Pendekatan Perintah
Artikel / Dibuat oleh Proyek Teologi Kerja
Ketika Wayne memikirkan masalahnya dengan mobil itu, ia bertanya-tanya apakah ada aturan atau perintah sederhana yang dapat membantunya menentukan hal yang benar untuk dilakukan. Satu titik awalnya cukup jelas — apakah hukum negara memberikan jawaban yang jelas? Bagaimana aturan hukum itu?
Aturan untuk Setiap Situasi?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDalam kegalauannya, Wayne mencari pertolongan dari rak bukunya. Ia menemukan buku yang bisa jadi berisi hal yang ia cari — The Businessman’s Topical Bible. [1] Pandangan sekilas menunjukkan bahwa buku ini bisa menyelesaikan masalah. Buku ini mencari ayat Alkitab tertentu untuk memberi aturan yang berkaitan dengan masalah pekerjaan tertentu yang dihadapi.
Wayne meninjau halaman-halamannya. Di dalam buku itu, penulis Mike Murdock mencantumkan 1550 ayat Alkitab untuk “memberikan wawasan Allah tentang situasi dan kondisi yang dihadapi setiap hari di dunia bisnis saat ini.” Ayat-ayat ini dikelompokkan dalam beberapa bagian, seperti “Sikap Anda”, “Pekerjaan Anda”, “Jadwal Harian Anda”, “Keluarga Anda”, “Keuangan Anda”, “Pebisnis dan Integritas”, atau “Ketika Pelanggan Tidak Puas."
[2] Hampir 100 topik tercakup, yang meliputi berbagai situasi bisnis secara umum.
Saat membaca beberapa bagian, Wayne memerhatikan bahwa penulis tidak mencoba menjelaskan metode tertentu dalam membuat keputusan. Ia hanya mencantumkan ayat-ayat Alkitab yang ia pikir relevan dengan setiap situasi, tanpa penjelasan atau penafsiran apa pun. Implikasinya ayat-ayat itu langsung diterapkan dan menjelaskan-sendiri.
Wayne menemukan beberapa topik yang awalnya ia pikir bisa membantu mengatasi masalahnya:
“Ketika pelanggan tidak puas” yang mencantumkan ayat-ayat seperti 2 Timotius 2:24: “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus pandai mengajar, sabar” dan Lukas 6:35: “Kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan tanpa mengharapkan balasan apa pun. Upahmu akan besar.”
“Pebisnis dan Integritas,” yang mengutip Mazmur 112:5: “Bahagialah orang yang menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan adil.”
“Pebisnis dan Negosiasi,” yang meliputi 2 Timotius 1:7: “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan penguasaan diri.”[3]
Setelah mempelajari lebih dalam, Wayne mendapati bahwa ayat-ayat Alkitab acak ini tidak banyak membantunya. 2 Timotius 2:24 tampaknya memberi nasihat yang bertentangan dengan 2 Timotius 1:7, dan bagaimanapun, 2 Timotius 1:7 berbicara tentang pengajaran, bukan tentang pembayaran kembali. Lukas 6:35 berbicara tentang musuh, bukan klien. Ayat-ayat ini tampaknya benar-benar tidak berlaku untuk situasi Wayne. Bahkan, salah satu masalah yang bisa timbul dari pendekatan semacam itu adalah, jika Alkitab dipandang sebagai "buku jawaban" atas semua situasi yang kita hadapi, kita bisa dengan mudah tergoda untuk mengambil ayat-ayat di luar konteksnya dan mengartikannya secara berbeda dari yang dimaksud penulis aslinya. (Ini sering disebut "proof-texting" – sekadar mencomot ayat Alkitab untuk mendukung suatu situasi tanpa memerhatikan konteks ayat keseluruhannya-Pen).
