Presentasi Etika Sistematis
Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
		Pendahuluan
Pandangan Kristen tentang kerja agak unik/khas karena menekankan bahwa pekerjaan manusia pada akhirnya mendapatkan makna dan tujuannya dari karakter dan tujuan-tujuan Allah. Siapa Allah dan apa yang dilakukan-Nya itulah yang membentuk cara kita memandang dunia, tempat kerja dan pekerjaan kita di dunia, serta nilai-nilai yang kita pegang dalam bekerja. Dasar pemikirannya adalah menyadari bahwa Allah terus bekerja di dunia ini dan kita adalah para pekerja yang diciptakan menurut gambar- Nya dan diundang untuk bekerja sebagai mitra dalam pekerjaan Allah yang masih terus berlangsung. Kita bekerja untuk mendukung penggenapan tujuan-tujuan Allah melalui pekerjaan kita dan mencerminkan karakter Allah dalam cara kita bekerja. Pemahaman kita tentang realitas inilah yang membawa masuk perspektif-perspektif Kristen yang khas ini ke dalam pandangan kita tentang etika kerja. Namun, kita akan memulai dengan beberapa tinjauan etika yang lebih umum.
Definisi
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKata "etika" berasal dari kata Yunani ethos, yang memiliki dua arti dalam pemakaian umum bahasa Yunani: kebiasaan atau adat, dan aturan atau hukum. Penggunaan di Perjanjian Baru mencakup kedua dimensi ini. Contohnya, di Kisah Para Rasul 25:16 kata itu biasanya diterjemahkan menjadi “kebiasaan" ("bukanlah kebiasaan pada orang-orang Roma untuk menyerahkan seorang"), sedangkan di 1 Korintus 15:33 diterjemahkan sebagai "moral" atau "karakter" ("Pergaulan yang buruk merusakkan moral yang baik" – diterjemahkan dari Alkitab bahasa Inggris versi NIV).
Kedua kata ini — etika dan moral — sering digunakan secara bergantian. Anda bisa berkata bahwa etika adalah studi atau ilmu tentang prinsip-prinsip moral yang mengatur atau memengaruhi perilaku kita. Dennis Hollinger berkata bahwa etika adalah “…studi sistematis tentang norma-norma yang benar dan salah, adil dan tidak adil, baik dan jahat, dengan tujuan menerapkan norma-norma ini dalam realitas hidup kita.”[1]
Kehidupan Kristen yang etis berkaitan dengan “…mengatur langkah-langkah kita dalam setiap situasi kehidupan berdasarkan komitmen-komitmen iman mendasar yang kita anut sebagai orang Kristen.”[2] Atau, menurut definisi lain: “Etika Kristen adalah upaya memberikan kerangka dan metode dalam membuat keputusan-keputusan yang akan menghormati Allah sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci, mengikuti teladan Yesus dan menanggapi Roh Kudus, untuk mencapai hasil yang mendukung tujuan-tujuan Allah di dunia.”[3]
Berbagai Pendekatan Etika
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTINJAUAN UMUM
Kita perlu menempatkan pendekatan etika Kristen kita pada kerangka pemahaman berbagai pendekatan etika yang berbeda dan penalaran moral secara umum.[5] Ada tiga pendekatan berbeda yang paling sering diidentifikasi. Ketiganya dapat digambarkan secara singkat sebagai pendekatan perintah, konsekuensi, dan karakter.[1]
Pendekatan Perintah
Pendekatan perintah bertanya, "Apakah tindakan ini sendiri pada hakikatnya benar atau salah, menurut hukum/aturan?" Pendekatan ini sering disebut pendekatan deontologi (dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban atau aturan [2]). Pendekatan ini didasarkan pada proposisi bahwa tindakan-tindakan pada dasarnya benar atau salah, sebagaimana ditentukan oleh seperangkat aturan atau kewajiban. Perangkat kewajiban/aturan ini bisa diberikan oleh perintah ilahi, hukum alam, logika rasional, atau sumber lain. Dalam etika Kristen, kita tertarik pada perintah-perintah yang diberikan Allah atau yang disimpulkan secara logis dari penyataan-diri Allah dalam Alkitab.
Pendekatan Konsekuensi
Pendekatan konsekuensi bertanya, "Apakah tindakan ini akan mendatangkan hasil yang baik atau buruk?" Pendekatan ini sering disebut pendekatan teleologi (dari kata Yunani telos yang berarti akhir [8]) karena pendekatan ini berkata bahwa hasil akhir menentukan tindakan apa yang benar secara moral. Tindakan paling bermoral dapat ditentukan oleh: 
Apa yang akan menghasilkan kebaikan terbesar? Salah satu contoh pendekatan teleologis yang terkenal adalah Utilitarianisme,[3] yang mendefinisikan kebaikan terbesar sebagai apa saja yang akan mendatangkan kebahagiaan terbesar bagi sebagian terbesar manusia.
Apa yang paling mendukung kepentingan pribadi seseorang? Sebagai contoh, sistem yang dikenal sebagai Egoisme Etis [4] berasumsi bahwa cara yang paling memungkinkan untuk mencapai kepentingan terbaik semua orang adalah dengan setiap orang mengejar kepentingan terbaiknya sendiri, dalam batas-batas tertentu.
Apa yang akan mendatangkan hasil akhir yang paling sesuai dengan maksud Allah atas ciptaan-Nya? Pendekatan ini dapat berfokus pada tujuan yang lebih rendah, seperti mencapai kualitas hidup yang lebih baik bagi orang cacat, maupun tujuan tertinggi/utama, seperti memuliakan Allah dan menikmati-Nya selamanya. Dalam hal situasi yang rumit, pendekatan ini berusaha memperhitungkan tindakan-tindakan mana yang akan memaksimalkan keseimbangan kebaikan atas kejahatan.
Karena kebahagiaan maupun kepentingan pribadi bukanlah hasil tertinggi yang Allah inginkan bagi ciptaan-Nya, maka Utilitarianisme maupun Egoisme Etis biasanya tidak dianggap sebagai bentuk etika Kristen. Namun, ini tidak berarti konsekuensi-konsekuensi tidak penting secara etis bagi Allah, sama seperti fakta bahwa adanya sistem-sistem aturan yang tidak akitabiah tidak berarti perintah-perintah yang etis tidak penting bagi Allah.
Pendekatan Karakter
Pendekatan ini bertanya, “Apakah pelaku orang baik dengan motif-motif yang baik?” Dalam pendekatan ini, tindakan paling bermoral ditentukan oleh pertanyaan-pertanyaan tentang karakter, motif, dan kesadaran bahwa individu-individu tidak bertindak sendiri karena mereka juga bagian dari komunitas-komunitas yang membentuk karakter, sikap, dan tindakan mereka. Pendekatan ini sering disebut etika kebajikan.[11] Sejak permulaan era Kristen, kebajikan telah diakui sebagai unsur esensial dalam etika Kristen. Namun, sejak zaman Reformasi sampai akhir abad ke-20, etika kebajikan — seperti halnya etika konsekuensi — tertutupi oleh etika perintah di banyak pemikiran etika Protestan.
Lalu bagaimana ketiga pendekatan yang berbeda ini diterapkan pada etika Kristen?
