Persaingan di Dunia Kerja (Tinjauan Umum)
Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Persaingan adalah realita kerja sehari-hari. Namun, apakah orang Kristen boleh bersaing? Atau, apakah kita harus sedapat mungkin menghindari persaingan? Haruskah kita menggunakan segala pengaruh yang kita miliki untuk mengurangi atau bahkan meniadakan persaingan?
Kita semua tahu betapa sulitnya untuk berhasil di pasar yang bersaing, dan betapa kita terus-menerus tergoda untuk mencari keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain – model persaingan “dog-eat-dog” (kejam dan saling menjatuhkan). Pada saat yang sama kita tahu bahwa persaingan juga membawa dampak yang menguntungkan. Sebagai contoh, harga ponsel dan tiket pesawat mengalami kemajuan signifikan sejak persaingan di sektor-sektor itu diperkenalkan. Kawasan yang hanya memiliki satu toko kelontong cenderung mendapat layanan yang lebih buruk dan harga yang lebih tinggi dibandingkan kawasan yang memiliki tiga toko kelontong. Tekanan persaingan bisa konstruktif (mendorong munculnya yang terbaik, menciptakan nilai/manfaat dan akuntabilitas kepada konsumen/ pelanggan), namun juga bisa destruktif (menimbulkan godaan untuk mengambil jalan pintas, menipu konsumen, atau mengacaukan kinerja pesaing). Persaingan bisa menghancurkan sekaligus menciptakan kekayaan dan pekerjaan. Persaingan menumbuhkan rasa takut dan juga pengharapan.
Ketika kita mencari pandangan Kristen tentang persaingan—atau hal lainnya— Hukum Yang Terutama (Matius 22:37-39) tentang mengasihi Allah dan sesama adalah batu uji yang tak tertandingi. “Sesama” mencakup semua orang yang berinteraksi dengan kita, termasuk orang asing (Lukas 10:25-37) dan musuh (Matius 5:43-48). Bagaimana dengan para pesaing di bidang ekonomi? Karena kita berinteraksi dengan mereka (melalui aktivitas ekonomi), mereka adalah sesama kita. Namun, bagaimana kita dapat mengasihi mereka jika kita bersaing dengan mereka?
Solusi yang dianjurkan adalah mengasihi pesaing kita dengan melakukan “persaingan sebagai bentuk kerja sama.” Dengan cara ini, kita bersaing bukan hanya untuk melayani diri sendiri, keluarga dan rekan kerja kita, tetapi juga untuk para konsumen dan bahkan pesaing kita. Cara ini bukan perilaku yang lazim di dunia yang telah jatuh, tetapi memungkinkan jika kita memiliki pemahaman yang benar tentang apa sebenarnya “persaingan” itu serta formasi moral dan spiritual yang diperlukan agar tidak hanya memikirkan kepentingan kita sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain (Filipi 2:4).
Persaingan Memberi Pilihan Yang Menggiatkan Produktivitas Ekonomi
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiPersaingan terjadi ketika ada pilihan. Jika pembeli memiliki pilihan tentang produk apa yang akan dibeli dan dari siapa akan dibeli, maka para penjual berada dalam persaingan dengan satu sama lain, begitu pula para pembeli. Persaingan dapat terjadi dalam berbagai jenis aktivitas manusia—atletik, akademis, romantis, dan lain sebagainya—tetapi di sini kita akan berfokus pada persaingan ekonomi karena peran utamanya dalam hal kerja.
Kebutuhan untuk membuat pilihan, dan karenanya kebutuhan untuk bersaing, melekat pada keterbatasan, dan karenanya akan selalu ada pada manusia meskipun tidak/belum jatuh dalam dosa. Kita terbatas pada ruang, waktu, dan sumber daya, sehingga kita harus membuat pilihan tentang hal-hal apa yang akan dipakai untuk tujuan apa. Sebagai contoh yang sangat sederhana, Anda tidak bisa pergi ke acara pertandingan sepak bola pukul 8 malam dan tinggal di rumah untuk membaca buku pada pukul 8 malam. Pertandingan sepak bola dan buku bersaing untuk mendapatkan waktu dan (biasanya) juga uang Anda. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang akan menghabiskan waktu dan sumber daya Anda bersaing dengan segala hal lain yang bisa menghabiskan waktu dan sumber daya Anda. Anda harus memilih di antaranya, dengan keterbatasan waktu dan sumber daya yang Anda miliki.
