne memutuskan bahwa ia mungkin memiliki kewajiban untuk berkontribusi pada biaya perbaikan itu — meskipun ia berpikir klien itu juga memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi. Keadilan berlaku dua arah — bersikap adil terhadap klien maupun penjual.

    Mengingat Wayne sejak awal sudah memberi harga yang sangat murah kepada kliennya untuk mobil itu — dengan marjin keuntungan yang kecil — ia merasa tidak adil jika diharapkan membayar seluruh biaya perbaikan. Namun, prinsip kasih membuatnya juga memikirkan dengan saksama pertanyaan, "Apa artinya mengasihi orang ini bagi saya?" Sekali lagi, meskipun tidak ada hasil jawaban yang pasti, Wayne terdorong untuk memikirkan situasi keuangan kliennya. Apa dampak yang akan ditimbulkan tagihan biaya perbaikan yang cukup besar bagi klien tertentu ini?

    Beberapa Tanggapan Umum

    Salah satu kekuatan besar pendekatan Hill adalah kejelasan yang diberikannya saat memikirkan masalah-masalah etis yang lebih kompleks tanpa terlalu menyederhanakannya. Bangku kekudusan-keadilan-kasih jauh lebih seimbang daripada satu-prinsip Aturan Emas, dan jauh lebih praktis daripada pendekatan multi-aturan yang sudah kita bahas sebelumnya.

    Keterbatasan utama dari bangku berkaki tiga adalah kita masih dihadapkan pada tantangan untuk menentukan dengan tepat apa itu kudus, adil, dan kasih bagi pihak-pihak yang dipengaruhi. Dan apa yang Anda lakukan, misalnya, saat keadilan berbenturan dengan kasih? Mana yang diprioritaskan?

    Meskipun demikian, Wayne mulai merasa mengalami kemajuan. Mencapai suatu keputusan jelas tidak selalu mudah, tetapi bangku berkaki tiga Hill khususnya telah memberinya sesuatu untuk dilakukan. Jelas bahwa pendekatan etika apa pun yang kita adopsi, mengenali dan menyeimbangkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang relevan adalah hal yang penting. Tetapi selain itu, kita juga harus berusaha memperhitungkan konsekuensi dari berbagai tindakan untuk mengetahui keputusan yang mana yang mendatangkan hasil yang paling mengasihi, adil, dan kudus.

    Pendekatan Konsekuensi

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Sampai saat ini, Wayne masih bertanya, "Apa aturan-aturan yang harus saya patuhi?" — dan mencari aturan-aturan atau prinsip-prinsip dari Alkitab.

    Namun Wayne juga memakai cara lain dengan pendekatan yang mengevaluasi opsi mana yang akan mendatangkan hasil terbaik. Dengan kata lain, jika Wayne menelaah kemungkinan konsekuensi dari setiap respons dan membandingkan hasil-hasil yang mungkin itu, ia kemungkinan dapat menentukan berdasarkan hasil yang ideal. Di dalam pendekatan ini, Wayne berhenti mencari aturan-aturan yang menunjukkan apa yang harus dilakukan di setiap langkah, dan hanya akan melakukan apa saja yang diperlukan untuk mencapai hasil yang tepat.

    Pendekatan yang memperhitungkan konsekuensi dan membandingkan hasilnya ini sering dikenal sebagai "konsekuensialisme" atau "etika teleologi" — dari kata Yunani telos, yang berarti "akhir." Tidak seperti pendekatan perintah (yang opsi terbaiknya ditentukan oleh apakah tindakan itu sesuai dengan aturan yang berlaku), pendekatan konsekuensi ditentukan oleh hasilnya. Hasil akhirlah yang menentukan tindakan apa yang paling bermoral.

    Alkitab dan Konsekuensi

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Karena begitu banyak orang yang menganggap Alkitab sebagai buku aturan, dan memikirkan etika dalam arti Sepuluh Perintah Allah, mungkin mengejutkan mendapati betapa sering Kitab Suci sendiri mendorong pembacanya untuk memikirkan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka dan membiarkan hal ini memengaruhi pengambilan keputusan mereka.

    Kitab Amsal berulang kali melakukan hal ini. Kitab ini berisi banyak peringatan dan janji — pepatah-pepatah sarat makna yang memaparkan kemungkinan hasil dari tindakan tertentu. Sebagai contoh, Amsal 14:14 berkata, "Orang yang murtad hatinya akan kenyang dengan langkah-langkahnya, dan orang yang baik dengan apa yang ada padanya."[1]

    Yesus juga memperingatkan para pendengar-Nya untuk menimbang dengan hati-hati konsekuensi dari setiap keputusan mereka. Bahkan, dalam satu hal, seluruh hidup dan pelayanan Yesus dapat dipandang sebagai contoh nyata tentang membuat keputusan untuk kebaikan yang lebih besar. Ucapan Bahagia-Nya menunjukkan aspek konsekuensi yang tersirat — jika kamu ingin "dipuaskan," maka haus dan laparlah akan kebenaran, dst. (Matius 5:6). Begitu pula dengan banyak pesan Kotbah di Bukit lainnya, seperti:
    Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga. (Matius 5:16)
    Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pengawal dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. (Matius 5:25)
    Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. (Matius 6:3-4)
    Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu. (Matius 6:15)

    Mengukur Yang Baik

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Memikirkan konsekuensi seharusnya menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan kita. Namun, seperti ditemukan Wayne, konsekuensialisme menimbulkan empat pertanyaan pelik. Yaitu:

    1. Apa yang baik? (Bagaimana kita menentukan apa yang baik? Sebagai contoh, baik itu agaknya lebih dari sekadar membuat klien - atau Wayne - lebih baik secara finansial)

    2. Baik untuk siapa? (Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari keputusan ini?)

    3. Dapatkah kebaikan dihitung? (Dapatkah kita memperkirakan sepenuhnya apa yang akan dihasilkan dan yang baik dalam situasi tertentu?)

    4. Baik dalam konteks apa? (Dapatkah yang baik di satu konteks buruk di konteks lain?)

    Apa Yang Baik?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Definisi kita tentang apa yang baik sangat penting. Pandangan konsekuensialis yang paling terkenal menentukan kebahagiaan atau kesenangan sebagai kebaikan tertinggi. Versi etika konsekuensialis ini disebut "Utilitarianisme." Apa pun yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sebagian terbesar manusia adalah baik. Kebahagiaan dipandang sebagai tujuan hidup utama (dan dengan demikian implikasinya rasa sakit harus diminimalkan atau dihindari dalam segala situasi).

    Tetapi di dalam Alkitab kebahagiaan tidak dipandang sebagai kebaikan tertinggi. Bahkan ketika kebahagiaan menjadi pusat perhatian dalam Alkitab, kebahagiaan itu cenderung didefinisikan-ulang secara sangat berbeda dari pemahaman budaya kita. Sebagai contoh, Yesus membuat kita berpikir terbalik dalam Ucapan Bahagia-Nya. Dia menyatakan bahwa situasi-situasi yang bisa membuat kita merasa dirugikan atau sedih justru dapat menjadi situasi yang membuat kita diberkati atau bahagia!