Ketika kita memulai dengan "masalah" dan mencari "jawaban," kita sebenarnya sedang menggunakan Kitab Suci secara terbalik. Risikonya adalah kita hanya mencomot ayat yang sesuai dengan rancangan yang telah kita tentukan sebelumnya dan mengabaikan semua hal lainnya, bukannya membiarkan Alkitab berbicara sendiri dan membiarkan tema-tema dan pesan-pesan yang sesuai membuktikan diri melalui pembacaan dan pembacaan-ulang ayat itu.
Sebagai contoh, ketika Wayne mempelajari lebih dalam bagian "Ketika pelanggan tidak puas," ia memerhatikan ayat Lukas 21:19: "Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu." Ketika ia membaca perikop ayat itu, ia menyadari bahwa ayat itu sama sekali tak ada hubungannya dengan pelanggan yang tidak puas dalam bisnis. Lukas sedang mengutip perkataan Yesus kepada para pengikut-Nya, yang memberitahukan apa yang harus mereka lakukan ketika mereka ditangkap dan dianiaya karena iman mereka! Ayat itu telah diambil di luar konteks, sama seperti banyak ayat lainnya di bagian-bagian yang dibaca Wayne.
Ada bahaya lain dari mencari aturan Alkitab untuk setiap situasi. Tindakan semacam itu bisa dengan mudah tergelincir ke dalam semacam reduksionisme dan legalisme. Kita hanya perlu mengingat para ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk mengetahui seperti apa hal ini. Dalam kerinduan mereka yang tulus untuk menaati Allah, mereka memerinci hukum menjadi serangkaian hal-hal khusus yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang pada akhirnya membutakan mereka tentang legalisme dan kesombongan mereka sendiri, alih-alih membantu mereka menaati Allah.
Jika ini terdengar seperti kritik keras terhadap para ahli Taurat dan orang Farisi, mari kita perhatikan secara singkat saja di sini bahwa hal yang mereka coba lakukan itu sebenarnya mengagumkan. Mereka adalah beberapa dari sedikit orang yang secara serius berusaha menerapkan iman dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bisnis. Mereka menyadari bahwa iman bukan hanya tentang menjalankan ritual di bait suci dan menghadiri pertemuan-pertemuan di sinagoge. Mereka berusaha menentukan apa artinya menjadi saleh dalam setiap aspek kehidupan. Masalahnya adalah, satu-satunya cara yang mereka tahu untuk melakukan hal itu adalah dengan berusaha menetapkan aturan untuk setiap situasi. Dan ini menimbulkan ledakan aturan-aturan yang jauh melampaui yang sebenarnya dikatakan Kitab Suci, namun tetap saja gagal mencakup setiap situasi.
Sebagai contoh, ambillah kerinduan mereka untuk memenuhi perintah tentang memelihara hari Sabat. Dalam upaya memastikan seperti apa praktiknya tentang hal ini, mereka sama sekali telah mengabaikan dan kehilangan makna tentang hal itu, bahkan mencaci-maki Yesus karena berani menyembuhkan orang pada hari Sabat! Mereka menjadi tawanan dari aturan-aturan yang mereka buat sendiri, dan dengan berbuat demikian mereka justru menghalangi dan bukannya membantu orang mematuhi isi perintah itu.
Jadi, upaya untuk merumuskan buku aturan lengkap berdasarkan Kitab Suci yang akan membahas setiap persoalan etis yang mungkin kita hadapi dalam konteks pekerjaan kita merupakan pencarian yang sia-sia dan tak ada gunanya. Alkitab bukan saja tidak mencakup ribuan situasi yang terjadi di dunia bisnis, tetapi bahkan jika kita berusaha memaksanya untuk melakukannya, kita justru berisiko mengatakan hal-hal yang sebenarnya tak pernah dimaksudkan ... atau yang lebih buruk lagi, meremehkan Kitab Suci dan tidak memahami maksudnya sama sekali.