Sistem yang membuat pembeli bisa bebas memilih di antara para penjual dan produk-produk yang bersaing ini disebut "ekonomi pasar". Pembeli memilih dari sejumlah produk, yang masing-masing diberi harga yang menurut pikiran penjual akan menimbulkan penjualan. Dengan menawarkan sejumlah produk, dan dengan menaikkan dan menurunkan harga, pasar yang terstruktur-rapi melayani masyarakat dengan menunjukkan berapa banyak dan jenis apa saja barang dan jasa yang diinginkan orang seperti apa dan dalam kondisi apa – informasi yang kita perlukan agar kita dapat mengatur kerja kita untuk saling melayani. Ini bukan hanya karena kita kurang memiliki kapasitas komputasi (untuk melakukan penghitungan) yang diperlukan – masalah yang bisa diatasi dengan kemajuan di bidang komputasi. Melainkan, karena satu-satunya cara yang memungkinkan untuk mengumpulkan informasi ini adalah dengan mengukur pilihan-pilihan yang akan dibuat orang ketika mereka bebas untuk memilih. Inilah tepatnya yang dilakukan pasar. Itulah sebabnya banyak yang benar-benar menyebutnya sebagai "riset pasar". Informasi yang diperlukan untuk mengatur semua aktivitas ekonomi manusia secara kolektif tidak dapat dikumpulkan dengan cara lain, karena memang tidak ada yang memiliki informasi itu. Katakanlah Anda melihat sepotong roti seharga Rp 15.000 dan membelinya. Apakah Anda akan membelinya jika harganya Rp 14.000? Rp 10.000? Rp 20.000? Rp 40.000? Tidak ada yang tahu. Anda sendiri pun tidak tahu, karena Anda tidak memikirkannya. Informasi itu tidak ada dan tak mungkin ada selain hanya memilih apakah akan membelinya. Tetapi memiliki informasi ini – bukan hanya untuk Anda sendiri tetapi untuk setiap konsumen roti, dan tidak hanya untuk roti tetapi untuk semua produk yang mungkin Anda beli yang bukan roti – diperlukan untuk mengatur produksi roti secara kolektif.[1]
Allah yang memiliki pengetahuan tak terbatas tentu saja dapat memerintahkan produksi dan distribusi yang sangat tepat tanpa memerlukan pasar. Tetapi, kecuali dan sampai Allah melakukannya, manusia harus memilih produk dan layanan yang tampaknya terbaik, mengingat keterbatasan waktu dan sumber daya yang mereka miliki. Ketika setiap kita menawarkan produk dan layanan kita kepada satu sama lain, kita pasti akan saling bersaing untuk menawarkan opsi-opsi yang paling menarik.
Persaingan Mendapat Tempat di dalam Alkitab
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiTerlibat dalam persaingan ekonomi tampaknya dibolehkan dalam Alkitab. Deskripsi tentang wanita saleh di Amsal 31 memujinya berulang-ulang karena terlibat dalam transaksi ekonomi di pasar yang bersaing. Ia memberi dengan murah hati kepada orang-orang yang kesusahan (Amsal 31:20) tetapi ia juga pintar dalam membeli (Amsal 31:13, 14, 16) dan menjual (Amsal 31:18, 24, 28). Usahanya menguntungkan (Amsal 31:18) dan keluarganya mendapat kekayaan (Amsal 31:11) dan kedudukan sosial (Amsal 31:23, 31). Kata Ibrani yang diterjemahkan “menguntungkan” di Amsal 31:18 merujuk secara khusus pada keuntungan yang didapat dari transaksi pasar. [1] Barang-barang yang ia jual dengan sangat menguntungkan diakui sebagai kontribusi bagi masyarakat (Amsal 31:31).
Seperti kita ketahui, pasar-pasar secara alami selalu bersaing, dan Yesus tampaknya bekerja dalam bisnis yang barang-barangnya dijual di pasar (Markus 6:3), seperti juga Paulus (Kisah Para Rasul 18:3) dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya. Paulus berbicara tentang membeli di pasar (1 Korintus 10:25) sebagai aktivitas sehari-hari yang bisa kita lakukan. Kita menemukan hal ini tercermin dalam banyak referensi ayat Kitab Suci tentang membeli dan menjual; aturan perdagangan dalam hukum Perjanjian Lama (seperti di Imamat 19 dan Ulangan 25) dan keprihatinan tentang keadilan dalam kitab nabi-nabi (seperti di Yeremia 5:27-29 dan Yehezkiel 18:7-13), sastra dan puisi tentang hikmat (seperti Mazmur 94 dan Amsal 20), serta kelanjutan dari keprihatinan-keprihatinan ini di Perjanjian Baru (seperti di Matius 25 dan Yakobus 4). Regulasi-regulasi ini menunjukkan bahwa persaingan berpotensi melukai orang—hal yang akan kita bahas sebentar lagi—tetapi juga bahwa firman Allah mengatur persaingan dan bukan meniadakannya.