    Jadi, bagaimana kita menentukan yang baik secara alkitabiah? Apa yang dianggap baik dalam Alkitab? Keadaan dunia sebelum Kejatuhan di Kejadian 3 dinyatakan “baik” dan “sangat baik” oleh Allah (Kejadian 1:4, 9, 12, 18, 21, 25, 32 dan 2:18-24). Keadaan ini dipulihkan dan diperluas ketika Kristus datang kembali dan memulai langit baru/bumi baru di Wahyu 21-22. Sejarah Israel; kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus; dan pemeliharaan Allah bagi komunitas Kristen semuanya merupakan tujuan utama pemulihan keadaan ini. Dan unsur-unsur keadaan ini dijelaskan di dalam banyak ayat Alkitab, seperti yang berikut ini:

    Manusia hidup dalam relasi yang menyenangkan dengan Allah dan orang lain. (Kejadian 2:19-25)
    Manusia melakukan pekerjaan yang menyenangkan dan menyediakan kebutuhan hidup bagi semua orang. (Kejadian 2:7-9)
    Manusia memiliki kedudukan yang sama di dalam masyarakat tanpa diskriminasi ras, kesenjangan ekonomi atau gender. (Galatia 3:23)
    Tidak ada sakit-penyakit. (Wahyu 21:4; 22:2)
    Masyarakat hidup dalam damai dan sejahtera. (Mikha 4:3-4)

    Meskipun kebahagiaan tampaknya jauh lebih memungkinkan di dunia seperti itu daripada di dunia yang rusak seperti yang kita jumpai di sekitar kita, tujuan utama Tuhan bukanlah membuat kita bahagia. Tujuan-Nya adalah membuat kita utuh seperti mula-mula kita diciptakan. Perjanjian Baru menunjukkan dengan jelas bahwa menerima penderitaan dan kesakitan sering menjadi jalan menuju keutuhan — bagi kita sendiri, maupun orang-orang yang ditolong melalui penderitaan kita. [1]

    Pilihan Yesus untuk tunduk pada jalan Salib adalah teladan kita. Dia mengorbankan diri-Nya demi membawa pembebasan dan kehidupan bagi orang lain: "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:28). [2]

    Baik untuk Siapa?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Persoalan dalam etika konsekuensialis adalah menentukan konsekuensi siapa yang harus dioptimalkan.

    Kepentingan Pribadi

    Ada orang-orang yang memakai kepentingan pribadi sebagai tolok ukur. Mereka memakai pendekatan bahwa, jika suatu keputusan mendatangkan kebaikan bagi mereka, maka itu adalah pilihan terbaik. Aliran pemikiran ini dikenal sebagai “egoisme etis”.

    Anda tidak terkesan dengan pemikiran ini? Ehm, sebelum Anda menganggapnya salah sama sekali, pikirkan lebih lanjut masalah Wayne. Kepentingan pribadi tidak selalu berarti bertindak dari perspektif yang sepenuhnya egois. Wayne bisa saja memilih memperbaiki kerusakan mobil kliennya karena kepentingan pribadi. Ia bisa saja memutuskan bahwa reputasi dan kapasitas jangka panjangnya untuk mendapatkan bisnis baru tergantung pada memenuhi ekspektasi-ekspektasi klien.

    Jadi, yang tampak dari luar sebagai respons yang tanpa pamrih seringkali bisa jadi didorong oleh kepentingan pribadi. Dan ini tidak selalu buruk atau salah. Ini bahkan sering membawa hasil positif. Kita mungkin berkata, "Yang baik bagi saya seringkali akan baik bagi semua orang." Ekonom dan ahli filsafat Adam Smith (yang sering dikenal sebagai Bapak Kapitalisme Modern) berpendapat seperti ini ketika ia berbicara tentang orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis:

    Dengan mengejar kepentingannya sendiri, ia sering lebih efektif dalam memajukan masyarakat daripada ketika ia benar-benar berniat memajukannya. Saya tidak pernah melihat banyak kebaikan dilakukan oleh orang yang berpura-pura berdagang untuk kepentingan umum.[1]

    Saat ini hal ini mungkin dianggap agak terlalu optimis dan naif. (Bahkan negara-negara yang paling kapitalis pun telah menambahkan banyak sekali undang-undang untuk melindungi pelanggan dan konsumen).

    Kebaikan Yang Lebih Besar

    Kelompok kedua yang lebih substansial mengatakan bahwa konsekuensi bisa menentukan keputusan etis kita dengan memakai kebaikan yang lebih besar sebagai tolok ukur. Kelompok ini memakai pendekatan bahwa keputusan terbaik adalah yang akan menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Seperti telah kita ketahui, Utilitarianisme berusaha memaksimalkan kebaikan (kebahagiaan) bagi sejumlah terbesar manusia. Suatu tindakan tidak baik jika membuat sedikit orang sangat bahagia tetapi tidak membawa manfaat apa-apa — atau bahkan memperburuk banyak hal — bagi banyak orang. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai baik jika membuat banyak orang bahagia dengan tidak membahagiakan sedikit orang.

    Namun, kita harus berhati-hati saat membuat keputusan yang didasarkan pada kebaikan mayoritas namun berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif atau membahayakan yang minoritas — apalagi jika yang minoritas itu kelompok yang terpinggirkan dan hampir tak punya kekuatan. Dengan ketentuan yang semacam “tujuan-membenarkan-cara”, segala kejahatan bisa ditoleransi.[2]

    Alkitab secara konsisten memanggil umat Allah untuk membela dan melindungi orang miskin dan yang terpinggirkan. Sesungguhnya, para nabi secara teratur menantang umat Allah untuk memerhatikan orang yang paling lemah, bahkan menyatakan bahwa kesehatan masyarakat diukur dari cara mereka memperlakukan "yatim piatu, janda, dan orang asing" (tiga kelompok terpinggirkan yang signifikan).

    Namun, janganlah juga kita beranggapan bahwa tujuan tidak pernah membenarkan cara. Ada pilihan-pilihan sulit yang harus dibuat ketika alternatifnya benar-benar tidak ada yang baik atau benar. Dalam kasus-kasus seperti itu, pembuat keputusan hanya dihadapkan pada pilihan yang buruk dengan level-level yang berbeda (relatif). Teori perang disebut "teori perang yang adil" adalah salah satu contoh cara para ahli etika berusaha memberi panduan dalam situasi semacam itu.[3] Suatu pilihan terkadang membawa penderitaan bagi orang lain. Namun, betapapun penderitaan itu tak terelakkan, pilihan itu harus dilakukan dengan belas kasih dan kerendahan hati yang tulus.

    Apa Artinya Ini bagi Wayne?

    Mencoba memikirkan konsekuensi dari keputusannya sebenarnya jauh lebih mudah bagi Wayne dalam situasi khusus ini daripada dalam banyak kasus lainnya. Ini karena, sebagaimana didapati Wayne, hanya ada dua pihak yang benar-benar akan dipengaruhi oleh keputusannya — dirinya dan kliennya. Tidak seperti banyak keputusan lain yang ia hadapi sebagai pedagang mobil yang melibatkan berbagai konsekuensi yang tak dapat dijelaskan terkait dampaknya pada masalah lingkungan, sosial, dan komunitas, pilihan ini agak lebih sederhana. Kebaikan apa yang akan dihasilkan dari keputusan untuk membayar, atau setidaknya berkontribusi dalam biaya perbaikan? Jawabannya adalah ia akan memiliki klien yang puas dan mungkin terhindar dari kesulitan ekonomi yang tidak perlu. Ini bisa menjadi kebaikan yang lebih besar daripada tidak mau membayar dan mendapat keuntungan pribadi sebagai hasilnya.