Namun, meskipun Alkitab tidak dapat dan tidak seharusnya diubah menjadi buku aturan yang komprehensif tentang etika kerja, Alkitab tetap berisi perintah/aturan yang penting dan relevan. Banyak perkataan dalam Kitab Suci yang jelas dan mudah diterapkan. Tidak setiap situasi yang kita hadapi di dunia kerja itu pelik. Dalam banyak kegiatan bisnis, tidak sulit untuk menemukan nasihat Alkitab. Jika Kitab Suci mengatakan (misalnya, Kolose 3:22) kita perlu bekerja sepenuh hati untuk tuan kita di bumi ("bos" atau majikan kita), maka kita harus melakukannya. Jika Alkitab memperingatkan kita terhadap kemalasan dan sikap tidak bertanggung jawab dalam mencari nafkah (misalnya, 2 Tesalonika 3:10-12), maka itulah yang seharusnya menjadi tujuan kita. Ketika Alkitab memerintahkan kita untuk menyelesaikan konflik dengan cara berbicara langsung dengan orang yang bermasalah dengan kita, ada pedoman yang perlu kita ikuti. Ketika Alkitab melarang kita untuk mencuri atau memfitnah orang lain, kita harus mematuhi perintah-perintah itu dengan tepat.
Prinsip Yang Lebih Besar?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiDengan rasa kecewa, Wayne menaruh kembali buku itu di tempatnya. Saat melakukannya, ia melihat judul lain yang menarik perhatiannya — Business By The Book.[32] Karena penasaran, ia mengambil buku itu dan langsung mendapati bahwa pendekatan penulis Larry Burkett adalah mengidentifikasi prinsip-prinsip dalam Alkitab. Yang dimaksud dengan "prinsip-prinsip" di sini adalah pengajaran yang lebih luas dan lebih umum daripada aturan-aturan, tetapi masih dalam bentuk perintah yang berasal dari Alkitab tentang hal yang benar yang perlu dilakukan.
Subjudul buku itu, tulis Wayne, adalah "The Complete Guide of Biblical Principles for Business Men and Women” (Panduan Lengkap Prinsip-prinsip Alkitab bagi Pria dan Wanita Pengusaha." Buku ini tampak menjanjikan. Jadi ia mulai membaca. Jelas bahwa Business by the Book berasumsi Allah telah menetapkan dalam prinsip-prinsip-Nya petunjuk etis yang diperlukan untuk "menjalankan bisnis dengan cara-Nya." Menurut Burkett, Alkitab berisi berbagai ketetapan, perintah, dan prinsip yang merupakan “rencana Allah bagi umat-Nya dalam bisnis.”[33]
Yang mendasar dari prinsip-prinsip ini adalah Sepuluh Perintah Allah — yang menurut Burkett merupakan standar minimum yang membedakan umat Allah dari orang-orang di sekitar mereka. Maka ada “standar minimum lain yang membedakan pengikut Allah dari orang lain di dunia bisnis.”[34]
Dalam hal ini, Burkett mengembangkan “enam standar minimun bisnis yang alkitabiah.” Yaitu:
Mencerminkan Kristus dalam perilaku-perilaku bisnis.
Bertanggung jawab.
Menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar.
Menghormati para kreditor.
Memperlakukan karyawan dengan adil.
Memperlakukan klien dengan adil.
Aturan ini tidak terdapat di Alkitab, tetapi merupakan prinsip-prinsip yang diyakini Larry Burkett dapat disimpulkan langsung dari aturan-aturan dalam Alkitab. Maksudnya adalah agar aturan ini dapat mencakup lebih banyak situasi aktual yang terjadi di dunia kerja, karena aturan ini tidak sesempit aturan-aturan spesifik.
Apakah Ini Membantu Wayne?