Mengingat potensi manfaat dari ekonomi pasar, tak heran jika Alkitab rupanya membolehkan umat Allah terlibat dalam persaingan. Jika tidak, orang-orang percaya hanya dapat berpartisipasi dalam ekonomi komando (terpusat). Ini tidak berarti Alkitab menetapkan semacam persaingan ekonomi yang tidak terbatas, yang saling menjatuhkan atau "yang menang berhak mengambil semua keuntungan". Melainkan, ini menunjukkan bahwa pertanyaan "Bagaimana Allah ingin kita terlibat dalam persaingan?" dapat menjadi jawaban yang bermanfaat.
Persaingan Dapat Melukai Individu dan Masyarakat
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiMeskipun persaingan mendasari pilihan ekonomi dan berbagai manfaatnya, persaingan juga menjadi penyebab dari berbagai masalah yang menimpa individu dan masyarakat. Penyebabnya bukan persaingan itu sendiri, tetapi dosa yang merasuki dunia persaingan. Salah satu efek utama dosa adalah membuat orang berpikir, dengan bodohnya, bahwa kepentingan terbaik diri sendiri sangat bertentangan dengan kepentingan orang lain (Yakobus 4:1-12). Hal ini menyebabkan kita bersaing dengan berusaha melukai pesaing kita—dan juga orang-orang yang seharusnya kita layani dalam pekerjaan kita—ketimbang berusaha meningkatkan produk-produk kita. Sebuah perusahaan bisa memakai iklan palsu untuk menjatuhkan pesaing. Seorang karyawan bisa menyebarkan desas-desus tentang saingannya agar ia mendapat promosi. Seorang konsultan bisa membebankan biaya tagihan lebih banyak dari jam kerja yang sebenarnya ia habiskan untuk melayani klien.
Hukum Musa menentang dosa semacam ini dengan melindungi hak-hak kepemilikan (Ulangan 24:10-15), meminta kerja yang rajin (Keluaran 20:9) dan menghukum kecurangan (Ulangan 19:14 dan 25:13-16). Sebaliknya, di dalam kitab-kitab sejarah dan nabi-nabi di Perjanjian Lama, raja-raja yang jahat dikecam karena menumpuk kekayaan melalui pemanfaatan politik dan perampasan langsung (seperti di 1 Raja-raja 21:1-29 dan Mikha 6:9-16). Keserakahan dan kekikiran, tentu saja, dikecam tanpa memandang konteksnya – tema yang dijadikan fokus utama di Perjanjian Baru (seperti di Lukas 12:13-21)–tetapi persaingan ekonomi itu sendiri tidak diidentifikasi secara khusus sebagai hal yang tidak adil.[1]
Alkitab tidak memberi ruang untuk kenaifan terhadap bahaya-bahaya persaingan. Pikirkanlah tiga bagian Alkitab yang bisa dipilih dari sekian banyak ayat lainnya ini:
Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia, … hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. (Filipi 2:3-4)
Aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala keterampilan dalam pekerjaan berasal dari rasa iri seseorang terhadap yang lain. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. (Pengkotbah 4:4)
Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah sesamanya. Seluruh bangsa itu pun harus berkata: Amin! Terkutuklah orang yang menuntun orang buta ke jalan yang sesat. Seluruh bangsa itu pun harus berkata: Amin! Terkutuklah orang yang memperkosa hak pendatang, anak yatim dan janda. Seluruh bangsa itu pun harus berkata: Amin. (Ulangan 27:17-19)
Di sini kita melihat tiga yang terbesar dari sekian banyak godaan yang bisa ditimbulkan persaingan ekonomi:
Godaan egoisme, membuat kepentingan diri sendiri lebih penting dari kepentingan orang lain
Godaan iri hati, menilai kesejahteraan kita sendiri dengan membandingkannya dengan kesejahteraan orang lain
Godaan keserakahan, melanggar aturan main yang adil dengan mengambil kekayaan dan keuntungan dari orang lain secara tidak adil
Kejahatan-kejahatan ini sudah terlalu lazim sampai tak perlu banyak penjelasan lagi. Hal-hal seperti ini sudah menjadi pengalaman sehari-hari. Di dunia yang telah jatuh, kita tahu, orang kadang bahkan akan menyerah kepada godaan-godaan ini. Banyak yang akan menyerah secara teratur dan berulang-ulang sampai membentuk sistem kejahatan yang terorganisir. Sistem kejahatan yang terorganisir inilah yang sering disebut Kitab Suci sebagai "dunia." Tuhan bekerja di dalam gereja untuk memampukan kita hidup dalam kesalehan saat menghadapi pencobaan, dan bahkan di tengah orang-orang fasik anugerah-Nya mampu menahan kejahatan (Roma 2:14-15). Namun, tak cukup hanya memperingatkan bahwa godaan-godaan ini ada. Kita harus menyadari betapa dahsyatnya efek kejatuhan dan kejahatan dunia ini dan membuat rencana-rencana yang sesuai dengan keadaan itu (Efesus 6:12; 1 Yohanes 2:15-16). Kita memerlukan lebih dari sekadar niat baik untuk menahan diri dari godaan-godaan kejahatan dalam persaingan ekonomi.