    Dapatkah Kebaikan Dihitung?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Konsekuensi bisa sulit diukur dan dihitung; bahkan kadang mustahil dilakukan. Dalam beberapa hal, kita mengetahui konsekuensi itu, tetapi tidak punya cara untuk mengukurnya. Apakah Anda akan lebih bahagia jika mendapat pekerjaan yang Anda sukai ataukah yang menghasilkan banyak uang? Dalam hal-hal lain, kita bahkan tidak mengetahui semua konsekuensi dari keputusan kita. Seringkali ada orang atau lingkungan terdampak yang tidak kita perhitungkan. Kadang bahkan tidak ada cara untuk mengetahui sebelumnya.

    Dalam banyak hal, Alkitab membantu kita menyadari keterbatasan kita sendiri dan perspektif kita yang sangat terbatas. Sebaliknya, Allah itu mahatahu dan mahabijaksana. Maka ketika manusia bertanggung jawab atas tindakannya dan diharapkan memikirkan baik-baik konsekuensinya, diperlukan kerendahan hati dan ketergantungan pada satu-satunya Pribadi yang mengetahui segala sesuatu.

    Kita sering benar-benar tidak memiliki cara untuk mengetahui konsekuensi yang akan dihasilkan tindakan kita, atau bahkan untuk menilai/mengukur yang baik. Karena itu, meskipun memikirkan konsekuensi merupakan hal yang penting dalam membuat keputusan, satu pendekatan ini saja tidak cukup dalam melakukan tindakan etis. Setidaknya, perintah dan konsekuensi perlu sama-sama dipertimbangkan. Perintah sering berfungsi mengarahkan kita kepada tindakan yang secara logis dapat diharapkan mendatangkan hasil yang baik, selain dari fakta bahwa tindakan itu sendiri pada dasarnya baik. Sebagai contoh, perintah "Jangan Berdusta" sangat mungkin menghasilkan konsekuensi yang lebih baik daripada sebaliknya, apalagi dalam situasi pelik yang sulit memprediksi konsekuensi dari berdusta, bahkan dusta "putih" yang niatnya baik. Pada saat yang sama, memikirkan konsekuensi sering membantu kita menentukan aturan mana yang berlaku dalam situasi yang mana. "Jangan Membunuh" berlaku dalam segala situasi karena konsekuensinya adalah kematian, yang tidak dapat dibatalkan oleh kekuatan manusia. Tetapi “Menghormati Hari Sabat” tidak berlaku dalam situasi yang menghalangi Anda menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, karena konsekuensi dari kesakitan dan penderitaan bertentangan dengan pemulihan dunia kepada keadaan yang dimaksudkan Allah (Lukas 13:10-16, Yohanes 5:1-9).

    Baik dalam Konteks Apa?
    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Konteks etika itu penting. Kadang karena tindakan bisa diartikan berbeda di antara orang dari budaya yang berbeda. Kadang karena situasi orang berbeda-beda.

    Salah satu contoh yang paling terkenal di Alkitab ditemukan dalam surat Paulus yang pertama kepada jemaat Korintus, pasal 8, ketika ia membahas keputusan-keputusan etis yang muncul tentang memakan makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Masalah utamanya adalah, kata Paulus, perilaku kita akan memengaruhi "orang-orang percaya yang lemah." Dalam hal ini, Paulus lebih mengutamakan kasih dan kepentingan orang lain di atas kebebasannya sendiri untuk melakukan yang ia rasa pantas. Pertanyaannya bukan hanya, "Apakah itu benar?" tetapi juga, "Apa hasil yang akan ditimbulkannya?" Hal yang ia rasa bebas ia lakukan dalam satu situasi, tidak ia pilih untuk ia lakukan dalam situasi lain yang bisa menimbulkan kegusaran atau masalah. Paulus menentukan ketepatan atau kebijaksanaan tindakan itu berdasarkan konsekuensi dalam konteks tertentu ini.

    Ini tidak sama dengan relativisme moral. Mengakui bahwa nilai-nilai kristiani perlu diterjemahkan secara kontekstual, karena apa yang baik dalam satu situasi belum tentu baik dalam situasi lain, sangat berbeda dengan relativisme total yang menjadi ciri budaya kita, di mana tidak ada standar kebenaran atau moralitas yang absolut. Sebagai contoh, perintah untuk jangan berdusta adalah standar absolut. Tetapi standar itu berlaku secara berbeda dalam konteks yang berbeda: "Apakah Anda sudah membayar untuk hal ini?" memerlukan proses penerapan prinsip yang berbeda dari, "Apakah kemeja ini terlihat bagus untuk saya?"

    Semakin lama masyarakat tempat kita tinggal semakin multikultural. Kita bisa menghadapi banyak situasi di mana konteks menantang kita untuk mengubah tindakan kita. Sebagai contoh, jika Anda pemberi kerja, bagaimana Anda menentukan cuti berkabung ketika beberapa staf Anda berasal dari latar belakang etnis yang secara budaya sangat penting bagi mereka untuk mengambil cuti beberapa hari, beberapa kali dalam setahun, untuk menghadiri pemakaman kerabat dan teman?

    Atau anggaplah Anda seorang penghasil tenda dan Anda memutuskan untuk membuat tenda di bagian dunia yang jauh lebih miskin karena biayanya jauh lebih murah. Bagaimana Anda menentukan bayaran yang tepat untuk para karyawan Anda?

    Masalah konteks melampaui masalah lintas budaya. Masalah ini juga merupakan faktor yang menentukan apakah perlu memperlakukan orang secara berbeda karena situasi mereka. Sebagai contoh, seorang dokter mungkin mengenakan tarif yang berbeda berdasarkan pendapatan pasien. Seorang pedagang mobil mungkin mempertimbangkan situasi ekonomi seseorang saat menegosiasikan harga, seperti yang dilakukan Flow Automotive ketika mereka menyadari bahwa orang miskin cenderung membayar lebih mahal untuk mobilnya karena mereka cenderung kurang terlatih dalam bernegosiasi.

    Bagaimana Masalah Kontekstual Memengaruhi Pengambilan Keputusan Wayne?

    Ketika Wayne mulai memikirkan bagaimana situasi-situasi tertentu ini memengaruhi tindakan yang mungkin dilakukan, ia mendapati dirinya berusaha memahami dan mengantisipasi sejumlah hal.

    Kita sudah menyebutkan pertanyaan tentang situasi keuangan kliennya. Jika Wayne menolak membayar biaya perbaikan, atau hanya berkontribusi sebagian, apa dampak finansial yang mungkin dialami klien itu dan keluarganya? Apakah hal itu mungkin akan membuat stres? Wayne menganggap hal ini perlu dipertimbangkan. Bahkan, baginya, hal ini merupakan bagian dari pertanyaan yang lebih luas tentang kasih dan keadilan.

    Bagaimana jika Wayne tahu bahwa klien itu murah hati dan tidak itung-itungan dalam hal waktu dan uangnya sendiri — suka melayani orang lain dan sungguh-sungguh ingin membuat perbedaan di dunia? Jika demikian, Wayne mungkin akan merasa lebih mantap untuk berlaku murah hati padanya.