Dua "standar minimum" tentang "menyediakan produk berkualitas dengan harga yang wajar" dan "memperlakukan klien dengan adil" jelas relevan dengan masalah Wayne. Namun, meskipun mengenal prinsip-prinsip ini baik, hal ini sebenarnya tidak membuat Wayne lebih dekat kepada yang harus ia lakukan. Ia masih bergumul untuk menentukan dengan tepat apa yang dalam kasus ini bisa menjadi perlakuan yang "adil" dan proses apa yang bisa ia gunakan untuk menentukan apa yang adil itu? Ia bisa setuju dengan dua prinsip Burkett itu — tetapi hal ini tidak membantunya melangkah lebih jauh. Masalah seperti ini umum atau biasa terjadi dalam metode-metode yang berbasis perintah. Jika perintah itu spesifik, perintah itu tidak dapat mencakup berbagai situasi yang terjadi di dunia. Jika peritah itu umum, perintah itu tidak dapat memberikan solusi aktual bagi masalah-masalah yang dicakupnya.
Namun, buku itu memberi saran untuk membicarakan dengan teman tentang apa yang dianggap adil dalam situasi ini. Menurut Wayne saran ini merupakan hal yang baik untuk dilakukan. Ia suka dengan gagasan mengembangkan lingkungan yang lebih komunal untuk membantunya memperoleh perspektif tentang masalahnya. Melakukan hal ini berlawanan dengan sifat individualisme yang kuat yang kita semua hadapi, dan juga mengakui bahwa banyak tantangan etis yang rumit dan membutuhkan orang lain yang berpikiran tajam untuk memberikan perspektif dan dukungan.
Wayne kurang tertarik dengan yang dianggapnya sebagai pendekatan yang sangat preskriptif dalam menggunakan Alkitab. Pendekatan itu tampaknya mereduksi Kitab Suci menjadi serangkaian prinsip dan aturan yang mudah dipahami - seperti buku petunjuk tentang “cara melakukan sesuatu.” Meskipun menggembirakan melihat pendekatan Business by the Book menanggapi serius tantangan agar iman kita memengaruhi dunia bisnis secara praktis, yang disayangkan pendekatan itu dibangun di sekitar prinsip-prinsip yang dipilih secara terbatas berdasarkan perspektif tertentu Burkett. Oleh karena itu, seperti banyak usaha lain yang serupa yang meringkas pendekatan Alkitab tentang bisnis, pendekatan itu memberi wawasan yang berguna dalam beberapa hal, tetapi juga menjanjikan lebih dari yang dapat direalisasikannya.
Satu Prinsip atau Perintah?
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiWayne masih bergumul dengan masalahnya. Ia kembali ke rak bukunya untuk melihat apa lagi yang bisa membantunya. Buku John Maxwell, There’s No Such Thing as “Business” Ethics langsung menarik perhatiannya.
John Maxwell berpikir, kita telah membuat pengambilan-keputusan Kristen menjadi jauh lebih rumit. Ia percaya bahwa semua perintah moral Alkitab pada dasarnya dapat direduksi menjadi satu perintah yang menyeluruh saja. Menurut Maxwell, tidak ada yang namanya etika bisnis: hanya ada satu aturan dalam membuat keputusan.[1] Dan itu adalah “Aturan Emas” yang disampaikan Yesus dalam Kotbah di Bukit - “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan; karena itulah seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12).
Pedoman ini (“Bagaimana saya ingin diperlakukan dalam situasi ini?”) harus mengatur semua pengambilan keputusan etis.[2] Sederhana tetapi tidak mudah adalah cara Maxwell menjelaskan aturan ini. Namun, ia mengakui bahwa untuk menjelaskan aturan ini diperlukan sejumlah prinsip lain seperti:
Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda.
Berjalanlah sejauh dua mil.
Menolong orang yang tidak dapat menolong Anda.
Melakukan yang benar ketika melakukan yang salah itu wajar.
Menepati janji sekalipun hal itu menyakitkan.
Meskipun ia tidak mengutip Alkitab secara eksplisit, pendekatan Maxwell jelas berasal dari Matius 7:12. [3] Selama dua abad terakhir, perkataan ini sudah dikenal sebagai Aturan Emas [4] dan Maxwell memerhatikan inti ajaran ini juga ada di dalam agama dan budaya lain. Jadi prinsip ini merupakan prinsip yang dapat dihargai orang Kristen maupun orang non-Kristen.
