Apa Saja Kewajiban Wayne Menurut Hukum Itu?
Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Wayne tahu bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen (di Selandia Baru) memberikan enam garansi kepada konsumen tentang kendaraan yang dibeli. Yang terpenting adalah kendaraan itu harus memiliki kualitas yang sesuai. Kendaraan itu harus:
Sesuai dengan tujuan penggunaan jenis kendaraan itu.
Dapat diterima dari segi ‘finishing’ (hasil pengerjaan akhir) dan penampilan.
Bebas dari cacat-cacat kecil.
Aman.
Tahan lama — dengan kata lain, kendaraan itu dapat digunakan untuk pemakaian normal selama jangka waktu yang wajar setelah pembelian.
Usia dan harga kendaraan harus diperhitungkan saat memutuskan apakah kendaraan itu memenuhi kualitas yang layak.
Jadi, berapa lama yang dianggap sebagai jangka waktu yang "wajar" setelah pembelian? Tidak ada jawaban yang ditentukan dengan jelas untuk pertanyaan ini, sehingga kewajiban hukum Wayne tidak pasti. Tetapi, untuk mobil Camry umur tujuh tahun dengan jarak tempuh sedang seperti yang dijual Wayne, tiga bulan atau 5000 kilometer (km) akan dianggap sebagai jangka waktu yang "wajar" bagi Wayne untuk secara hukum berkewajiban memperbaiki mobil itu. Klien bisa saja berpikir bahwa enam atau dua belas bulan itu "wajar". Tetapi jangka waktu dua belas bulan kemungkinan tidak akan diakui jika suatu saat diproses secara hukum di pengadilan.
Wayne bertanya kepada klien itu berapa kilometer ia telah mengendarai mobil itu selama dua belas bulan. Jawabannya adalah 22.000 km. Hal ini menunjukkan pada Wayne bahwa ia sebenarnya tidak memiliki kewajiban hukum untuk memperbaiki kerusakan itu. Jangka waktu setelah penjualan maupun jarak yang sudah dilalui jauh melampaui batas garansi yang "wajar" untuk mobil dengan usia dan jarak tempuh seperti ini.
Perintah Hukum dan/atau Moral?
Meskipun Wayne merasa yakin ia tidak memiliki kewajiban hukum untuk membayar biaya perbaikan, keresahannya tentang masalah itu belum berakhir. Ia tahu bahwa legalitas dan moralitas bukanlah hal yang sama. Hukum biasanya menetapkan standar moral minimum masyarakat untuk melindungi orang-orang. Wayne teringat pada suatu kejadian yang diceritakan temannya baru-baru ini. Dewan Direksi perusahaan tertentu sedang rapat membicarakan sebuah proposal bisnis. Tanggapan awal yang dibahas adalah tentang legalitas proposal itu, yang segera menjadi jelas bahwa usulan itu tidak melanggar hukum. Namun kemudian seorang direktur berkata, "Memang legal, tetapi apakah itu benar?"
"Begitu pertanyaan itu diajukan," kata teman Wayne, "keheningan menyelimuti ruang rapat, karena kami semua tahu jawabannya adalah 'Tidak', bahkan sebelum kami sempat membahas alasannya."
Wayne tahu bahwa yang dikatakan hukum itu jelas tidak cukup. Tetapi, berpikir melampaui standar minimum hukum tidak selalu mudah. Standar lebih tinggi apa yang harus dipatuhi sebuah perusahaan? Ada suatu masa di masyarakat Barat ketika prinsip-prinsip etika Kristen menjadi standar yang lebih tinggi yang diterima secara luas — jika tidak secara universal. Di Amerika, perusahaan J.C. Penney — jaringan toserba besar — dikenal sebagai "Toserba Aturan Emas," dan dianggap tepat untuk membuat ketentuan layanan pelanggan yang didasarkan perintah-perintah Alkitab. Tak diragukan hal serupa berlaku (atau masih berlaku) di masyarakat yang diidentikkan dengan satu agama atau filsafat tertentu.
Namun seiring dengan makin sekulernya masyarakat Barat, pertimbangan agama menjadi tidak dapat diterima lagi sebagai dasar etika perusahaan. Padahal, tidak ada sumber panduan etika lain yang dapat diterima secara luas seperti yang pernah diterima etika alkitabiah saat itu. Secara umum ini berarti tidak ada sumber panduan etika selain yang hanya sekadar mematuhi hukum. Ini menjadi masalah bagi banyak sekolah bisnis ketika mereka hendak membicarakan etika. Karena ingin menegaskan status sekuler mereka dan menunjukkan bahwa mereka bebas dari keberpihakan atau campur tangan agama, mereka akhirnya seringkali mengabaikan moralitas dan nilai-nilai. Hasilnya adalah fokus yang sempit yang hanya berkutat di sekitar hal-hal yang legal saja. Diskusi di antara para direktur perusahaan di atas menunjukkan kepicikan sikap ini. Mereka semua tahu ada yang salah, tetapi mereka tidak punya cara untuk membicarakannya.
Perintah Yang Melampaui Hukum
Meskipun ada banyak kesulitan, pendekatan etika Kristen mencari perintah Allah yang akan mengatakan dengan jelas apa yang benar dan yang salah. Dalam beberapa hal, tidak sulit menemukan ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang masalah kerja dan ketenagakerjaan, misalnya. Dalam hal-hal lainnya, mungkin sangat sulit untuk mengidentifikasi, memahami, atau menerapkan ayat-ayat Alkitab dengan tepat. Bagaimana kita tahu aturan dan prinsip yang mana yang berlaku untuk situasi tertentu? Ada banyak sistem yang berbeda dalam menerapkan ayat Alkitab.
Jadi, dari mana Wayne mulai mencari jawaban atas persoalannya ini?