    Pada saat yang sama, Wayne tahu ia juga harus mempertimbangkan kemampuan membayarnya sendiri, serta dampaknya bagi dirinya dan keluarganya jika pada akhirnya ia hanya mendapat sedikit atau sama sekali tidak mendapat keuntungan dari penjualan ini.

    Ada sudut pandang lain. Haruskah Wayne memikirkan baik-baik preseden yang sedang ia ciptakan? Jika ia bersikap lunak, apakah klien-klien lainnya juga akan datang padanya untuk meminta bantuan? Wayne tersenyum masam memikirkan kemungkinan itu. Tetapi, bagi dirinya secara pribadi, itu bukan masalah besar. Faktor-faktor lain yang telah ia pertimbangkan, sejauh yang ia ketahui, jauh lebih penting. Ia tidak keberatan jika mendapat reputasi sebagai "orang yang lembek," selama ia puas dengan kesesuaian pilihannya.

    Hal ini membuat Wayne berpikir tentang bagaimana karakternya dibentuk untuk membuat pilihan moral.

    Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.

    Pendekatan Karakter

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Dua pendekatan utama dalam pengambilan keputusan yang digunakan Wayne untuk menganalisis masalah penjualan mobilnya sejauh ini — pendekatan perintah dan konsekuensi — berkaitan dengan moralitas tindakan/pilihan itu sendiri. Namun, ada cara lain untuk memikirkan pilihan etis — yang tidak berfokus pada tindakan, tetapi pada orang yang membuat keputusan. Ini sering disebut etika "kebajikan" atau "karakter", karena perhatian utamanya pada karakter orang yang melakukan tindakan.

    Alih-alih bertanya, "Apa yang benar?" atau "Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?" pendekatan kebajikan bertanya, "Akan menjadi orang seperti apakah saya?" Asumsinya, jika karakter Anda semakin dibentuk menuruti karakter Allah, Anda akan semakin terarah untuk melakukan hal yang benar/baik. Karena itu, pendekatan ini lebih merupakan etika tentang menjadi daripada melakukan.

    Pendekatan ini juga mengakui adanya kekurangan dalam proses yang kita semua sadari. Mengetahui hal yang benar tidak menjamin hal yang benar itu akan dilakukan! Ini karena dibutuhkan karakter untuk melakukan hal yang benar.

    Sebelumnya kita telah membahas bahwa memahami karakter Allah dapat memengaruhi cara kita dalam membuat keputusan. (Kita telah membahas khususnya tentang kasih, keadilan, dan kekudusan Allah). Tujuannya adalah agar kita dapat memakai karakteristik-karakteristik itu sebagai kisi-kisi dalam menentukan keputusan yang benar. Ini termasuk pendekatan perintah karena kita berusaha mengikuti karakter Allah, bukan membentuknya! Dalam pendekatan karakter, kita bertanya bagaimana tindakan kita akan membentuk atau memengaruhi karakter kita. Karena itu, mari kita ubah penekanannya secara halus. Mari kita lihat bagaimana karakter Allah membentuk karakter kita. Sebagai orang Kristen, tujuan kita adalah menjadi orang yang lebih kudus, adil, dan mengasihi, sehingga ciri-ciri ini tertanam dalam diri kita sebagai setelan bawaan. Sekali lagi, ini bukan lagi tentang karakter Allah. Sekarang penekanannya pada karakter kita.

    Ada beberapa alasan mengapa hal ini sangat penting. Pertama, cara kita berbicara tentang masalah-masalah etis sejauh ini menunjukkan proses pengambilan keputusan yang agak ideal, di mana kita memiliki waktu dan juga kemampuan untuk berpikir logis dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik dan membuat keputusan yang tepat. Dan kita kadang memang berlaku seperti itu. Tetapi sebagian besar keputusan kita dibuat dalam sepersekian detik dalam keadaan terburu-buru? Cara kita menyikapi keluhan atasan kita, menyelesaikan kesalahpahaman dengan klien, menasihati pelayan toko yang kurang berpengalaman, memotivasi tim yang kinerjanya buruk - tindakan-tindakan ini seringkali dilakukan tanpa banyak berpikir sama sekali. Pastinya akan jauh lebih efektif jika kita dapat bersandar pada sifat-sifat karakter atau kebajikan yang sudah tertanam dalam diri kita untuk membawa kita secara naluriah kepada keputusan dan tindakan yang benar.

    Kedua, mungkinkah berbagai pilihan etis kita sebenarnya sudah ditentukan sebelum kita membuat keputusan? Dengan kata lain, karakter kita secara otomatis memengaruhi banyak hal yang akan kita putuskan. Bahkan ketika kita punya waktu untuk memikirkan keputusan dengan saksama, keputusan kita cenderung sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan karakter kita, baik atau buruk. Karena itu, keputusan-keputusan etis kita kebanyakan ditentukan oleh siapa kita (karakter dan nilai-nilai yang kita anut) daripada proses pengambilan keputusan yang kita gunakan. Iris Murdoch berkata, "Di saat-saat krusial ketika harus memilih, sebagian besar proses memilih sudah selesai."[1]

    Ketiga, pendekatan berbasis karakter memudahkan kita untuk memikirkan peran komunitas dalam pembentukan dan keputusan etis. Meskipun kita sering menganggap diri kita sebagai orang yang bebas membuat keputusan pribadi, keputusan kita dapat dipengaruhi secara signifikan oleh komunitas kita. Seperti akan kita lihat, pendekatan berbasis karakter seringkali lebih efektif dalam memakai sumber-sumber etika yang dapat diberikan komunitas kita.

    Karena alasan-alasan ini, sebagian orang percaya bahwa daripada berfokus pada pengambilan keputusan yang baik, lebih baik berkonsentrasi pada pengembangan karakter yang baik. Mereka berkata, jika kebajikan dan kebaikan berkembang dalam hidup kita, keputusan yang baik akan secara otomatis mengikuti.

    Menentukan Apa Itu Kebajikan

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Jika pengembangan karakter dan kebajikan sedemikian penting, maka ada beberapa pertanyaan kunci yang harus kita hadapi. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:

    • Bagaimana kita menentukan kebajikan?

    • Siapa sebenarnya yang menentukan kebajikan?

    • Bagaimana sebenarnya kebajikan itu berkembang?

    Pertanyaan pertama mungkin yang paling mudah dijawab. Kamus Oxford mendefinisikan "kebajikan" sebagai "kualitas yang dianggap baik atau diinginkan secara moral." Setiap budaya sangat menghargai kualitas-kualitas tertentu. Dalam konteksnya, kualitas-kualitas ini dianggap kebajikan.[1]

    Namun, pertanyaan kedua tentang siapa sebenarnya yang menentukan kualitas tertentu itu baik agak lebih sulit. Dari tahun ke tahun, sudah banyak ahli filsafat, teolog, dan pemikir yang mencoba mendaftarkan dan mendefinisikan kebajikan. Sebagai contoh, Aristoteles menekankan kebajikan Yunani klasik: keadilan, ketabahan, kebijaksanaan, dan pengendalian diri. Ambrosius (339-397), seorang pemimpin Kristen mula-mula, menyatakan hal-hal ini tersirat dalam Alkitab, tetapi ia juga menambahkan tiga kebajikan alkitabiah (atau “teologis”) spesifik lain — iman, pengharapan, dan kasih (1 Korintus 13:13). Sejak abad keenam, Paus Gregorius Agung membandingkan ketujuh kebajikan ini dengan sifat-sifat buruk yang sepadan — yang sekarang kita kenal sebagai “tujuh dosa maut.”[2] Baru akhir-akhir ini para teolog Protestan mulai serius meneliti kebajikan. Glen Stassen dan David Gushee berkata bahwa “kebajikan adalah ciri karakter yang memungkinkan kita berkontribusi (secara positif) pada komunitas.”