Beberapa prinsip-penjelas yang disebutkan Maxwell juga jelas didasarkan pada bagian-bagian lain pengajaran Yesus dalam Kotbah di Bukit. Contohnya, "Memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda" tampaknya merupakan implikasi logis dari Matius 5:43-48, dan "Berjalanlah sejauh dua mil" jelas merujuk ke ayat Matius 5:41.
Satu hal yang membuat Wayne tertarik memakai Aturan Emas dalam pendekatan etika bisnis adalah karena pendekatan ini didasarkan pada ajaran Yesus. Mengingat kita sering bersalah karena menghindari Yesus dan etika-Nya, hal ini menyegarkan.
Bagaimana Hal Ini Membantu Wayne Menyelesaikan Masalahnya?
Aturan Emas tentu saja merupakan prinsip-penjelas yang sangat berguna bagi Wayne. Aturan ini membuatnya berpikir, "Bagaimana saya ingin diperlakukan jika saya berada dalam posisi klien saya?" Dan prinsip-prinsip terkait seperti "memperlakukan orang lain lebih baik daripada mereka memperlakukan Anda" dan "berjalanlah sejauh dua mil" benar-benar menantang Wayne untuk bertindak melampaui yang secara hukum diharapkan darinya. Tetapi pendekatan Maxwell masih kurang membantu Wayne dalam menentukan secara spesifik tentang langkah tanggung jawabnya.
Tak ada keraguan bahwa Aturan Emas adalah inti dari ajaran etika Yesus. Kesederhanaan meninggikan satu prinsip jelas menarik dan berguna dalam beberapa hal, tetapi juga menunjukkan sikap terlalu menyederhanakan dan bisa menyesatkan dalam hal lain. Kebutuhan Maxwell untuk melengkapi dengan aturan-aturan yang memenuhi syarat lainnya menunjukkan bahwa hal ini benar.
Beberapa asumsi mendasar Maxwell juga dipertanyakan, seperti keyakinannya bahwa perilaku etis itu menguntungkan (setidaknya dalam jangka panjang). Tak ada bukti yang meyakinkan bahwa ini benar. [5] Bahkan, seperti dikatakan Scott Rae dan Kenman Wong, jika hal itu selalu (kebanyakan) benar:
…tidak akan diperlukan buku-buku atau kursus-kursus tentang etika bisnis, karena hampir semua orang akan melakukan perilaku moral yang baik karena prospek imbalan finansial.[6]
Ada keterbatasan lain pada pendekatan Maxwell. Pendekatan ini berasumsi hanya ada dua pihak yang terlibat dalam keputusan (orang yang membuat keputusan dan orang yang dipengaruhi oleh keputusan itu). Selama keputusan itu menguntungkan kedua orang ini, menurut Aturan Emas itu yang terbaik. Wayne menyadari bahwa dalam situasi khususnya saat ini, hal itu sebagian besar benar. Namun, pikirannya menerawang kepada banyak keputusan lain yang harus ia buat, yang secara tidak langsung akan memengaruhi orang lain dan/atau juga lingkungannya.
Sebagai contoh, belum lama ini Wayne menjual kendaraan besar dengan penggerak empat roda. Ia merasa sudah menerapkan Aturan Emas pada kliennya (memperlakukannya dengan hormat, memberinya tawaran terbaik yang bisa ia berikan, mengungkapkan semua informasi yang sesuai, dll). Tetapi dalam penjualan itu, satu hal yang tidak ia pertimbangkan adalah masalah yang lebih luas tentang seberapa besar dampak kendaraan itu, dengan pemakaian bahan bakarnya yang tinggi, terhadap lingkungan.