Persaingan yang terjadi melintasi batas bangsa-bangsa dan kelompok/etnis, dan masalah-masalah etika yang ditimbulkannya menjadi jauh lebih rumit dengan adanya globalisasi. Sebagai contoh, tarif yang rendah biasanya meningkatkan peluang ekonomi bagi pekerja di negara-negara miskin, sementara pada saat yang sama cenderung menggeser pekerja dari negara-negara yang lebih kaya. Kita hampir tidak memiliki ruang di sini untuk membahas semua persoalan spesifik yang muncul di zaman kita mengenai migrasi, pembatasan perdagangan, alih daya, dll. Kita hanya dapat mencatat bahwa Alkitab menghargai itikad baik global (contohnya Imamat 24:22) dan pemberian bantuan (contohnya 1 Tesalonika 4:9-10) serta menekankan perlunya komunitas tertentu untuk hidup tertib (contohnya Roma 13:1-7; 1 Petrus 2:13-17). Dalam ketegangan antara itikad baik global dan ketertiban tertentu inilah sebagian besar ketegangan etika berada. Idealnya, kita mungkin berharap bisa menilai pilihan-pilihan sulit ini dari sudut pandang yang netral, tetapi pada kenyataannya, kita selalu lebih condong kepada yang satu daripada yang lainnya.
Persoalan etika lainnya yang penting di Alkitab adalah memberi tempat kepada orang-orang yang kalah dalam persaingan ekonomi, atau yang tidak dapat bersaing sama sekali karena tidak mampu bekerja. Hukum tentang memungut sisa panen di Perjanjian Lama merupakan contoh yang indah tentang cara memastikan bahwa ekonomi selalu memberi peluang kepada orang yang kesulitan secara ekonomi. Sebagian hasil pertanian harus ditinggalkan di ladang untuk dipungut orang miskin, yang memadukan dengan elok kewajiban orang kaya untuk bermurah hati dan kewajiban orang miskin untuk menghidupi diri sendiri dengan bekerja (Imamat 19:9, Ulangan 24:19-22). Sistem ini mendatangkan hasil yang sangat indah dalam kisah Rut, Naomi, dan Boas (Rut 2). Menemukan cara tepat yang memadukan kedua perintah ini dalam sistem ekonomi masa kini menjadi tantangan terus-menerus yang harus diterapkan umat Allah dengan saksama. Alkitab tentu saja memerintahkan agar orang yang tidak dapat bekerja ditangani dengan murah hati. Tanggung jawab utama hal ini ada di dalam keluarga, sesuai dengan kepedulian Allah terhadap integritas keluarga (contohnya 1 Timotius 5:8); tetapi juga merupakan kewajiban umum, dan gereja khususnya memiliki tanggung jawab untuk melakukan yang dapat dilakukannya dengan mengambil peran (contohnya 1 Yohanes 3:17).