    Jadi, apa artinya ini bagi kita sebagai pengikut Yesus? Siapa atau apa yang seharusnya menentukan apa itu kebajikan bagi kita? Jelaslah bahwa Alkitab adalah jawabannya, dan di dalam Kitab Suci, titik fokus dalam menentukan kebajikan-kebajikan Kristen adalah kehidupan dan pengajaran Yesus. Yesus adalah ungkapan karakter Allah yang paling nyata bagi kita. Jadi, jika kita ingin mengetahui kebajikan apa saja yang harus dikembangkan, mengamati kualitas-kualitas yang dicontohkan dan dibicarakan Yesus adalah titik awal terbaik kita. Kita setuju dengan Stassen dan Gushee yang berkata bahwa:

    Alkitab tidak datar; Kristus adalah puncak dan pusatnya. Tidak ada masalah moral yang layak dibahas tanpa memikirkan makna Yesus Kristus sebagai bahan pertimbangan untuk masalah itu.

    Bagian terbesar ajaran etika Yesus terdapat dalam Kotbah di Bukit. Inilah tempat yang baik untuk memulai jika kita ingin memikirkan kebajikan-kebajikan spesifik yang harus didambakan para pengikut Yesus. Secara lebih spesifik, di dalam Ucapan Bahagialah, Yesus menyoroti kebajikan-kebajikan utama — kualitas-kualitas dan perilaku-perilaku yang sangat Dia hargai itu. Miskin rohani, murah hati, haus dan lapar akan kebenaran, lemah lembut/rendah hati, pembawa damai, berbelas kasih (Matius 5:1-12) — adalah ciri-ciri karakter yang harus menjadi tujuan utama kita.

    Di dalam Kotbah di Bukit, Yesus berulang kali menghubungkan tindakan kita secara langsung dengan karakter kita — dengan sikap hati dan motif mendasar kita. Perkataan-perkataan Yesus lainnya di kitab-kitab Injil menguatkan hubungan ini. Sebagai contoh, “Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat: percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan…” (Markus 7:21-22).

    Gereja mula-mula juga menyadari pentingnya meneladani Yesus. Tulisan-tulisan dalam surat rasul Paulus menekankan pentingnya pengembangan karakter. Sebagai contoh, ia menasihati jemaat di Galatia agar tidak memuaskan keinginan "daging", tetapi mempersilakan Roh Kudus menumbuhkan "buah" seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:16-25). Kepada jemaat di Filipi, Paulus menulis, "Hendaklah kamu… tanpa mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri.... Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus" (Filipi 2:3-5).

    Kristus adalah contoh dan teladan kita. Karakter-Nyalah yang harus kita kembangkan. Referensi-referensi ini menunjukkan penekanan yang sangat kuat di Perjanjian Baru untuk menumbuhkan karakter Yesus.

    Bagaimana Karakter Memengaruhi Keputusan Wayne?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Semua pembicaraan tentang kebajikan ini membuat Wayne agak bingung. Sulit untuk mengevaluasi bagaimana karakternya sendiri berkembang. Pada kenyataannya, karakter sejati mungkin lebih akurat diukur melalui pengamatan orang lain daripada analisis kita sendiri.

    Namun Wayne merasakan reaksi yang signifikan di sepanjang proses pengambilan keputusannya. Alih-alih merasa mudah untuk menolak keluhan kliennya tentang mobil dan permintaan untuk memperbaiki, ia justru merasa iba pada klien itu. Wayne benar-benar ingin menyikapi dengan cara yang menunjukkan kasih dan kepedulian. Sesungguhnya, jika ia melihat ke belakang dan meninjau perkembangan karakter kristianinya yang lambat namun nyata sepanjang hidupnya, ia secara khusus menyadari (dan menghargai) pertumbuhannya dalam belas kasih, kebaikan, dan kemurahan hati.

    Akibatnya, ia mendapati dirinya ingin menanggapi positif permintaan kliennya itu dengan cara yang kemungkinan tidak dilakukan banyak orang lain. Maka, ketika Wayne mulai menghitung konsekuensi, pertimbangannya lebih kepada seberapa besar yang mampu ia bayar untuk membantu daripada bagaimana ia dapat menolak permintaan klien itu. Tampaknya setelan bawaannya sudah ditentukan oleh nilai-nilai yang membentuk karakternya.

    Bagaimana Karakter Bertumbuh dan Berkembang dalam Hidup Kita?

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Kita semua mengenal orang-orang yang hidupnya memancarkan karakter. Cara mereka bekerja di dunia usaha menunjukkan integritas atau konsistensi dengan aspek-aspek kehidupan mereka yang lain. Namun, bagaimana sebenarnya persisnya mereka menjadi orang-orang berkarakter seperti itu?

    Dalam budaya kita yang sangat individualistis, mudah untuk menganggap bahwa hal itu kemungkinan besar akibat dari komitmen yang kuat pada Kristus, kesalehan dan disiplin yang ketat, serta kerinduan untuk menumbuhkan karakter Yesus dalam hidupnya.

    Namun, meskipun unsur-unsur ini jelas penting, dan Roh Kudus pasti mengubah kita dengan cara yang sangat pribadi, perubahan seperti itu jarang terjadi di luar konteks yang lebih luas. MacIntyre maupun Hauerwas (dua pendukung etika kebajikan baru-baru ini) menekankan peran komunitas yang sangat besar dalam membentuk dan mewujudkan hidup yang berkebajikan. Bahkan mereka mengatakan bahwa penyampaian cerita-cerita (narasi) di komunitas tertentu merupakan pembentuk utama karakter kelompok. Cerita melibatkan imajinasi kita dan membuat kita terlibat dengan cara-cara yang sering kali menyingkapkan diri. Cerita memiliki kekuatan untuk membantu mengembangkan karakter maupun komunitas.

    Sebagai contoh, cerita yang paling berpengaruh dalam budaya Amerika selama bertahun-tahun adalah cerita tentang orang yang memimpin dirinya sendiri yang mampu melepaskan diri dari penindasan konformitas sosial. Dari Frank Sinatra yang menyanyikan lagu "My Way," ketenaran Babe Ruth, hingga film "Pirates of the Caribbean" (hanya satu contoh saja — karena sebagian besar film Hollywood adalah variasi-variasi dari cerita ini), cerita yang sangat berpengaruh adalah cerita tentang kemenangan kepribadian batin individu atas beban ekspektasi sosial yang menghancurkan. Membaca surat kabar dan menelusuri bagaimana peristiwa dan pemberitaan surat kabar tentang hal itu terkait dengan cerita yang berpengaruh ini, entah buruk atau baik, bisa jadi menarik.