Tiga Prinsip Penyeimbang
Kembali ke Daftar Isi Kembali ke Daftar IsiWayne hampir kehabisan buku. Namun, ketika ia melirik ke rak bukunya lagi, ia melihat buku Just Business tulisan Alexander Hill.[1] Hill, seorang profesor bisnis dan ekonomi, dalam buku ini mencoba menemukan jalan tengah antara pendekatan satu-aturan yang sederhana dan pendekatan dengan banyak aturan lain yang lebih rumit.
Poin utamanya adalah etika bisnis Kristen seharusnya tidak dibangun di atas aturan-aturan, tetapi di atas karakter Allah yang tidak berubah. Saat kita mempelajari dan mengamati karakter Allah, kita dapat belajar untuk meniru Allah. “Perilaku yang sesuai dengan karakter Allah itu etis — yang tidak sesuai berarti tidak etis.”[2]
Oleh karena itu, kita dipanggil untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang menolong kita meniru karakter Allah. Tidak banyak dari kita yang akan membantah hal itu, tetapi pertanyaan besarnya adalah… lalu seperti apakah Allah itu? Jawaban Hill adalah tiga karakteristik sifat Allah yang paling sering ditekankan dalam Alkitab, yaitu:
Kekudusan
Keadilan
Kasih
Secara lebih spesifik, ia mendefinisikan ciri-ciri sifat ini sebagai berikut:
Kekudusan
Mengejar kekudusan berarti memiliki fokus tujuan yang tak teralihkan untuk menjadikan Allah sebagai prioritas tertinggi. Ini berarti menganggap semua hal lainnya sebagai kepentingan yang lebih rendah — hal-hal seperti harta benda, tujuan karier, dan bahkan relasi-relasi pribadi. Mengejar kekudusan mencakup semangat, kemurnian, akuntabilitas, dan kerendahan hati.
Keadilan
“Keadilan membawa ketertiban pada relasi-relasi manusia dengan menetapkan seperangkat hak dan kewajiban timbal balik bagi orang-orang yang hidup dalam konteks komunitas.”[3] Dua hak pribadi yang mendasar adalah hak untuk diperlakukan secara bermartabat dan hak menjalankan kehendak bebas. Kewajiban atau tanggung jawab (yang sebenarnya merupakan sisi lain dari mata uang keadilan) menuntut kita memperlakukan orang lain dengan cara yang memberikan hak-hak ini kepada mereka. Hak dan kewajiban berada dalam ketegangan, menjadi penyeimbang yang diperlukan satu sama lain. Sebagai contoh, hak pekerja untuk mendapat upah yang layak berarti pemberi kerja memiliki kewajiban untuk membayar pekerja dengan adil. Dan ini juga mewajibkan pekerja untuk bekerja dengan rajin untuk mendapatkan upahnya. Keadilan berlaku di kedua sisi.
Kasih
Hill mengakui bahwa kasih pada umumnya dipandang sebagai kebajikan utama.[4] Tetapi kasih perlu dimoderasi oleh dua karakteristik lainnya. Kontribusi utama kasih pada gabungan kekudusan-keadilan-kasih adalah penekanannya pada relasi melalui empati, belas kasih, dan pengorbanan diri. Kasih menciptakan ikatan di antara manusia, dan sebaliknya, perusakan ikatan ini menimbulkan penderitaan.
Bangku Berkaki Tiga
Jadi, pandangan Hill adalah "tindakan bisnis itu etis jika mencerminkan karakter Allah yang kudus, adil, dan kasih."[5] (Tidak ada makna khusus dalam pengurutan ketiga karakteristik ini. Bahkan, ketiganya saling terkait sepenuhnya dengan satu sama lain). Gambaran yang digunakan Hill untuk menjelaskan hal ini adalah bangku berkaki tiga. Jika kita hendak menjalankan bisnis secara alkitabiah, ketiga (kaki) aspek itu harus diperhitungkan secara konsisten; jika tidak, kita akan memiliki bangku yang sangat tidak seimbang.
