Persaingan Dapat Melukai Individu dan Masyarakat
Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Meskipun persaingan mendasari pilihan ekonomi dan berbagai manfaatnya, persaingan juga menjadi penyebab dari berbagai masalah yang menimpa individu dan masyarakat. Penyebabnya bukan persaingan itu sendiri, tetapi dosa yang merasuki dunia persaingan. Salah satu efek utama dosa adalah membuat orang berpikir, dengan bodohnya, bahwa kepentingan terbaik diri sendiri sangat bertentangan dengan kepentingan orang lain (Yakobus 4:1-12). Hal ini menyebabkan kita bersaing dengan berusaha melukai pesaing kita—dan juga orang-orang yang seharusnya kita layani dalam pekerjaan kita—ketimbang berusaha meningkatkan produk-produk kita. Sebuah perusahaan bisa memakai iklan palsu untuk menjatuhkan pesaing. Seorang karyawan bisa menyebarkan desas-desus tentang saingannya agar ia mendapat promosi. Seorang konsultan bisa membebankan biaya tagihan lebih banyak dari jam kerja yang sebenarnya ia habiskan untuk melayani klien.
Hukum Musa menentang dosa semacam ini dengan melindungi hak-hak kepemilikan (Ulangan 24:10-15), meminta kerja yang rajin (Keluaran 20:9) dan menghukum kecurangan (Ulangan 19:14 dan 25:13-16). Sebaliknya, di dalam kitab-kitab sejarah dan nabi-nabi di Perjanjian Lama, raja-raja yang jahat dikecam karena menumpuk kekayaan melalui pemanfaatan politik dan perampasan langsung (seperti di 1 Raja-raja 21:1-29 dan Mikha 6:9-16). Keserakahan dan kekikiran, tentu saja, dikecam tanpa memandang konteksnya – tema yang dijadikan fokus utama di Perjanjian Baru (seperti di Lukas 12:13-21)–tetapi persaingan ekonomi itu sendiri tidak diidentifikasi secara khusus sebagai hal yang tidak adil.[1]
Alkitab tidak memberi ruang untuk kenaifan terhadap bahaya-bahaya persaingan. Pikirkanlah tiga bagian Alkitab yang bisa dipilih dari sekian banyak ayat lainnya ini:
Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia, … hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. (Filipi 2:3-4)
Aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala keterampilan dalam pekerjaan berasal dari rasa iri seseorang terhadap yang lain. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. (Pengkotbah 4:4)
Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah sesamanya. Seluruh bangsa itu pun harus berkata: Amin! Terkutuklah orang yang menuntun orang buta ke jalan yang sesat. Seluruh bangsa itu pun harus berkata: Amin! Terkutuklah orang yang memperkosa hak pendatang, anak yatim dan janda. Seluruh bangsa itu pun harus berkata: Amin. (Ulangan 27:17-19)
Di sini kita melihat tiga yang terbesar dari sekian banyak godaan yang bisa ditimbulkan persaingan ekonomi:
Godaan egoisme, membuat kepentingan diri sendiri lebih penting dari kepentingan orang lain
Godaan iri hati, menilai kesejahteraan kita sendiri dengan membandingkannya dengan kesejahteraan orang lain
Godaan keserakahan, melanggar aturan main yang adil dengan mengambil kekayaan dan keuntungan dari orang lain secara tidak adil
Kejahatan-kejahatan ini sudah terlalu lazim sampai tak perlu banyak penjelasan lagi. Hal-hal seperti ini sudah menjadi pengalaman sehari-hari. Di dunia yang telah jatuh, kita tahu, orang kadang bahkan akan menyerah kepada godaan-godaan ini. Banyak yang akan menyerah secara teratur dan berulang-ulang sampai membentuk sistem kejahatan yang terorganisir. Sistem kejahatan yang terorganisir inilah yang sering disebut Kitab Suci sebagai "dunia." Tuhan bekerja di dalam gereja untuk memampukan kita hidup dalam kesalehan saat menghadapi pencobaan, dan bahkan di tengah orang-orang fasik anugerah-Nya mampu menahan kejahatan (Roma 2:14-15). Namun, tak cukup hanya memperingatkan bahwa godaan-godaan ini ada. Kita harus menyadari betapa dahsyatnya efek kejatuhan dan kejahatan dunia ini dan membuat rencana-rencana yang sesuai dengan keadaan itu (Efesus 6:12; 1 Yohanes 2:15-16). Kita memerlukan lebih dari sekadar niat baik untuk menahan diri dari godaan-godaan kejahatan dalam persaingan ekonomi.
Persaingan yang terjadi melintasi batas bangsa-bangsa dan kelompok/etnis, dan masalah-masalah etika yang ditimbulkannya menjadi jauh lebih rumit dengan adanya globalisasi. Sebagai contoh, tarif yang rendah biasanya meningkatkan peluang ekonomi bagi pekerja di negara-negara miskin, sementara pada saat yang sama cenderung menggeser pekerja dari negara-negara yang lebih kaya. Kita hampir tidak memiliki ruang di sini untuk membahas semua persoalan spesifik yang muncul di zaman kita mengenai migrasi, pembatasan perdagangan, alih daya, dll. Kita hanya dapat mencatat bahwa Alkitab menghargai itikad baik global (contohnya Imamat 24:22) dan pemberian bantuan (contohnya 1 Tesalonika 4:9-10) serta menekankan perlunya komunitas tertentu untuk hidup tertib (contohnya Roma 13:1-7; 1 Petrus 2:13-17). Dalam ketegangan antara itikad baik global dan ketertiban tertentu inilah sebagian besar ketegangan etika berada. Idealnya, kita mungkin berharap bisa menilai pilihan-pilihan sulit ini dari sudut pandang yang netral, tetapi pada kenyataannya, kita selalu lebih condong kepada yang satu daripada yang lainnya.
Persoalan etika lainnya yang penting di Alkitab adalah memberi tempat kepada orang-orang yang kalah dalam persaingan ekonomi, atau yang tidak dapat bersaing sama sekali karena tidak mampu bekerja. Hukum tentang memungut sisa panen di Perjanjian Lama merupakan contoh yang indah tentang cara memastikan bahwa ekonomi selalu memberi peluang kepada orang yang kesulitan secara ekonomi. Sebagian hasil pertanian harus ditinggalkan di ladang untuk dipungut orang miskin, yang memadukan dengan elok kewajiban orang kaya untuk bermurah hati dan kewajiban orang miskin untuk menghidupi diri sendiri dengan bekerja (Imamat 19:9, Ulangan 24:19-22). Sistem ini mendatangkan hasil yang sangat indah dalam kisah Rut, Naomi, dan Boas (Rut 2). Menemukan cara tepat yang memadukan kedua perintah ini dalam sistem ekonomi masa kini menjadi tantangan terus-menerus yang harus diterapkan umat Allah dengan saksama. Alkitab tentu saja memerintahkan agar orang yang tidak dapat bekerja ditangani dengan murah hati. Tanggung jawab utama hal ini ada di dalam keluarga, sesuai dengan kepedulian Allah terhadap integritas keluarga (contohnya 1 Timotius 5:8); tetapi juga merupakan kewajiban umum, dan gereja khususnya memiliki tanggung jawab untuk melakukan yang dapat dilakukannya dengan mengambil peran (contohnya 1 Yohanes 3:17).