    Bagi orang Kristen jelas Alkitab merupakan narasi/cerita utama kita. Alkitab juga merupakan cerita kemenangan seorang individu — Yesus — atas penindasan masyarakat. Namun, Yesus berulang kali berkata bahwa Dia tidak bertindak dari dirinya sendiri. Sebaliknya, Dia berkata bahwa pimpinan-Nya datang dari luar, yaitu dari Allah (contohnya, Yohanes 12:49-50). Dan kita harus menjadi seperti Yesus (1 Yohanes 3:2). Cerita Kitab Suci mengingatkan kita tentang menjadi orang seperti apa kita diciptakan Allah serta bagaimana perspektif dan nilai-nilai Allah seharusnya membentuk kehidupan kita di dunia. Cerita ini membuat kita dapat menemukan diri kita sendiri, dan mengundang respons kita dengan implikasi-implikasi moral yang mendalam.

    Bagi Hauerwas, Stassen, dan Gushee, cerita spesifik yang paling penting bagi orang Kristen adalah cerita tentang Yesus, yang karakter dan kebajikan-Nya harus kita teladani.

    Tetapi cerita/narasi Injil tidak sampai kepada kita dengan fokus yang tajam. Tanpa kita sengaja, kita sering menyerapnya melalui sebuah filter — filter budaya dan komunitas iman kita. Cara kita menceritakan-lagi cerita ini — kebajikan apa yang kita tekankan, kegagalan apa yang kita soroti, dan bagaimana kita saling mendorong untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan dan tindakan-tindakan yang digambarkannya — semuanya memiliki dampak signifikan pada cara kita bertumbuh dalam kebajikan.

    Sesungguhnya, kita perlu betul-betul menyadari kecenderungan semua komunitas iman untuk membingkai-ulang Yesus dengan cara yang tidak terlalu menantang gaya hidup dan pandangan dunia kita. Menjadikan Yesus menurut gambaran kita sendiri adalah godaan yang kita semua hadapi. Gereja-gereja Barat saat ini hidup dalam masyarakat dengan kekayaan dan kemakmuran yang sangat meluas, dan dengan cerita kemenangan memimpin diri sendiri yang diterima dalam tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Bahaya yang kita hadapi adalah kita menyaring secara tidak sengaja dampak sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan yang sangat besar dari kehidupan dan pengajaran Yesus. Ketika hal itu terjadi, sebagaimana yang sering terjadi, yang tersisa dalam narasi komunitas iman hanyalah Yesus yang membatasi diri untuk menangani sejumlah kecil masalah moral pribadi saja.

    Ini bukanlah Yesus yang ada dalam kitab-kitab Injil. Karena Yesus Kristus memberikan teladan dan mengajarkan etika kehidupan yang konsisten, bukan etika yang sangat terbatas dan dibatasi pada masalah-masalah perilaku seksual dan kejujuran pribadi saja — betapapun pentingnya hal itu. Etika Yesus mencakup jauh lebih dari itu.

    Jadi, karakter ilahi tidak hanya berkembang sebagai hasil transformasi pribadi. Dalam konteks komunitaslah karakter itu terutama dirawat dan dikembangkan. Dan komunitas itu harus menemukan cara untuk menyingkapkan titik-titik buta yang tak terelakkan dari pandangannya pada Yesus. Seperti yang ditulis Benjamin Farley:

    Perjanjian Baru, selaras dengan Alkitab Ibrani, menekankan konteks yang tak tergantikan dalam komunitas orang percaya, yang dalam hal ini adalah gereja, ekklesia. Di dalam konteks iman, pengharapan, dan kasih yang merawat inilah kehidupan Kristen, sebagai sebuah proses, berlangsung. Bukan persoalan pribadi saja, tetapi dihadapkan pada budaya asing dan bermusuhan itulah yang membentuk tindakan moral Kristen. [1]

    Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.

    Mengembangkan Karakter Yesus di Dunia Kerja

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Etika kebajikan memiliki pelajaran-pelajaran penting untuk diajarkan pada kita:

    • Membuat keputusan etis di dunia kerja jauh lebih dari sekadar mengembangkan proses pengambilan keputusan yang baik. Bahkan jauh lebih dari sekadar menyetujui "Kode Etik." Menjadi seperti siapa kita itulah yang secara substansial membentuk pilihan-pilihan etis kita.

    • Kita tidak dapat mengembangkan karakter Allah sendirian. Kita membutuhkan orang lain. Ketika kita berkomitmen pada komunitas yang berusaha menceritakan kembali, memahami, menerima, dan menghidupi cerita Injil, kita jauh lebih mungkin menjadi orang yang berkebajikan. Dan dunia bisnis pastinya membutuhkan orang-orang yang berkarakter.

    Komunitas seperti itu harus menemukan cara untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang karakter Yesus, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit dan tidak mengenakkan yang membantu kita menghadapi pandangan kita yang terbatas tentang kehidupan yang baik. Ketika hal ini terjadi, kita cenderung tidak akan meniru banyak contoh menyedihkan tentang orang Kristen yang menjalankan bisnis dengan cara yang sama sekali tidak Kristen.

    Jika Anda datang ke sini dari artikel Presentasi Etika Sistematis, klik di sini untuk kembali ke awal Presentasi Sistematis. Jika tidak, silakan lanjutkan membaca yang berikut ini.

    Menggabungkan Semuanya

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Perintah, Konsekuensi, Karakter – tiga pendekatan berbeda dalam membuat keputusan etis. Dan, seperti yang telah kita lihat, ada banyak variasi dalam aliran-aliran ini. Kebenarannya, dalam situasi nyata sehari-hari, banyak orang menggunakan kombinasi dari beberapa pendekatan. Contohnya, sulit menerapkan perintah atau aturan tertentu tanpa memikirkan juga konsekuensi dari tindakan-tindakan itu. Pada saat yang sama, ketika kita memikirkan dan membandingkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda, kita perlu mengidentifikasi aturan-aturan yang mengarahkan kepada hasil-hasil itu. Dan pada akhirnya, apa pun yang kita putuskan dalam teori itu, karakter dan keterbukaan terhadap pimpinan Roh Kuduslah yang sebenarnya seringkali menentukan bagaimana kita bertindak.

    Jadi, dalam membuat keputusan moral, kita akan mendapati diri kita berada dalam tarian etis yang melibatkan interaksi-interaksi yang saling memengaruhi di antara berbagai pendekatan ini.

    Rangkuman Ketiga Pendekatan

    Deontologi

    Teleologi

    Kebajikan

    Konsep Kunci

    Perintah/Aturan

    Konsekuensi/Hasil

    Karakter

    Pertanyaan Utama

    Apa aturan yang berlaku?

    Apa yang akan mendatangkan hasil terbaik?

    Apakah saya akan menjadi orang baik?

    Yang manakah dari pendekatan-pendekatan ini yang Anda sukai dalam pengambilan-keputusan Anda sendiri? Seringkali hal ini tergantung pada sifat situasi yang Anda hadapi. Sebagai contoh, apakah Anda sedang berusaha menyelesaikan persolan moral yang besar ataukah pilihan moral sehari-hari? Mari kita jelaskan maksudnya.