Sebagai contoh, jika kekudusan terlalu ditekankan dengan mengesampingkan kasih dan keadilan, maka hasilnya adalah legalisme, suka menghakimi, merasa benar sendiri, dan menarik diri dari masyarakat.
Jika keadilan mendominasi, maka hasil yang tidak menyenangkan, emosi yang dingin, dan hukuman adalah kemungkinan yang akan terjadi.
Jika kasih menjadi satu-satunya ukuran utama, segala sesuatu bisa dengan mudah tergelincir ke dalam sikap permisif dan pilih kasih, karena tidak ada kompas moral yang mengarahkan kita ke batas-batas yang diperlukan kasih.
Alexander Hill mengecam segala upaya mereduksi Kitab Suci menjadi kitab aturan yang dapat diterapkan pada situasi spesifik.[6] Ia juga sangat menyadari kerumitan tentang dunia bisnis. (Ini merupakan hal yang dihargai Wayne).
Meskipun pendekatan Hill dibangun di atas tiga prinsip (perintah-perintah umum yang disimpulkan dari sifat-sifat Allah), ia juga sering memikirkan konsekuensi-konsekuensi — khususnya dalam menentukan apakah keadilan telah ditegakkan.
Bagaimana Wayne Terbantu oleh Pendekatan Ini?
Wayne bergumul untuk bisa memahami dengan tepat seperti apa kekudusan itu dalam situasinya ini, dan ia mendapati prinsip keadilan dan kasih yang seimbang sangat menolong. Hak dan kewajiban tertentu apa yang ada dalam relasinya sebagai penjual dengan kliennya? Dan respons terhadap permintaan klien yang bagaimana yang adil bagi kedua pihak? Wayne memutuskan bahwa ia mungkin memiliki kewajiban untuk berkontribusi pada biaya perbaikan itu — meskipun ia berpikir klien itu juga memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi. Keadilan berlaku dua arah — bersikap adil terhadap klien maupun penjual.
Mengingat Wayne sejak awal sudah memberi harga yang sangat murah kepada kliennya untuk mobil itu — dengan marjin keuntungan yang kecil — ia merasa tidak adil jika diharapkan membayar seluruh biaya perbaikan. Namun, prinsip kasih membuatnya juga memikirkan dengan saksama pertanyaan, "Apa artinya mengasihi orang ini bagi saya?" Sekali lagi, meskipun tidak ada hasil jawaban yang pasti, Wayne terdorong untuk memikirkan situasi keuangan kliennya. Apa dampak yang akan ditimbulkan tagihan biaya perbaikan yang cukup besar bagi klien tertentu ini?
Beberapa Tanggapan Umum
Salah satu kekuatan besar pendekatan Hill adalah kejelasan yang diberikannya saat memikirkan masalah-masalah etis yang lebih kompleks tanpa terlalu menyederhanakannya. Bangku kekudusan-keadilan-kasih jauh lebih seimbang daripada satu-prinsip Aturan Emas, dan jauh lebih praktis daripada pendekatan multi-aturan yang sudah kita bahas sebelumnya.
Keterbatasan utama dari bangku berkaki tiga adalah kita masih dihadapkan pada tantangan untuk menentukan dengan tepat apa itu kudus, adil, dan kasih bagi pihak-pihak yang dipengaruhi. Dan apa yang Anda lakukan, misalnya, saat keadilan berbenturan dengan kasih? Mana yang diprioritaskan?
Meskipun demikian, Wayne mulai merasa mengalami kemajuan. Mencapai suatu keputusan jelas tidak selalu mudah, tetapi bangku berkaki tiga Hill khususnya telah memberinya sesuatu untuk dilakukan. Jelas bahwa pendekatan etika apa pun yang kita adopsi, mengenali dan menyeimbangkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang relevan adalah hal yang penting. Tetapi selain itu, kita juga harus berusaha memperhitungkan konsekuensi dari berbagai tindakan untuk mengetahui keputusan yang mana yang mendatangkan hasil yang paling mengasihi, adil, dan kudus.