Persaingan Sebagai Bentuk Kerja Sama Merupakan Solusi
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiKita telah melihat bahwa persaingan itu esensial tetapi juga dapat melukai orang. Alkitab mengakui kedua fakta ini. Alkitab menerima—dan di beberapa tempat menghargai—persaingan. Namun, Alkitab mengecam bahaya yang ditimbulkan satu sama lain ketika orang saling bersaing tanpa kasih, dan memerintahkan kita untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri (Markus 12:31). Bagaimana kita dapat menyelaraskan hal yang tampaknya bertentangan ini? Dengan melakukan persaingan sebagai bentuk kerja sama. Bahkan saat kita bersaing dengan orang lain, kita harus bekerja sama dengan mereka dan masyarakat dalam kasih dengan memerhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan tujuan-tujuan Allah. Pada bagian ini kita akan membahas bahwa berpartisipasi dalam persaingan ekonomi dapat menjadi bentuk kerja sama, dan karenanya dapat menjadi cara untuk mengasihi sesama.
Kita mulai dengan mengakui bahwa ekonomi bukan hanya akibat dari keterbatasan kita, tetapi juga hasil dari relasionalitas kita. Sebagaimana dinyatakan dalam tafsiran Proyek Teologi Kerja tentang kitab Kejadian, kita diciptakan sebagai makhluk relasional menurut gambar Allah kita yang relasional. Kita adalah makhluk yang saling bergantung dan bekerja sama dalam hampir segala hal, termasuk di dunia kerja. “Ekonomi” di satu sisi hanyalah aspek sosial dan budaya – aspek relasional dan koperatif kerja.
Kepelbagaian kebutuhan, preferensi, dan situasi kita menciptakan peluang untuk saling mengasihi melalui transaksi ekonomi. Hal-hal yang kita hasilkan atau layanan yang kita sediakan memberikan pilihan kepada orang lain. Orang yang satu mungkin lebih suka mengasihi dan memuliakan Allah serta mengasihi sesama dengan menyajikan makanan untuk orang lain, dan sebagai balasannya ia menerima sarana untuk mendengarkan musik di perangkat seluler. Orang yang lain mungkin lebih suka mengasihi dan memuliakan Allah serta mengasihi sesama dengan mengoperasikan perangkat komputer yang menyiarkan musik ke perangkat seluler, dan sebagai balasannya ia menerima makanan siap saji. Jadi, Jane sabagai pelayan restoran mencari uang dengan menyajikan makanan dan membelanjakannya untuk mengunduh lagu dari perusahaan Mary, sementara Mary yang ahli IT mencari uang dengan mengoperasikan komputer dan membelanjakannya untuk memesan makanan di restoran Jane. Dengan kata lain, kita bersaing bukan hanya karena kita ingin melakukan penjualan, tetapi karena kita juga ingin menyediakan hal yang baik untuk konsumen.
Aspek relasional kerja merupakan alasan yang lebih dalam dari keadaan "tidak baik" Adam yang seorang diri saja (Kejadian 2:18). Hawa dibutuhkan bukan hanya untuk memberi keturunan, tetapi sebagai "penolong" Adam, mitra kerja samanya dalam pekerjaan mengembangkan dan mengurus dunia. Satu orang saja tidak dapat bekerja sama, dan karenanya tidak dapat mencerminkan kemuliaan Allah Tritunggal, yang pribadi-pribadi-Nya bekerja dalam kerjasama yang kekal. Seperti dikatakan John Bolt:
“Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.” Agar kita dapat memahaminya dengan benar, kita harus menyingkirkan sejenak pandangan modern tentang “companionate marriage” (pernikahan yang didasari persahabatan dan kesetaraan). Intinya bukan bahwa Adam itu kesepian, tetapi bahwa ada yang tidak lengkap pada dirinya sebagai manusia. Jika manusia adalah gambar Allah sesuai rancangan Sang Pencipta, maka “laki-laki” perlu dilengkapi dengan “perempuan.” Di sini pada hakikatnya kita menemukan dasar dari seluruh tatanan sosial.[1]
Banyak orang secara bersama-sama – komunitas manusia – dapat melakukan pekerjaan mengelola dan memelihara ciptaan, sehingga dapat menunjukkan kasih yang relasional yaitu Allah.
Itulah sebabnya kerja sama ada di pusat kehendak Allah dalam pekerjaan kita. Perlu dicatat bahwa di samping persaingan, kerja sama merupakan tema yang konsisten dalam tafsiran Proyek Teologi Kerja. Banyak sekali penerapan masa kini yang dianjurkan dalam tafsiran ini untuk membangun kerja sama yang lebih baik di tempat kerja. Inilah perhatian yang didukung secara luas di dalam Alkitab (Mazmur 133:1; Amsal 26:21; Pengkhotbah 4:9-12; Filipi 2:1-5; 2 Timotius 2:24).