    Persoalan Moral Yang Besar

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Terkadang persoalan moral yang besar membutuhkan dan memungkinkan pertimbangan yang matang dalam jangka waktu yang lama. Dalam kasus-kasus seperti itu, salah satu cara melakukan proses pengambilan keputusan ini bisa sebagai berikut:[1]

    1. Mengumpulkan semua fakta yang relevan.

    2. Memperjelas masalah-masalah etis utama.

    3. Mengdentifikasi aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang relevan untuk kasus itu.

    4. Merujuk ke sumber-sumber panduan yang penting — terutama Alkitab, dengan keterbukaan pada cara terbaik dalam membaca Alkitab untuk mengatasi situasi ini. Namun juga merujuk ke sumber-sumber relevan lainnya.

    5. Membuat daftar semua tindakan alternatif.

    6. Membandingkan alternatif-alternatif itu dengan prinsip-prinsip.

    7. Menghitung kemungkinan hasil dari setiap tindakan dan memikirkan konsekuensi-konsekuensi.

    8. Merenungkan keputusan Anda dalam doa di hadapan Tuhan.

    9. Membuat keputusan dan menindaklanjutinya.

    Seperti yang dapat Anda lihat, menentukan arah/tindakan ketika dihadapkan pada keputusan moral yang besar membutuhkan banyak “darah, keringat, dan air mata” (usaha keras dan pengorbanan)! Terutama bagi organisasi. Tetapi dalam memutuskan persoalan sehari-hari yang kita hadapi sebagai individu, kehidupan yang berjalan cepat kemungkinan membuat kita lebih efisien.

    Pilihan Moral Sehari-hari

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Kita sudah menyatakan bahwa sebagian besar keputusan etis dalam kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari dibuat secara instan, seringkali di bawah tekanan dan tanpa banyak kesempatan untuk berpikir panjang. Keputusan-keputusan ini bersifat naluriah, hasil dari kebiasaan-kebiasaan seumur hidup dan juga dipengaruhi oleh budaya tempat kita bekerja, kelompok sebaya dan komunitas iman tempat kita berada. Keputusan-keputusan ini dipengaruhi oleh sejauh mana kebajikan dan karakter Kristen telah tertanam di dalam diri kita. Inilah pemuridan Kristen yang umum.

    Tetapi, pentingnya “menjadi” sebagai dasar untuk kita “melakukan” tidak berarti kita tidak memerlukan penalaran moral. Dalam kehidupan yang baik, masih ada tempat untuk memahami aturan-aturan dan memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi – tetapi di sini, aturan dan konsekuensi berada di bawah kebajikan dan dipandang sebagai pelayan, bukan tuan. Sebagai contoh, orang yang memiliki kebajikan kejujuran pun harus memahami dan mematuhi Prinsip Akuntansi Yang Berlaku Umum (Standar Pelaporan Keuangan Internasional, di luar AS) agar dapat membuat laporan-laporan keuangan yang akurat. Istilah seperti "menurut pendapat kami" dan "tak dapat diperkirakan" memiliki definisi khusus yang harus diikuti. Tetapi orang yang jujur ​​selalu menggunakan aturan yang meningkatkan keakuratan laporan keuangan secara menyeluruh, dan tidak pernah mencari cara untuk mengaburkan kebenaran tanpa melanggar hukum.

    Penekanan pada kebajikan tidak menghilangkan masalah moral. Bahkan, kebajikan yang saling bersaing bisa menarik kita ke arah yang berbeda-beda. Contohnya adalah ketegangan yang kadang timbul antara keadilan dan kedamaian, kesetiaan dan kebenaran, atau keberanian dan kehati-hatian.

    Membuat keputusan moral yang baik dalam hal ini bukan tentang mencari satu jawaban yang benar (karena jawabannya kemungkinan tidak hanya satu), tetapi lebih tentang memperjuangkan respons-respons kristiani yang seimbang yang mengakui semua prioritas yang saling bersaing.

    Kita tidak hanya dibiarkan berjuang sungguh-sungguh setiap waktu untuk mengenali dan menjalani respons-respons kristiani yang sempurna. Sesungguhnya, menyadari bahwa kita hidup di dunia yang telah jatuh berarti menyadari bahwa seringkali tidak ada respons kristiani yang sempurna — bahwa kadang semua tindakan mengandung konsekuensi negatif. Hanya oleh kasih karunia Allah kita dapat diampuni dan hidup merdeka sebagai orang Kristen. Tidak lagi sangat bergantung pada upaya melakukan hal yang benar untuk mendapat perkenan Allah, tetapi tetap berkomitmen untuk berusaha melakukan hal yang benar sebagaimana ditentukan oleh karakter Tuhan dan Juru Selamat kita, tukang kayu dari Nazaret, yang jejak langkah-Nya kita ikuti saat kita melakukan pekerjaan sehari-hari.

    Klik di sini untuk kembali ke bagian awal artikel Etika Kerja

    Klik di sini untuk membaca Presentasi Etika Sistematis

    Klik di sini untuk membaca Daftar Pustaka

    Penginjilan – Memberitakan Injil di Tempat Kerja (Tinjauan Umum)

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Pemikiran bahwa setiap orang Kristen dipanggil untuk memberitakan Injil menggelisahkan banyak orang Kristen, karena kebanyakan dari kita merasa tidak berbakat untuk menjadi penginjil. Meskipun menjadi bagian dalam perjalanan iman seseorang itu menggetarkan, namun memulai percakapan rohani dengan rekan-rekan di tempat kerja dapat menimbulkan kecemasan besar.

    Mungkin hal ini sedang Anda alami – dengan banyak alasan yang dapat dimengerti. Anda mungkin merasa tidak siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan rekan-rekan kerja pada Anda. Anda mungkin merasa memulai percakapan rohani di tempat kerja itu tidak cocok – atau begitulah yang Anda ketahui. Anda mungkin merasa agak terintimidasi dengan sikap-sikap bermusuhan terhadap Kekristenan yang ditunjukkan beberapa rekan kerja. Anda mungkin berpikir membagikan iman Anda bisa menimbulkan konflik dan membangkitkan perasaan negatif pada rekan-rekan kerja. Anda mungkin merasa tidak mampu karena—ehm, Anda tahu iman Anda sendiri belum patut dicontoh di tempat kerja.

    Definisi Penginjilan Yang Dapat Dilaksanakan

    Penginjilan adalah

    proses organis terlibat secara intensional

    pribadi-pribadi dalam perjalanan rohani mereka

    bergabung dengan Roh Kudus

    memerhatikan di mana Dia sudah bekerja

    menolong pribadi-pribadi mengambil satu langkah lebih dekat kepada Allah

    dan hidup baru dalam Kristus

    menjadi cerminan unik dari gambar Kristus

    sebagai orang-orang yang dibangkitkan, dimuliakan sesuai rencana Allah

    Keberhasilan dalam penginjilan terus-menerus mengambil inisiatif, memakai karunia-karunia dan kesempatan-kesempatan yang diberikan Allah pada kita untuk menolong orang-orang mengambil satu langkah lebih dekat kepada Kristus.

    Tetapi bagaimana jika Anda tahu bahwa menjadi bagian dari perjalanan iman seseorang kepada Kristus dapat dimulai dengan hal-hal sederhana seperti minum kopi bersama seorang teman, menghibur orang yang mengalami minggu yang kacau di tempat kerja, atau menawarkan bantuan kepada pimpinan atau rekan kerja yang sedang tertekan? Bagaimana jika kita sungguh-sungguh memercayai perkataan Yesus tentang mengabarkan Injil kepada orang lain?

    • Bagaimana jika kita percaya bahwa Yesus memberi kita kuasa untuk bertindak atas nama-Nya dalam memenuhi panggilan kita sebagai saksi-saksi-Nya di tempat kerja, bahwa “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi.” (Matius 28:18)?

    • Bagaimana jika janji-Nya benar bahwa “Penolong, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26)?

    • Bagaimana jika kita yakin dengan kehadiran Kristus—bahwa Dia menyertai kita senantiasa di segala tempat, dan dalam setiap situasi (Matius 28:20)?

    • Bagaimana jika dalam interaksi-interaksi singkat dan bincang-bincang informal tentang iman kita, kita tahu Roh Kudus bekerja di hati dan pikiran orang untuk “menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman” (Yohanes 16:8)?

    • Bagaimana jika kita tahu bahwa kita tidak harus sempurna dan selalu mengatakan hal yang tepat – bahwa Allahlah yang bekerja untuk menarik orang kepada diri-Nya dan “tidak ada seorang pun yang datang kepada-Ku jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa” (Yohanes 6:44)?

    • Bagaimana jika kita mengerti bahwa dengan melakukan tugas kita dengan baik di tempat kerja, kita bisa menjadi terang bagi rekan-rekan kerja “supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga” (Matius 5:16)?

    Inilah yang dipercayai orang Kristen mula-mula dan cara mereka melihat peran mereka dalam memenuhi Amanat Agung untuk menjadikan murid di segala suku bangsa—yang mengubah dunia. Inilah kisah sukses komunikasi terbesar dalam sejarah manusia—bagaimana Injil tersebar sampai ke wilayah Mediterania dan akhirnya ke seluruh ujung bumi. Sesaat menjelang kenaikan-Nya ke surga, Yesus menjelaskan rencana strategis-Nya untuk menjangkau seluruh dunia dengan Injil Kerajaan Allah kepada para pengikut-Nya. Yesus mendekati mereka dan berkata “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Matius 28:18-20). “Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem, dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kisah Para Rasul 1:8). Murid-murid abad pertama menerima tugas ini, dan pengikut Yesus berkembang dari beberapa ratus sebelum hari Pentakosta menjadi lebih dari enam juta jiwa pada akhir abad ketiga [1]—pertumbuhan yang luar biasa pesat menurut perhitungan siapa pun.

    Tugas Memberitakan Injil

    Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar Isi

    Kita mungkin tergoda untuk percaya bahwa pertumbuhan eksponensial gereja mula-mula adalah hasil dari kotbah-kotbah dahsyat Petrus, Paulus dan beberapa pembicara berbakat lainnya yang pekerjaannya memberitakan Injil. Atau kita mungkin memuji strategi Paulus yang menargetkan pusat-pusat budaya penting dan menanam gereja-gereja yang dapat menyebarkan Injil ke seluruh daerah pedalaman di sekitarnya. Upaya-upaya ini memang patut diperhatikan – bagaimanapun semuanya tertulis di Alkitab [1] —tetapi yang jauh lebih penting adalah fakta bahwa orang Kristen mula-mula dari setiap etnis, gender dan lapisan masyarakat sangat bergairah untuk memperluas Kerajaan Kristus. Mereka berkomitmen untuk “bertindak sebagai duta-duta besar Kristus kepada dunia yang memberontak, apa pun konsekuensinya.”[2]

    Orang Yang Pergi ke Gereja Percaya tentang Hal Membagikan Iman, tetapi Kebanyakan Tak Pernah Melakukannya

    Studi yang diadakan LifeWay Research menemukan bahwa 80 persen dari orang yang pergi ke gereja sebulan sekali atau lebih, percaya bahwa mereka punya tanggung jawab pribadi untuk membagikan iman mereka, tetapi sebagian besar tidak pernah melakukannya.

    Sejarah dan Perjanjian Baru menunjukkan bahwa Injil tersebar dengan sangat cepat di sepanjang rute-rute perdagangan, tempat-tempat umum, dan dari rumah ke rumah – atau dalam bahasa Yunaninya, dari oikos ke oikos. Oikos adalah unit sosial dan ekonomi dasar di dunia Yunani-Romawi —bukan hanya sebagai rumah tempat tinggal keluarga, tetapi sebagai tempat bisnis rumahtangga kecil di zaman kuno yang meliputi para anggota keluarga besar, karyawan, dan pelanggan yang sering datang ke tempat itu.

    Melalui percakapan-percakapan informal di dalam dan di antara oikos-oikos inilah orang-orang percaya, laki-laki dan perempuan, memberitakan Injil kepada teman, kerabat, rekan kerja, kolega, pelanggan, murid, guru dan sesama prajurit – melalui jaringan relasi di tempat kerja mereka. Mereka bukan rohaniwan profesional, tetapi pekabar Injil informal.

    Sejak di Kisah Para Rasul 8 kita sudah mendapati bahwa orang-orang yang terusir dari Yerusalem sebagai akibat penganiayaan sesudah Stefanus mati dibunuh sebagai martir bukanlah para rasul tetapi para misionaris “amatir” yang membawa Injil bersama mereka ke mana pun mereka pergi…. Penginjilan mereka tentu bukan mengajar secara formal, tetapi melalui percakapan informal dengan teman dan kenalan yang dijumpai secara tak terduga, di rumah-rumah dan kedai minuman, di jalan-jalan dan pasar-pasar. Mereka pergi ke mana saja sambil membicarakan Injil; mereka melakukannya secara alami, dengan antusias dan dengan keyakinan mereka yang tidak dibayar untuk mengatakan hal-hal itu.[3]

    Sebagai akibatnya, tempat kerja menjadi medan paling strategis dalam pekabaran Injil gereja mula-mula. Saat ini, gereja Yesus Kristus juga sedang mengalami pertumbuhan eksponensial yang sama di Dunia Selatan – yang menimbulkan pertanyaan: Dengan adanya lebih dari 340.000 gereja [4] dan lebih dari 600.000 rohaniwan [5] serta 75 persen orang Amerika yang “mencari cara-cara untuk hidup lebih bermakna,” [6] mengapa populasi Kristen di Barat menyusut, sementara populasi non-religius meningkat? [7]

    Dengan semakin jauhnya budaya Barat dari Kristus, kita bisa berasumsi bahwa menjangkau orang dengan Injil menjadi makin sulit. Dalam satu hal, ini benar. Memang makin sulit untuk mengajak orang pergi ke gereja, mendengarkan pemaparan Injil dari orang asing, atau menghadiri kebaktian kebangunan rohani. Tetapi pintu Injil tetap terbuka lebar melalui relasi-relasi pribadi. Sesungguhnya, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa 90 persen anggota jemaat yang datang pada Kristus ketika mereka dewasa, menjadi percaya karena relasi mereka dengan satu atau lebih orang Kristen di luar gereja.[8] Inilah yang membuat tempat kerja sangat strategis. Di situlah sesungguhnya pekerjaan yang kita lakukan setiap hari tidak hanya berkontribusi bagi kemajuan umat manusia, tetapi juga memberi bukti nyata bahwa Injil benar-benar Kabar Baik.